Minggu, 31 Juli 2011
Mungkin ini mejadi Ramadhan terakhir kita
Dialah tamu istimewa kita, datang hanya sekali dalam setahun. Mungkin beberapa kali kita mendapatinya namun benarkah kita telah benar-benar menyambutnya? Atau karena saking terbiasanya dengan Ramadhan menjadikan diri kita berikap biasa-biasa saja ketika dia hadir menghampiri kita?.Ramadhan memang unik, dia satu-satunya bulan yang disebut-sebut di dalam Al-Qur’an, dia pula yang dikatakan sebagai syahrullah, bulannya Allah, sungguh kedudukan yang sangat istimewa dihadapan Dia sang pemilik waktu.Lantas apa persiapan kita untuk menyambutnya? Ketika Allah begitu memberikan keutamaan yang besar terhadap Ramadhan, bagaimana dengan sikap kita? Apakah kita akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja?Ramadhan juga adalah penentu takdir kita satu tahun kedepan, disaat itulah segala hal yang akan terjadi selama satu tahun kedepan di tetapkan, karenaya beruntunglah mereka yang di bulan Ramadhan ini telah menyiapkan proposal terbaiknya kepada Allah.Diiringi dengan spirit Ramadhan, kami mengucapkan“Selamat beribadah Ramadhan, mohon maaf atas segala khilaf dan kekurangan, semoga kita mendapatkan hikmah dan keberkahan yang melimpah selama bulan Ramadhan"
Aspek Hukum Komputerisasi Informasi Kesehatan
Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh sarana pelayanan kesehatannya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia (WMA) di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. copy rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima copy berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis read-only yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan keautentikannya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik? Cukupkah dengan PIN dan electronic signature? Undang undang Praktik Kedokteran No. 29/2004 meng isyaratkan demikian dalam Pasal 46 ayat (3). Secara formal hukum Indonesia belum mengatur admissibility dan dokumèn elektronik. Namun demikian hingga saat ini belum ada landasan hukum bagi informasi kesehatan elektronik, khususnya yang berkaitan dengan keabsahannya secara hukum, baik sebagai bukti hukum ataupun dalam lalu lintas informasi. Diharapkan revisi Peraturan mentri kesehatan tentang Rekam Medis dalam waktu dekat ini akan mengatur hal tersebut.
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat e-mail yang diberi tanda tangan (signature).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia (WMA) di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
- lnformasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personel yang berwenang.
- Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personel tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu.
- Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa izin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang orang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
- Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
- Terminal yang on line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. copy rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima copy berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis read-only yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan keautentikannya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik? Cukupkah dengan PIN dan electronic signature? Undang undang Praktik Kedokteran No. 29/2004 meng isyaratkan demikian dalam Pasal 46 ayat (3). Secara formal hukum Indonesia belum mengatur admissibility dan dokumèn elektronik. Namun demikian hingga saat ini belum ada landasan hukum bagi informasi kesehatan elektronik, khususnya yang berkaitan dengan keabsahannya secara hukum, baik sebagai bukti hukum ataupun dalam lalu lintas informasi. Diharapkan revisi Peraturan mentri kesehatan tentang Rekam Medis dalam waktu dekat ini akan mengatur hal tersebut.
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat e-mail yang diberi tanda tangan (signature).
Kamis, 28 Juli 2011
Penanganan Anestesi Untuk Pasien dengan Cedera Otak Traumatika Perdarahan Intra Cranial
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak).
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan klasifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal “.
B. TUJUAN PENULISAN
Pembuatan refran ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, anatomi, aplikasi klinis, klasifikasi, etiologi, fatofisiologi perdarahan intrakranial, serta memahami penanganan anastesi untuk pasien dengan cedera otak intrakranial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola pasien ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus axonal injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural hematom, subdural hematom, intracerebral hematom. Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi, curah jantung rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) kekacauan biokimi
B. ANATOMI
B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1. Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis interna.
b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.
B.2. Vasa Darah Otak
a. Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a. vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican posterior.
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina (mengikuti n. V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan.
b. Vena
Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :
- Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.
- Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
- Vv. Cerebellaris
- Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii.
Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii. Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan vv. Profunda di dalam otak.
C. MENIFESTASI KLINIS
Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.
D. KLAFISIKASI PERDAAHAN INTRAKRANIAN
D.1 EPIDURAL HEMATOMA
D.1.a. Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.
D.1.b Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea mediana
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
D.1.c. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
D.1.d. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
D.1.e. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
D.1.f. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
D.1.g. Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
- Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
- Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
- Mortalitas 20% -30%
- Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
- Sembuh tanpa defisit neurologik
- Hidup dalam kondisi status vegetatif
D.2 SUBDURAL HEMATOMA
D.2. a Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid'
D. 2. b Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah.
4. Terapi antikoagulan
D.2.c. Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens
D. 2.d. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
D. 2.e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
D.2.f. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).
D.2.g. Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM
D.3.a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
D.3.b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
D.3.c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
III.3.d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
D.3.e. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
- Nyeri kepala akut.
- Penurunan kesadaran.
- Ataksia
- Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
- Penurunan kesadaran koma.
- Tetraparesa
- Respirasi irreguler
- Pupil pint point
- Pireksia
- Gerakan mata diskonjugat.
D.3.f. Terapi umum
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
- Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa
E. PENANGANAN
Persiapan anastesi
1. Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300, mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.
2. Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.
3. Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra; 2008.
2. Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.
Sumber info
ANESTESIA PADA PASIEN EMERGENCY DENGAN RIWAYAT ASMA
Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat. Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency.Kemudian dilakukan general anestesi dengan tekhnik anestesi yang digunakan yaitu GETA.
KASUS
Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS pukul 09.42 dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency. Pada pemeriksaan didapatkan mata kanan tampak mata merah, berair, dan tampak corpal dikornea, konjungtiva tidak anemis dan ikterik.
Diagnosis
Penetrating injury, ASA II Mallampati I
Terapi
Tatalaksana Repair cornea emergency
Pasien tidak melalui proses preoperatif karena akan dilakukan operasi emergency yang tidak mungkin dilakukan persiapan emergency layaknya operasi elektif. Sebelum obat anestesi diberikan pasien tidak diberi premedikasi. Dilakukan Induksi dengan Propofol 100 mg. Teknik
GETA, ET no 7,5, menggunakan mayo, menggunakan cuff, kontrol respirasi.
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan pernapasannya. Pasien diberi anestesi inhalasi berupa halothan, N2O dan O2. Nadi rata-rata 120 x/menit.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete Score 9.
Program post operasi yaitu awasi vital sign dan kesadaran, pasien diposisikan tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar, jika pasien sudah sadar penuh boleh minum secara bertahap, terapi lain-lain sesuai dokter bedah, jika terdapat emergensi lapor dokter anestesi.
DISKUSI
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Anesthesia untuk pasien yang harus dibedah secara darurat mempunyai kekhususan karena keadaan umum pasiennya sangat bervariasi dari yang masih normal sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih dibebani lagi dengan adanya kelainan bedahnya. Tidak hanya sampai disini saja karena pemakaian obat-obatan juga dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesi.
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergency adalah (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra anesthesia yang lengkap (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah (3) lambung sering berisi cairan dan makanan (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk (5) menderita cedera ganda (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui (8) komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif.
Yang penting agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah kesiapannya dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Untuk persiapan pasiennya dengan mengurangi rasa takut dan gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situasi darurat. Walaupun hanya sebentar tapi penjelasan apa yang akan dilakukan akan banyak menolong untuk membuat pasien tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai, kadang-kadang pada pasien bedah darurat menderita juga penyakit lain yang belum terkontrol baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes.
Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik reversible bronchospasme. Dengan gejala dyspnea, wheezing expiratory dan batuk. Sampai saat ini patogenisis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan.
Penerapan Anastesi pada Pasien Asma
Kunjungan pra-anestesi dilakukan sekurang kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesi. Perkenalan dengan orangtua penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan umum, keaadaan fisik dan mental penderita.
a. Penilaian Prabedah / Pra Anastesi
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keaadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. Pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada sistem kardiopulmonal merupakan pemeriksaan klinis utama yang banyak membantu dalam penilaian penderia asma. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui frekuensi nafas, pola pernafasan, adanya wheezing/ronkhi.
Pemeriksaan EKG
Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung terutama gambaran EKG dapat pula mengetahhui adanya pengaruh fungsi paru.
Pemeriksaan Radiologis
Meliputi foto thorax dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan ini bukan untuk menilai gangguan fungsi paru tetapi penting untuk penunjang diagnosa penyakit paru, tanda-tanda hiperinflasi paru dan penyakit jantung kongestif, juga untuk membantu menetukan kelainan dirongga mediastinum(CT-scan).
Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah analisa gas darah.
Tes Faal Paru
· Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian “fronss for operation” seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik.
· Memakai spirometer.
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anaesteshesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan rasio anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik,psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
Persiapan Pre Operatif
Puasa
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Manajemen Perioperatif
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma, maka asma harus sudah terkontrol dan pasien tidak sedang menderita infeksi atau serangan mengi berat. Jika pasien memakan obat secara teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus diberikan pad pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan inhaler. 5
Bronchospasme dapat dirangsang oleh rasa cemas, nyeri, obat-obatan, intubasi endotrakeal, benda asing atau iritasi. Obat-obatan yang dikontraindikasin adalah:tubocurarrine dan anticolinesterase, pentotal, morphin, papaverin, trimethapan dan beta bloker.
Banyak obat-obatan yang bisa digunakan sebagai premidikasi seperti diazepam,petidin, prometazin dan atropine, diperkirakan bebas dari bronchospatik activity. Terapi bronchodilator dan steroid diteruskan.
Teknik Anestesi
Bila memungkinkan, pilih regional anestesi dengan blok rendah dengan continous epidural dengan lidocaine 1% (hanya analgesia) sehingga otot pernapasan tidak terganggu.
Jika diperlukan anestesi umum maka diberikan premedikasi dengan antihistamin seperti prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. Yang penting hindari laringoskopi dan intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan bronkospasme. Ketamin cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindarilah intubasi. Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan otot. Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Vecuronium mungkin diberikan sebagai relaksan otot yang baik karena tidak melepaskan histamin. Eter dan hallotan merupakan broncodilator yang baik, tetapi eter mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin(0,5 mg subkutan) bisa diberikan dengan aman (tapi hal ini berbahaya bila diberikan bersamaan dengan hallotan atau trikloretilen, karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin). Sebagai alternatif pengganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara pelan-pelan untuk dewasa ; obat ini cocok dengan semua obat inhalasi.
Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, lakukan ekstubasi dalam posisi miring dan dengan anestesi dalam, karena stimulasi laring dapat mengakibatkan bronkospasme.
d. Perawatan Post Operatif
Pemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).
KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Pada pasien asma pemberian ketorolac sebagai analgesik yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat dexamethason masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa dexamethason intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).
REFERENSI
1. Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, S., Dahlan, R. (1989). Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Sudoyo, Aru W.. (2006), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, R., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Akademi Keperawatan Anestesi Surabaya, 1998, Materi Kursus Penyegar Ilmu Anestesi.
5. Dobson, Michael B., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta.
6. Dr Michael Mercer. Anaesthesia For The Patient With Respiratory Disease, http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u12/u1212_01.htm
PENULIS
Eron Dowana Patria N, Program profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi & Reanimasi. RSUD Wirosaban, 2010.
Sumber berita
KASUS
Seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS pukul 09.42 dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Oleh dokter UGD, pasien dikonsulkan kedr. Sp. M. oleh dr. Sp. M pasien direncanakan untuk operasi emergency. Pada pemeriksaan didapatkan mata kanan tampak mata merah, berair, dan tampak corpal dikornea, konjungtiva tidak anemis dan ikterik.
Diagnosis
Penetrating injury, ASA II Mallampati I
Terapi
Tatalaksana Repair cornea emergency
Pasien tidak melalui proses preoperatif karena akan dilakukan operasi emergency yang tidak mungkin dilakukan persiapan emergency layaknya operasi elektif. Sebelum obat anestesi diberikan pasien tidak diberi premedikasi. Dilakukan Induksi dengan Propofol 100 mg. Teknik
GETA, ET no 7,5, menggunakan mayo, menggunakan cuff, kontrol respirasi.
Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan pernapasannya. Pasien diberi anestesi inhalasi berupa halothan, N2O dan O2. Nadi rata-rata 120 x/menit.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada pasien ini didapatkan Aldrete Score 9.
Program post operasi yaitu awasi vital sign dan kesadaran, pasien diposisikan tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar, jika pasien sudah sadar penuh boleh minum secara bertahap, terapi lain-lain sesuai dokter bedah, jika terdapat emergensi lapor dokter anestesi.
DISKUSI
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Anesthesia untuk pasien yang harus dibedah secara darurat mempunyai kekhususan karena keadaan umum pasiennya sangat bervariasi dari yang masih normal sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih dibebani lagi dengan adanya kelainan bedahnya. Tidak hanya sampai disini saja karena pemakaian obat-obatan juga dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesi.
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus emergency adalah (1) keterbatasan waktu untuk menevaluasi pra anesthesia yang lengkap (2) pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah (3) lambung sering berisi cairan dan makanan (4) sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum sering buruk (5) menderita cedera ganda (6) kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (7) riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui (8) komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif.
Yang penting agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses adalah kesiapannya dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Untuk persiapan pasiennya dengan mengurangi rasa takut dan gelisah sangat penting dan sering dilupakan pada situasi darurat. Walaupun hanya sebentar tapi penjelasan apa yang akan dilakukan akan banyak menolong untuk membuat pasien tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai, kadang-kadang pada pasien bedah darurat menderita juga penyakit lain yang belum terkontrol baik seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes.
Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik reversible bronchospasme. Dengan gejala dyspnea, wheezing expiratory dan batuk. Sampai saat ini patogenisis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan.
Penerapan Anastesi pada Pasien Asma
Kunjungan pra-anestesi dilakukan sekurang kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesi. Perkenalan dengan orangtua penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan umum, keaadaan fisik dan mental penderita.
a. Penilaian Prabedah / Pra Anastesi
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, misalnya : alergi, mual muntah, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keaadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien. Pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada sistem kardiopulmonal merupakan pemeriksaan klinis utama yang banyak membantu dalam penilaian penderia asma. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui frekuensi nafas, pola pernafasan, adanya wheezing/ronkhi.
Pemeriksaan EKG
Selain untuk mengetahui tentang keadaan / penyakit jantung terutama gambaran EKG dapat pula mengetahhui adanya pengaruh fungsi paru.
Pemeriksaan Radiologis
Meliputi foto thorax dan CT-scan (bila perlu). Pemeriksaan ini bukan untuk menilai gangguan fungsi paru tetapi penting untuk penunjang diagnosa penyakit paru, tanda-tanda hiperinflasi paru dan penyakit jantung kongestif, juga untuk membantu menetukan kelainan dirongga mediastinum(CT-scan).
Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah rutin, gula darah analisa gas darah.
Tes Faal Paru
· Tanpa alat : walaupun sederhana tapi dapat memberikan informasi mengenai fungsi pernafasan dan berguna sebagai penilaian “fronss for operation” seperti kemampuan naik tangga sambil bicara tanpa sesak nafas. Snider match test : kemampuan menahan nafas selama 30 detik.
· Memakai spirometer.
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anaesteshesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan rasio anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik,psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
Persiapan Pre Operatif
Puasa
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Manajemen Perioperatif
Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma, maka asma harus sudah terkontrol dan pasien tidak sedang menderita infeksi atau serangan mengi berat. Jika pasien memakan obat secara teratur, maka obat jangan dihentikan. Perhatian khusus harus diberikan pad pasien yang menggunakan steroid, secara sistemik atau dengan inhaler. 5
Bronchospasme dapat dirangsang oleh rasa cemas, nyeri, obat-obatan, intubasi endotrakeal, benda asing atau iritasi. Obat-obatan yang dikontraindikasin adalah:tubocurarrine dan anticolinesterase, pentotal, morphin, papaverin, trimethapan dan beta bloker.
Banyak obat-obatan yang bisa digunakan sebagai premidikasi seperti diazepam,petidin, prometazin dan atropine, diperkirakan bebas dari bronchospatik activity. Terapi bronchodilator dan steroid diteruskan.
Teknik Anestesi
Bila memungkinkan, pilih regional anestesi dengan blok rendah dengan continous epidural dengan lidocaine 1% (hanya analgesia) sehingga otot pernapasan tidak terganggu.
Jika diperlukan anestesi umum maka diberikan premedikasi dengan antihistamin seperti prometazin bersama dengan hidrokortison 100 mg. Yang penting hindari laringoskopi dan intubasi dengan anestesi yang dangkal, karena dapat menyebabkan bronkospasme. Ketamin cukup baik untuk induksi intravena, karena bersifat bronkodilator. Untuk tindakan singkat, sebaiknya gunakan teknik masker wajah setelah induksi dan hindarilah intubasi. Gunakan oksigen dengan konsentrasi 30% atau lebih untuk udara inspirasi. Jika dibutuhkan intubasi, maka perdalam anestesi dengan inhalasi, kemudian lakukan intubasi tanpa relaksan otot. Pada pasien yang dianestesi dalam dapat dilakukan laringoskopi tanpa menyebabkan bronkospasme bila diintubasi. Vecuronium mungkin diberikan sebagai relaksan otot yang baik karena tidak melepaskan histamin. Eter dan hallotan merupakan broncodilator yang baik, tetapi eter mempunyai kelebihan, yaitu bila terjadi bronkospasme, epinefrin(0,5 mg subkutan) bisa diberikan dengan aman (tapi hal ini berbahaya bila diberikan bersamaan dengan hallotan atau trikloretilen, karena dapat menyebabkan gangguan irama jantung akibat efek katekolamin). Sebagai alternatif pengganti epinefrin, dapat diberikan aminofilin 250 mg intravena secara pelan-pelan untuk dewasa ; obat ini cocok dengan semua obat inhalasi.
Pada akhir tindakan bila memakai intubasi, lakukan ekstubasi dalam posisi miring dan dengan anestesi dalam, karena stimulasi laring dapat mengakibatkan bronkospasme.
d. Perawatan Post Operatif
Pemberian analgesia yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat anti asma masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa steroid intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).
KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang pasien wanita umur 14 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan mata kanan tertusuk pensil oleh temannya. Pasien tidak pingsan. Pasien direncanakan untuk operasi emergency. Agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan sukses dibutuhkan kesiapan dalam menangani kejadian yang akut dan berat. Termasuk dalam hal ini kesiapan alat dan kamar operasi dan kesiapan prosedur dasar tindakan pertolongan gawat darurat.
Pada pasien asma pemberian ketorolac sebagai analgesik yang adekuat merupakan perawatan post operatif yang vital. Oksigenasi adekuat. Maintenance cairan melalui intravena. Biasanya obat dexamethason masih diperlukan. Obat yang diberikan berupa dexamethason intravena sebagai pengganti sementara obat oral dan brokodilator nebulizer sebagai pengganti inhaler jika pasien tidak dapat bernafas dalam, atau fungsi paru belum maksimal setelah pembedahan. Bila terjadi kegagalan pencapaian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat pasca pembedahan maka pasien dipindahkan keruang perawatan intensif (ICU).
REFERENSI
1. Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, S., Dahlan, R. (1989). Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Sudoyo, Aru W.. (2006), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, R., 2007, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Akademi Keperawatan Anestesi Surabaya, 1998, Materi Kursus Penyegar Ilmu Anestesi.
5. Dobson, Michael B., 1994, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta.
6. Dr Michael Mercer. Anaesthesia For The Patient With Respiratory Disease, http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u12/u1212_01.htm
PENULIS
Eron Dowana Patria N, Program profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi & Reanimasi. RSUD Wirosaban, 2010.
Sumber berita
Spinal Anestesi pada Sectio Caesaria Emergency pada Pasien Eklampsia
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Untuk operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorium, serta persiapan operasinya. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini. Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi.Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea. Pasien wanita, 22 tahun, G1-P0-A0, datang dengan Hamil cukup bulan, merasa kenceng2 teratur dan terus menerus sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat diperiksakan di bidan tekanan darahnya tinggi.
Riwayat obstetri: G1-P0-A0, HPHT 30 April 2009, HPL 7 Februari 2010, Umur kehamilan 39 6/7. ANC rutin di bidan à ada riwayat hipertensi selama pemeriksaan rutin 3 bulan terakhir, riwayat kejang (-). BB: 60 kg
Respiration rate : 20 x/menit, reguler, torakoabdominal
Suhu : 36,3ºC per axilla
2. Anestesi yang diberikan
Teknik : anestesi spinal dengan posisi duduk membungkuk
5. Terapi yang diberikan
· Puasa 8 jam
· diet bebas
· Analgesik antrain injeksi 1 gram/8 jam
Jika tensi ≤ 90 mmHg à injeksi ephedrin 10 mg i.v.
Pada pre-eklampsia terjadi spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasmus yang hebat dari arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasmus, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin disebabkan oleh retensi air dan garam. proteinuri mungkin disebabkan oleh spasmus Arteriola sehingga terjadi perubahan glomerulus.
Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea.
2. Anestesia yang aman / terpilih adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila risiko anestesi terlalu tinggi.
Pilihan anestesi spinal pada eklamsia kurang begitu dianjurkan, dengan alasan:
1. Pada spinal anestesi, hemodimanik akan bergejolak dan cenderung turun padahal looding cairan harus dibatasi karena resiko terjadi odema paru
2. Pada eklampsi pasti pasien sudah ada kejang à TIK meningkat. Spinal anestesi sangat tak dianjurkan pada peningkatan TIK.
3. Pada pasien PEB/ EB biasanya pasien sudah diberi MgSO4 oleh spesialis obsgin, obat ini potensiasi dengan relaxan à kurangi dosis karena dosis normal akan berefek lbh panjang kelumpuhan ototnya.
Harus diperhatikan resiko HELLP Syndrom sebagai salah satu efek PEB/ EB. Jika dilakukan anestesi spinal dan terjadi epidural hematoma, maka blok akan ireversibel.Kecuali sebelum 7 jam dan diketahui dg pemeriksaan MRI atau CT scan dan langsung dilakukan laminektomi maka blok bisa reversibel.
Pada kasus ini, pasien sudah mengalami episode kejang yang berarti bahwa pasien ini sudah masuk dalam kategori eklampsia. Persalinan pada pasien ini harus terjadi dalam waktu 6 jam.Ooleh karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk menjalani persalinan secara normal, maka terminasi kehamilan dilakukan dengan cara seksio sersaria emergensi. Penggunaan teknik anestesi harus ditentukan sesuai dengan kondisi pasien. Pada pasien ini jika dilakukan general anestesi dapat menyebabkan depresi pernafasan yang sangat berbahaya bagi ibu, sehingga dilakukan spinal anestesi, dengan catatan pasien harus benar-benar dimonitor selama pemberian anestesi, karena pasien ini berada dalam status fisik ASA III.
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi.Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea.
1. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5
2. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.
3. Latief, dkk.2001.Petunjuk Praktis Anestesi. Penerbit FK UI : Jakarta
4. Morgan, G. Edward, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2007. Clinical Anesthesiology. 4th edition. The McGraw-Hill Companies: Philadelphia
5. Rasad, dkk.1989. Anestesiologi. CV Infomedika : Jakarta
6. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/158_08Prokontrapenangananaktifeklampsia.pdf/158_08Prokontrapenangananaktifeklampsia.html
Sumber berita
KASUS
Riwayat Penyakit Sekarang
5Februari 2010 jam 06.00
Pasien merasa perutnya kenceng-kenceng teratur, lalu pergi ke bidan karena merasa bahwa dirinya akan segera melahirkan.5Februari 2010 jam 15.20
Pasien datang ke bagian kebidanan RSUD Temanggung dirujuk oleh bidan Kalin karena tekanan darah tinggi (pre eklampsia), belum mengeluarkan air ketuban.Riwayat obstetri: G1-P0-A0, HPHT 30 April 2009, HPL 7 Februari 2010, Umur kehamilan 39 6/7. ANC rutin di bidan à ada riwayat hipertensi selama pemeriksaan rutin 3 bulan terakhir, riwayat kejang (-). BB: 60 kg
5Februari 2010 jam 21.40
Pasien kejang, kesadaran somnolen, TD terukur 190/120 mmHg, Nadi 132 bpm, suhu 36,5°C, 6Februari 2010 jam 03.00
Kulit ketuban pecah, nampak air ketubah keruh. Pada VT V/U tenang, Ø 6-7 cm, portio tipis lunak. His 2x/10’/30”, DJJ 152x/menit, KU sedang, kesadaran somnolen, TD terukur 140/110 mmHg, Nadi 132 bpm, suhu 36,5°C, kejang (-), 6Februari 2010 jam 06.00
Ku baik, kesadaran compos mentis, Pada VT V/U tenang, Ø 6-7 cm, portio tipis lunak. His 2x/10’/30”, DJJ 148x/menit, KU sedang, kesadaran somnolen, TD terukur 110/80 mmHg, suhu 36,5°C, kejang (-). Riwayat Penyakit Dahulu
Pasientidak memiliki riwayat sakit asma, belum pernah menjalani operasi sebelumnya, tidak memiliki riwayat trauma, hipertensi, diabetes melitus, jantung (-), dan penyakit kronik lain. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan. Dan tidak ada riwayat kejang sebelumnya.Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga OS tidak ada yang memiliki riwayat sakit asma, hipertensi, jantung, diabetes melitus, maupun riwayat alergi.DIAGNOSIS
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis dari penderita adalah Eklampsia pada G1-P0-A0 inpartu kala I fase laten dengan status anestesi Pasien fisik ASA III.TERAPI
Pasien ini dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria emergency menggunakan spinal anestesi.TINDAKAN ANESTESI
1. Keadaan pre-operasi (5Februari 2010)Tekanan darah : 170/100 mmHg
Nadi : 96 bpm, reguler, isi dan tegangan cukupRespiration rate : 20 x/menit, reguler, torakoabdominal
Suhu : 36,3ºC per axilla
2. Anestesi yang diberikan
Teknik : anestesi spinal dengan posisi duduk membungkuk
Premedikasi : -
Induksi : Bupivacain spinal 12,5 %Maintenance : O2
3. Prognosis anestesiSanam : dubia
Vitam : dubia
Fungsional : dubia
4. Keadaan post-operasi (6Februari 2010)Keadaan Umum : Cukup
Tekanan Darah : 160/110 mmHg
Nadi : 124 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,30 C
Nyeri daerah op (+), gelisah (-),mual(-), muntah (-), sakit kepala (-)5. Terapi yang diberikan
Pre-operasi
· Infus RL 24 tpm makro drip· Puasa 8 jam
Post-operasi (cairan)
· Infus RL 24 tpm makro drips· diet bebas
Post-operasi (khusus)
· Oksigenasi sampai sadar penuh· Analgesik antrain injeksi 1 gram/8 jam
Jika tensi ≤ 90 mmHg à injeksi ephedrin 10 mg i.v.
DISKUSI
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. Superimposed preeclampsia-eklampsia adalah timbulnya preeklampsia atau eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik. Pada pre-eklampsia terjadi spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasmus yang hebat dari arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasmus, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin disebabkan oleh retensi air dan garam. proteinuri mungkin disebabkan oleh spasmus Arteriola sehingga terjadi perubahan glomerulus.
Perubahan pada organ-organ:
1. Perubahan pada otak
Pada pre-eklampsi aliran darah dan pemakaian oksigen tetap dalam batas-batasn ormal. Pada eklampsi, resistensi pembuluh darah meninggi, ini terjadi pula pada pembuluh darah otak. Edema terjadi pada otak yang dapat menimbulkan kelainan serebral dan kelainan pada visus. Bahkan pada keadaan lanjut dapat terjadi perdarahan.2. Perubahan pada uri dan rahim
Aliran darah menurun ke plasenta menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada pre-eklampsi dan eklampsi sering terjadi bahwa tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan meningkat maka terjadilah partus prematurus.3. Perubahan pada ginjal
Filtrasi glomerulus berkurang oleh karena aliran ke ginjal kurang. Hal ini menyebabkan filfrasi natrium melalui glomerulus menurun, sebagai akibatnya terjadilah retensi garam dan air. Filnasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari normal sehingga pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria dan anuria.4. Perubahan pada paru-paru
Kematian wanita pada pre-eklampsi dan eklampsi biasanya disebabkan oleh edema paru. Ini disebabkan oleh adanya dekompensasi kordis. Bisa pula karena terjadinya aspires pnemonia. Kadang-kadang ditemukan abses paru.5. Perubahan pada mata
Dapat ditemukan adanya edema retina spasmus pembuluh darah. Bila ini dijumpai adalah sebagai tanda pre-eklampsi berat. Pada eklampsi dapat terjadi ablasio retinae, disebabkan edema intra-okuler dan hal ini adalah penderita berat yang merupakan salah satu indikasi untuk terminasi kehamilan. Suatu gejala lain yang dapat menunjukkan arah atau tanda dari pre-eklampsi berat akan terjadi eklampsi adalah adanya: skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.6. Perubahan pada keseimbangan air dan elektrolit
Pada pre-eklampsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan nyata pada metabolisme air, elektrolit, kristaloid dan protein serum. Dan tidak terjadi ketidakseimbangan elektrolit. Gula darah,bikarbonasn atrikusd an pH normal. Pada pre-eklampsi berat dan pada eklampsi : kadar gula darah naik sementara asam laktat dan asam organik lainnya naik sehingga cadangan alkali akan turun. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh kejang-kejang. Setelah konvulsi selesai zat-zat organik dioksidasi sehingga natrium dilepas lalu bereaksi dengan karbonik sehingga terbentuk bikarbonas natrikus. Dengan begitu cadangan alkali dapat kembali pulih normal.Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa:
1. Tidak terdapat koagulopati (koagulopati merupakan kontra indikasi anestesi spinal).2. Anestesia yang aman / terpilih adalah anestesia umum untuk eklampsia dan spinal untuk PEB. Dilakukan anestesia lokal, bila risiko anestesi terlalu tinggi.
1. Pada spinal anestesi, hemodimanik akan bergejolak dan cenderung turun padahal looding cairan harus dibatasi karena resiko terjadi odema paru
2. Pada eklampsi pasti pasien sudah ada kejang à TIK meningkat. Spinal anestesi sangat tak dianjurkan pada peningkatan TIK.
3. Pada pasien PEB/ EB biasanya pasien sudah diberi MgSO4 oleh spesialis obsgin, obat ini potensiasi dengan relaxan à kurangi dosis karena dosis normal akan berefek lbh panjang kelumpuhan ototnya.
Harus diperhatikan resiko HELLP Syndrom sebagai salah satu efek PEB/ EB. Jika dilakukan anestesi spinal dan terjadi epidural hematoma, maka blok akan ireversibel.Kecuali sebelum 7 jam dan diketahui dg pemeriksaan MRI atau CT scan dan langsung dilakukan laminektomi maka blok bisa reversibel.
Pada kasus ini, pasien sudah mengalami episode kejang yang berarti bahwa pasien ini sudah masuk dalam kategori eklampsia. Persalinan pada pasien ini harus terjadi dalam waktu 6 jam.Ooleh karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk menjalani persalinan secara normal, maka terminasi kehamilan dilakukan dengan cara seksio sersaria emergensi. Penggunaan teknik anestesi harus ditentukan sesuai dengan kondisi pasien. Pada pasien ini jika dilakukan general anestesi dapat menyebabkan depresi pernafasan yang sangat berbahaya bagi ibu, sehingga dilakukan spinal anestesi, dengan catatan pasien harus benar-benar dimonitor selama pemberian anestesi, karena pasien ini berada dalam status fisik ASA III.
KESIMPULAN
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Untuk operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk pemeriksaan klinik dan laboratorium, serta persiapan operasinya. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang intervensi bedah gawat darurat ini.Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeclampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi.Pada preeklampsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia dalam 6 jam sejak gejala eklampsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea.
KEPUSTAKAAN
2. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.
3. Latief, dkk.2001.Petunjuk Praktis Anestesi. Penerbit FK UI : Jakarta
4. Morgan, G. Edward, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2007. Clinical Anesthesiology. 4th edition. The McGraw-Hill Companies: Philadelphia
5. Rasad, dkk.1989. Anestesiologi. CV Infomedika : Jakarta
6. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/158_08Prokontrapenangananaktifeklampsia.pdf/158_08Prokontrapenangananaktifeklampsia.html
PENULIS:
Ciptaning Sari Dewi Kartika
RSUD Temanggung
Bagian AnestesiSumber berita
Langganan:
Postingan (Atom)