Epilepsi merupakan masalah penting baik dipandang dari sudut ilmu kedokteran maupun sosial, diperkirakan bahwa diseluruh dunia terdapat lebih dari dua puluh juta orang dengan epilepsi, akan tetapi hanya sebagian kecil para penderita tersebut yang telah dapat menikmati pengobatan secara optimal.
Walaupun belum pernah dilakukan penyelidikan epidemiologis tentang epilepsi di Indonesia, tetapi dapat dikatakan bahwa epilepsi tidak jarang dijumpai dalam masyarakat. Jika dipakai angka-angka prevalensi dan insidensi epilepsi yang didapatkan dalam kepustakaan yakni untuk prevalensi 5-10 % dan insidensi 0,5 %, maka dapat diduga bahwa di Indonesia yang berpenduduk sekitar 180 juta orang, minimal 900.000 – 1.800.000 orang dengan epilepsi. Sedangkan insidensinya ada 90.000 kasus baru epilepsi tiap tahun. Angka-angka tersebut mungkin belum mengejutkan jika dibandingkan dengan angka prevalensi penyakit-penyakit lain yang terdapat di Indonesia, namun angka tersebut cukup memprihatinkan. Terutama bila para penderita tidak ditangani dengan baik sehingga menimbulkan masalah sosial dan menjadi beban bagi keluarganya dan masyarakat.1
Epilepsi berasal dari kata Yunani “Epilambarein” yang kurang lebih berarti “ sesuatu yang menimpa orang dari luar sehingga ia jatuh”. Kata tersebut mencerminkan anggapan dahulu, bahwa serangan epilepsi bukan suatu penyakit akan tetapi disebabkan oleh sesuatu dari luar badan si penderita, yakni kutukan oleh roh jahat atau setan yang menimpa penderita. Anggapan demikian juga masih terdapat dewasa ini, terutama dalam masyarakat yang belum terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Epilepsi sudah dikenal sekitar 2000 tahun sebelum masehi di daratan Cina, namun Hipocrates-lah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit. Ia menganggap epilepsi sabagai akibat penyakit otak yang disebabkan oleh berbagai keadaan yang bisa dipahami dan bukan sebagai kekuatan gaib. Salah satu definisi epilepsi zaman purbakala berbunyi “epilepsi kejang seluruh badan disertai gangguan fungsi luhur”.
Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismalyang berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebralsecara eksesif. Tergantung pada jenis gangguan dan daerah serebralyang secara berkala melepaskan muatan listriknya, maka terdapatlah berbagai jenis epilepsi. Jika daerah korteks visual yang melepaskan gaya epileptiknya, maka serangan epileptik yang bangkit terdiri dari terlihatnya skotoma-skotoma, bila neuron-neuron kortek motorik yang melepaskan muatan listrik mereka secara eksesif, maka timbulah serangan gerakan involunter.2
Patofisiologi Epilepsi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Pada umumnya hubungan antar neuronterjalin dengan impuls listrik dan dengan bantuan zat kimia yang secara umum disebut neurotransmiter. Hasil akhir dari komunikasi antara neuron ini tergantung pada fungsi dasar dari neuron tersebut. Dalam keadaan normal lalu-lintas impulsantar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Namun demikian bisa juga terjadi bahwa sebagian dari neuron bereaksi secara abnormal. Hal ini misalnya terjadi apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas impuls antar neuron kacau bila breaking sistem dari otak mengalami gangguan, antara lain yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah neurotransmiterkelompok glutamat (yang mendorong kearah aktifitas berlebihan; exitatory) dan kelompok GABA (Gamma Amino Butyric Acid, yang bersifat menghambat: inhibitory).5
Kejang epileptik, apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls yang berlebihan didalam otak yang tidak mengikuti pola normal. Terjadi apa yang disebut dengan sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi bisa terjadi hanya pada sekelompok kecil neuronsaja, atau kelompok yang lebih besar, atau malahan meliputi seluruh otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuronyang ikut dalam proses sinkronisasi ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptiknya.
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, terbagi atas:
Epilepsi Partial (Fokal), yang berasal dari daerah tertentu dalam otak.
Epilepsi ini dibagi menjadi:
Epilepsi Partial Sederhana.
Epilepsi Partial Kompleks
Epilepsi Partial Sekunder.
Epilepsi Umum Primer yang sejak awal seluruh otak terlibat secara bersamaan. Epilepsi ini dibagi menjadi:
Tonik-klonik
Lena
Mioklonik
Tonik
Klonik
Atonik
3. Epilepsi yang tak terklasifikasikan
Epilepsi Grand Mal
Inti thalamus digaris tengah dekat centrum medianumyang dikenal sebagai centren chepalic dapat bertindak sebagai fokus epileptogenik yang membangkitkan serangan epilepsi umum. Dalam hal ini, serangan epilepsi umum tidak didahului oleh aura. Bagaimana inti centren chepalic dirangsang sehingga pada waktu-waktu tertentu bertindak sebagai fokus epileptogenik belum diketahui. Maka Epilepsi umum yang bangkit karena lepas muatan listrik yang berasal dari inti centren chepalic dinamakan epilepsi umum idiopatik atau grand mal.
Serangan epilepsi yang dikenal sebagai grand mal adalah sebagai berikut. Secara tiba-tiba penderita jatuh sambil mengeluarkan jeritan atau teriakan. Untuk sejenak pernafasan berhenti dan seluruh tubuh menjadi kaku, kemudian bangkit gerakan-gerakan yang dinamakan tonik-klonik. Apa yang dimaksud dengan itu ialah gerakan toniksejenak diselingi oleh gerakan relaksasi, sehingga selama serangan grand mal lengan dan tungkai tetap dalam sikap lurus namun secara ritmik terjadi fleksi ringan dan ekstensi kuat pada semua persendian anggota gerak, juga otot wajah. Dan badan melakukan gerakan tonik yang diselingi dengan relaksasi sejenak secara ritmik. Gerakan tonik itu kuat sekali, sehingga tulang dapat patah dan bibir atau lidah dapat tergigit sampai terputus. Kesadaran hilang pada saat penderita terjatuh. Air kemih dikeluarkan karena kontraksi tonik involunter dan air liur yang berbusa keluar dari mulut hasil kontraksi tonik-klonikotot-otot wajah, mulut, dan orofaring. Setelah berkontraksi tonik-klonik secara kuat dan gencar selama beberapa puluh detik sampai 1-2 menit, frekuensi dan intensitas konvulsiberkurang secara berangsur-angsur hingga akhirnya berhenti. Penderita masih belum sadar, tapi tidak lama kemudian yaitu dalam waktu beberapa menit sampai setengah jam ia membuka mata, tampak letih dan kemudian tertidur. Tergantung pada berat-ringannya konvulsi, penderita dapat tidur selama setengah sampai 6 jam. Setelah tidur pasca grand mal, penderita merasakan sakit kepala dan tidak ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya.2,3,4
Pasien dapat terjaga dari tidur post konvulsi dengan nyeri kepala umum yang berat dan dalam keadaan bingung. Dapat pula dalam keadaan stupor atau setengah sadar, dimana mereka melakukan tindakan-tindakan lebih kurang otomatis tanpa bisa mengingat apa yang telah dialaminya. Reaksi post iktal atau post paroksismalini diduga mewakili mal fungsi reaksi neuron yang belum pulih dari pengaruh kejang. Terkadang terjadi automatisme yang lama, paresis sementara, atau yang lebih jarang hemiplegiaatau manifestasi paralitik lain dari cedera fokal atau perdarahan.
Epilepsi grand mal dapat terjadi di malam hari (epilepsy nokturnal), tanpa disadari penderita lidah atau bibir tergigit, nyeri kepala, darah dibantal, atau tempat tidur yang basah oleh air kemih dapat merupakan satu-satunya petunjuk.4
Sebelum serangan grand mal timbul, banyak penderita sudah memperlihatkan gejala-gejala prodromal yang terdiri dari iritabilitas (cepat marah / tersinggung), pusing, sakit kepala atau bersikap “depressed”
Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa penderita grand malsudah sejak kecil mendapat serangan. Grand mal dapat juga mulai timbul pada umur 20 sampai 30 tahun, tetapi jika konvulsi umum bangkit untuk pertama kali pada usia 30 tahun keatas, maka tumor serebri yang mendasarinya harus dicurigai dan diselidiki. “Cerebrovascular Disease”, dapat juga menimbulkan konvulsi umum pada orang-orang yang berusia tua.
Faktor Penyebab Dan Pencetus Epilepsi
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak diketemukan penyebabnya.
Epilepsi sekunder yaitu yang penyebabya diketahui.
Penyebab epilepsi primer, tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel syaraf pada area jaringan otak yang abnormal. Gangguan keseimbangan kimiawi ini dapat menimbulkan cetusan listrik yang abnormal, tetapi mengapa tepatnya dapat terjadi suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu-waktu dan menyerang orang-orang tertentu belum diketahui.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak.1
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan ibu. Seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran (iradiasi).
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran. Seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi.
Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila rangsangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai penyandang epilepsi.
Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum, terutama pada anak-anak.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau radang otak dapat menyebabkan epilepsi.
Penyakit keturunan. Seperti fenilketonuria (FKU), sklerosis tuberosa dan neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang-kejang yang berulang.
Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih pendek dari normal diturunkan pada anak.
Faktor pencetus serangan epilepsi:
Ada berbagai faktor pencetus terjadinya serangan pada penyandang epilepsi. Pada penyandang epilepsi ambang rangsang serangan/kejang menurun pada berbagai keadaan sehingga timbul serangan. Faktor-faktor pencetus dapat berupa:
Kurang Tidur.
Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan.
2. Stres Emosional
stress dapat meningkatkan frekuensi serangan. Peningkatan dosis obat bukanlah merupakan penyelesaian masalah, karena dapat menimbulkan efek samping dari obat. Penyandang epilepsi perlu belajar menghadapi stres, stres fisik yang berat juga dapat menimbulkan serangan.
3. Infeksi
Infeksi biasanya disertai dengan demam dan demam inilah yang merupakan pencetus serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam otak sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan. Faktor pencetus ini terutama nyata pada anak-anak.
4. Obat-obat Tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan. Seperti penggunaan obat antidepresi trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiazin, menghentikan obat-obat penenang/sedatifsecara mendadak seperti barbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang.
5. Alkohol
Alkohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya serangan. Biasanya peminum alkohol mengalami pula kurang tidur sehingga memperburuk keadaannya. Penghentian minum alkohol secara mendadak dapat menimbulkan serangan.
6. Perubahan Hormonal
Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormon (berupa peningkatan kadar estrogen) dan stres. Hal ini diduga merupakan pencetus terjadinya serangan. Demikian pula pada kehamilan terjadi perubahan siklus hormonal yang dapat mencetus serangan.
7. Fotosensitif
Ada sebagian kecil penyandang epilepsi yang sensitif terhadap kerlipan atau kilatan sinar (flashing light) pada kisaran antara 10-15 Hz. Seperti diskotik, pada pesawat TV yang dapat merupakan pencetus serangan.
Diagnosa Epilepsi
Diagnosa epilepsi didasarkan terutama pada anamnesa berikut alloanamnesa. Disamping itu pemeriksaan klinis umum dan pemeriksaan neurologis umum dan khusus dapat menghasilkan data yang dapat diintegrasikan dalam anamnesa atau alloanamnesasupaya diagnosa yang mantap dapat tercapai.
Anamnesa/alloanamnesa
Fokalitas: dari penderita atau orang-orang yang pernah menyaksikan serangan epileptiknya harus didapati lukisan lengkap. Setiap aura yang dilaporkan penderita menunjuk kepada serangan epilepsi fokal. Serangan epileptik yang mengenai daerah tubuh setempat baik yang bersifat motorik, sensorik maupun autonom harus diklasifikasikan sebagai serangan epilepsi fokal.
Riwayat keluarga: dapat mengungkapkan adanya anggota keluarga yang epileptik atau penyakit-penyakit yang erat hubungannya dengan epilepsi. Bila kedua orang tua epileptik maka anaknya mempunyai 25 % kemungkinan untuk menjadi epileptik juga.
Riwayat Penyakit Dahulu: mungkin dapat memberikan informasi tentang faktor kausatif yang relevan, infeksi serebral (ensefalitis, meningitis), riwayat stroke ataupun trauma kapitis dan kontusio serebri dapat dihubungkan dengan terjadinya fokus epileptogenik.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran: dapat memberikan data yang mungkin mendasari anggapan atau perkiraan tentang trauma lahir atau gangguan serebral dalam masa intrauterin. Seperti infeksi viral atau trauma abdominal dan keadaan hipokalsemia atau hipoglikemia yang pernah dialami ibu dalam masa kehamilan.
2. Pemeriksaan klinis umum
Dapat mengungkapkan adanya suatu penyakit yang mempunyai hubungan patogenik dengan epilepsi. Perhatian terhadap berbagai macam kelainan neuroektodermal seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis dan syndrom Sturge-Weber dapat langsung mempermudah ketentuan diagnosa yang mantap.
3. Pemeriksaan neurologis umum dan khusus.
Dengan pemeriksaan neurologis, gejala defisit unilateral atau bilateral dapat ditemukan. Hemiparesis spastik, hiperefleksia tendon atau babinski yang positif sesisi sudah memberikan pengarahan yang berharga bagi penilaian epilepsi umum fokal. Pemeriksaan neurologis khusus yang relevan , tetapi yang selalu mesti dikerjakan ialah elektroensefalografi (EEG),hasilnya merupakan bahan informatif. Apakah informasi bersifat konfirmatif atau tidak harus dipertimbangkan dalam penganalisaan klinis dimana anamnesa memegang peranan penting. Adanya serangan epileptik yang disaksikan sendiri oleh dokter atau yang dilaporkan penderita atau pengantarnya secara tepat merupakan titik berat bagi penentuan diagnosa epilepsi. Dan terapi yang diselenggarakan harus didasarkan atas adanya serangan epileptik dan tidak boleh didasarkan atas adanya kelainan EEG semata.
Rekaman yang ideal adalah rekaman waktu serangan (iktal) tapi rekaman sering dibuat diluar serangan (interiktal). Walaupun demikian EEG ini masih dapat menangkap aktifitas yang abnormal. Kelainan EEG yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan serangan epileptik adalah aktifitas epileptiform, yaitu berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat. Rekaman pertama kali dapat normal pada 30-40% penderita dengan serangan epileptik sehingga perlu diulang.
EEG Pada Epilepsi Tonik Klonik
EEG diluar serangan epilepsi:
Gelombang EEG pada pasien epilepsi tonik-klonik kadangkala normal, pada interiktal yang abnormal didalamnya gelombang paku yang tajam, polyspikes atau gelombang paku dan gelombang komplek.
Hiperventilasi, stimulasi sinar, sulit tidur dapat dimungkinkan menambah penemuan abnormalitas pada EEG.
FIRDA atau Frontal Intermitten Rhythmic Delta Activity, paroxysmal dapat ditemukan pada beberapa pasien, khususnya dengan riwayat absence, tetapi abnormalitas ini nonspesifik dan ini tidak dianggap sebagai epileptiform.
EEG interiktal spesifik dapat berupa pola khusus pada sindrom epilepsi umum:
1. Sinkronitas timbal balik secara umum gelombang paku dan gelombang komplek bersatu pada tipe serangan absence.
2. Gelombang paku. Gelombang aktivitas cepat pada 4-5 Hz merupakan kesatuan yang kadang kebanyakan pada epilepsi tonik-klonik.
3. Polyspike atau Polyspike dan gelombang lambat komplek biasanya dapat dilihat pada epilepsi mioklonik.
EEG Dalam Serangan Epilepsi
Fase tonik pada kejang merupakan karakteristik oleh progresifitas amplitudo tinggi dan frekuensi rendah dengan pengamatan khusus simultan pada kedua hemisfer kortek, jangkauan maksimum adalah 10 Hz. Kemudian menjadi lambat dan bergabung menjadi amplitudo paku yang tinggi secara bilateral dan progresifitas yang tinggi dengan ritme amplitudo tinggi aktifitas delta, melambat, berkembang progresifitas menjadi komplek yang berulang dari amplitudotinggi, paku dan lambat. Gelombang aktifitas dalam fase klonik.5
Terapi Epilepsi
Tujuan pengobatan adalah menyembuhkan atau bila tidak menyembuhkan, paling tidak membatasi gejala-gejala dan mengurangi efek samping pengobatan pada sindrom epilepsi atau penyakit epilepsi. Bila kelainan struktural, metabolik atau endokrin yang dapat disembuhkan tidak dijumpai maka tujuan pengobatan adalah memperbaiki kualitas hidup penderita dengan menghilangkan atau mengurangi frekuensi tanpa menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki.
Obat antiepileptik yang ada pada saat ini mempunyai efektifitas yang terbatas untuk berbagai serangan yang berbeda. Bila tipe serangan dapat diklasifikasikan dengan tepat maka pilihan obat menjadi lebih sempit. Pilihan obat juga ditentukan oleh toksisitas, harga, kemudahan meminum, dan urgensi situasi klinisnya. Masalah utama pada pengobatan epilepsi adalah toksisitas obat, terutama yang berupa perilaku dan kognisi yang pada awalnya mungkin tidak jelas, bila ini tidak dikenal dan dikelola dengan baik tentu akan mempengaruhi kualitas hidup
Beberapa Obat Anti Epilepsi:
Valproat (Depakote, Depakene, Depacon). Dipertimbangkan obat pilihan pertama. Untuk epilepsi umum primer, misalnya: tonik-klonik, lena, mioklonik, tonik, klonik dan atonik. Memiliki spektrum luas dan efektif untuk berbagai tipe serangan, termasuk serangan mioklonik. Dipercaya sebagai antikonvulsan yang efeknya dengan meningkatkan GABA dalam otak.
Depacon i.v.(100 mg/ml vials): 10-15 mg/kg/hari inisial. Penambahan 5-20 mg/kg/minggu untuk maksimum. 60 mg/kg/hari sebagai dosis toleransi. Pelaksanaan i.v. 20 mg/menit.
Depakene kapsul, tablet, tetes atau sirup/oral dosis sama dengan dosis i.v.
Dosis inisial: 20 mg/kg/hari i.v.
Dosis perawatan: 30-60 mg/kg/hari i.v.
Dilaporkan adanya hipersentifitas, gangguan fungsi hati.
Cimetidin, Salicylat, Felbamat dan Erytromicyn dapat menambah toksisitas. Rifampin dapat mengurangi tingkatannya secara nyata, salicylat menurunkan ikatan protein dan metabolisme valproat pada anak-anak hasil dari perubahan variabel dari konsentrasi karbamazepin dalam hilangnya kontrol dari serangan, dapat meningkatkan toksisitas diazepam dan ethosuksinit (diperlukan pengawasan). Pada penambahan fenobarbital dan fenitoin dapat mengurangi tingkat valproat, memindahkan walfarin dari tempat ikatan protein (monitor test koagulasi) dapat meningkatkan level zidofudin pada pasien dengan seropositif meningkatkan eliminasi waktu paruh dari Lamotrigin sampai 165% (dosis yang direduksi)
Tidak aman untuk kehamilan
Hubungan dosis dengan disfungsi hepar terjadi umumnya selama 6 bulan selama terapi, umumnya dimanifestasikan berupa gejala nausea, vomiting, kelemahan, letargi, edema wajah, hiperamonemia, asimtomatik juga dapat terjadi. Pasien umur kurang dari 2 tahun dengan riwayat penyakit hepar, gangguan metabolik kongenital, gangguan serangan yang parah, retardasi mental dapat menambah resiko toksisitas, trombositopenia dan terjadi inhibisi pada tahap kedua agregasi platelet.
Phenytoin (Dilantin). Salah satu dari obat yang sudah lama diketahui sebagai pengobatan dari serangan, kadang merupakan pilihan utama untuk epilepsi tonik-klonik karena efektivitas harga dan pemenuhan. Pemakaian sekali dalam sehari.
Dosis pemakaian: 15-20 mg / kg / hari per oral atau i.v.
Dosis perawatan: 5 mg / hari per oral atau i.v. Dan secara i.v tidak boleh melebihi 50 mg / kg.
Dosis inisial: 5-7 mg / kg / hari per oral atau i.v.
Dosis perawatan: 5-7 mg / kg / hari per oral atau i.v.
Dilaporkan adanya hipersensitivitas
Karbamazepine, Felbamate, Cimetidine, Walfarine, Chloramphenicol, Isoniazid, dan Disulfiram meningkatkan efek. Rifampin, Antasid, dan Valproat, Lamotrigin, Tiagabine, Zonisamide, Oxcarbazepine, Kontrasepsi oral, Metadone, dan Theophylline, menambah tingkat Walfarine, terutama meningkatkan waktu pembentukan protrombin.
Tidak aman untuk kehamilan.
Hati-hati dalam memonitor tingkat insufisiensi hepar, umumnya efek merugikan termasuk didalamnya: nisragmus, ataxia, dysartria, dan sedasi. Efek merugikan yang belum diketahui secara baik termasuk pergerakan (horeiform), opthalmoplegia eksternal, rash, Stevens-Johnson Syndrome, anemia aplastik, hepatitis, nephritis, thyroiditis, SLE, hyperglikemia, hyperplasi ginggival, wajah yang kasar, defisiensi vitamin D, K, Asam Folat, dan Ig A, mengurangi densitas tulang, mengurangi velositas konduksi motor neuron dan meningkatkan plasma alkalin phospatase.
Karbamazepine (tegretol, Carbatol, Epitol). Obat antiepilepsi tertua yang digunakan sebagai agent pilihan kedua dengan phenytoin. Formulasi i.v. tidak tersedia.
400-1200 mg/ hari per oral terbagi 3 dan diperpanjang dengan pemberian terbagi 2.
Dosis inisial: 5 mg/ kg/ hari per oral
Dosis perawatan: 15-20 mg/kg/ hari per oral
Adanya hipersensitivitas
Pengaturan Danazole dalam 30 hari dapat meningkatkan serum secara signifikan ( sebisa mungkin untuk dihindari) tidak mencampurkan dengan MAO inhibitor, Cimetidine dapat meningkatkan toxicitas, khususnya bila diberikan pada 4 minggu pertama pada terapi, dapat mengurangi primidone dan tingkat phenobarbital (gabungan tersebut dapat meningkatkan karbamazepine)
Tidak aman untuk kehamilan.
Serangan absens atipik, dapat memperburuk pada frekuensinya, tidak digunakan dalam mengurangi sakit atau nyeri yang minimal, perhatian pada peningkatan tekanan intraokuler, menghasilkan CBCs dan serum Fe pada base line (prioritas untuk pengobatan) selama pemberian 2 bulan pertama, dan setiap tahun dan setiap beberapa tahun berikutnya. Dapat menyebabkan Drowsiness dan pandangan kabur. Perhatian selama menjalankan mesin.
Phenobarbital (Barbital, Luminal, Solfoton). Salah satu dari antiepilepsi utama yang digunakan sejak tahun 1900-an. Sekarang penambahan phenobarbital dapat menyebabkan efek merugikan yang besar pada kognitif, tidak disetujui oleh neurolog, keuntungan yang besar adalah pengguanaan dosis sekali sehari, dimungkinkan karena waktu paruhnya yang panjang.
90 mg per oral perhari, ditambahkan 30 mg/ hari setiap bulan.
Untuk perawatan biasanya dosis 90-120 mg/ hari.
Dosis inisial: 3-5 mg/kg/ hari per oral
Dosis perawatan: 3-5 mg/kg/ hari. Per oral
Adanya hipersensitivitas
Penambahan enzim mengurangi tingkat karbamazepin, valproate, lamotrigine, tiagabine, zonisamide, theophylin, walfarine, dan cimetidine. Valproate dapat meningkatkan level.
Tidak aman untuk kehamilan
Mengatur dosis pada pasien dengan insufisiensi renal dan hepar, reaksi idiosyncratik yang termasuk didalamnya rash, granulocytosis, anemia aplastik, dan hepatitis, defisiensi asam folat, vitamin K, dan vitamin D, dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang, efek merugikan pada fungsi kognitif yang termasuk didalamnya adalah sedasi, iritabilitas, hipereaktivitas dan ataxia.
Lamotrigine (Lamictal). Obat antiepilepsi terbaru dengan spektrum sangat luas, seperti valproat. FDA digunakan untuk kedua jenis epilepsi: umum primer dan epilepsi parsial. Mempunyai beberapa mekanisme aksi yang diperhitungkan untuk efektivitasnya. Keuntungan yang tidak banyak bila dosis ditambahkan secara lambat pada beberapa minggu.
Minggu 1 dan 2: 50 mg/ hari per oral. Jika dikombinasikan dengan asam valproat (VPA) mulai dengan dosis 25 mg / hari.
Minggu 3 dan 4: 100 mg/hari per oral dalam dosis bagi. Jika dikombinasikan dengan VPA setelah 25 mg/ hari naikkan menjadi 100 mg/ hari dalam satu minggu. Kemudian naikkan 25-50 mg/ hari tiap pemberian tiap minggunya.
Dosis perawatan tanpa VPA: 300-500 mg/ hari per oral.
Dosis perawatan dengan VPA: 100-200 mg/ hari per oral.
Dosis inisial: 1-2 mg/kg/hari per oral.
Dosis perawatan: 5-10 mg/kg/hari per oral.
FDA menyetujui hanya untuk Lennox- Gastaut Syndrom pada pasien usia kurang dari 16 tahun.
Adanya reaksi hipersensitivitas
Asetaminophen dapat meningkatkan clearens renal pada pengobatan, mengurangi efek, sama seperti phenobarbital. Phenitoin meningkatkan metabolisme lamotrigine, menyebabkan penurunan tingkat lamotrigine, asam valproat dan meningkatkan waktu paruh.
Tidak aman untuk kehamilan.
Perlu diperhatikan terhadap kerusakan fungsi hepar dan renal, rasth berat dapat terjadi pada 2-8 minggu setelah dimulainya pengobatan (1 % pada anak-anak dan 0,3 % pada dewasa).
Zonisamide (zonegran). Salah satu dati antiepilepsi terbaru yang baru saja diperkenalakan di Amerika. Telah diuji secara eksentif di Jepang dan Eropa. Sebagai block calsium channels dan inaktivasi prolong sodium channel.
100 mg/ hari per oral. Permulaan 2 hari kemudian ditingkatkan menjadi 100 mg/hari dalam seminggu. Dosis perawatan: 100-300 mg per oral dalam 2 hari.
Dosis tidak ditentukan.
Adanya hipersensitivitas, riwayat urolithiasis
Dapat meningkatkan serum karbamazepine,. Karbamazepine dapat bertambah konsentrasinya dan mengurangi level phenobarbital.
Tingkat keamanan penggunaan selama kehamilan.
Berhubungan dengan 2-3,5 % resiko terjadinya urolitiasis, anorexia, nausea, ataxia, merusak konsentrasi dan efek merugikan pada kognitif yang dilaporkan. Pembersihan konjugasidan oksidasi hepar (mengurangi dosis pada insufisiensi hepar).
Felbamate (Felbatol). Disetujui oleh FDA untuk pengobatan serangan parsial yang sukar disembuhkan dan Lennox-Gastaut Syndrome. Mempunyai banyak mekanisme aksi, termasuk:
Inhibisi NMDA- kesatuan sodium channeels
Potensiasi dari aktivitas GABA –ergic
Inhibisi dari voltage- sensitif sodium channels
Digunakan sebagai obat pilihan terakhir pada kasus yang sukar disembuhkan karena resiko terjadinya anemia aplastik dan toksisitas hepar dengan cara diharuskan adanya tes darah.
600 mg per oral dengan inisial 3 kali sehari. Ditambahkan 600-1200 mg/ hari setiap minggu. Untuk maksimalnya 1200-1600 mg per oral 3 kali sehari.
Tidak ada ketentuan.
Pasien dengan riwayat dyscrasias obat. Pada penyakit heparyang signifikan atau penyakit autoimun, tidak diperbolehkan penggunaan pada pasien dengan riwayat idiosynkrati toksisitasatau AEDs lainnya.
Dapat meningkatkan level phenythoin. Perlu reduksi 40 % dosis phenythoin pada beberapa pasien, dapat menggandakan clearens phenythoin. Hasilnya lebih dari 45 % penurunan manfaatnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh bertambahnya konsentrasi plasma phenobarbital. Phenobarbital dapat mereduksi plasma, dapat mengurangi manfaat karbamazepine dan meningkatkan metabolisme karbamazepine., serta dapat mengurangi manfaat asam valproat.
Aman digunakan untuk wanita hamil.
Efek merugikan yang umumnya terjadi adalah kehilangan berat badan, insomnia, gangguan psikologis, adanya hubungan toksisitas hepar dengan felbamate yang diestimasi, terjadi 1 dalam 30.000 individu dan anemia aplastik terjadi 1 dalam 5000 individu.
Topiramate (Topamax). Substitusi sulfamate monosakarida dengan spektrum luas dari aktivitas antiepilepsi dimana mempunyai aksi berupa menghambat sodium channels dependen. Aktivitas potensiasi inhibitor dari neurotransmiter GABA. Dapat menghambat aktivitas glutamat . Tidak diperlukan untuk memonitor konsentrasi plasma untuk terapi yang optimal. Kadang-kadang ditambahkan phenythoin dimana penambahan dosis phenythoin diperlukan untuk hasil klinis yang optimal.
50 mg/ hari per oral dan titrasi 50 mg/ hari dalam interval 1 minggu. Dengan target dosis 200 mg dalam 2 kali sehari. Tidak boleh melebihi 1600 mg/ hari.
Dosis tidak ditentukan.
Adanya hipersensitivitas
Phenythoin, carbamazepine, dan asam valproat dapat mengurangi efek secara signifikan. Pengurangan level digoxin dan norethindrone, karbonik anhidrase inhibitor dapat meningkatkan resiko pembentukan batu ginjal dan dapat merugikan. Penggunaan CNS depresi dengan pengawasan yang ketat selama topiramate diberikan karena dapat menyebabkan efek aditif pada CNS depresi. Sebaiknya menghubungi neuropsykiatrik terhadap efek merugikan pada fungsi kognitif.
Keamanan pada kehamilan tidak dapat dipastikan.
Resiko terjadinya pembentukan batu ginjal meningkat pada 2-4 populasi yang tidak diobati. Resiko dapat dikurangi dengan meningkatkan masukan cairan. Hati-hati dengan kerusakan fungsi ginjal dan hepar.
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono Mahar, 1990, Simposium Mengenal Dan Memahami Epilepsi,hal: 2, IDASI, Yogyakarta.
Sidarta Priguna, 1999, Epilepsi (Ayan), Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal: 296-309, Dian Rakyat, Jakarta.
Epilepsy With Tonic-Clonic Seizure, Epilepsy Action New Anstey Hause, Gate Way Drive, Leeds, LS 197 XY, 2003, www.Epilepsy.org.uk
Baird H.W., Neurometric Evaluation Of Epileptic Children Who Do Well And Poory In School Electroencephalography, Clin Neurophysiologic 48; 683: Dalam Ilmu Kesehatan Anak III, Nelson, Hal:340, Edisi : 2, EGC, Jakarta.
Y. Ko. David MD, 2002, Seizures And Epilepsy, American Clinical Neurophysiology Society, American Medical Association And California Medical Association, eMedicine Journal, June 20, Vol: 3, No. 6.