Rabu, 26 September 2012

Mengenal Demam Tifoid pada Anak


Ada pertanyaan dari salah seorang orang tua pasien yang saya tangani di poli anak, "Dok, anak saya ini sudah panas lebih dari seminggu, sudah saya beri obat anti panas, turun sebentar tapi kemudian naik lagi, kira-kira anak saya ini sakit apa ya dok ?" Well, apabila anda ingin bertanya seperti itu juga jika anak anda demam lebih dari 7 hari, kemungkinan besar  penyakit anak anda adalah demam tifoid, tentunya juga harus didukung oleh gejala klinis yang menonjol. Kenapa saya curiga demam tifoid? Bukan rahasia lagi bahwa demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk  penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. 


Apakah Demam Typhoid itu?

Demamtifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari limpa,kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Terjadinya penularan salmonella typhi sebagian besar melalui makanan / minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). 

Bagaimana sih tanda-tanda nya jika anak terkena Demam Typhoid?
Gejala klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi. Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.  
Gangguan saluran pencernaan   
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepladder pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41oC) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papilla lebih prominen. Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

Apa saja yang harus kita lihat pada pemeriksaan darah tepi?

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan myeloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

Bagaimana cara diagnosis Demam Typhoid?
Demamtifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam
(1) Demam,
(2) Gangguan saluran pencernaan, dan
(3) Gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik.
Sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
(1)   Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan didalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung dari beberapa faktor.
(2)   Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkanwaktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak referensi yang mengemukakan apabila titer O agglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
(1)   Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling seringdi Negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
(2)   Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada Demam Typhoid ?
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ini yaitu:
  1. Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus pada 1 – 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi di dahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
  2. Komplikasi pada neuropsikiatri. Sebagian besar  bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor  bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis tranversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).
  3.  Miokarditis.  Dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.
  4. Hepatitis tifosa asimtomatik juga dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
  5. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).
  6. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
  7. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk.
  8. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
  9. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang,otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.


Bagaimana cara mengobati Demam Typhoid ?
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakitagar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatanantibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain :
Kloramfenikol
Dosis yang dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak  boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari.
Tiamfenikol
Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan. Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Kotrimoksasol
Dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazoldan 6 – 8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian,selama 10 – 14 hari.
Ampisilin dan Amoksisilin
Dapat digunakan pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%). Ampisilin mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kalilebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%).Dosis yang dianjurkan adalah : Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Dosis yang dianjurkan adalah 50 – 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam2 dosis iv.
Sefotaksim
Dosis yang dianjurkan adalah 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4dosis iv.
Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 – 400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun.

Apakah Demam Typhoid ada vaksinnya?

Ya, demam tifoid ada vaksinnya. Sampai saat ini dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dariSalmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subcutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yangdilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak  berumur diatas 2 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dariSalmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.



DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo, dkk ; editor ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid III, edisi IV;Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta : 2007
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003
Rampengan. T H : Penyakit infeksi Tropis pada Anak ; edisi 2. Jakarta : EGC 2007
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia : A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15- Jakarta: EGC, 1999.
Sumarmo S.Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2008. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.Jakarta: IDAI. Hal 338 – 346.
Soedarmo, Poorwo, SS, dkk ; penyunting : Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis; Edisi kedua; Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta : 2010.