Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui penjelasan Nabi Saw., para sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
IDUL FITRI
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
Untuk maksud tersebut, tulisan ini akan berpangkal tolak pada beberapa istilah yang lumrah digunakan dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal 'Aidin wal-Faizin.
IDUL FITRI
Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang "kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.
Nah, apakah keadaan atau tempat semula itu?
Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian.
Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Quran.
Ketika Adam dan Hawa berada di surga, Allah menyampaikan pesan yaitu, Janganlah mendekati pohon ini (QS Al-Baqarah [2]: 35). Namun, begitu keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon itu), Al-Quran menyatakan, maka Tuhan mereka menyeru keduanya, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu?" (QS Al-A'raf [7] 22).
Kesan yang ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat di atas antara lain:
Pertama, bahwa sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena itu, isyarat kata yang dipergunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni "ini". Tetapi, ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus "menyeru mereka" (yakni berbicara dari tempat yang jauh), dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni "itu" (perhatikan kembali bunyi ayat-ayat di atas).
Di sini terlihat bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali, masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi semula. Memang, tegas Al-Quran,
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesunguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah [2]:186).
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pun akan kembali pada posisi semula. Al-Quran memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan Allah Swt.
Adam menerima kalimat-kalimat dari Tuhannya, maka Dia (Allah) menerima tobatnya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat lagi Maha Pengasih (QS Al-Baqarah [2]:37).
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa Allah selalu rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadis Nabi Saw. pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain,
Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang, pada saat ia bertobat dan salah seorang di antara kamu yang
mengendarai binatang kendaraannya di padang pasir, kemudian binatang itu pergi menjauh padahal di pundak
binatang itu terdapat makanan dan minumannya. Dia berputus asa untuk menemukannya kembali, hingga ia
berbaring di bawah naungan pohon, dan tiba-tiba saja binatang tadi muncul di hadapannya. Lantas dia pun
memegang tali kendalinya sambil berkata saking gembiranya, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan Aku
Tuhanmu."
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa idul fltri mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
HALAL BIHALAL
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi Saw. bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebahkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu ataukah kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS Yunus [10]: 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan
ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi
mereka siksa yang pedih (QS Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram.
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang sama, yaitu
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat ayat berikut
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Fakulu mimma ghanimtum halalan thayyiban (Maka makanlah
dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu) (QS Al-Anfal [8]: 69).
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Nah jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat), ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat
keadaan mereka senang (lapang) maupun sulit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat
baik (terhadap orang yang bersalah).
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang bersalah.
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal Faizin.
Kata 'Aidin, adalah bentuk pelaku 'Id.
Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin, dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung). Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat
berlambat-lambat ke medan perang. Maka jika kamu
ditimpa musibah, mereka berkata, "Sesungguhnya Tuhan
telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena tidak
ikut menyaksikan (peperangan) bersama mereka." Sungguh,
jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum
pernah ada hubungan kasih sayang di antara kamu dengan
dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya
memperoleh keberuntungan yang besar (kemenangan dan
harta rampasan perang)" (QS Al-Nisa' [4]: 72-73).
Kesan yang ditimbulkan ayat ini, antara lain adalah bahwa bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya. Itu antara lain yang menyebab dia dikecam oleh ayat di atas. Berbeda dengan petunjuk A1-Quran yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dari ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat Al-Nisa [73]), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt. Perhatikan misalnya:
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung (Al-Hasyr [59]: 20).
Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari
neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia
telah beruntung (QS Ali 'Imran [3]: 185).
PENGAMPUNAN
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), 'afa (memaafkan), ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.
Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan maksud yang berbeda
Sumber info