“…Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar Ra’d, 13:28).
Sangat miris, ketika ayat diatas seolah normatif bagi kebanyakan kita, padahal itulah janji Allah. Ya sekali lagi memang nampak normatif ketika kita mencoba memberi solusi kepada diri maupun orang lain yang kita pedulikan atas kecemasan, kekhawatiran atau ketakutan akan masalah yang mereka hadapi dengan ayat tersebut.
Ingin rasanya aku tunjukkan fakta-fakta dari dunia medis maupun psikologis tentang kebenaran janji Allah pada ayat tersebut. Agar kemudian ini tak hanya menjadi wacana normatif saja.
Dalam sebuah pengkajian yang diterbitkan dalam International Journal of Psychiatry in Medicine, sebuah sumber ilmiah penting di dunia kedokteran, dilaporkan bahwa orang yang mengaku dirinya tidak berkeyakinan agama menjadi lebih sering sakit dan mempunyai masa hidup lebih pendek. Menurut hasil penelitian tersebut, mereka yang tidak beragama berpeluang dua kali lebih besar menderita penyakit usus-lambung daripada mereka yang beragama, dan tingkat kematian mereka akibat penyakit pernapasan 66% lebih tinggi daripada mereka yang beragama.
Menurut penelitian lain, yang dikemukakan oleh David B Larson dan timnya dari The American National Health Research Center [Pusat Penelitian Kesehatan Nasional Amerika], pembandingan antara orang Amerika yang taat dan yang tidak taat beragama telah menunjukkan hasil yang sangat mengejutkan. Sebagai contoh, dibandingkan mereka yang sedikit atau tidak memiliki keyakinan agama, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60% lebih sedikit, tingkat bunuh diri 100% lebih rendah, menderita tekanan darah tinggi dengan tingkat yang jauh lebih rendah.
Penelitian yang mencakup banyak segi tentang hubungan antara keyakinan agama dan kesehatan jasmani yang dilakukan oleh Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard juga telah menghasilkan kesimpulan yang mencengangkan. Walaupun bukan seorang yang beragama, Dr. Benson telah menyimpulkan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih banyak pengaruh baik pada kesehatan manusia daripada keimanan kepada apa pun yang lain. Benson menyatakan, dia telah menyimpulkan bahwa tidak ada keimanan yang dapat memberikan banyak kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah. Apa yang mendasari adanya hubungan antara keimanan dan jiwa raga manusia ini? Kesimpulan yang dicapai oleh sang peneliti sekuler Benson adalah, dalam kata-katanya sendiri, bahwa jasmani dan ruhani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah.
Patrick Glynn juga mengungkapkan bahwa penelitian ilmiah di bidang psikologi selama lebih dari 24 tahun silam telah menunjukkan bahwa keyakinan agama adalah satu di antara sejumlah kaitan paling serasi dari keseluruhan kesehatan jiwa dan kebahagiaan.
Mungkin bahasan diatas nampak masih general dan superficial, seolah menunjukkan bahwa dengan beragama apapun, asalkan kita beragama kita akan memperoleh ketenangan. Aku ingin ambikan contoh seperti ini, seseorang akan bersih jika ia rutin berwudhu (bersuci dari hadas kecil), kendatipun ia bukan muslim benar? Demikian pula ia akan meraih kebaikan jika ia praktekkan perilaku-perilaku ibadah seperti berfikir, khusyuk dan merenung, karena ia mengoperasikan pusat-pusat yang mirip dengan pusat-pusat keimanan dalam otak yang bekerja untuk rileksasi dan terlepas dari perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kegelisahan, dan stress. Saat itulah seseorang berpindah dari kondisi keterasingan dan kesendirian kepada kondisi rileks dan tenang, kendatipun ia tidak mendapatkan jatah akhirat (karena tidak beriman kepada Allah swt).
Perlu digaris bawahi disini yang pertama adalah bahwa mereka tidak mendapatkan jatah akhirat (karena tidak beriman kepada Allah swt) dan bahwa mereka melakukan perilaku-perilaku ibadah seperti berfikir, khusyuk dan merenung, untuk mengoperasikan pusat-pusat yang mirip dengan pusat-pusat keimanan dalam otak. Sekali lagi, mirip dengan pusat keimanan dalam otak. Kenapa aku berkata demikian, karena ada sebuah kesimpulan dari penelitian ilmiah yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2001 dari hasil penggunaan teknologi baru scanning terhadap otak yang dilakukan oleh sebuah tim ilmiah yang dipimpin DR. Andrew Newberg, professor Radiology pada Fakultas Kedokteran Universitas Philadelphia, USA ialah : kepercayaan kepada Allah adalah desain dasar (design in built) yang sudah ada dalam otak.
Sebab itu, iman kepada Allah dalam penelitian-penelitian ilmiah moderen bukanlah seperti filsafat dan khayalan masyarakat sebagaimana yang didengung-dengunkan oleh kalangan atheist (kaum darwinis evolutionist dan komunis) yang tidak ada sandaran ilmiahnya pada awal abad 20. Dugaan mereka telah nyata kegagalannya di mana mereka menduga bahwa manusialah yang menciptakan agama mereka sendiri, khususnya setelah ditemukannya fakta ilmiah di atas bahwa manusia telah Allah ciptakan beragama secara alami dan memberi mereka kekuatan/ kemampuan untuk mengenal dan beribadah kepada-Nya.
Sebenarnya telah diterbitkan beberapa studi ilmiah yang menjelaskan bagaimana iman kepada Allah merupakan fitrah yang tertanam dalam diri manusia dan mengoperasikan mekanismenya dengan ibadah adalah jalan menuju sehat dan bahagia. Di antaranya buku : Iman Kepada Allah Tertanam Dengan Kuat dalam Diri Kita, karya Dean H. Hamer, 2005, dan buku : Iman dan Kesehatan, karya Jeff Levin Ph.D, dan buku : Iman, Kesehatan dan Kesuksesan, karya Andrew Perriman.
Namun jika kita ingin telaah lebih mendalam lagi dan lebih spesifik, mengingat Allah dalam tatanan Islam bisa kita lihat dari dzikir. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mengingat Allah dengan cara Islam ini terbukti mengembalikan produksi endorphin di dalam otak. Zat endorphin yaitu suatu zat yang memberikan efek menenangkan yang disebut endogegonius morphin. Kelenjar endorfina dan enkefalina yang dihasilkan oleh kelenjar pituitarin di otak ternyata mempunyai efek mirip dengan opiat (candu) yang memiliki fungsi menimbulkan kenikmatan (Pleasure principle), sehingga disebut opiate endogen. Oleh karena itulah dzikir atau mengingat Allah itu dapat menghasilkan ketenangan.
Selain itu, orang yang sering berdzikir mengingat Allah, tinggi pula gelombang alfa di otaknya. Ini yang membuat hidup menjadi lebih tenang, sekali pun badai kecemasan, ketakutan, dan kepanikan terus menerjang tanpa perlu minum obat atau minta bantuan dukun. Dengan demikian risiko terkena stroke, jantung koroner, sakit jiwa, dan kanker menjadi lebih kecil.
Menurut Dr. R. H. Su’dan M.D, S.K.M, penyimpangan seks seperti hiperseks, lesbian, homoseks, masochisme dan lain sebagainya juga dapat sembuh dengan dzikrulloh (mengingat Allah). Juga penyimpangan jiwa lainnya seperti psychopatia semacam kleptomania atau suka mencuri, penyakit jiwa karena stress atau ketegangan hidup yang berlebihan. Apalagi kalau hanya penyakit psikosomatik, mudah sekali ditanggulangi dengan dzikrulloh. Bahkan penyakit jiwa yang sebenarnya seperti psychosis pun dapat diselesaikan dengan dzikrulloh pula. Bahkan menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater (Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Doktor di bidang NAZA), beliau mengatakan bahwa selain terapi medis, sholat, berdoa dan berdzikir dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus HIV/AIDS.
Hal ini tentunya yang memperkuat kajian-kajian sebelumnya, bahwa dengan mengingat Allah, berdzikir, mampu meningkatkan kualitas sehat, baik secara fisik maupun mental, membuka cakrawala perasaan ketinggian dan memberikan bantuan untuk terlepas dari berbagai kepediahan dan tekanan jiwa serta kesembuhan dari berbagai kegoncangan seperti kegelisahan, stress, depresi dengan berbagai efek fisik lainnya.
Ketika temuan ilmiah ini pun menjadi sebagian bukti dari kebenaran ayat Tuhan mu yang menciptakan, adakah kita masih menganggap “dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” itu sebuah solusi normatif? Yang jadi tantangan nya kini adalah, sekonsisten apa kita coba untuk mengaplikasikan hal ini dalam hidup keseharian??