SUMBER; bali post
Sabtu (24/1) ini, umat Hindu kembali merayakan Siwaratri. Hari suci yang datang setahun sekali itu dirayakan tepat pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kapitu). Lalu, apa sesungguhnya hakikat Siwaratri?PENGAMAT agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ''Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya 'penyatuan' Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri,'' katanya, Jumat (23/1) kemarin.Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.Lanjut Widana, perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.Dosen IHDN Denpasar Made Surada mengatakan hal yang sama. Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini.Dikatakannya, teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Siwaratri.Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14 sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).Surada menambahkan, umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan,'' ujarnya.Sementara dalam buku ''Memahami Makna Siwaratri'' karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Siwaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan. (lun)