Kamis, 21 Oktober 2004

Kesehatan Milik Semua Orang!

Saat ini aku memiliki pandangan, profesi dokter adalah pengabdian, bukan lahan mencari uang. Jika ingin mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, ya melalui bisnis. Dokter yang bekerja keras mencari uang sebanyak-banyaknya—menurutku—akan sulit sekali menjaga idealismenya untuk menangani pasien sebaik-baiknya secara optimal, misalnya tidak apa-apa mendapatkan jumlah pasien yang sedikit dalam setiap kali praktik—karena membutuhkan waktu ideal untuk memeriksa setiap pasien—asalkan pasien puas dan dapat tertangani dengan baik.



Dari yang aku pahami dari Robert T. Kiyosaki pun, tetap jalankan profesi, dan lakukan pula bisnis. Sayangnya kemampuan bisnis ini tidak dimiliki semua orang, salah satunya profesi dokter.



Ketika aku menanyakan kepada seorang kawan: kira-kira bisnis apa yang cocok saya jalankan? Saat itu aku berpikir untuk mencari peluang bisnis (non profesi tentunya), selain berpraktik sebagai dokter. Jawaban yang aku dapat lebih dari seorang kurang lebih sama: membuat Rumah Sakit, atau Klinik 24 Jam. Jadi kita berbisnis dari lahan-lahan ini.



Dalam sebuah artikel yang aku anggap cukup menarik di Media Indonesia Rabu 20 Oktober 2004 kemarin, dr. Hasbullah Thabrany dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI menerangkan bahwa negara Eropa Barat seperti Inggris menjaminkan biaya kesehatan ke dalam anggaran negaranya. Jadi penduduknya mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Biaya ini dibebankan ke dalam pajak penduduknya yang tinggi. Ia juga memberikan contoh negara berkembang, bahkan miskin, yang memberikan pelayanan kesehatan gratis adalah Sri Lanka. Thailand dan Malaysia membebankan biaya pelayanan kesehatan yang sangat murah kepada warganya. Sedangkan yang kita lihat di Indonesia: kesehatan menjadi lahan bisnis. Sebuah negara dengan penduduk yang kebanyakan miskin. Ironis memang.



Padahal investasi kesehatan yang memang mahal di awalnya adalah sebuah investasi jangka panjang, Tidak langsung dinikmati begitu saja hasilnya.



Lebih lanjutnya, aku kutipkan saja beberapa potongan kalimat dalam artikel tulisan dr. Thabrany:



Secara ekonomis perhitungan kebijakan publik model Inggris tersebut sungguh sederhana. Jeffry Sach, ekonom kaliber dunia dari Universitas Harvard, telah melakukan penelitian di berbagai negara, menyimpulkan bahwa investasi kesehatan berupa penjaminan kesehatan seperti di atas, menghasilkan keuntungan ekonomis 600%.

Keuntungan ekonomis ini diukur dengan peningkatan produktivitas penduduk, berkurangnya hari sakit, dan tercegahnya kematian dini. Dengan temuan itu, WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) mendorong agar seluruh negara miskin meningkatkan pendanaan kesehatannya, paling sedikit US$34/kapita/tahun. Sementara Indonesia (gabungan penduduk dan pemerintah), saat ini hanya mengeluarkan sekitar US$20/kapita/tahun.

WHO, sesungguhnya mengatakan, ''Hei pemerintah di negara miskin dan berkembang, mendanai pelayanan kesehatan rakyat sesungguhnya investasi jangka panjang.'' Sama dengan membangun jalan tol, keuntungan baru bisa dinikmati 10-20 tahun kemudian. Jangan lihat pendanaan kesehatan rakyat sebagai belas kasih belaka!



Belum pro publik

Suka atau tidak suka, harus diakui, banyak kebijakan publik di Indonesia belum pro publik atau rakyat. Jangan heran kalau banyak kebijakan, lebih berfokus pada kepentingan jangka pendek pengelola/pemerintah.

Dalam bidang kesehatan misalnya, banyak pemerintah daerah (pemda) melihat RS sebagai alat prestise pemegang kekuasaan, dan sebagai pelayanan yang mudah mendapatkan uang.

Tentu saja, karena untuk pelayanan rumah sakit, tidak ada yang pernah menawar atau menunda 'pembelian', dengan tanda kutip. Di Indonesia memang pelayanan kesehatan 'diperdagangkan' bahkan oleh RS pemerintah.

Secara konseptual, sangatlah aneh sebuah rumah sakit yang dibangun dari dana publik, tetapi ketika rakyat sakit dan tidak mampu, mereka harus bayar dulu. Bahkan tidak jarang bila tak ada uang, pelayanan tak diberikan hingga nyawa lewat.

Di DKI Jakarta bahkan beberapa rumah sakit daerah yang bernilai ratusan miliar, dibangun atas dana publik, kini dijadikan PT (perseroan terbatas). Sebagai sebuah PT, tentu tujuannya mencari untung. Meskipun kelak keuntungan itu kembali ke kas daerah. Tetapi, untuk mendapatkan untung, pengelola harus menarik biaya lebih mahal dari investasinya. La..., investasinya uang rakyat, kini RS tersebut mau cari untung dari yang memiliki uang!

Jika saja Pemda kemudian membayar semua tagihan RS kepada rakyat yang berobat, tidak hanya mereka yang miskin, karena yang tidak miskin bisa jadi miskin akibat harus membayar biaya berobat. Maka hal itu tidak ada masalah. Tetapi, kebijakan transformasi RS tersebut dilakukan sebelum ada sistem penjaminan bagi seluruh rakyat.

Tentu ada yang berargumen bahwa pemerintah sudah menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) yang didanai dari dana kompensasi subsidi BBM. Akan, tetapi program JPK Gakin masih jauh dari memadai.

Jumlah yang dijamin dan programnya belum menjadi program tetap, sangat bergantung dari kemauan pemerintah membagi-bagi dana kompensasi subsidi BBM. Pemda DKI memang sudah lebih maju, menyediakan dana JPK Gakin cukup memadai dari APBD; tetapi toh belum ada jaminan bahwa program itu terus berlanjut.

Program bantuan jaminan bagi orang miskin saja belum mencukupi, karena kebutuhan kesehatan sangat tidak pasti. Yang tidak miskin, banyak sekali yang tidak mampu membiayai perawatan dan pengobatan yang dibutuhkannya. Bahkan sesungguhnya lebih dari 90% penduduk Indonesia terancam jadi miskin jika menderita sakit berat.

Data-data laporan maupun survei menunjukkan, memang lebih dari 90% bantuan JPK Gakin sampai pada orang tepat, alias miskin. Sesungguhnya tidak sulit mencari orang miskin di Indonesia, sebab jika kriteria miskin yang digunakan adalah pendapatan US$2 per hari, standar untuk negara berkembang yang digunakan Bank Dunia, maka lebih dari 60% penduduk Indonesia tergolong miskin.

Sementara ukuran miskin yang kita gunakan adalah miskin untuk makan, bukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan (medically poor). Tukang ojek yang berpenghasilan Rp600 ribu/bulan tidak tergolong miskin. Karena itu, tidak bisa mendapatkan kartu JPK Gakin. Sementara untuk berobat karena sakit tifus atau infeksi usus buntu di RS pemerintah di Jakarta bisa menghabiskan lebih dari Rp1 juta.

Yang menjadi pertanyaan, apakah si tukang ojek mampu bayar segitu? Untuk makan bergizi saja, ia dan keluarganya tidak cukup. Toh, orang seperti ini tidak tergolong miskin dan tidak ada jaminan.

Data menunjukkan bahwa kurang dari 5% pasien yang dirawat inap di RS pemerintah yang merupakan pemegang kartu JPK Gakin atau mendapat keringanan atau pembebasan biaya. Apa artinya ini? Bukan mereka memiliki kemampuan membayar (ability to pay), tetapi mereka terpaksa membayar alias forced to pay.

Apakah pantas pemerintah memaksa rakyatnya yang sakit, yang tidak bisa lagi narik ojek atau angkot atau bertani, membayar di RS yang dibangun atas uang rakyat? Apakah pemerintah tidak punya duit untuk membantu?

Sungguh mengherankan jika setiap tahun, pemerintah memberikan subsidi BBM paling tidak Rp30 triliun (bahkan tahun ini bisa menjadi Rp63 triliun), sementara untuk membayar semua tagihan rawat inap RS kelas III di seluruh Indonesia tidak akan menghabiskan lebih dari Rp15 triliun. Yang pasti, subsidi BBM lebih menggemukkan mereka yang berada. Pemerintah juga masih menerima cukai rokok sekitar Rp30 triliun.



Sekian kutipannya dr. Thabrany. Kembali ke opiniku. Masih berpikir mendirikan rumah sakit komersial dan klinik-klinik turunannya?