Demam merupakan salah satu gejala yang diperlukan dalam menentukan diagnosis. Penilaian demam dengan menggunakan termometer masih jarang dilakukan oleh ibu di rumah. Penelitian di Arab Saudi mendapatkan hanya 24% ibu menggunakan termometer. Penilaian suhu tubuh yang paling banyak (94%) dilakukan ibu justru dengan menggunakan perabaan. Hal tersebut menjadi kendala untuk mendapatkan data yan-g obyektif tentang demam. Tidak semua demam memerlukan antipiretika karena demam justru merupakan petunjuk bahwa pada anak sedang terjadi proses penyakit.
Pada umumnya demam dengan suhu yang tidak tinggi tidak membahayakan. Di luar negeri sebagian besar anak yang demam ditangani sendiri oleh ibu dengan memberi antipiretika (48%) dan hanya 18% saja yang dibawa ke dokter atau sarana kesehatant. Tindakan ibu memberikan antipiretika dipengaruhi oleh kekhawatiran akan bahaya demam, pemahaman ibu tentang demam dan hambatan yang terjadi. Di samping itu golongan antipiretika tertentu (parasetamol atau ibuprofen) merupakan tindakan pertolongan pertama yang praktis dan cukup aman pada anak yang menderita demam yang cukup tinggi oleh sebab penyakit apapun, sebelum mencari pertolongan dokter atau pusat pelayanan kesehatan. Sementara itu ibu harus mampu mendeteksi apakah demam pada anaknya memang perlu diberi terapi atau hanya pengawasan. Demikian pula apakah demam telah turun sehingga tidak perlu pemberian antipiretika lagi.
Pada umumnya demam dengan suhu yang tidak tinggi tidak membahayakan. Di luar negeri sebagian besar anak yang demam ditangani sendiri oleh ibu dengan memberi antipiretika (48%) dan hanya 18% saja yang dibawa ke dokter atau sarana kesehatant. Tindakan ibu memberikan antipiretika dipengaruhi oleh kekhawatiran akan bahaya demam, pemahaman ibu tentang demam dan hambatan yang terjadi. Di samping itu golongan antipiretika tertentu (parasetamol atau ibuprofen) merupakan tindakan pertolongan pertama yang praktis dan cukup aman pada anak yang menderita demam yang cukup tinggi oleh sebab penyakit apapun, sebelum mencari pertolongan dokter atau pusat pelayanan kesehatan. Sementara itu ibu harus mampu mendeteksi apakah demam pada anaknya memang perlu diberi terapi atau hanya pengawasan. Demikian pula apakah demam telah turun sehingga tidak perlu pemberian antipiretika lagi.
Pengertian Demam
Demam atau pireksia merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang berarti api (pyro). Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas normal yang disebabkan perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh. Suhu normal tubuh berbeda tergantung dari daerah pengukuran. Batasan normal suhu tubuh antara lain sebagai berikut :
- Temperatur oral berkisar antara 33,2 – 38,20C
- Temperatur rektal berkisar antara 34,4 – 37,80C
- Temperatur aksila berkisar antara 35,5 – 37,50C
- Temperatur membran timpani berkisar pada 35,4– 37,80C
Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai faktor; antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperature ruangan, tingkat aktivitas, dan sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan terjadinya demam. Sebagai contoh, peningkatan suhutubuh pada seseorang akan meningkat pada keadaan peningkatan metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal tersebut tidak didefinisikansebagai demam, karena pusat pengaturan suhu tubuh di otak berada pada batas normal.
Jenis dan Tipe Demam
Sampai saat ini, dikenal beberapa tipe demam, yaitu :
1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang tidak lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain;demam dengue, demam tifoid, pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis, gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.
2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 10C. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid,malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam intermiten, yaitu :
- Demam quotidian
- Demam tertian
- Demam quartan
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.
4. Demam berjenjang (step ladder fever )
Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada demam tifoid.
5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback )
Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit,seperti demam dengue, yellow fever ,Colorado tick fever , Rit valley fever,dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.
6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi
Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin,dimana terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.
7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)
Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial.
Penatalaksanaan Demam
Medikasi yang utama untuk penatalaksanaan demam ialah dengan pemberian antipiretik. Contoh antipiretik yang sering digunakan untuk kasus demam antara lain; parasetamol, ibuprofen, dan asam asetilsalisilat. Pada beberapa sumber mengatakan antipiretik asam asetil salisilat dan ibuprofen lebih efektif untuk penatalaksanaan demam pada anak, sekaligus mengurangi gejala prodromal lain yang menyertai demam, karena efek analgetiknya lebih kuat dibandingkan dengan parasetamol. Namun begitu, asam asetil salisilat dan ibuprofen memiliki resiko perdarahan lambung dan gangguan agregasi trombosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, obat tersebut tidak dianjurkan untuk diberikan pada kasus demam yangdisertai perdarahan, misalnya pada demam berdarah dengue, purpura trombositopenik idiopatik, ulkus peptikum, dan lain-lain. Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 380C. Orang tua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara automatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angkatermometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan,antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang merugikan. Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :
1. Demam lebih dari 390C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.
2. Demam lebih dari 40,50C
3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi,memerlukan antipiretik.
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.
1. Parasetamol (Asetaminofen)
2.Ibuprofen
3.Salisilat

1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15 mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari, oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.
2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artritis reumatoid yangmendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.
3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.
Kontraindikasi pemberian aspirin
a) Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin dapat menyebabkan sindrom Reye.
b) Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan iniaspirin dapat menyebabkan anemia hemolitik.
c) Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos salurannapas.
d) Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi trombosit yang bersifat reversibel. Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah< 20 mg/100 mL, umumnya dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis menunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik. Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Cetakan ke-dua belas. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Jakarta, 2007.
Poerwoko, dkk. Demam pada anak: perabaan kulit, pemahaman dan tindakan ibu. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGM : Yogyakarta, 2003.
Roespandi H, dr., Nurhamzah W, dr. Buku Saku Panduan Pelayanan KesehatanAnak di Rumah Sakit, Cetakan I. Tim Adaptasi Indonesia-WHO : Jakarta, 2009.
Soedarmo SSP, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Edisi 2. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta, 2010.