Apa yang Dokter Bisa Lakukan dalam Menangani Masalah Kemiskinan: Sebuah Pengalaman Pribadi (bagian 1)
Bagi Anda yang membaca posting saya sebelumnya, pasti bisa menebak bahwa tulisan ini terinspirasi dari buku "Banker to The Poor"-nya Prof. Muhammad Yunus. Anda tidak salah. Buku ini sangat inspiratif bagi saya. Untuk itu, saya ingin berbagi pengalaman saya yang baru menjalani profesi dokter selama empat tahun ini, yang sekiranya relevan dengan ide-ide Muhammad Yunus.
Saya sangat bersyukur dengan pengalaman profesi saya yang sebenarnya masih sangat sedikit ini. Lulus dari fakultas kedokteran empat tahun silam, saya belum memiliki rencana spesifik, akan menjadi dokter seperti apa saya. Beberapa jenis pekerjaan telah saya coba: menerima tawaran untuk melamar sebagai dokter di sebuah perusahaan asuransi, menjadi dokter jaga di klinik 24 jam, namun hanya bertahan tidak lebih dari 48 jam, dan selebihnya ditawari kakak-kakak kelas. Pekerjaan yang cukup lama bertahan adalah menjadi dokter pemeriksa di sebuah perusahaan taksi dan dokter jaga di Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), klinik khusus untuk dhu'afa. Dua pekerjaan ini membiasakan saya berinteraksi dengan pasien yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dua tempat ini juga mengasah kemampuan saya berinteraksi dengan pasien, membuat pola dan teknik komunikasi yang khas dan individual antara dokter-pasien, dan mendapatkan penghasilan tetap tentunya. Cerita-cerita berkesan tentang dua tempat ini ada di arsip blog.
Tak lama setelah lulus, saya juga bertemu kembali dengan guru saya di fakultas kedokteran. Interaksi dengan beliau mengharuskan saya melatih diri memberikan banyak ceramah kesehatan bagi masyarakat non medis. Tidak sampai satu tahun berselang, saya dan istri menggali pengalaman baru sebagai dokter dan dokter gigi program tidak tetap (PTT) di propinsi Jambi. Hanya enam bulan, cukup singkat memang. Kini, empat tahun pasca lulus dari FK, saya kembali menjalani pendidikan sebagai peserta program pendidikan dokter spesialis anak di almamater S1.
Komentar pertama saya lahir dari pengalaman bekerja di LKC. Buat saya, lembaga ini tidak sekedar memberikan dana berobat bagi masyarakat dhu'afa yang butuh pengobatan namun tidak punya uang, tetapi juga berusaha memberdayakan mereka, lepas dari segala kekurangan sistem yang ada. Penjaringan anggota dilakukan dari survei tim LKC langsung ke rumah-rumah mereka yang mengajukan keanggotaan. Segera setelah disetujui, anggota memiliki hak untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis, sama sekali tidak dipungut biaya, dengan mendatangi LKC. Dari berbagai penjuru Jabodetabek, bahkan beberapa dari luar wilayah ini, termasuk luar Jawa, kaum dhu'afa datang untuk mendapatkan layanan kesehatan umum, gigi, kebidanan dan kandungan, pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta obat langsung dari apotek LKC. Tak dapat dipungkiri, kesannya memang dominan kuratif: kalau sakit ya baru datang untuk berobat. Beberapa yang harus dirujuk ke RS, misalnya harus mendapatkan kemoterapi, dilakukan operasi besar hingga amputasi sekalipun, dan konsultasi ke subspesialis, diantarkan langsung menggunakan ambulans LKC, dan diurusi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)-nya. Setidaknya LKC membantu mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan SKTM/JAMKESMAS dari pemerintah ini. Untuk menghindari kesan kuratif, LKC juga memiliki banyak program di bidang promotof/preventif. Lembaga ini memiliki banyak desa binaan dan memberikan supervisi bagi pos-pos kesehatan mandiri yang memiliki dana untuk memberdayakan masyarakat setempat di bidang kesehatan, misalnya dalam hal revitalisasi Posyandu, membentuk kader-kader pemberantas tuberkulosis (TB), dan penanganan gizi buruk. Inilah beberapa kegiatan yang saya tahu hingga saya meninggalkan LKC 1,5 tahun silam. Saya bercerita di sini berdasarkan pengalaman pribadi, tidak mewakili lembaga.
Pelajaran berharga yang ingin saya bagi adalah: kekuatan dana zakat-infak-sodaqoh yang dikelola secara amanah dan profesional, ternyata dengan cukup efisien mampu memberikan kontribusi menyehatkan masyarakat miskin secara optimal. Dana tidak sekedar digunakan untuk membiayai pengobatan orang sakit, tapi juga memberdayakan mereka saat sehat, sebelum jatuh sakit. Lembaga-lembaga seperti LKC sebenarnya sudah lahir di banyak tempat saat ini. Namun yang memiliki jam terbang dan diversifikasi program seperti LKC belum banyak.
Bertolak dari sini, ada beberapa hal yang menurut saya bisa dokter lakukan untuk membantu masyarakat miskin di bidang kesehatan:
1. Memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat non medis, misalnya penyuluhan kesehatan.
Saya dan istri memahami, penghasilan keluarga tidak dapat digantungkan semata dari menjalankan profesi medis ini. Kami bukanlah tipe orang yang "ngoyo", berusaha mendapatkan semaksimal mungkin dari praktik dokter-dokter gigi saja. Orangtua kami telah mengamanahkan anak-anaknya menjadi profesional medis untuk dapat membantu orang lain. Konsekuensinya: berprofesi harus seimbang dunia-akhirat. Tiap pasien harus dilayani dengan baik: tidak hanya diobati penyakitnya, tetapi diberikan pencerdasan agar ketika menghadapi kondisi penyakit serupa, bisa menangani terlebih dahulu sendiri di rumah. Pasien diberitahu kapan harus ke dokter. Kalau memang tidak perlu ke dokter, ya tidak perlu ke dokter. Rugi dong dokternya? Insya Alloh tidak. Kadang saya geli juga dengan istri saya. Ia demikian semangatnya menjelaskan bahwa sikat gigi itu penting, menunjukkan dengan model gigi bagaimana cara menyikat gigi, dan bahwa gigi pasiennya tidak perlu dicabut, tapi bisa dirawat dulu. Tapi si pasien sudah tidak sabar ingin giginya dicabut, dan tampak bosan dengan penyuluhan istri saya. Tidak mudah memang mengubah pola pikir masyarakat yang ingin datang ke dokter, dapat obat, terus sembuh. Kalau dokternya tidak manjur, ya pindah ke dokter lain. Kalau tidak dapat obat, tidak bakalan sembuh.
Saking tertariknya dengan urusan suluh-menyuluh, istri saya pernah merancang program yang ia namakan "Dana Sehat", yaitu warga RT/RW mengumpulkan iuran Rp 3.000 per kepala keluarga per bulan, dan dananya diolah untuk diwujudkan menjadi buletin kesehatan dan pemeriksaan-pemeriksaan preventif kesehatan lainnya dengan harga sangat murah. Niatnya menciptakan masyarakat yang sehat. Puskesmas setempat yang seharusnya banyak menjalankan program preventif-promotif ini tidak banyak berperan. Puskesmas nyatanya lebih tendensius di bidang kuratif: mengobati yang sakit. Namun para petinggi masyarakat di lingkungan rumah kami kurang menanggapinya. Ini tantangan sesungguhnya. Kami hanya single fighter. Perjalanan untuk mewujudkan cita-cita kami masih panjang.
Belum lagi program lain istri saya dengan semangatnya yang tak pernah padam: Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) Mandiri. Yaitu menawarkan ke sekolah-sekolah yang ada satu paket perawatan gigi lengkap dengan biaya wajar, dengan menitikberatkan pada upaya promotif-preventif. Tidak berbeda dengan UKGS yang diadakan Puskesmas. Namun karena terbatasnya cakupan Puskesmas ke sekolah swasta, upaya ini harus dilakukan. Rencana ini timbul dengan pengalaman istri saya menjalankan UKGS bermodalkan poster pemberian di hampir semua SD di kawasan transmigrasi pelosok Kabupaten Muara Jambi saat PTT. Ketika Puskesmas kebanyakan hanya memberikan penyuluhan saja untuk menggugurkan kewajiban dari Dinas Kesehatan Kabupaten, dan dianggap telah menjalankan program, istri saya memberikan bonus bagi seluruh sekolah: pemeriksaan gigi gratis plus pencabutan gigi susu, dan sikat gigi massal. Petugas Puskesmas lain agak sulit mengikuti istri saya yang terlalu rajin ini. Hehe.
Bagaimana cara lain meningkatkan penghasilan keluarga, jika tidak dapat mengandalkan income dari praktik kedokteran? Investasi di bidang ekonomi lainnya. Yang penting halal dan sesuai syari'ah. Lagi-lagi motornya istri saya, yang menggemari investasi sejak mahasiswa. Sampai sekarang ia masih berjualan pulsa elektrik sebagai hobi dan memudahkan kami mengisi ulang pulsa. Ia juga menjalankan usaha makanan franchise bermodal kecil selama setahunan ini. Kami juga sedang menggemari Aidil Akbar dan Perfect Number-nya. Saat ini, semangat yang ada adalah mencari ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di bidang investasi. Bukankah sembilan dari sepuluh sahabat Rasululluah saw yang dijamin masuk surga adalah pedagang? Mengapa umat Islam dari profesi manapun kemudian tidak berani berdagang? Dengan tidak mengabaikan kode etik profesi tentunya: tidak menjalin kolusi dengan farmasi, tidak membohongi pasien dengan diagnosis tidak jelas (kalau tidak tahu atau tidak yakin, ya bilang saja tidak tahu, tapi berjanji untuk mencarikan jawabannya), dan berani tidak melubangi kantong pasien dengan resep obat yang tidak perlu.
2. Menanamkan pemahaman pola penggunaan obat yang rasional, yaitu menghindari praktik polifarmasi (meresepkan lebih dari dua obat, yang sebenarnya tidak perlu) dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Polifarmasi berdampak pada kemungkinan interaksi obat yang berpotensi membahayakan tubuh, padahal seringkali dokter tidak memahami interaksi obat-obatan yang diresepkannya. Mereka hanya mengikuti resep turun-temurun dari para pendahulunya: puyer/kapsul campur untuk diare, puyer untuk batu-pilek, kapsul campur untuk demam, dsb. Apoteker lalu tidak meneliti lebih jauh kemungkinan interaksi yang dapat terjadi, dan asisten apoteker lalu meraciknya mengikuti instruksi. Dampak lain tentunya pada biaya obat yang mahal. Bayangkan saja jika resep yang mahal ini diresepkan ke pasien-pasien kurang mampu, karena dokter kurang pede untuk meresepkan seminimal mungkin obat, khawatir obatnya tidak cespleng dan pasiennya tidak lekas sembuh, apalgi kabur ke dokter lain. Biaya pengobatan mahal ini lebih berguna ditabung untuk pendidikan anak-anaknya atau membeli bahan pangan bergizi tinggi.
Pun dengan antibiotika. Jangan ragu untuk tidak meresepkan antibiotika sama sekali, kalau penyakitnya akibat infeksi virus, atau pilihlah antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin sesuai panduan (guidelines) penyakitnya. Kekurangpercayadirian dokter membuat mudahnya mereka meresepkan antibiotika spektrum luas sebagai pilihan pertama. Lagi-lagi dampak negatifnya akan sama seperti paragraf di atas, baik bagi pasien miskin ataupun kaya.
Dalam satu sesi ceramah di sebuah universitas di tepi Jakarta, mendampingi pembicara dari Kanada, sehingga saya harus berbicara dalam dua bahasa, seorang panelis bertanya, apakah saya hanya akan jadi pahlawan kesiangan, memaparkan fakta polifarmasi dan penggunaan antibiotika yang berlebihan, sedangkan saya berdiri sebagai pembicara seolah-olah hanya menampilkan masalah, tanpa melakukan sesuatu untuk mengatasinya? Saya terkejut sekaligus geli dengan pertanyaan spontan dosen bertitel pascasarjana itu. Satu-dua orang dokter yang berusaha bersikap idealis, tidak melakukan praktik polifarmasi dan meresepkan antibiotika dengan hati-hati, mungkin tidak akan membuat perbaikan bermakna. Untuk itu perlu adanya ajakan dari satu dokter ke dokter lain, yang diharapkan terus bergulir seperti bola salju, hingga akhirnya semakin banyak dokter akan memiliki kesadaran dan pemahaman untuk bersikap rasional dalam melakukan peresepan. Namun penelitian menunjukkan bahwa dokter adalah salah satu profesi yang paling sulit mengubah pola praktik yang sudah turun-temurun berjalan di Indonesia ini. Seorang sejawat saya yang pernah menjadi staf pengajar untuk pendidikan spesialis dengan pesimis mengatakan bahwa karena sulit mengubah perilaku dokter yang dididiknya (baru kelihatan ketika sudah lulus dan berpraktik sebagai dokter spesialis), ia memutuskan untuk mengajar saja pasien-pasiennya supaya pintar. Mengerti ilmu kesehatan. Konsumen kesehatan adalah dokter bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Setidaknya inilah yang dokter bisa lakukan: memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat awam (non medis).
Bagi saya pribadi, pengalaman memberikan ceramah kesehatan ini juga sangat menyenangkan. Atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan guru saya di milis sehat, saya bisa merasakan pengalaman memberikan ceramah mulai dari orangtua-orangtua muda berlatar pendidikan sarjana di Jakarta dan sekitarnya, ceramah bagi ibu-ibu pengajian di beberapa masjid, pelatihan bagi dokter dan tenaga medis di perusahaan di luar kota, hingga terbang ke Surabaya dan pembangkit listrik di Paiton, Probolinggo. Kesannya sama: mereka semua antusias dengan materi-materi kesehatan yang kami berikan. Mereka butuh. Mereka juga berpotensi menjadi agen perubahan yang akan menularkan "virus of the mind" ini ke kerabat-kerabat terdekatnya. Umumnya mereka berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Setelah mendapatkan ceramah, sangat mungkin pos pengeluaran mereka di bidang kesehatan akan berkurang, karena mereka telah tahu bagaimana layanan kesehatan yang rasional. Andaikan saja masyarakat yang miskin dan awam kesehatan mendapatkan pencerdasa-pencerdasan semacam ini. Mereka tidak perlu khawatir uang mereka yang pas-pasan akan habis untuk biaya berobat ke dokter.
belum kelar... ada usulan untuk sambungannya? Mungkin saya akan sedikit bercerita tentang program dokter keluarga yang diterapkan oleh Bupati/Walikota Bontang, Kalimantan...