Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, ilmu bedah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ilmu bedah di Indonesia dapat dilihat dari kemampuan ahli-ahli bedahnya yang merupakan produk dari program pendidikan dokter spesialis bedah. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan dokter spesialis ilmu bedah berperan penting dalam berkembangnya ilmu bedah di Indonesia. Saat ini, ilmu bedah di Indonesia sedang mengalami berbagai tuntutan. Tim Warta PIT IKABI XVIII berkesempatan untuk berbincang dengan Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB(K)BD, guru besar Ilmu Bedah dari FKUI/RSCM.
Menurut Prof. Sjamsuhidajat, kolegium Ilmu Bedah sebagai penyusun kurikulum pendidikan dokter spesialis bedah harus memiliki pandangan dan wawasan yang jauh ke depan. Di satu sisi, perkembangan ilmu bedah di Indonesia saat ini masih kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Apabila kita mengejar perkembangan ilmu untuk dapat bersaing dengan luar negeri, mungkin tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk rakyat Indonesia yang memiliki kebutuhan berbeda. Namun di sisi lain apabila kita bertahan dengan kurikulum konvensional, sebagian masyarakat yang cerdas dan kaya tentunya akan mencari pengobatan ke luar negeri karena menganggap kompetensi dokter bedah Indonesia tertinggal dari negara-negara lain. Hal ini menjadi beban ganda yang harus dipikirkan oleh Kolegium Ilmu Bedah.
Pria yang lahir di Kepulauan Riau 80 tahun yang lalu ini berpendapat bahwa Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) memiliki peran dalam menentukan akan mendidik spesialis bedah yang seperti apa. Idealnya, kita dapat menyejajarkan ilmu kita dengan negara-negara lain, karena dengan begitu uang rakyat Indonesia tidak lari ke luar negeri dan dengan semakin banyaknya kasus ilmu kita akan lebih cepat berkembang. Namun hal ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan rakyat Indonesia pada umumnya. Untuk dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut dapat dibuat suatu kurikulum baru, meskipun mungkin masa pendidikan akan menjadi lebih lama.
Kemudian, menurut pria yang memperoleh gelar Guru Besar Emeritus FKUI pada tahun 2001 ini, apabila kita ingin pendidikan ilmu bedah kita lebih maju, kurikulum kita seharusnya bercermin pada kurikulum yang ada di luar. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kurikulum di negara-negara tersebut bisa kita pelajari dan bisa diterapkan di Indonesia. Ini merupakan suatu hal yang sangat sulit. Salah satu potensi hambatan di Indonesia yaitu sistem pembiayaan kesehatan kita yang masih menggunakan fee for service. Dengan sistem ini, dokter yang lebih banyak melakukan tindakan akan mendapatkan bayaran yang lebih banyak juga sehingga terdapat perebutan lahan antara subspesialis dengan bedah umum. Spesialis bedah umum di luar negeri memiliki kewenangan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih subspesialistik, namun di Indonesia masih terdapat kesan bahwa subdivisi masih belum rela memberikan kemampuan yang lebih tinggi pada spesialis bedah umumnya. IKABI dapat memberikan masukan pada pemerintah untuk memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan agar menjadi lebih baik. Apabila dokter diberikan gaji yang memadai setiap bulannya tanpa melihat banyaknya jumlah operasi yang dilakukan, maka diharapkan para subspesialis merelakan dokter bedah umum melakukan tindakan-tindakan yang lebih tinggi, dan dengan demikian ilmu bedah di Indonesia akan semakin berkembang.