Oleh: AA Ngurah Made ArwataSarad Bali Edisi Mei 2008.
Buat orang Bali khususnya yang pemeluk Hindu, babantenan merupakan bagian kehidupan dan penyatuan dirinya dengan kesemestaan alam. Setiap bentuk hubungan peristiwa manusia dan alam diwujudkannya dalam banten dengan susunan sesuai makna dan tujuannya.
Banyaknya kejadian dan semakin kompleknya tuntutan manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, menimbulkan masalah yang cukup serius dari berbagai aspeknya. Interaksi sosial, ekonomi, budaya, psikologi semakin rumit. Keterdesakan waktu, ketergesa-gesaan, perasaan tertekan menggeser hidup santai dan kebersahajaan orang Bali. Namun berapapun dahsyatnya faktor pengubah tatanan kehidupan sosial materialistis, ternyata tidak mampu menggemingkan apalagi mematahkan semangat sosial religius yang ditunjukkan dengan babantenan . Hal ini mungkin sulit dipahami oleh banyak orang termasuk intelektual yang berpengetahuan luas, berwawasan spiritual. Tapi tidak bagi orang awam sekalipun yang memiliki kesadaran alam tentang rasa dan mengerti makna kebalian orang Bali. Seruan, imbauan, intruksi yang didasarkan kewenangan maupun kekuasaan, penyadaran-penyadaran yang dilandasi hasil kajian ilmiah, intervensi, intimidasi, provokasi yang bersifat sumbang terhadap babantenan dari berbagai aspeknya, tidak menyurutkan niat orang untuk mabanten (menghaturkan sesaji). Bahkan sebaliknya, terjadi peningkatan niat dan usaha mengembangkan banten dan babantenan dalam frekuensi maupun volumenya.
Jika banten dianggap masalah sehingga perlu dipersoalkan, maka dibutuhkan “kejelasan” letak masalahnya. Apanya yang salah? Tidakkah “anggapan” merupakan faktor sebab perbedaan cara pandang dan sikap kita memberikan penilaian terhadap banten? Pencarian “akar” masalah berdasarkan sikap bijak sangat dibutuhkan. Karena banten dalam implementasinya merupakan hak “privacy” yang menyangkut keyakinan pribadi yang berkaitan dengan lingkungan, semesta, alam yang berkaitan dengan kedamaian hati seseorang. Pengaturan oleh para pihak hanya dapat dilakukan dalam kaitan sosial kemasyarakatan yang dapat diduga dan dibuktikan mengganggu keamanan, kenyamanan, dan kesenangan orang lain. Itu pun mesti sesuai dengan kewenangan dan ketentuan yang sah dan berlaku dengan mempertimbangkan Desa, Kala, Patra. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa banten dan babantenan adalah merupakan cetusan hati manusia/penganut Hindu, sebagai satu pernyataan suksmaning manah (terimakasih) ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atas karunia dari kehidupan yang diberikanNya. Dalam melaksanakan kehidupan atas kekurangan, semangat, kemerdekaan untuk mengelola hidup, manusia berintegrasi, berinterelasi, dan berinteraksi dengan berbagai kekuatan energi yang berada disekelilingnya, guna menciptakan tatanan kehidupan yang sejahtera, berkeadilan berdasarkan keselarasan dalam pertentangan membangun kesemestaan yang berkelanjutan.
Dari uraian yang tersurat pun yang tersirat, bahwa banten dan babantenan mengandung makna dualitas pemberian dengan pengorbanan yang dilandasi ketulusan yang bersifat naluriah ( instingtif ), terbebas dari pertentangan rasionalitas materialistis. Dasarnya , jujur terhadap rasa ( seh ), diyakini, dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Apapun dampaknya diterima dengan pikiran positif. Logikanya, bahwa karena ungkapan suksmaning manah didasarkan kepada pemberian (karunia dan kehidupan), maka yang disuguhkannya adalah hasil olah pikir, olah laku, olah rasa dari bentuk pemberian ke bentuk baru yang sudah terolah dalam tatanan yang mengandung unsur kesemestaan, keindahan, kemanfaatan, kelestarian bagi keberlanjutan. Artinya , bahan yang digunakan hendaklah yang dihasilkan—apapun itu—dengan bahasa kerennya local product , ditata menggambarkan tatanan kesemestaan dalam satu satuan ataupun total, dan menyempurnakannya dengan unsur-unsur keindahan yang bersumber dari ketrampilan maupun cita rasa.
Raringgitan pada janur, aroma dan warna yang alami pada suguhan, sehingga tampilan banten menjadi resik (bersih, estetis, dan etis). Baik banten yang akan dipersembahkan sebagai ungkapan syukur ( pangajum-ngajum dan pengharum) kepada Tuhan Semesta Alam maupun yang disajikan dalam pengorbanan sebagai bentuk terima kasih kepada energi lain ( babhutan ). Jika pemahaman banten seperti tadi telah diresapi dan diterima, maka banten bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan tetapi merupakan sesuatu yang perlu dikawal dalam proses perubahan agar tidak melenceng dari hakekat yang tersirat sebagai media pembelajaran, pemantapan diri melalui olah pikir (melihat ke depan), olah laku (terampil), dan olah rasa (ketajaman naluri). Di samping sebagai upaya menjaga kelestarian dan keselarasan lingkungan (berbagai jenis tanaman, ternak dijaga, dipelihara dan ditata sesuai tatanan ruang karena memiliki nilai sosial dan ekonomi).
Penyadaran diri pada hakekat hubungan keselarasan kelemahan dan keterbatasan (mengurangi keserakahan dan menghayati makna berbagi) mengandung makna distribusi pendapatan dan penciptaan lapangan kerja. Jadi, yang penting dan terpenting berbicara dalam banten dan babantenan , bahwa penekanan tentang pemaknaan banten sebagai ungkapan suksmaning manah harus resik. Banten adalah perwujudan dari berkah, merupakan prasadam (yang harus dinikmati). Surudannya jangan dibuang, karenanya harus dibuat dari bahan-bahan yang bermutu dan layak dikonsumsi—diupayakan hasil lokal.
Sedangkan prinsip yang dipegang dalam penyelenggaraan yajnya dengan babantenan adalah tepet , genep tanding tuna surud , guna mencegah terjadinya pemborosan sekaligus menepis issue bahwa banten mahal, boros dan merupakan aktifitas yang memproduksi sampah. Jangan pernah berhenti mabanten , yang penting rencanakan dengan baik sesuai kemampuan. Kerjakan bersama dalam kebersamaan untuk membangun harmonisasi keluarga melalui pelatihan penalaran minat dan bakat pada pembuatan sarana banten. Kaji ( review ) kelengkapan banten, perhatikan cara kerja ahli banten ( tapini ) untuk menambah pemahaman dan kemampuan berfikir positif terhadap dampak banten. Semoga banten lestari sehingga lingkungan dan budaya Bali tumbuh berkembang dinamis sesuai kultur kebalian orang Bali. Anak Agung Ngurah Made Arwata. Planolog.
Next >
Banyaknya kejadian dan semakin kompleknya tuntutan manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, menimbulkan masalah yang cukup serius dari berbagai aspeknya. Interaksi sosial, ekonomi, budaya, psikologi semakin rumit. Keterdesakan waktu, ketergesa-gesaan, perasaan tertekan menggeser hidup santai dan kebersahajaan orang Bali. Namun berapapun dahsyatnya faktor pengubah tatanan kehidupan sosial materialistis, ternyata tidak mampu menggemingkan apalagi mematahkan semangat sosial religius yang ditunjukkan dengan babantenan . Hal ini mungkin sulit dipahami oleh banyak orang termasuk intelektual yang berpengetahuan luas, berwawasan spiritual. Tapi tidak bagi orang awam sekalipun yang memiliki kesadaran alam tentang rasa dan mengerti makna kebalian orang Bali. Seruan, imbauan, intruksi yang didasarkan kewenangan maupun kekuasaan, penyadaran-penyadaran yang dilandasi hasil kajian ilmiah, intervensi, intimidasi, provokasi yang bersifat sumbang terhadap babantenan dari berbagai aspeknya, tidak menyurutkan niat orang untuk mabanten (menghaturkan sesaji). Bahkan sebaliknya, terjadi peningkatan niat dan usaha mengembangkan banten dan babantenan dalam frekuensi maupun volumenya.
Jika banten dianggap masalah sehingga perlu dipersoalkan, maka dibutuhkan “kejelasan” letak masalahnya. Apanya yang salah? Tidakkah “anggapan” merupakan faktor sebab perbedaan cara pandang dan sikap kita memberikan penilaian terhadap banten? Pencarian “akar” masalah berdasarkan sikap bijak sangat dibutuhkan. Karena banten dalam implementasinya merupakan hak “privacy” yang menyangkut keyakinan pribadi yang berkaitan dengan lingkungan, semesta, alam yang berkaitan dengan kedamaian hati seseorang. Pengaturan oleh para pihak hanya dapat dilakukan dalam kaitan sosial kemasyarakatan yang dapat diduga dan dibuktikan mengganggu keamanan, kenyamanan, dan kesenangan orang lain. Itu pun mesti sesuai dengan kewenangan dan ketentuan yang sah dan berlaku dengan mempertimbangkan Desa, Kala, Patra. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa banten dan babantenan adalah merupakan cetusan hati manusia/penganut Hindu, sebagai satu pernyataan suksmaning manah (terimakasih) ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atas karunia dari kehidupan yang diberikanNya. Dalam melaksanakan kehidupan atas kekurangan, semangat, kemerdekaan untuk mengelola hidup, manusia berintegrasi, berinterelasi, dan berinteraksi dengan berbagai kekuatan energi yang berada disekelilingnya, guna menciptakan tatanan kehidupan yang sejahtera, berkeadilan berdasarkan keselarasan dalam pertentangan membangun kesemestaan yang berkelanjutan.
Dari uraian yang tersurat pun yang tersirat, bahwa banten dan babantenan mengandung makna dualitas pemberian dengan pengorbanan yang dilandasi ketulusan yang bersifat naluriah ( instingtif ), terbebas dari pertentangan rasionalitas materialistis. Dasarnya , jujur terhadap rasa ( seh ), diyakini, dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Apapun dampaknya diterima dengan pikiran positif. Logikanya, bahwa karena ungkapan suksmaning manah didasarkan kepada pemberian (karunia dan kehidupan), maka yang disuguhkannya adalah hasil olah pikir, olah laku, olah rasa dari bentuk pemberian ke bentuk baru yang sudah terolah dalam tatanan yang mengandung unsur kesemestaan, keindahan, kemanfaatan, kelestarian bagi keberlanjutan. Artinya , bahan yang digunakan hendaklah yang dihasilkan—apapun itu—dengan bahasa kerennya local product , ditata menggambarkan tatanan kesemestaan dalam satu satuan ataupun total, dan menyempurnakannya dengan unsur-unsur keindahan yang bersumber dari ketrampilan maupun cita rasa.
Raringgitan pada janur, aroma dan warna yang alami pada suguhan, sehingga tampilan banten menjadi resik (bersih, estetis, dan etis). Baik banten yang akan dipersembahkan sebagai ungkapan syukur ( pangajum-ngajum dan pengharum) kepada Tuhan Semesta Alam maupun yang disajikan dalam pengorbanan sebagai bentuk terima kasih kepada energi lain ( babhutan ). Jika pemahaman banten seperti tadi telah diresapi dan diterima, maka banten bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan tetapi merupakan sesuatu yang perlu dikawal dalam proses perubahan agar tidak melenceng dari hakekat yang tersirat sebagai media pembelajaran, pemantapan diri melalui olah pikir (melihat ke depan), olah laku (terampil), dan olah rasa (ketajaman naluri). Di samping sebagai upaya menjaga kelestarian dan keselarasan lingkungan (berbagai jenis tanaman, ternak dijaga, dipelihara dan ditata sesuai tatanan ruang karena memiliki nilai sosial dan ekonomi).
Penyadaran diri pada hakekat hubungan keselarasan kelemahan dan keterbatasan (mengurangi keserakahan dan menghayati makna berbagi) mengandung makna distribusi pendapatan dan penciptaan lapangan kerja. Jadi, yang penting dan terpenting berbicara dalam banten dan babantenan , bahwa penekanan tentang pemaknaan banten sebagai ungkapan suksmaning manah harus resik. Banten adalah perwujudan dari berkah, merupakan prasadam (yang harus dinikmati). Surudannya jangan dibuang, karenanya harus dibuat dari bahan-bahan yang bermutu dan layak dikonsumsi—diupayakan hasil lokal.
Sedangkan prinsip yang dipegang dalam penyelenggaraan yajnya dengan babantenan adalah tepet , genep tanding tuna surud , guna mencegah terjadinya pemborosan sekaligus menepis issue bahwa banten mahal, boros dan merupakan aktifitas yang memproduksi sampah. Jangan pernah berhenti mabanten , yang penting rencanakan dengan baik sesuai kemampuan. Kerjakan bersama dalam kebersamaan untuk membangun harmonisasi keluarga melalui pelatihan penalaran minat dan bakat pada pembuatan sarana banten. Kaji ( review ) kelengkapan banten, perhatikan cara kerja ahli banten ( tapini ) untuk menambah pemahaman dan kemampuan berfikir positif terhadap dampak banten. Semoga banten lestari sehingga lingkungan dan budaya Bali tumbuh berkembang dinamis sesuai kultur kebalian orang Bali. Anak Agung Ngurah Made Arwata. Planolog.
Next >