Mereka datang mengeluhkan hampir hal yang sama, sela-sela jari mereka belah, perih dan terasa gatal. Tinea pedis, atau jamur kaki, itulah penyakit nya ketika saya periksa. Tak sedikit pula yang mengeluhkan batuk-pilek, sesak nafas, terganggunya saluran nafas mereka karena infeksi. Beberapa orang datang dengan lebam, atau luka karena terbentur kayu atau barang. Diare, tak kalah banyaknya menyerang mereka, terutama dari kalangan anak-anak, terkadang beberapa orang dibawa dengan kondisi yang sudah cukup lemah. Bahkan untuk menanggulangi itu, kami sempatkan kembali di suatu waktu hanya untuk memberikan penyuluhan tentang pencegahan dan cara mengatasi diare, mengingat bahaya nya penyakit ini.
Ya itulah sekelumit kecil gambaran penyakit di penghujung surut ketika melakukan bantuan medis pasca Banjir. Sungguh prihatin melihat dan mendengar keluhan korban banjir yang berkonsultasi tentang kesehatan nya. Ditambah ketika survey langsung ke lapangan untuk melihat aspek kesehatan lingkungan, sumber air bersih terkontaminasi lumpur, sampah, kotoran hewan, dan kontaminan lain nya. Tentulah hal seperti ini pun menjadi wahana yang subur untuk ditumpangi berbagai macam patogen seperti virus Hepatitis A, Salmonella dan Leptospira. Dan hal ini tentunya akan menimbulkan penyakit lagi. Belum lagi ketika air kotor itu berkontak langsung dengan mereka, sudah barangtentu akan meningkatkan risiko infeksi luka, penyakit kulit (dermatitis), konjungtivitis, dan infeksi tenggorokan.
Belum berhenti sampai disitu, coba lihatlah genangan air dan tempat kotor pasca banjir. Ibarat hotel bintang lima bagi perkembangbiakan nyamuk pembawa penyakit nampaknya. Lihatlah pula fenomena krisis bencana ini, overcrowding, banyak yang tidur di sembarang tempat, rusaknya infrastruktur kesehatan, disertai pencegahan transmisi yang lambat menjadikan penyebaran penyakit menjadi begitu mudahnya.
Coba kembali tengok, berapa orang anak-anak dan warga yang hipothermia karena terjebak di area banjir dalam waktu lama, berapa orang yang menderita trauma, berapa orang yang kemudian pun tenggelam dan bahkan meninggal?? Lihatlah berapa hektar sawah yang akhirnya tergenang, rumah yang rusak dan fasilitas masyarakat yang tak berfungsi. Kerugian materi, ketakutan, kesedihan, dan wabah penyakit menjadi sebagian contoh dari berbagai potensi yang akan melemahkan masyarakat.
Saat anda membaca tulisan ini, mungkin ribuan korban banjir sedang berjuang untuk keluar dari masa sulitnya. Mungkin hujan telah mereda, pemukiman pun telah mengering. Tapi luka, kekhawatiran itu belum sirna. Sang pelangi mungkin belum muncul pasca hujan deras itu karena sang mentari pun tak kunjung menyinari dan coba menghangatkan.
Curah hujan yang tinggi, ketinggian sebuah kawasan, pengaturan aliran air,kemampuan satu kawasan meresap air itulah yang menjadi elemen-elemen yang akan menyebabkan banjir. Silahkan sedot air tanah secara berlebihan, silahkan dirikan bangunan-bangunan di daerah resapan air, persempit sungai-sungai dan danau, dan buanglah sampah sembarangan dan sumbatlah kali atau selokan-selokan yang ada. Buatlah elemen-elemen tadi berada dalam ketidakseimbangan nya. Dan beranikah untuk melihat kesulitan-kesulitan tadi? Silahkan buka mata, hati dan telinga kita, dan bertindaklah semaunya layaknya hidup yang memang merupakan sebuah pilihan. Dan bersiaplah dengan konsekuensi yang mengiringi nya.
Masih adakah kesungguhan dalam menyelamatkan kawasan resapan air, memperketat ijin pendirian bangunan, pembangunan kanal-kanal, perbaikan situ-situ dan danau-danau, sampai kesungguhan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah yang handal?? Dan yang tak kalah penting nya,beranikah (bukan sekadar mampu) semua pihak konsisten mengikuti aturan di dalamnya?? Dan sediakah media menggunakan perspektf jurnalisme linqkungan, menjadikan permasalahan lingkungan menjadi isu yang seksi untuk ditawarkan pada para pembacanya??
Bangunlah kearifan. Banjir hanyalah satu isyarat saja diantara sekian banyak bahasa alam yang menggugat ketidakarifan kita berinteraksi dengan lingkungan. Tak ada ruginya bermimpi dan tak ada salahnya hanya sekedar berharap dibanding tidak sama sekali. Saya hanya berharap, semoga pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dalam pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, dan virus dari individu yang punya kesadaran ekologis bisa menyebar cepat dan masif kepada individu lain nya.
Bukan sekedar loparamide, diphenoxylate, norit, kaolin,atau attapulgit untuk mengobati diare, atau berbagai antibiotik dan penurun panas serta pereda sakit saja untuk bisa mengatasi berbagai permasalahan kesehatan pasca bencana. Butuh otak dan hati setiap kita untuk dijadikan resep atas kesakitan bangsa di bidang ini. Banggunlah kearifan,berinteraksi dan jagalah keharmonisan dengan alam.
Ya, otak dan hati kita, gunakan itu dan buatlah Indonesia tersenyum :)