Saat ini, lumrah saja jika Anda “bertanya” kepada situs kesehatan di internet ketika jatuh sakit. Demikian pula mengambil second opinion. Yuk, pahami lebih dalam supaya tak salah kaprah.
Hampir dua minggu Karina kewalahan mengurus Malik yang tak kunjung sembuh dari diare. Selain lemas, Malik susah makan dan malah muntah-muntah. Padahal ia sudah memeriksakan anaknya ke dokter dan mematuhi semua anjurannya. Rekan kerja Karina menganjurkan ia mencari second opinion. Meski sempat takut dokter langganannya akan tersinggung, akhirnya ia menuruti nasihat temannya.
Kompetensi Sama
Apa yang dialami Karina mungkin pernah Anda alami. Menurut dr. Arifianto, Sp.A., dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP), adalah hak pasien atau konsumen kesehatan untuk mendapatkan pendapat dari dokter lain mengenai masalah kesehatan yang dialami Si Pasien tersebut.
“Bisa juga didefinisikan sebagai seorang pasien datang ke dokter A yang memiliki kompetensi di spesialiasi tertentu. Kemudian, karena satu dan lain hal, dia mengunjungi sendiri dokter B yang kompetensinya sama dengan dokter A,” papar dokter spesialis anak yang aktif “berkicau” di Twitter dengan akun @dokterapin ini.
Meski sedikit, second opinion juga berlaku untuk kasus yang ditangani beberapa dokter spesialis dengan kompetensi berbeda. “Misalnya hernia pada bayi. Dokter A bilang harus operasi tapi dia tidak memberitahu kapan harus dikerjakan atau tidak merujuk,” ujarnya. Ketika pasien berinisiatif berkonsultasi ke dokter bedah, maka ia dianggap telah melakukan second opinion.
Jangan Takut
Meski termasuk hak, tak jarang pasien atau konsumen kesehatan segan atau takut meminta second opinion. Ternyata, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Survei Harvard di tahun 2010 mengungkapkan sebanyak 70 persen orang Amerika Serikat merasa tidak memerlukan second opinion atau bahkan mencari tahu penyakitnya.
“Sebenarnya tidak perlu merasa enggak enak karena ini sudah diatur undang-undang,” tegas Arifianto. Apalagi, menurut pria yang biasa dipanggil dokter Apin ini, jika kasus yang didiagnosis adalah penyakit berat seperti kanker yang mengharuskan kemoterapi atau lupus. “Sebaiknya jangan percaya dengan satu dokter. Apalagi penyakit berat itu memiliki konsekuensi menentukan sisa hidup yang ada atau akan melibatkan banyak orang lain untuk mengurus dia.”
Second opinion juga bisa diambil jika Anda ragu dengan diagnosis dokter. “Atau, dokternya ragu-ragu menjelaskan penyakitnya apa. Kita boleh meminta second opinion terlepas dari apa pun diagnosisnya.” Lalu, ketika diagnosis dan terapi tidak sesuai. “Bilangnya infeksi virus, tapi dikasih antibiotik. Anak kurus karena turunan tapi dikasih susu formula,” papar Arifianto.
Second opinion juga bisa dilakukan bila, “Penyakit membutuhkan pemeriksaan atau pengobatan yang memakan biaya mahal, dalam waktu singkat, dan kalau tidak kasus emergency (darurat). Baik obat maupun pemeriksaan,” tegasnya.
Terakhir, second opinion bisa diminta jika pengobatan berlangsung dalam jangka panjang. “Misalnya TBC paru. Kan, belum tentu itu TBC paru, bisa saja batuk pilek biasa. Atau, sindrom nefrotik (ginjal bengkak) yang minum obatnya minimal dua bulan,” papar ayah dua anak ini. Walaupun diagnosis dokter jarang meleset, Arifianto menganjurkan second opinion. “Akan memengaruhi kalau dalam jangka waktu panjang.”
Yang jelas, saat melakukan second opinion, usahakan ke dokter yang memiliki kompetensi yang sama. “Jangan turun pangkat. Misalnya ke spesialis enggak yakin, malah ke dokter umum. Tidak disarankan juga second opinion ke alternatif karena ilmu dokter tidak bisa dibandingkan dengan alternatif,” tegas Arifianto.
Resume Medis
Second opinion, lanjut Arifianto, berbeda dengan rujukan atau merujuk. “Dalam hal ini, justru dokter umum yang merujuk ke dokter spesialis atau dokter spesialis merujuk ke dokter sub spesialis.” Rujukan juga mengharuskan pernyataan tertulis dari dokter pertama kepada dokter kedua.
Contohnya kasus di mana dokter anak umum mendapatkan kasus jantung. “Jantung anak harus di-echo, saya rujuk ke spesialis jantung. Atau, kasus-kasus yang memang butuh pemeriksaan lanjutan seperti USG, CT-scan atau butuh tindakan intervensif, pembedahan, katerisasi.”
Bagi Anda yang masih awam, Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) dan Undang-Undang Kedokteran sudah mengatur penggunaan rekam medis. “Berkas rekam medis milik layanan kesehatan dan isinya milik pasien Tapi, rekam medis secara utuh tidak boleh dibawa dari rumah sakit atau tempat praktik pribadi,” papar Arifianto.
Berkas yang merupakan hak pasien atau konsumen kesehatan adalah resume medis. “Pasien boleh minta resume medis dan diberikan saat pulang dari perawatan. Tapi, kenyataannya enggak semua diberikan karena berasumsi pasien akan kontrol di tempat yang sama,” ucap Arifianto. Resume medis sendiri berisi ringkasan rekam medis. Nah, saat meminta resume medis, pastikan dokter atau rumah sakit sudah menandatangani.
Bertanya ke Internet
Fenomena lain yang tak kalah menarik berkaitan dengan second opinion adalah googling your symptoms. “Ini namanya menjadikan internet sebagai first opinion dan dokter sebagai second opinion dan ini adalah hal positif,” cetus Arifianto.
Menurutnya, berkat informasi yang bertebaran di dunia maya, hubungan dokter dan pasien sudah setara. “Pertama, dunia sepakat bahwa pasien diposisikan bukan sebagai objek tapi sebagai subjek. Kedua, sekarang pasien itu dianggap sebagai konsumen jadi dokter adalah pemberi jasa,” paparnya.
Ketiga, lanjut Arifianto, fenomena ini menuntut dokter untuk terbuka dan jujur dalam memberikan informasi apa adanya. “Bahkan termasuk bila dokter enggak update sama ilmunya, dia harus mengakuinya, ‘Saya belum punya ilmunya, saya harus baca, atau mungkin kita bisa berbagi.’ Keempat, dokter mau enggak mau harus update ilmu,” tegasnya.
Akan tetapi, Arifianto mengingatkan supaya pasien atau konsumen kesehatan memilah dan memilih sumber informasi yang kredibel. Jika keliru, ada dua kerugian. Pertama, underestimate kondisi kesehatan. Misalnya, ada benjolan di payudara, setelah dicocokkan dengan situs kanker di internet diperkirakan jinak padahal ternyata ganas.
Sedangkan overestimate bisa juga terjadi gara-gara mendapatkan informasi yang salah. Misalnya, berat badan anak tidak kunjung naik dan makannya susah. Si Ibu ketakutan anaknya TBC lalu dikasih obat padahal bukan TBC.
Diskusi dengan Dokter
Supaya tak terjebak di dua masalah tadi, “Solusinya, ketika dia tidak yakin, ya dia perlu ke dokter. Dokter akan menjelaskan apakah yang selama ini dipahami dari internet benar atau tidak?” jelas Arifianto. Untuk kasus tertentu, pasien atau konsumen kesehatan disarankan terlebih dulu membaca, mengumpulkan, dan mencerna informasi sesuai yang ia mampu.
“Ketika dia pergi ke dokter, dia boleh menceritakan hasil penelusurannya dengan bahasanya sendiri. Kalau perlu dia bawa print out-nya, bahan-bahannya, jadi pasien ke dokter enggak blank.” Atau, pasien hanya menjawab “Ya” dan “Tidak” saat dokter bertanya keluhannya. “Tapi sebaliknya, dua arah. ‘Dok, saya baca gini.’ Fenomena ini adalah salah satu upaya membuat penyetaraan kedudukan antara dokter dan pasien,” papar Arifianto.
Jadi, bolehkah pasien bertanya? “Boleh, itu hak pasien. Cuma supaya konsultasi kesehatan berjalan efektif, ke dokter bukan cuma nunjukin print out artikel tapi kita udah mengolahnya menjadi sekian pertanyaan yang kira-kira kalau ditanyakan tidak memakan waktu lebih dari lima belas menit,” urainya. Dalam waktu lima belas menit, menurut Arifianto, seorang dokter biasanya sudah bisa mencapai kesimpulan penyakit apa yang diderita hingga terapi, termasuk menjelaskan cara minum obat dan efek samping.
Astrid Isnawati
dimuat di Tabloid Nova edisi 5-11 November 2012
http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Umum/Second-Opinion-Jangan-Segan-Bertanya