Etiologi penyakit crohn tidak diketahui. Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi. Penyakit crohn diduga merupakan reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui.(1)
Meskipun penyakit crohn pada prinsipnya adalah penyakit pada saluran cerna, tapi dapat menyebabkan lesi di kulit, tulang, otot rangka, jaringan sinovial dan lain-lain, hal ini menjelaskan bahwa penyakit ini adalah penyakit sistemik juga terdapat banyak komplikasinya di luar usus, termasuk spondilitis ankilosa, eritema nodosum, mioperikarditis, perikolangitis, kolangitis sklerosa dan anemia hemolitik autoimun. Komplikasi-komplikasi ini timbul setelah terjadi peradangan usus dan cenderung menghilang dengan sembuhnya penyakit atau setelah dilakukan reseksi dari usus yang terganggu.(2)
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk penyakit crohn (semua derajat). Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid lokal di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek samping) yang rendah.(2)
A. Definisi
Penyakit crohn (enteritis regionalis, ileitis granulomatosa, ileokolitis) adalah peradangan menahun pada dinding usus.(2,5)
Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. (5,6)
B. Epidemiologi
Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit crohn lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. terjadi pada pria dan wanita, lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering dimulai antara usia 14-24 tahun.
Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit crohn, hanya ileum yang terkena. pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. dan pada sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena. (3,5)
C. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi (3,4)
Etiologi penyakit crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu :
1. Kelainan fungsi sistem pertahanan tubuh.
2. Infeksi.
3. Makanan.
Walaupun tidak ditemukan adanya autoantibodi, enteritis regional diduga merupakan reaksi hipersensitivitas atau mungkin disebabkan oleh agen infektif yang belum diketahui. Teori-teori ini dikemukakan karena adanya lesi-lesi granulomatosa yang mirip dengan lesi-lesi yang dtemukan pada jamur dan tuberkulosis paru. Terdapat beberapa persamaan yang menrik antara enteritis regional dan kolitis ulseratif. Keduanya adalah penyakit radang, walaupun lesinya berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi di luar saluran cerna yaitu uveitis, artritis dan lesi-lesi kulit yang identik.
Patogenesis (3,4)
Ileum terminal terserang pada sekitar 80% kasus enteritis regional. Pada sekitar 35% kasus lesi-lesi terjadi pada kolon. Esofagus dan lambung lebih jarang terserang. Dalam beberapa hal terjadi lesi “melompat” yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-daerah usus normal sepanjang beberapa inci atau kaki.
Lesi diduga mulai pada kelenjar limfe dekat usus halus yang akhirnya menyumbat aliran saluran limfe. Selubung submukosa usus jelas menebal akibat hiperplasia jaringan limfoid dan limfedema. Dengan berlanjutnya proses patogenik, segmen usus yang terserang menebal sedemikian rupa sehingga kaku seperti slang kebun, lumen usus menyempit, sehingga hanya sedikit dilewati barium, menimbulkan “string sign” yang terlihat pada radiogram. Seluruh dinding usus terserang. Mukosa seringkali meradang dan bertukak disertai eksudat yang putih abu-abu.
D. Gejala
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. (4,7)
Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. fistula juga bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat.
Sekitar sepertiga penderita penyakit crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid (amiloidosis). (4,7)
Bila penyakit crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita juga bisa mengalami : (3,5)
- Peradangan sendi (artritis)
- Peradangan bagian putih mata (episkleritis)
- Luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa)
- Nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum) dan
- Luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).
Jika penyakit crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita masih bisa mengalami : (3,5)
- Peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa)
- Peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis)
- Peradangan di dalam mata (uveitis) dan
- Peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer).
Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat.
Pola umum dari penyakit crohn (6,7)
Gejala-gejala penyakit crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu :
1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan
2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah
3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun
4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan.
E. Diagnosa (1,5,6)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang, terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada sendi, mata dan kulit.
Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit crohn, namun pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya:
- Anemia
- Peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih
- Kadar albumin yang rendah
- Tanda-tanda peradangan lainnya.
Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit crohn pada usus besar.
Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal.
F. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis penyakit crohn belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi (kalau memang tidak dapat dihilangkan sama sekali).
Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intraluminal dan komponen diet sehari-hari yang dapat memutuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola diet. Metronidazol cukup banyak diselidiki dan cukup bermanfaat pada penyakit crohn dalam menurunkan derajat aktivitas penyakitnya. Disamping beberapa konstituen diet yang harus dihindari karena mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal yeast dan produk dan produk peternakan) terdapat konstituen yang bersifat anti oksidan yang dalam penelitian terbatas terlihat bermanfaat pada kasus penyakit crohn yaitu glutamin dan asam lemak rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat kronik eksaserbasi, edukasi pada pasien dan keluarganya mempunyai peranan penting.(2,6,7)
Kortikosteroid (2,6,7)
Sampai saat ini glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk penyakit crohn (semua derajat). Pada umumnya pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon (keduanya bentuk oral) atau hidrokortison enema. Pada keadaan berat dapat diberikan secara parenteral. Dengan tujuan memperoleh konsentrasi steroid lokal di usus yang tinggi dengan efek sistemik (dan efek samping) yang rendah telah dicoba golongan glukokortikoid non sistemik untuk pengobatan penyakit crohn. Untuk penyakit crohn dipakai preparat oral lepas lambat. Termasuk golongan ini antara lain budesonid oral/enema. Dosis rata-rata yang banyak digunakan adalah setara prednison 40 – 50 mg per hari dan bila remisi telah tercapai dilakukan trappering dose dalam waktu 8 12 minggu.
Kortikosteroid (misalnya prednison) bisa menurunkan demam dan mengurangi diare, menyembuhkan sakit peru dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak, tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang memiliki efek samping yang serius, biasanya dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin.
Metronidazol (1,2,6)
Pada penyakit crohn sering diberikan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik metronidazol bisa membantu mengurangi gejala penyakit crohn, terutama jika mengenai usus besar atau menyebabkan terjadinya abses dan fistula sekitar anus. Penggunaan metronidazol jangka panjang dapat merusak saraf, menyebabkan perasaan tertusuk jarum pada lengan dan tungkai. Efek samping ini biasanya menghilang ketika obat dihentikan tapi penyakit crohn sering kambuh kembali setelah obat ini dihentikan.
Asam Aminosalisilat (2,6)
Pemakaian aminosalisilat telah lama mapan pada pengobatan penyakit crohn. Preparat sulfasalozin (ikatan ozo dari sulfapiridin dan aminosalisilat) di dalam usus akan dipecah menjadi sulfapirin dan saminosalicyclin acid (5-ASA). Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai antiinflamasi pada penyakit crohn adalah 5-ASA. Saat ini tersedia preparat 5-ASA murni, baik dalam bentuk lepas lambat pada pH > 5 (di Indonesia salofalk) maupun ikatan diazo. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektivitas yang relatif sama pada penyakit crohn, hanya dilaporkan efek samping pada 5-ASA lebih rendah. Hal ini disebabkan efek samping yang terjadi diakibatkan komponen sulfapiridin. Dosis oral rata-rata yang banyak digunakan adalah 2 – 4 gram perhari. Sulfasalazin dapat menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar, tetapi sulfasalazin kurang efektif pada penyakit crohn yang kambuh secara tiba-tiba dan berat.
Imunosupresif (1,2,6)
Bila dengan 5-ASA dan glukokortikoid gagal dicapai remisi, alternatif lain adalah penggunaan obat imunosupresif seperti 6 merkaptopurin (1,5 mg/kgBB/hari/oral), azotioprin, siklosporin dan metotreksat.
Azatioprin dan merkaptopurin merubah kerja dari sisten kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit crohn yang tidak memberikan respon terhadap obat-obatan lain dan terutama digunakan untuk mempertahakan waktu remisi (bebas gejala) yang panjang.
Obat ini mengubah keadaan penderita dan sering menyembuhkan fistula. Tetapi obat ini sering tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya alergi, peradangan pankreas (pankreatitis) dan penurunan jumlah sel darah putih.
Diet (2,6)
Formula diet yang ketat, dimana masing-masing komponen gizinya diukur dengan tepat, bisa memperbaiki penyumbatan usus atau fistula, minimal untuk waktu yang singkat dan juga dapat membantu pertumbuhan anak-anak. Diet ini bisa dicoba sebelum pembedahan atau bersamaan dengan pembedahan. Untuk mencegah iritasi anus, diberikan multiselulosa atau preparat psilium yang akan melunakan tinja.
Surgikal (2,4,6,7)
Indikasi intervensi surgikal biasanya bila terjadi komplikasi atau terapi konservatif gagal. Bila usus tersumbat atau bila abses atau fistula tidak menyembuh, mungkin dibutuhkan pembedahan. Pembedahan untuk mengangkat bagian usus yang terkena dapat meringankan gejala namun tidak menyembuhkan penyakitnya. peradangan cenderung kambuh di daerah sambungan usus yang tertinggal. Pada hampir 50% kasus, diperlukan pembedahan kedua. Karena itu, pembedahan dilakukan bila timbul komplikasi atau terjadi kegagalan terapi dengan obat.
G. Komplikasi (2)
Dalam perjalanan penyakit crohn dapat terjadi komplikasi sebagai berikut :
1. Perforasi usus.
2. Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis.
3. Perdarahan saluran cerna.
4. Degenerasi maligna (kanker)
Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada penyakit crohn lebih kurang 13% setelah 20 tahun menderita.
H. Prognosis (6)
Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus. tetapi penyakit crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjang hidup penderita. Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama.
Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang menentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena diangkat melalui pembedahan.
Penyakit crohn biasanya tidak berakibat fatal. tetapi beberapa penderita meninggal karena kanker saluran pencernaan yang timbul pada penyakit crohn yang menahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bisono, Pusponegoro AD; Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. Dalam : Syamsuhidajat R, Jong WD ed Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, hal 855-857.
2. Djojoningrat Dharmika; Inflamatory Bowel Disease, Suyono Slamet, Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2001 hal 231-235.
3. Martoprawiro Soekamto, Soeparman, Gunawan R; Traktus Gastrointestinalis, Dalam : Rabbins, Kumar ed Buku Ajar Patologi II, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995, hal 258-262.
4. Wilson Lorraine M, Lester Lula B, Usus Kecil. Dlaam Price Sylvia Wilson Lorraine M ed Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, hal 399-401.
5. Saver E.W. Introduction. Naskah Burn Symposium and workshop, Jakarta : Sub Bagian Bedah Digesty. Bagian Ilmu Bedah, FKUI, 1997, hal 25-28.
6. Nadesul Handrawan, Gangguan Sistem Pencernaan (Penyakit Crohn), http://www.medicastore.com
7. Thomsen O, M.D, Corcot A, M.D. A Comparison of Budesonide and Mesalamine for Active Crohn’s Disease, http://www.medicastore.com