Saat ini kita sedang menghadapi jaman globalisasi dengan dampak positif dan negatifnya. Dampak positif dari globalisasi yang kita rasakan antara lain semakin cepatnya penyampaian informasi sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan cepat dan batas-batas antar negara sudah semakin tipis. Namun di sisi lain muncul dampak negatif bagi kita sebagai penyedia layanan kesehatan yaitu akan semakin ketatnya persaingan dengan dokter asing yang mulai berdatangan ke Indonesia. Tim Warta PIT IKABI beruntung dapat berincang dengan Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB(K)BD dan Prof. dr. Paul Tahalele, SpBTKV(K), PhD, FCTS, dua guru besar ilmu bedah Indonesia yang terlibat aktif dalam kesepakatan bersama para praktisi medis di negara-negara ASEAN.
Berdasarkan penuturan Profesor Sjamsuhidajat, pada bulan Februari tahun 2009, para Menteri Perdagangan sepuluh negara di ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam) menandatangani ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Profession (MRA MP), suatu konsep yang digunakan ASEAN untuk mendukung rejim perdagangan bebas ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Di antara sepuluh negara tersebut, hanya lima negara yang telah memiliki kurikulum baku dan terstandar dengan baik sehingga langkah-langkah MRA akan dilakukan dengan lima negara tersebut saja (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand). Kesepakatan ini seharusnya sudah mulai dilaksanakan pada bulan Agustus 2009, namun pelaksanaannya masih boleh ditunda hingga Januari 2010.
Profesor Paul menjabarkan langkah-langkah pelaksanaan MRA MP yaitu:
1. Menyepakati sekretariat bersama ASEAN yang berkedudukan di Filipina dan diketuai oleh Prof. Jose Pina. Pertemuan itu disepakati pada tanggal 12 Mei di Sebu City, Filipina Selatan. Sebulan berikutnya pertemuan diadakan di Kuching, Malaysia. Disepakati bahwa masing-masing negara menyiapkan kurikulum dan katalog ilmu bedah dalam bahasa Inggris dan akan dibicarakan di dalam pertemuan di Pataya tanggal 12-16 Juli 2011. Pada pertemuan tersebut akan dicari kesamaan dari kurikulum masing-masing negara ASEAN ini. Kemungkinan besar akan terbentuk kurikulum ilmu bedah ASEAN sehingga lulusan yang dihasilkan masing-masing negara dapat disetarakan.
2. Saling kunjung staf pengajar dan pendidik untuk melihat kegiatan pembelajaran dan training residen ilmu bedah.
3. Tahap tukar-menukar trainee/residen dengan waktu yang lebih panjang.
Kolegium Ilmu Bedah Indonesia sudah mengikuti pertemuan-pertemuan MRA MP sebanyak enam kali namun belum banyak yang dihasilkan pada tiga pertemuan pertama di tahun 2010. Pada bulan Desember 2010 dilakukan pertemuan bilateral di Singapura dan didapatkan kesepakatan tertulis antara Kolegium Ilmu Bedah Indonesia (diwakili oleh Prof. Sjamsuhidajat dan Prof. Aryono D Pusponegoro) dengan Ketua Kolegium Ilmu Bedah di Singapura. Diharapkan pertemuan ini dapat dilanjutkan hingga tahap berikutnya dan juga dilakukan dengan tiga negara lainnya. Lebih lanjut, Profesor Sjamsuhidajat berpendapat bahwa apabila diadakan ujian bersama maka akan dapat diketahui mutu dari masing-masing lulusan.
Masuknya dokter asing ke Indonesia dan sebaliknya baru dapat dilakukan setelah melalui proses tersebut. Apabila kemampuan dokter yang akan masuk ke suatu negara telah dinyatakan setara dengan dokter-dokter di negara tersebut, maka dokter yang akan masuk boleh melamar kerja dengan mengikuti prosedur yang berlaku di negara tersebut. Misalnya, dokter asing yang akan bekerja di Indonesia kemampuannya harus diakui oleh kolegium dulu sebelum meminta Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia. Setelah didapatkan STR, maka dokter tersebut juga tetap harus mengurus SIP ke Dinas Kesehatan setempat. Intinya adalah, dokter asing yang ingin bekerja di Indonesia dipersilakan melamar dengan mengikuti prosedur standar, namun tidak ada jaminan pasti akan mendapatkan pekerjaan. Hal ini juga tergantung dari proses seleksi pihak RS yang akan mempekerjakan. Dengan proses yang cukup ketat dan adil tersebut, diharapkan kehadiran dokter asing tidak menjadi ancaman bagi dokter Indonesia, namun justru menjadi pemicu yang dapat meningkatkan daya saing.
Menurut Profesor Paul, ada beberapa keuntungan masuknya dokter asing di Indonesia yaitu kita dapat bersaing secara sehat, dapat mengukur kemampuan, dan pasien yang dilayani pun akan merasa diuntungkan. Guru Besar FK Unair yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman ini juga mengungkapkan bahwa negara kita memang masih kekurangan dokter spesialis bedah. Di Indonesia, sekitar 2200 dokter spesialis bedah melayani sebanyak 240 juta penduduk sedangkan di Filipina, 3000 orang dokter spesialis bedahnya hanya melayani sekitar 30 juta penduduk. Tidak hanya kekurangan, namun juga terdapat masalah pendistribusian dokter yang kurang baik. Mantan ketua PABI yang saat ini menjadi Presiden Terpilih IKABI ini juga berharap bahwa pemerintah dapat mengusahakan hal-hal yang dapat menarik para dokter spesialis bedah untuk bekerja di daerah, yaitu:
1. Gaji/insentif perlu lebih diperhatikan. Selain itu juga hendaknya diberikan fasilitas yang memadai seperti rumah dinas dan kendaraan.
2. Buat rotasi penempatan dengan baik dan Kemenkes RI hendaknya bekerjasama dengan organisasi profesi dan kolegium.
Dengan semakin berkembangnya komunikasi, globalisasi adalah suatu keniscayaan. Arus globalisasi yang semakin deras akan berimbas pada bidang kedokteran. Pada akhirnya, agar kita siap menghadapi tantangan globalisasi dibutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak seperti pemerintah, Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, organisasi-organisasi profesi ilmu bedah, dan juga para dokter spesialis bedah secara individu. Mari kita sambut tantangan ini dengan bersemangat!