Bingung membaca judul di atas? Anda mungkin akan berpikir topik salah diagnosis yang akan saya ceritakan. Tidak sepenuhnya salah, namun tidak 100 persen tepat.
Saya akan memulai cerita dari beberapa kasus yang saya temui di poliklinik jantung anak dalam beberapa minggu terakhir.
Beberapa penyakit jantung bawaan (PJB) pada anak memang tidak terdiagnosis sejak lahir. Sayangnya tidak semua orangtua memahami hal ini, sehingga tidak jarang beberapa kasus PJB non sianotik (tidak menimbuhkan keluhan "biru" pada anak) baru disampaikan dokter pada orangtua, setelah bertahun-tahun mereka melakukan kunjungan pemeriksaan kesehatan rutin ke dokter, dan tidak pernah mendapatkan pernyataan "anak Anda tampaknya mengalami PJB", berdasarkan bunyi jantung yang didengarkan dengan sangat cermat melalui alat sederhana bernama stetoskop itu.
Secara umum PJB dapat dibagi menjadi golongan sianotik (muncul keluhan biru mulai dari sekitar mulut, sampai telapak tangan dan kaki, seringkali disertai sesak napas dan penampilan anak yang menunjukkan kondisi gawat darurat) dan non sianotik. Cukup mudah untuk mencurigai PJB pada jenis sianotik, namun bagaimana dengan golongan non sianotik? Tiga jenis kelainan PJB non sianotik terbanyak adalah duktus arteriosus persisten (browsing saja: PDA/persistent ductus arteriosus), defek septum ventrikel (keywords: VSD/ventricular septal defect), dan defek septum atrial (cari di search engine: ASD/atrial septal defect).
Pada bayi baru lahir sampai dengan usia sekitar delapan minggu, tahanan pembuluh darah yang menuju paru (dari jantung) masih cukup tinggi, sehingga adanya "kebocoran" (sebenarnya istilah ini kurang tepat, karena tiga kelainan PDA-VSD-ASD terjadi bukan akibat bocor, tetapi adanya celah yang seharusnya (sudah) menutup saat bayi lahir) yang menyebabkan adanya aliran/pirau dari bagian kiri ke kanan jantung, tidak akan menyebabkan bunyi "bising", akibat tidak adanya turbulensi. Ini prinsip fisikanya: (1) bising jantung terdengar hanya bila terjadi turbulensi; (2) pirau dari kiri ke kanan yang diimbangi oleh tahanan pembuluh paru yang masih tinggi tidak akan menyebabkan turbulensi.
Paham?? Well... singkat cerita, tahanan pembuluh darah yang menuju paru baru turun pada usia sekitar 8 sampai 12 minggu, sehingga timbul perbedaan tekanan yang cukup bermakna untuk menimbulkan turbulensi dan bermanifestasi sebagai bising jantung.
Maksud saya adalah: bayi baru lahir yang tidak memiliki keluhan sama sekali, tanpa kelainan bunyi jantung, dan dokter segera menyatakan "bayi Anda sehat, tidak ada kelainan, dan semua organnya normal", belum tentu tidak memiliki kelainan jantung bawaan, karena jenis PJB non sianotik bisa jadi paling cepat terdeteksi pada usia 12 minggu, karena bising jantung (murmur) baru dapat didengarkan dengan cermat pada saat ini, tergantung seberapa kecil celahnya. Lho, kok bukan seberapa besar? Semakin besar celah, bisa jadi semakin sulit bising terdengar.
One point I'd like to emphasize is: dokter harus melakukan pemeriksaan fisik jantung dengan cermat, yang kadang-kadang cukup sulit (anak menangis, tidak bisa diam, telinga dokternya belum dibersihkan, hehe), untuk dapat menemukan PJB ini. Satu kasus yang saya temukan beberapa hari silam adalah: usia 15 tahun yang baru diketahui mengalami ASD sekundum, karena keluhan yang tidak berhubungan dengan PJB sebenarnya. Anak ini memiliki perawakan normal (artinya gizinya baik), IQ superb (dia juara olimpiade sains), dan tidak pernah diketahui mengalami PJB sebelumnya. Kebetulan saja dokter yang memeriksanya terakhir kali adalah ahli jantung yang mendengarkan bising yang haammpiirr tidak terdengar, dan segera dilakukan ekokardiografi pada hari itu juga, dan... hasilnya ASD sebesar beberapa belas milimeter, ia sebaiknya segera mencari waktu untuk menutup celah di antara kedua serambi jantungnya.
Hal lain yang ingin saya sampaikan adalah: pada pemeriksaan foto rontgen dada ketiga jenis PJB asianotik/non sianotik tadi, dapat dijumpai gambaran pembuluh darah paru yang meningkat, khususnya pada jenis ASD. Hampir semua kasus ASD yang kami temui pernah mendapatkan pengobatan anti tuberkulosis (OAT), karena didiagnosis dokternya sebagai "flek paru" dan diobati sebagai tuberkulosis (TB) tentunya. Padahal si anak sama sekali tidak pernah terinfeksi kuman TB. Ini sebuah pelajaran lagi bagi dokter untuk lebih cermat dalam mendiagnosis TB.
Well, itulah dua hal yang ingin saya sampaikan. Mudah-mudahan tidak bingung memahaminya.
ditulis di tengah-tengah keributan kamar PPDS dan upaya untuk berkonsentrasi penuh dengan otak mengantuk