Kamis, 07 Juli 2011
Sosok: Prof. DR. Dr. Aryono D. Pusponegoro Sp.B(K)-BD
Guru besar FKUI yang biasa disapa Prof. Aryo adalah orang yang sangat memperhatikan pendidikan ilmu bedah dan kegawatdaruratan di Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikan dokter umum dari Universitas Carolina Pragnesis, Praha, Cekoslovakia, beliau melanjutkan pendidikan spesialis bedah umum dan bedah digestif di FKUI. Prof Aryo mengakui sangat menyukai bidang kegawatdaruratan sejak Kongres di Bandung tahun 1969. Pada kongres tersebut guru-guru beliau, di antaranya Prof. Djamaloedin pertama kali mencetuskan pentingnya perawatan pra- Rumah Sakit. Sejak saat itu beliau selalu berusaha memperbaiki dan memajukan pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia. Bahkan Ketua AGD 118 Jakarta ini, membawa pidato mengenai sumbangan ilmu bedah digestif pada penanggulangan trauma berat abdomen pada pengukuhan dirinya menjadi guru besar FKUI.
Prof. Aryo dikenal sebagai guru yang sangat terbuka. Ini dapat dilihat dari pendapat beliau tentang pendidikan ilmu bedah saat ini. Beliau sangat menghargai dokter-dokter dari luar negeri yang masih muda tetapi sudah menjadi ahli pada suatu bidang. Beliau melihat bahwa ini disebabkan karena pendidikan kedokteran di luar negeri berorientasi organ. Sedangkan di Indonesia, pendidikan kedokteran terutama spesialis masih terlalu luas sehingga tidak ada penguasaan organ yang mendalam. Prof. Aryo berpendapat pendidikan kedokteran di Indonesia harus mulai “re-organize” mengikuti luar negeri. Prof. Aryo memakai contoh negara tetangga Malaysia dan Singapura yang mau mengikuti pelatihan ke luar dari negara mereka. Prof. Aryo ingin Indonesia juga mengejar kedua negara tersebut karena seperti kita ketahui pada tingkat ASEAN sudah disetujui kesamaan kurikulum pendidikan. Beliau juga mengajak semua peserta didik baik kedokteran umum maupun spesialis untuk mau terbuka dan berusaha mencari peluang beasiswa dari luar negeri. Lebih lanjut mengenai hal ini, Prof. Aryo menambahkan pendapat mengenai dokter asing yang akan bekerja di Indonesia, beliau sangat menerima dokter-dokter tersebut karena akan meningkatkan pelayanan terhadap seluruh masyarakat. Tetapi Prof. Aryo menambahkan bahwa untuk mencapai pemerataan pelayanan pada seluruh masyarakat harus diimbangi dengan usaha pemerintah dalam hal pemerataan ekonomi.
Prof. Aryo memandang bahwa kasus trauma adalah “silent disaster” sesuai dengan judul buku yang akan diluncurkan hari ini. Prof. Aryo berpandangan seperti ini karena di Jakarta polisi melaporkan jumlah korban tewas karena kecelakaan sekitar 500-600 orang/ tahun, sedangkan di kamar jenazah data jumlah korban kecelakaan sekitar 1000-1500 orang/tahun. Ini disebabkan masyarakat yang kurang memperhatikan keselamatan, buruknya pelayanan pra-Rumah Sakit dan pelayanan kegawatdaruratan. Beliau selalu membandingkan kecepatan ambulans dengan pesan antar restoran cepat saji, betapa lebih murahnya nyawa kita dibandingkan harga makanan. Prof. Aryo sudah banyak berusaha memperbaiki sistem ini melalui pendidikan ATLS, AGD 118, dan pelatihan lainnya. Banyak tantangan dan hambatan yang beliau hadapi dalam memajukan pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia, tetapi beliau masih terus gigih berusaha hingga sekarang. Jika tertarik dengan perkembangan kegawatdaruratan di Indonesia, tidak salah jika mencoba menjadikan buku “The Silent Disaster, Korban Massal, dan Bencana” sebagai salah satu sumber referensi.