Seperti apa komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien? “Komunikasi dokter - pasien harus berdasar hubungan kesetaraan,” ujar dosen FK UGM Yogyakarta, dr. Mora Claramita, MHPE, PhD, (38 tahun). Untuk memulai hubungan kesetaraan, “undangan” harus berasal dari yang lebih kompeten. Dokter harus memahami, apa yang menjadi concern pasien. Bila tidak, “Masalah kesehatan yang sebenarnya tidak tuntas terselesaikan.”
Contohnya, pasien penyakit paru yang obatnya seharusnya sudah habis diminum, ternyata masih tersisa. Dokter menganggap pasien tidak taat minum obat. Padahal, bila dokter mau mendengar lebih baik, pasien bukan tidak taat minum obat. Pasien hanya belum paham bahwa putus obat satu hari saja, dapat mengakibatkan pengulangan prosedur obat dari awal. Atau, ada masalah dalam mengonsumsi obat. Misal, timbul alergi atau keluarga protes: kok minum obat terus?
“Kalau semua pasien minum obat persis seperti saran dokter, dapat dipastikan penyakit infeksi paru akan tereliminasi tuntas dari Bumi Indonesia. Nyatanya, TBC masih merupakan peringkat MDGs utama penyakit infeksi yang harus dieliminasi,” ujar ibu 3 anak ini.
Dokter sebaiknya memahami budaya bangsa sendiri. Itulah yang diteliti dr. Mora untuk thesis S3 bidang medical education, berjudul “Doctor-patient communication in a culturally hierarchical context of Southeast Asia: A partnership approach.
Ada 4 sifat yang ditemukan, lalu ia beri Panduan Komunikasinya. Pertama, dokter perlu memahami adanya gap sosial dengan pasien. Disusunlah metode “Greet” (Sapa). Kedua, dokter perlu memahami bahwa komunikasi non-verbal lebih kuat dari komunikasi verbal, disusun metode “Invite” (Ajak bicara). Ketiga, dokter perlu memahami budaya yang berorientasi pada komunitas; jalan keluarnya dengan metode “Discuss” (Diskusi). Keempat, dokter perlu memahami bahwa obat tradisional dan pengobatan alternatif, merupakan kebiasaan orang Indonesia, lalu disusunlah metode “Discuss” (Diskusi).
“Panduan komunikasi dokter - pasien yang saya susun, berdasar yang ada dalam Konsil Kedokteran Indonesia 2006. Soal ‘Discuss’ merupakan kebaruan dari saya. Di sini ditekankan komunikasi dua arah. Muaranya adalah keselamatan pasien (patient-safety).”