Euphoria akhirnya sempat kurasakan tatkala perjuangan ini membuahkan hasil. 260143 muncul dilayar monitor komputer tanda kelulusan ku di ujian saringan masuk Fakultas Kedokteran yang aku pilih. Euphoria menjadi mahasiswa baru kedokteran, namun sayang tak berlangsung lama. Aku masih ingat betul, hari-hari ku kemudian ditemani textbooks tebal berbahasa inggris, yang terkadang isinya pun sulit aku pahami. Learning issue hampir 3 kali seminggu menghidupkan suasana kamar ku tiap malam nya. Modul-modul laboratorium dan skill lab berbahasa inggris selalu minta dipahami. Belum lagi soal ujian berbahasa inggris nya ditiap 3 bulan dan 6 bulan sekali. Tak tanggung-tanggung, bisa sampai 200 soal berbahasa inggris dikeluarkan, hanya diberi waktu 1 menit aku mengerjakan setiap soalnya. Pantas saja ujian TOEFL diatas 550 menjadi syarat wajib kenaikan tingkatku. Untung saja di ujian ke 3 aku bisa lulus dulu.
Satu lagi yang aku masih ingat betul, ujian lisan. Hampir sekitar 36 kasus yang dipelajari selama satu tahun diujikan dalam waktu 20 menit oleh dua dokter penguji. Dan yang membuat mahasiswa di angkatanku hampir depresi adalah ketika kami harus menghadapi kenyataan, bahwa 50 % nilai kami di tahun itu ditentukan oleh ujian tersebut. Belum lagi ujian praktik yang harus dihadapi, hampir 36 keterampilan klinis yang dipelajari selama setahun, diujikan di 15 stasiun dan harus lulus semua. Gagal di ujian ini setelah satu kali kesempatan remedial membuat kami tak bisa naik ke tingkat selanjutnya. Berbeda dengan fakultas lain, jika kau tak lulus satu mata kuliah, bukan hanya mata kuliah itu saja yang kau ulang, melainkan seluruh mata kuliah. Ibarat tak naik kelas saja ketika masa SMA dulu.
Ada lagi yang masih aku ingat betul, menjadi mahasiswa tingkat akhir. Mungkin kau tahu, di fakultas lain mahasiswa tingkat akhir tentunya akan fokus dengan tugas akhir atau skripsinya. Begitupun dengan kami, hanya saja beda nya, ketika mahasiswa fakultas lain sudah tak ada mata kuliah yang diambil, aku dan kawan-kawan ku masih ada kuliah, tugas, maupun ujian. Belum lagi bulak-balik Bandung-Jatinangor untuk bimbingan berasa jadi warna yang semakin melengkapi. Semacam tingkat terjenuh dalam hidup dihadapi disini.
Sulit kedua aku temui, tentang bagaimana bertahan menjalani proses pendidikan, apalagi untuk mendapatkan hasil memuaskan, "dengan pujian" di wisuda Sarjana Kedokteran.
Masih ada yang aku ingat betul, kali ini tentang aktivitas sosial dan jadwal liburan. Serempak hampir sama kawan-kawan ku di fakultas maupun universitas lain memasuki jadwal libur, rencana backpaker-an, reuni, atau sekadar jalan-jalan banyak mereka persiapkan. Giliran aku mendapat ajakan, kedokteran sedang memasuki fase ujian. Akhirnya hanya bisa berujar selamat jalan dan mengucap salam, cukup menyedihkan memang. Giliran aku libur, waktunya mereka untuk kembali memulai masa perkuliahan, nasib memang. Belum lagi dilema yang dihadapi ketika diamanahi jabatan kemahasiswaan di tingkat Universitas, terkadang rapat ditemani bahan ujian, atau bahkan harus mendelegasikan tugas untuk advokasi ke pihak rektorat karena harus ujian. Ada lagi yang juga aku ingat betul, tentang izin meninggalkan perkuliahan. Hanya 80 % dengan alasan sakit yang disertai surat dokter, acara keluarga, atau ditugaskan pihak Fakultas. Lebih dari itu, atau izin melanggar syarat tersebut, silahkan untuk tak diperkenankan mengikuti ujian, dan kembali mengulang tahun depan.
Sulit selanjutnya yang aku temui, tentang bagaimana menjaga performa sebagai makhluk sosial, bersinergi dengan yang lain, dan menjaga keseimbangan antara akademik dengan aktivitas kemahasiswaan.
Sulit memang, namun bukan berarti tak bisa dilewati. Gelar Sarjana Kedokteran yang membersamai namaku seolah menjadi bukti kesungguhan, bahwa sulitnya proses pendidikan bisa diselesaikan. Euphoria kembali dirasakan, Graha Sanusi seolah jadi saksi bisu perayaan aku dan ratusan wisudawan lain nya . Ucapan selamat dari belasan rekan yang sengaja hadir, dan rangkaian bunga yang juga kuterima semakin membuat khidmat suasana. Terlihat di wajah rekan dari fakultas lain binar mata menjemput masa depan, melanjutkan sekolah S2 atau mencari pekerjaan. Sementara tak lama kemudian, aku harus kembali menghadapi kenyataan, untuk menjadi relawan kemanusiaan, dalam misi pendidikan. (baca: koas, atau dokter muda.)
Masih aku ingat betul, tak lama setelah prosesi wisuda, satu per satu rekan satu angkatan dari fakultas lain sudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan beberapa diantaranya sudah memberikan undangan pernikahan. Harus gigit jari, berkaca pada diri yang masih disubsidi penuh oleh keluarga. Sulit lain yang kemudian dirasakan, ketika materi masih jadi bahan pertimbangan utama dalam berkegiatan, ketika membahagiakan orang tua masih jadi harap dan doa terbesar yang masih aku janjikan , ketika harus bersabar untuk melamar gadis yang disukai, atau bahkan mungkin contoh ekstremnya ketika harus merelakan seseorang yang kita harapkan didahului dilamar orang.
Akupun masih ingat betul, dengan peran dokter muda yang dijalankan, tanggung jawab semakin besar harus ditunaikan. Follow Up pasien, ikut operasi, ikut jaga poliklinik, belum lagi bed site teaching, ngerjain laporan kasus, bikin referat, kuliah, dan masih tetap ada ujian. Nilai minimum harus B, kurang dari itu, silahkan mengulang. Belum lagi ada jaga malam IGD maupun Ruangan, masuk koas biasa jam 7 sampai jam 4 sore, lanjut jaga malam dari jam 4 sore sampai jam 6 pagi esoknya, kemudian lanjut aktivitas esoknya sampai jam 4 sore lagi. Begitu ritme hidup ku ketika memasuki jadwal jaga, ibarat jadi zombie keesokan nya. Belum lagi ketika harus ditempatkan di jejaring, bisa di Cibabat, Ujung Berung, Garut, Sumedang, Majalaya, Subang, bahkan mungkin nanti sampai Rancabuaya.
Akupun masih ingat betul, bahwa libur jadi barang langka disini. Tanggal merah, atau weekend bisa kita nikmati jika tak ada jadwal jaga. Libur hanya seminggu setiap 6 bulan sekali, itupun jika tak ada remedial ataupun prolong karena terkena hukuman. Belum lagi izin, tak diperkenankan izin disini, bahkan sakit lebih dari 3 hari dengan surat sakit dari rumah sakit pendidikan yang bersangkutan pun membuat kita harus kembali mengulang bagian yang ditinggalkan.
Sulit yang lain kembali ditemukan, solusi paling tepat tak lain dan tak bukan semata menjaga keseimbangan fisik, mental, pikiran, dan rohani aku pikir.
Akupun masih ingat betul, dengan cerita yang kudengar dan kubaca ketika menjadi dokter kelak. Gaji dokter umum yang dibilang minim, seolah tak sebanding dengan beban kerja yang dipikulnya. Belum lagi jika kita bandingkan dengan gaji para insinyur teknik yang mungkin besarnya bisa berapa kali lipatnya, apalagi jika dibandingkan dengan pengusaha.
Untuk dokter yang ke daerah, aku pun pernah mendengar beberapa kisah nyata yang dialami para pendahulu. Salah seorang alumnus almamater ku di Papua, di daerah konflik, pernah disuguhi tombak oleh penduduk sekitar ketika menjalankan misi pengabdian nya. Berawal dari salah seorang anggota suku yang bertikai, ketika ia terluka terkena parang, secara beramai-ramai ia dibawa ke dokter tersebut. Sambil membawa anggota nya yang terluka, salah seorang anggota suku lain sempat berujar seperti ini ke dokter tersebut, "Jika teman saya mati, dokter tak bisa menolong, maka dokter pun harus mati!". Anggota lain sudah bersiap dengan tombaknya di sekeliling dokter tersebut. Peralatan medis disana terbatas, apalagi ketika didatangi ke rumah seperti itu. Akhirnya, sambil menangis sang dokter mempersiapkan alat seadanya, jarum jahit pakaian, benang jahit pakaian, air hangat, dan api. Sambil berderai air mata, sang dokter memanaskan jarum jahit itu ke api, memasukan benang ke air hangat, lalu mulai membersihkan dan menjahit luka orang yang terluka tersebut menggunakan alat seadanya, jarum dan benang jahit pakaian. Alhamdulillah orang yang terluka tadi selamat, dan dokter itu pun selamat.
Tak usah jauh-jauh ke Papua, di daerah Jawa Barat saja, Sumedang. Aku mendengar cerita langsung dari seorang dokter yang mengalami kejadian ini. Bertugas di sebuah pedalaman, hutan di Sumedang. Pada saat itu sedang santer-santer nya isu terkait dukun "teluh", atau dalam bahasa Indonesia nya dukun santet. Tak ada seorang pun yang berani pada dukun "teluh" saat itu, bahkan kapolsek atau camat setempat pun. Sampai akhirnya suatu ketika, terdapat kejadian salah seorang yang dianggap dukun santet meninggal, ditusuk menggunakan linggis di daerah wajahnya. Tak ayal, tengah malam, sang dokter dibawa ke tengah hutan untuk memeriksa jenazah korban, sendirian. Karena warga sekitar tak ada yang berani menghampiri dukun "teluh" itu, walau hanya sekadar mendekati jenazahnya.
Aku pun masih ingat betul, kejadian akhir-kahir ini, terkait seorang dokter spesialis, konsultan, di sebuah kota besar dan rumah sakit pendidikan pula. Operasi usus buntu seorang artis, pemain band, yang berujung tuntutan mal praktik karena mungkin ada sedikit kekeliruan dalam hal komunikasi. Ini mungkin salah satu cerita dari sekian banyak kejadian yang terjadi.
Entahlah, jika kembali ditelaah, ditelusuri dan dipikirkan. Proses menjadi dokter selalu tak luput dari kesulitan, dimulai dari sulit untuk bisa masuk Fakultas Kedokteran, sulit untuk belajar ketika menjalani proses pendidikan S1 nya, sulit ketika menghadapi program profesi dokter, sulit ketika menjadi dokter umum, baik itu di daerah, maupun di kota besar, bahkan sulit ditemukan walaupun sudah menjadi seorang dokter konsulen. Sulit memang.Bahkan untuk sekadar membayangkan nya pun, aku yakin sebagian dari kita memiliki kesulitan.
Tapi ingatlah kawan, bahwa sulit tak selamanya sulit, sebagaimana mudah tak selamanya mudah. Hanya saja yang dikhawatirkan kesulitan punya nafas lebih panjang dibandingkan semangat kita untuk mengalahkan nya. Sadari benar bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Insyiraah ayat 6 yang artinya:
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Menjadi hamba Allah adalah suatu kepastian. Menjadi mahasiswa kedokteran, dokter muda, atau menjadi dokter adalah pilihan hidup untuk menjemput takdir sejarah kita. Menjadi aktivis, giat berkontribusi untuk umat adalah saringan alami untuk membuktikan pada dunia bahwa kita adalah hamba yang berbeda dari kebanyakan hamba yang Allah ciptakan. Seperti yang dikatakan Shalahudin al-Ayubi, memang bukan kita yang memilih takdir. Takdirlah yang memilih kita. Tapi bagaimanapun, takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat. Jangan sampai takdir hidup kita tak pernah sampai pada tujuan, jangan sampai mimpi kita terlalu sederhana, dan perjalanan cita-cita sangat lamban dan tidak menghantarkan. Cita-cita punya syarat penuainya, begitupun harapan dan keinginan punya harga amalnya. Kesungguhan mutlak jadi penuainya, dan tekad adalah pengantarnya. Karena ketika pikiran memberikan kita arah, tekadlah yang mendorong kita untuk melangkah, ketika pikiran menerangi jalan kehidupan kita, tekadlah yang meringankan kaki kita menjalaninya. Menjadi apapun kita saat ini, mulai awali dengan tekad untuk mencapainya.
Kesulitan, jenuh, dan menghadapi berbagai permasalahan itu fitrah. Menghadapi kenyataan pahit itu perlu. Karena terkadang manis itu dilalui setelah pahit kita lewati. Menghadapi kenyataan pahit saat ini bisa jadi sebuah pembelajaran, seolah menjadi jeda, untuk kita berbenah, untuk kita mengambil hikmah. Ibarat hujan, akan ada pelangi indah yang kita nantikan. Dan yakinlah kawan, bahwa pertolongan Allah itu hadir sesuai dengan kadar ujian yang Ia berikan.
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari Allah SWT pada seorang hamba sesuai dengan kadar ujiannya dan kesabaran itu diberikan oleh Allah SWT kepada seorang hamba sesuai dengan musibahnya."Kesulitan seolah menjadi teman yang membersamai proses menjemput takdir sejarah dokter kita. Untuk itu, keberaniaan nampak menjadi penawarnya. Jangan sampai kesulitan membuat kita patah karena lelah. Akan tetapi, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri. Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Di dalam kesabaran terdapat banyak kebaikan, dibalik kesabaran ada kemenangan.
—HR. Baihaqi
Kesulitan yang senantiasa membersamai ini seolah menjadi tantangan yang perlu dilewati untuk kemudian kita nikmati ganjaran nya sesuai dengan kadar lelah yang sudah kita kerjakan. Alasan yang membuatku bertahan di jalan ini hingga kini adalah karena disini aku temukan banyak jalan untuk berbagi. Semangat berbagi ini adalah bukti keluhuran jiwa. Konteksnya bukan lagi memenuhi kewajiban, melainkan diatas itu, berbagi lebih mencerminkan rasa syukur, semangat berbakti, dan semangat untuk tidak menjadi mercusuar di tengah kondisi kurang beruntung yang dialami orang lain.
Berada di jalan ini, sampai saat ini telah memberikan kesempatan bagiku bersama beberapa rekan dan mitra lain nya untuk memberikan pengobatan gratis untuk ribuan orang di berbagai tempat, memberikan bantuan medis dalam fase tanggap bencana hampir di setiap bencana yang terjadi terutama di wilayah Jawa Barat, juga menjalankan recovery dan rehabilitasi setelahnya. Selain itu berbagai upaya promotif preventif berupa edukasi kesehatan melalui penyuluhan telah dilakukan untuk ribuan orang di berbagai tempat dan berbagai kalangan, mulai dari murid TK hingga masyarakat lanjut usia. Pendampingan medis untuk berbagai lembaga, organisasi, dan kegiatan atau acara kerap dilakukan. Pembinaan kesehatan menjadi agenda yang diperhatikan, pembuatan kurikulum kesehatan dan monitoring kesehatan ratusan anak jalanan, hingga pemberdayaan masyarakat melalui optimalisasi kader telah dilakukan. Pelatihan kesehatan pun telah dilakukan untuk ribuan orang dari berbagai kalangan di berbagai kegiatan, dengan beragam materi kesehatan. Memeriksa kesehatan ribuan orang, mulai dari kalangan siswa pendidikan anak usia dini (PAUD), pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat lansia juga telah dilakukan, dan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut untuk ribuan murid PAUD hingga siswa SD menjadi agenda yang masih dilakukan hingga kini. Berada di jalan ini bagiku memberi kesempatan untuk bisa menciptakan senyum, menjawab harap, dan menghadirkan doa pada ribuan masyarakat di Indonesia.
Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, selalu ada kelapangan dibalik kesusahan, selalu ada ganjaran atas setiap kadar lelah yang dilakukan, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian, dan selalu ada bahagia dibalik syukur dan sabar yang dihadirkan.
Dunia kedokteran, ibarat bersakit-sakit dahulu, sulit kemudian. Tapi sekali lagi yakinlah, bahwa ganjaranmu tergantung kadar lelahmu. Ada ganjaran dari setiap sakit dan sulit yang dilewati. Semakin tinggi resiko dan tingkat kesulitan nya, semakin banyak hikmah dan berkah yang kita peroleh di dalamnya. Ingatlah bahwa segala puncak prestasi harus teruji, begitupun menjadi ahli surga harus terbukti di dalam kesungguhan dan kesabaran menghadapi ujian hidup di Jalan Nya. Pahala Allah tidak pernah salah, bagaimanapun niat dan langkah untuk beramal Islami, selalu ada surga dibalik itu.
Selamat menjalankan sisa usia, menjemput keberkahan dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Selamat menyehatkan bangsa dengan sehat seutuhnya, terciptanya kondisi fisik, mental, dan ruhani yang baik, yang mampu produktif secara ekonomi maupun sosial. Dan seperti yang dikatakan (alm) KH Rahmat Abdullah, teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.