“Ini salah dokter. Dokter mencabut alat tanpa seijin saya!”
Duk! Bogem mentah mendarat tepat di ubun-ubun pria di sebelahku. Ia terhuyung sedikit ke belakang.
Refleks, aku mendorong laki-laki peninju menjauhi pria tadi. Kupegangi erat-erat kedua lengannya agar ia tidak merangsek ke depan. Pria yang terkena bogem di belakangku mulai bergerak ke penyerangnya.
Gawat.
“Sabar, Pak, sabar. Tenang!” kataku.
Gerakan keduanya terhenti. Aku khawatir sekali. Laki-laki yang kuhadang ini adalah ayah pasien yang baru saja meninju dokter yang ikut merawat anaknya.
Anaknya baru saja kami nyatakan meninggal, setelah resusitasi yang cukup melelahkan selama lebih dari 30 menit. Melakukan kompresi jantung di tengah siang bulan puasa, ventilasi tekanan positif yang membuat kram tangan, dan percobaan intubasi yang gagal melulu. Kondisi anaknya memang kurang bagus. Kesadarannya tidak pernah pulih, pasca pemasangan ventilator berhari-hari, ditambah “bonus” sepsis. Si bocah mengalami gagal napas siang itu. Orangtuanya tidak terima. Dalam keadaan kalut, ia menyerang dan menyalahkan dokter bedahnya. Singkat cerita, si ayah memeluk dokter yang baru saja dipukulnya. Ia menerima kematian putrinya. Namun apakah cerita akan berakhir di sini? Akankah ia melancarkan tuntutan ke rumah sakit?
Saya mengalami sendiri kisah di atas. Salah satu bagian dari buku “Better” membahas dengan baik malpraktik dalam esai “The Malpractice Mess”. Pembahasan yang belum pernah kubaca dari sisi analisis manapun, khususnya di Indonesia. Saya tidak akan membahas topik ini di sini. Silakan baca sendiri buku asli atau terjemahannya, atau di majalah “The New Yorker” edisi 2006. Yang jelas, sebagian besar dokter sepakat, bahwa tuntutan malpraktik, di Indonesia khususnya, berakar dari komunikasi dokter-pasien yang kurang baik. Sama halnya dengan ilustrasi di atas, menurut saya. Semua tindakan yang dilakukan terhadap pasien adalah sesuai standard of procedure, namun penjelasan yang kurang terhadap orangtua membuat tuntutan mungkin saja diajukan. Apalagi pada pasien-pasien yang dirawat di unit rawat intensif, keputusan dokter untuk meneruskan resusitasi atau tidak harus benar-benar disampaikan pada keluarga.
Saya jadi ingat sebuah kasus. Seorang anak perempuan berumur 3 tahun dengan gagal ginjal kronik, sesak napas, edema paru, tak respon dengan pemberian diuretik sampai dosis yang dimungkinkan, tidak dapat dilakukan hemodialisis karena tidak ada alat yang sesuai ukuran anak-anak, dan kontraindikasi relatif untuk pemasangan dialisis peritoneal karena trombositopenia—sel-sel pembeku darahnya hanya 25 ribu per mikroliter—sehingga pemasangan CAPD berisiko tinggi menimbulkan perdarahan, akhirnya diputuskan untuk pemasangan ventilator.
Orangtuanya mampu secara finansial. Cerdas pula. Pertanyaan-pertanyaannya ke tim dokter mengesankan seolah-olah ia pernah mampir kuliah di fakultas kedokteran. Harus sangat berhati-hati jika berbicara dengan pasien seperti ini.
“Apa yang akan dokter lakukan, jika ini adalah anak Dokter?”
Dokter spesialis anak konsultan dengan uban hampir memenuhi kepalanya ini tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. “Saya akan menghentikan ventilatornya dan berserah pada Tuhan.”
Anak ini masih bisa bernapas spontan. Cairan masuk-keluar selalu dihitung tiap beberapa jam. Balans cairannya harus negatif. Tidak perlu melakukan pengambilan sampel darah berulang kali untuk pemeriksaan diagnostik. Jika terjadi perburukan, henti napas misalnya, tidak perlu dilakukan kompresi dada yang berisiko mematahkan tulang rusuknya. Biarkan ia meninggal dengan tenang.
Orangtuanya setuju. Dibuktikan dengan tanda tangan di dalam lembar status rekam medik. Komunikasi berjalan baik.
“Pada kondisi seperti ini, yang kita lakukan adalah to care, bukan to cure,” jelasnya pada kami, para residen.
Kasus lain yang agak sukar kulupakan adalah pasien kecilku dengan sirosis bilier. Sejak usia beberapa minggu, ia sudah kuning. Bukan kuning fisiologis, yang seharusnya sudah menghilang. Bukan pula breastmilk jaundice ataupun breastfeeding jaundice. Matanya kuning, tinjanya berwarna pucat, dan urinnya seperti warna the. Perutnya juga terus membuncit. Jawaban yang ia dapatkan dari dokter anak pertama adalah, “tidak apa-apa, dijemur saja, nanti juga hilang sendiri.” Padahal saat itu umurnya sudah mendekati dua bulan.
Di usia empat bulan, orangtuanya membawa ke dokter anak lain. “Ini atresia bilier. Seharusnya dilakukan operasi sebelum usianya dua bulan. Sekarang sudah terlambat. Tanda-tanda awal sirosis sudah terjadi.”
Hingga kini orangtuanya tidak pernah terpikir untuk menuntut dokter anak pertama. Mungkin karena ia hanya lulusan SMP, dan hanya bekerja sebagai sopir pribadi bos perusahaan, tak terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.
“Doctor is not a job, but it is a profession”. Begitu senior saya pernah menasihati kami. Dokter itu harus care dengan pasien-pasiennya. Belajar yang baik, supaya tidak ada ilmu yang terlewatkan. Bekerja teliti, jangan sampai hal-hal terkecil luput. Setiap hembusan napas adalah demi kepentingan orang lain. Ibadah yang kelak akan diganjar pahala oleh Alloh. Namun bisa menjadi dosa jika tidak mau menangani pasien dengan benar. Masalah bayaran? Lagi-lagi Atul Gawande menjelaskannya dengan sangat menarik dalam bab bukunya.
“Apabila profesi dokter adalah bisnis yang murni menukar jasa dengan uang, jika tidak ada bedanya dengan menjual mobil, lantas mengapa memilih pendidikan kedokteran selama dua belas tahun (enam tahun untuk kuliah S1 dan profesi, enam tahun lagi untuk spesialisasi termasuk tesis S2—apin), bukan malah misalnya sekolah bisnis dua tahun? Alasannya pasti karena setidaknya para dokter masih termotivasi oleh harapan untuk melakukan pekerjaan yang bermakna dan terhormat bagi masyarakat”.