“Semasa kecil, saya membayangkan kalau jadi dokter bisa kaya, punya suami ganteng dan kehidupan sosial ekonomi lebih baik,” ujar dr. Kurnia Kusumastuti SpS(K), Ketua Program Studi Epilepsi, di sela-sela seminar “Tatalaksana yang tepat sangat diperlukan untuk mengontrol serangan, pada penyandang epilepsy wanita dan anak” di Jakarta. Keinginan itu juga keinginan kedua orangtua, yang berharap ia tidak menjadi guru.
Memang benar, menjadi dokter itu mulia. Bisa membantu orang dan tidak kalah mulia dibanding guru. Baginya, menjadi dokter atau guru sama-sama mulia. Itu sebabnya, sebagai dokter ia tertarik untuk mengajar. “Saat menjadi mahasiswa kedokteran, saya mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Senang bisa menikmati menjadi guru, seperti orangtua,” katanya. Dari mengajar, ia bisa membiayai kuliahnya. “Bapak tidak mampu membiayai kuliah, jadi saya berusaha sendiri,” katanya.
Tertarik mendalami epilepsi, karena dulu ia mendapati banyak pasien epilepsi dibawa kedukun. Tidak tanggung-tanggung, disertasi S3-nya juga mengenai epilepsy.
Jika ada kasus epilepsy, yang dikira warga sebagai fenomena kesurupan, pasien dibawa ke dukun. Oleh dukun, jempol tangan pasien dipencet-pencet dan kondisinya membaik. “Warga mengira, dukun telah mengeluarkan setan dari tubuh yang kesurupan. Sebenarnya, memencet jempol penyandang epilepsi berarti mengaktifkan bio molekuler otak, yang kemudian mengembalikan kondisi pasien normal kembali. Itu hasil penelitiannya untuk meraih gelar doktor.
Pernah ia menangani penderita usus buntu berat. “Harusnya pasien dibawa ke rumah sakit dan di operasi. Itu jalan satu-satunya di dunia kedokteran,” katanya. Pasien menolak dengan alasan tidak punya uang. Ia maunya diobati saja. Sedangkan, obat di Puskesmas sangat sederhana dan terbatas. Pasien ia beri kapsul, yang tak ada hubungan dengan terapi usus buntu. Ternyata, pasien sembuh. “Berkat kekuasaan Tuhan; saya meyakini itu.”
Dokter kelahiran Purbalingga, 24 Agustus 1957, ini hobi senam. Selain untuk menjaga kesehatan, juga supaya tubuhnya tetap langsing dan cantik. (ant)