Ketertarikanya menjadi dokter spesialis anak, karena ia meyakini bahwa banyak hal menarik dari tumbuh kembang seorang anak manusia. “Proses tumbuh kembang sangat banyak variasinya. Setiap individu memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang berbeda. Saya tertantang untuk menggali dunia anak lebih dalam,” kata dr. Dwi Putro Widodo SpA(K).
Ia sempat bingung mau kuliah di mana. “Bingung bukan karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Saya bingung karena harus memilih antara masuk ITB atau menjadi mahasiswa kedokteran UI,” katanya. Ketika itu, 1977, lewat program SKALU (Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas). Jadi, mendaftar satu, bisa diterima di beberapa universitas negeri. Akhirnya, ia memilih kuliah di FKUI. “Alasannya bukan karena saya ingin menjadi dokter. Kalau kuliah di ITB saya harus kost, itu saya gak bisa. Sedangkan kalau pilih di UI ,saya nggak usah kost dan bisa bareng keluarga terus,” katanya.
Beruntung, dari hari ke hari ia bisa menikmati dan merasa pas masuk fakultas kedokteran. Trlebih setelah menjadi dokter, meski saat itu masih dokter umum. “Menjadi dokter itu pekerjaan mulia, dihormati banyak orang, menjadikan saya mudah bergaul dengan orang yang baru saya kenal,” katanya.
Ada secercah pengalaman, sekitar tahun 1983, saat mengikuti Inpres di RS Dili, Timor Timur. “Saat itu llagi gawat-gawatnya. Banyak kasus, terutama kasus emergency. Dokter sering dipanggil malam-malam untuk melakukan tindakan,” katanya.
Hobinya rmain bola, saat masih SMA dan semasa kuliah. Olahraga bukan untuk prestasi, melainkan sebatas hobi sekaligus meningkatkan aktivitas fisik. ”Olahraga bagus untuk kesehatan. Main bola sudah tidak, diganti dengan nonton bola. Sama nikmatnya,“ ia tertawa. Pada Piala Eropa yang saat ini sedang berlangsung, ia menjagokan tim Portugal. ”Minimal bisa sampai final. Ya, jadi juara dualah.“ (Ant)