Ia ikut mendirikan Yayasan Peduli Parkinson Indonesia, karena, “Saya tertarik dan sayang pada orang tua,” ujar dr. Rocksy Fransisca Vidiaty Situmeang, SpS, kelahiran Dumai, 18 Mei 1977. Pasien parkinson umumnya memang orang tua. Mereka mengalami gangguan gerak dan akan dialami seumur hidup.
Pasien parkinson sudah mencapai 10 besar jumlah kunjungan di poli saraf RSCM. ”Mereka sudah didiagnosis cukup lama menderita parkinson, jadi banyak yang kondisinya sudah buruk. Timbul keinginan untuk men-support mereka, di luar profesi kami sebagai dokter,” ujarnya.
Dengan adanya yayasan, pasien parkinson bisa berkumpul. Organisasi ini sebagai wadah untuk mendapat informasi yang benar, mengenai penyakit parkinson. Diharapkan, mereka bisa mendapat dukungan sehingga tetap semangat dalam menjalani kehidupan.”
Mengapa menjadi spesialis syaraf, karena ada joke dari seniornya yang menyatakan: penyakit saraf itu datangnya lumpuh, pulangnya meninggal, karena tidak ada obatnya.
Ia ingat, sekitar tahun 1990-an, Presiden AS Bill Clinton mendeklarasikan brain of decade/decade of brain. Maksudnya, otak penting dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang kesehatan atau lainnya. Pekerjaan dokter saraf adalah mengurusi otak, organ yang paling rumit dan vital. Sulit tapi merupakan tantangan tersendiri. “Neurologi sangat menarik untuk dipelajari,” katanya.
Sampai saat ini, dokter saraf masih langka, belum sampai 1/5 dari jumlah dokter spesialis penyakit dalam di Indonesia. Padahal, kebutuhannya cukup besar. “Untuk mendirikan rumah sakit tipe B, misalnya, harus ada dokter spesialis saraf,” ujar dr. Rocksy yang bertugas di RS Siloam, Karawaci, Tangerang.
Menurutnya, para penderita parkinson harus tetap beraktifitas. Mereka harus percaya diri, tetap semangat dan aktif secara sosial mau pun fisik. “Pokoknya, parkinson siapa takut!” jelasnya.
Ia sempat ketar ketir karena obat Levodopa original sempat menghilang di pasaran. Pasiennya pontang panting, SMS, telepon, bahkan ada yang pergi ke Hongkong untuk mendapatkan Levodopa original. Memang ada Levodopa me too, “Tapi, efeknya bisa sama sekali berbeda.”
Beruntung, kini obat original itu sudah ada lagi, bahkan sudah masuk program Jamkesmas, Askes, dan in-health.(ant)