Pada berbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien. Persentase perkembangan menjadi sklerosis multipel setelah suatu episode neuritis optikus cenderung lebih tinggi seiring dengan peningkatan lamanya tindak lanjut pasien3. Sehingga diperlukan tindak lanjut pasien berupa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.
A. Definisi
Neuritis retrobulbar adalah salah satu bentuk neuritis optikus dimana inflamasi mengenai nervus yang terletak di belakang mata. Daerah inflamasi terletak di antara belakang mata dan otak4.
B. Etiologi
1. Inflamasi lokal2
a. Uveitis dan retinitis
b. Oftalmia simpatika
c. Meningitis
d. Penyakit sinus dan infeksi orbita
2. Inflamasi general2
a. Infeksi syaraf pusat
Multipel sklerosis
Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien3. Data dari “Mayo clinic” pada tahun 1933 didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh sklerosis multipel2.
Acute disseminated encephalomyelitis
Neuromyelitis optic (Devic disease)
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai nervus optikus. Penyakit ini sering salah didiagnosa dengan sklerosis multipel tetapi dapat dibedakan berdasarkan derajat keparahan, lokasinya (mengenai nervus optikus, medulla spinalis) dan analisis cairan serebro spinal (polymorphonuclear pleocytosis dan ketiadaan oligoclonal banding)7.
Encephalitis periaxial diffusa of Schilder
Herpes zoster
Encephalitis epidemic, poliomyelitis, inokulasi rabies
b. Syphilis
c. Tuberkulosis
3. Leber’s disease
Merupakan suatu penyakit herediter pada laki-laki muda, manifestasinya sebagai perubahan mendadak pada penglihatan sentral, pertama kali mengenai satu mata dan selanjutnya kedua mata. Karakteristiknya terdapat skotoma sentral dengan dence central nucleus. Pada beberapa kasus inflamasi mengenai nervus di dalam bola mata sehingga menyebabkan papilitis ringan. Pada kasus yang lain mengenai nervus di belakang mata2.
4. Toksin endogen
a. Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps, pneumonia
b. Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal
c. Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis
5. Intoksikasi racun eksogen seperti tobacco,etil alcohol, metil alkohol.
C. Patogenesis
Nervus optikus mengandung serabut-serabut syaraf yang mengantarkan informasi visual dari sel-sel nervus retina ke dalam sel-sel nervus di otak5. Retina mengandung sel fotoreseptor, merupakan suatu sel yang diaktivasi oleh cahaya dan menghubungkan ke sel-sel retina lain disebut sel ganglion. Kemudian mengirimkan sinyal proyeksi yang disebut akson ke dalam otak. Melalui rute ini, nervus optikus mengirimkan impuls visual ke otak6. Sehingga ketika nervus tersebut inflamasi, sinyal visual yang dihantarkan ke otak menjadi terganggu dan pandangan menjadi lemah4.
D. Faktor Resiko
Faktor resiko neuritis optikus termasuk:
1.Usia
Neuritis optikus sering mengenai dewasa muda usia 20 sampai 40 tahun; usia rata-rata terkena sekitar 30 tahun. Usia lebih tua atau anak-anak dapat terkena juga tetapi frekuensinya lebih sedikit5.
2.Jenis kelamin
Wanita lebih mudah terkena neuritis optikus dua kali daripada laki-laki5.
3.Ras
Neuritis optikus lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada ras yang lain5.
E. Epidemiologi
Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 20 sampai dengan 40 tahun. Wanita lebih umum terkena daripada pria. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77% adalah wanita, 85% kulit putih dan usia rata-rata 32 ± 7 tahun. Sebagian besar kasus patogenesisnya disebabkan inflamasi demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis optikus monosimptomatik merupakan manifestasi awal sklerosis multipel8.
F. Gejala Klinis
Keluhan utama pada neuritis optikus adalah sama, apakah nervus yang terkena terletak intra okular (papilitis) ataupun ekstra okular (neuritis retrobulbar)2.
1. Hilangnya penglihatan
Kehilangan penglihatan pada pasien dengan neuritis optikus umumnya terjadi tiba-tiba selama beberapa jam sampai beberapa hari. Progresi menjadi periodenya lama dapat terjadi tetapi mungkin terdapat faktor yang mendasarinya. Kehilangan penglihatan umumnya monokuler meskipun dapat juga mengenai kedua mata terutama pada anak-anak8.
2. Nyeri di sekitar mata
Nyeri ringan di dalam atau sekitar mata terdapat pada lebih 90% pasien. Nyeri tersebut dapat terjadi sebelumnya atau bersama-sama dengan hilangnya penglihatan, umumnya di cetuskan oleh pergerakan mata dan terjadi hanya beberapa hari8. Bola mata bila digerakkan akan terasa berat di bagian belakang bola mata, rasa sakit akan bertambah bila bola mata ditekan dan di sertai sakit kepala2.
G. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala klinis.
1. Anamnesis
Pasien umumnya wanita usia 20-40 tahun dengan keluhan gangguan penglihatan mendadak pada salah satu mata. Terdapat rasa nyeri yang memburuk dengan gerakan mata dan riwayat serangan sebelumnya9. Gangguan penglihatan ini dapat berkembang secara progresif beberapa jam sampai berhari-hari10. Dapat terdapat patch abu-abu pada pusat penglihatan. Pada kasus yang berat dapat terjadi kehilangan penglihatan sepenuhnya pada mata yang terkena11.
Serangannya mengenai unilateral pada 90% kasus meskipun terdapat resiko mata lainnya dapat terkena kemudian dan serangan kambuhan pada satu atau dua mata dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen11.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda disfungsi nervus optikus. Derajat hilangnya penglihatan bervariasi dari ringan sampai dengan berat. Penglihatan warna dan sensitifitas kontras berkurang pada hampir semua kasus8. Ketika melihat warna merah dengan mata yang sakit dapat terlihat memudar (desaturasi)9.
Terdapat juga defek pupil afferent pada hampir semua kasus neuritis optikus unilateral8.
Ketajaman penglihatan berkisar dari 20/20 sampai dengan persepsi terhadap cahaya9. Pada saat serangan akut, pemeriksaan medan penglihatan dapat menunjukkan skotoma sentral. Besar dari defek ini berkurang pada proses penyembuhan, sering meninggalkan defek residu di antara bintik buta dan area sentral11.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan lapang pandang ditemukan skotoma sentral8 dan parasentral relatif dan atau absolut 14.
3. Pemeriksaan Penunjang
Neuritis retrobulbar adalah suatu neuritis optikus yang terjadi cukup jauh di belakang diskus optikus sehingga perubahan-perubahan dini di diskus optikus tidak tampak dengan oftalmoskop; namun ketajaman penglihatan sangat menurun3.
Pada neuritis retrobulbar, diskus optikus dapat tetap tampak normal selama 4-6 minggu12. Walaupun pada permulaan tidak terlihat kelainan fundus, lama kelamaan akan terlihat kekaburan batas papil syaraf optik dan degenerasi syaraf optik akibat degenerasi serabut syaraf, disertai atrofi descenden (secondary optic atrophy ) akan terlihat papil pucat dengan batas yang tegas8.
Tes diagnostik seperti MRI, analisis cairan serebrospinal dan serologi, umumnya dipakai dengan alasan sebagai berikut8:
1.Untuk menentukan penyebabnya apakah suatu proses inflamasi atau non inflamasi, nonidiopathi, dan infeksi.
2.Untuk menentukan prognosisnya, apakah akan berkembang secara klinis menjadi multipel sklerosis.
a. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi kerusakan myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel. MRI juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi lain5. Pada pasien yang dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk konfirmasi diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium menunjukkan peningkatan dan pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter dengan diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan menyebar ke ruangan ventrikular8.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Protein ologinal banding pada cairan serebrospinal merupakan penentu sklerosis multipel. Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan pemeriksaan MRI normal8.
c. Test Visually Evoked Potentials
Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem visual, auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually evoked potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur13, dapat mendeteksi konduksi sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan daerah nervus5.
d.Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis optica. Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksaan ini untuk mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan tingkat sedimen eritrosit (erythrocyte sedimentation rate (ESR)) dipakai untuk mendeteksi inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan apakah neuritis optikus disebabkan oleh inflamasi arteri kranialis5.
H. Diagnosis Banding
1. Papilitis
Papilitis adalah inflamasi yang mengenai nervus optikus di dalam bola mata, merupakan salah satu tipe neuritis optikus yang sering terjadi pada anak-anak, memiliki gejala yang sama dengan neuritis retrobulbar tetapi pada pemeriksaan dengan opthalmoskopis dapat ditemukan pembengkakan pada diskus optikus13, hiperemi, tepi kabur dan semua pembuluh darah dilatasi2.
2. Compressive optic neuropathy
Terdapat kehilangan penglihatan akut. Pola kehilangan lapang pandang menunjukkan penyebabnya non inflamasi, misalnya ditemukan kehilangan penglihatan pada mata lainnya. CT Scan atau MRI dapat mengidentifikasi lesi kompresif pada orbita dan khiasma14. Pada Compressive optic neuropathy tidak terdapat pemulihan penglihatan15.
2. Nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy
Terdapatnya nyeri terutama pada pergerakan mata (meskipun tidak mutlak) secara klinis dapat membedakan neuritis optikus dengan nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy8.
1.Syndrom viral dan post viral
Parainfectious optic neuritis umumnya mengikuti onset infeksi virus selama 1-3 minggu, tetapi dapat juga sebagai phenomena post vaksinasi. Umumnya mengenai anak-anak daripada dewasa dan terjadi karena proses imunologi yang menghasilkan demielinisasi nervus optikus. Post viral atau parainfeksius neuritis optikus dapat terjadi unilateral tetapi sering bilateral. Diskus optikus dapat normal atau terjadi pembengkakan8.
I. Penatalaksanaan
1. Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid8.
Dalam penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan neuritis optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT (Longitudinal Optic Neuritis Study [LONS]) menghasilkan informasi yang penting tentang gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi CDMS (Clinically definite Multiple Sclerosis) 8.
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan terapi, yaitu8:
a.Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4 hari taper ( 20 mg hari 1, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
b.Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6 jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11 hari dengan 4 hari taper (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
c.Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.
Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang dinilai. MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah8:
a.Terapi dengan menggunakan metil prednisolon IV mempercepat pulihnya penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5 tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral, keuntungan terapi dengan menggunakan metil prednisolon IV ini baik dalam 15 hari pertama saja.
b.Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
c.Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan menggunakan metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.
2. Terapi jangka panjang
Diantara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah dilakukan penelitian 383 pasien oleh (the Controlled High-Risk Avonex MS Prevention Study [CHAMPS]) menunjukkan terapi dengan interferon ß-1a pada pasien acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan neuritis optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon ß-1a dan kelompok placebo juga mendapatkan terapi dengan metil prednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan interferon ß-1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study [ETOMS]) yang menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon ß-1a (34%) bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%)8.
Pada model eksperimen sklerosis multipel, terapi dengan immunoglobulin intravena telah ditunjukkan terjadi remielinisasi pada sistem syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan penglihatan yang jelas. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan kehilangan penglihatan tetap (20/ 40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan8.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih (diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan ETOMS, yaitu8:
1.Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari taper).
2.Interferon ß-1a (30 Avonex μg intramuskular satu kali seminggu).
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari 2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT, penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi8.
J. Prognosis
Prognosis dari penglihatan baik. Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-12 minggu11, sebanyak 95% pasien pulih penglihatannya menjadi visus 20/ 40 atau lebih baik16. Begitu proses pemulihan dimulai, sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2 bulan, meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan kehilangan penglihatan awal menjadi penentu terhadap prognosis penglihatan. Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20 atau bahkan lebih baik, banyak pasien dengan acute demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi kelainan pada penglihatan yang mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya. Kelainan tajam penglihatan (15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-100%), lapang pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89–100%), reaksi pupil afferent (55–92%), diskus optikus (60–80%), dan visual-evoked potential (63–100%). Rekurensi dapat terjadi pada mata yang lain, kira-kira 30% dari partisipan ONNT terdapat episode ke 2 pada mata yang lain dalam 5 tahun8
DAFTAR PUSTAKA
1.Kelly, A., G., Mathew, J., Cooper, P., Macdermott, “Evaluation of the Management of Optic neuritis: audit on the neurological and ophthalmological practice in the north west of England”, dalam J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry, Hal 119-121, http://jnnp.bmj.com/cgi/content/full/72/1/119, 2002.
2.Adler, F., H.. “The Optic Nerve”. dalam Gifford’s Textbook of Opthalmology Sixth edition, Hal 365-371, Penerbit W. B Saunders Company, London, 1960.
3.Chavis, S., P., Hoyt, W., F., “Neuro-Oftalmologi”, dalam Oftalmology Umum Edisi 14, Hal 272-313, Penerbit Widya Medika, Jakarta, 2000.
4.Anonim, “Retrobulbar Neuritis“ dalam “https: //sidb1p:9047/ IH/ihtIH?st=8320&r=WSIHW000&d=dmtCGIStubCONTENT.
5.Anonim, “Optic Neuritis”, dalam http://www.mayoclinic.com/health/optic-neuritis/DS00882/METHOD=displayFull, 2007.
6.Anonim, “Optic Neuritis”, dalam http: //www.uic.edu/com/eye/PatientCare/NeuroOphService.shtml. Optic Neuritis, 1988.
7.Kang, P., “Optic Neuritis”, dalam http:// emedicine.com/Radio/HeadNeck/OpticNeuritis, 2006.
8.Balcer, L., R., Beck, R., W., “Inflamatory Optic Neuropathies and Neuroretinitis”, dalam Opthalmology second edition, Hal 1263-1267, Penerbit Mosby, St Louis, 2003.
9.Khaw, R., T., Shah, P., Elkington, A., R., “Acute Visual Disturbance”, dalam ABC of Eyes Fourth Edition, Hal 33-39, Penerbit BMJ Publishing Group, London, 2004.
10.Bradford, C., A., “Acute Visual Loss”, dalam Basic Opthalmology Eight Edition, Hal 39-40, Penerbit American Academy Of Ophthalmology Association, San Fransisco, 2004.
11.Galloway, N., R., Browning, A., C., “Neuro-ophthalmology”, dalam Common Eye Diseases and Their Management Third Edition, Hal 179-188, Penerbit Springer-Verlag, London, 2006.
12.Langstan, D., P, “Neuroophthalmology: Visual Fields, Optic Nerve, And Pupil”, dalam Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5th edition, Hal 434-450, Penerbit Lippincott, Williams & Wilkins, Boston, 2002.
13.Kansku, J., J., “Neuro Ophthalmology”, dalam Clinical Opthalmology A Systematic Approach Third Edition, Hal 458-460, Penerbit Butterworth Heinnmann, London, 1997.
14.Lerman, S., “The Optic Nerve”, dalam Basic Opthalmology, Hal 430-431, Penerbit McGraw Hill Company, New York, 1970.
15.Meadows, S., P., “Lesions of The Optic Nerve”, dalam Medical Opthalmology., Hal 165-170, Penerbit Chapman and Hall, London, 1976.
16.Lin, M., C., Bee, Y., S., Sheu, S., J., “A Suprasellar Meningioma Simulating Atypical Retrobulbar Optic Neuritis”, dalam J. Chin Med Assoc, Hal 689-692, 2003.