Senin, 18 April 2011

Anestesi Lokal

BAB I
PENDAHULUAN
Obat-obat anestetik local mempengaruhi semua sel tubuh, tapi mempunyai predileksi khusus pada jaringan saraf. Pengaruh utamanya adalah memblok hantaran saraf bila mengadakan kontak dengan suatu neuron. Obat anastetika local bergabung dengan protoplasma saraf dan menghasilkan analgesia (blok hantaran impuls nyeri) dangan mencegah terjadinya depolarisasi dengan cara menghambat masuknya ion sodium (Na+). Sifat blok ini disebut ‘nondepolarizing block’. Reaksi ini bersifat reversible dan fungsi fisiologis saraf tersebut akan kembali sempurna seperti sediakala setelah blok berakhir.1

Intensitas dan luasnya blok analgesia tergantung dari tempat, volume total dan konsentrasi obat anestetika local dan kemampuan penetrasi obat anestetika local tersebut. Umumnya obat-obat anestetika local adalah ‘ hydrophilic amino group’ yang bergabung dengan rantai ‘lyphophilic aromatic residue’. Obat anestetika local adalah sintesis (kecuali kokain) mengandung nitrogen, bereaksi basa dan rasanya pahit. Obat anestetika local merupakan garam hidroklorik atau asam sulfirat. Garam ini membebaskan asam kuat namun iritasi jaringan minimal karena kemampuan ‘buffer’ yang kuat dari tubuh.1
Obat-obat anestetika local mempunyai efek vasodilatasi (kecuali kokain). Infiltrasi ke daerah radag menghasilkan analgesi yang kurang memuaskan karena bertambahnya keasaman jaringan yang meradang mengurangi aktivitas obat anestetika local dimana pH pus adalah 5.1
BAB II
DEFINISI
Anestetik local ialah obat yang menghasilkan blockade konduksi atau blockade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik local setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Semua obat anestetik local baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih mempunyai kekurangan-kekurangan.2
Kokain adalah obat anestetik pertama yang dibuat dari daun koka dan dibuat pertama kali pada 1884. Penggunaan kokain aman hanya untuk anestetik topical. Penggunaan secara sistemik akan menyebabkan dampak samping keracunan system saraf, system kardiovaskuler, ketagihan, sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk topical mata, hidung dan tenggorokan.2
BAB III
STRUKTUR ANESTESI LOKAL
Anestetik local ialah gabungan dari garam larut dalam air dan alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatic tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Bagian lipofilik terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat esensial untuk aktifitas anestesi. Bagian hidrofilik biasanya golongan amino tersier (dietil-amin).2
Anestetik local dibagi menjadi dua golongan yaitu: golongan ester dan golongan amida. Golongan ester (-COO-) yaitu: kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (novocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine). Golongan amida (-NHCO-) yaitu: lidokain (xtlocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain (citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).2
Obat baru pada dasarnya adalah obat lama dengan mengganti, mengurangi atau menambah bagian kepala, badan dan ekor. Di Indonesia yang paling banyak digunakan ialah lidokain dan bupivakain.2
BAB IV
MEKANISME KERJA
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestetika local dipengaruhi oleh: ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blockade saraf), frekuensi stimulasi saraf.2
Mula kerja bergantung beberapa factor, yaitu: pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat, alkalinisasi anestetika local membuat mula kerja cepat, konsentrasi obat anestetika local.2
Lama kerja dipengaruhi oleh: ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika local adalah protein; dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi; dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.2
IV.1. Absorpsi sistemik
Absorpsi sistemik dipengaruhi oleh:
  1. Tempat suntikan
Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat suntikan : absorpsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal > para-servikal > epidural > pleksus brakial > skiatik > subkutan.
  1. Penambahan vasokonstriktor
Adrenalin 5μg/ ml atau 1:200.000 membuat vasokonstriksi pembuluh darah pada tempat suntikan sehingga dapat memperlambat absorpsi sampai 50%.
  1. Karakteristik obat anestetik local
Obat anestetika local terikat kuat pada jaringan sehingga dapat diabsorpsi secara lambat.
IV.2. Absorbsi obat
Absorbsi obat anestetik local
  1. Kulit
Anestetik local tidak bisa mengadakan penetrasi ke kulit yang intak.
  1. Jaringan subkutis
Absorbsi obat anestesi local tergantung vaskularisasi setempat kesuali bila ditambahkan epinefrin.
  1. Mata
Absorbsi efektif melalui membrane konjungtiva bila diteteskan atau dengan suntikan subkonjungtiva.
  1. Selaput mukosa
Absorbsi lewat mukosa hidung, faring, trakea, bronkus dan alveoli sama cepatnya seperti suntikan intravena.
  1. Suntikan intramuskuler
Absorbsi lebih lambat daripada suntikan intravena.
  1. Vasokonstriktor
Tidak memperlambat absorbsi lewat selaput mukosa.
  1. Esofagus
Absorbsi di esophagus tak berarti (sedikit).
  1. Lambung dan uretra
Absorbsi di lambung dan uretra berlangsung cepat.
  1. Kanalis spinalis
Absorbsi lambat lewat sirkulasi. Vasokonstriktor menghambat absorbsi dan memperpanjang lama analgesi sebanyak 60%.
  1. Ruang peridual
Absorbsi seperti pada jaringan subkutis, vasokonstriktor manghambat absorbsi.
IV.3. Distribusi obat
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh factor-faktor:
  1. Perfusi jaringan.
  2. Koefisien partisi jaringan/ darah.
Ikatan kuat dengan protein plasma → obat lebih lama di darah. Kelarutan dalam lemak tinggi → meningkatkan ambilan jaringan.
  1. Massa jaringan.
Otot merupakan tempat reservoir bagi anestetika local.
IV.4. Metabolisme dan ekskresi
Metabolisme dan ekskresi obat anestetik lokal.
  1. Golongan ester.
Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma). Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolit dieksresi melalui urin.
  1. Golongan amida.
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik local. Metabolismenya lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit dieksresi lewat urin dan sebagian kecil dieksresi dalam bentuk utuh.
IV.5. Efek samping
Efek samping obat anestetik local terhadap system tubuh antara lain.
  1. System kardiovaskuler
- Depresi automatisasi miokard.
- Depresi kontraktilitas miokard.
- Dilatasi anteriolar.
- Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/ kolaps sirkulasi.
  1. Sistem pernapasan
Relaksi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan napas.
  1. Sistem saraf pusat
System saraf pusat rentan terhadap toksisitas anestetik local, dengan tanda-tanda awal parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, agitasi, twitching, depresi pernapasan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf.
  1. Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derivate para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai allergen.
  1. Sisten musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3-4 minggu.
  1. Toksisitas bergantung pada
- Jumlah larutan yang disuntikkan.
- Konsentrasi obat.
- Ada tidaknya adrenalin.
- Vaskularisasi tempat suntikan.
- Absorbsi obat.
- Laju destruksi obat.
- Hipersensitivitas.
- Usia.
- Keadaan umum.
- Berat badan.

BAB V
KOMPLIKASI KARENA OBAT ANESTETIKA LOKAL
Reaksi sistemik dan local adalah sama untuk semua jenis obat anestetik local. Pada umumnya efek samping/ efek lain yang tak dikehendaki ringan dan mudah diatasi/ diobati dan umumnya akibat overdosis atau kesalahan teknik. Alat-alat untuk resusitasi kardiopulmoner harus tersedia, dan bila tindakan/ pengobatan yang tepat segera dikerjakan, reaksi yang paling beratpun dapat diatasi (reversible). Terapi ditujukan untuk mempertahankan ventilasi dan sirkulasi yang adekuat.
Reaksi sistemik karena obat anestetik local:
a. Reaksi sistemik karena kadar anestetik local dalam darah tinggi yang biasanya disebabkan karena overdosis, absorbsi sistemik yang cepat atau penyuntikan intravena secara tidak sengaja.
- Pemberian intravena paling berbahaya.
- Absorbsi lewat mukosa hidung, faring dan traktus respiratorius berlangsung secepat penyuntikan intravena.
- Factor lain yang berpengaruh terhadap reaksi toksik:
· Kecepatan metabolisme dan detoksikasi obat anestetik local.
· Adanya vasokonstriktor memperlambat absorbsi. Hialuronidase memperlambat absorbsi.
b. Reaksi toksik terutama mempengaruhi jantung, sirkulasi, respirasi dan susunan saraf pusat.
- Pengaruh pada jantung dan pembuluh darah asalah depresi langsung pada miokardium dan vasodilatasi. Manifestasi klinisnya hipotensi, bradikardi, nadi kecil, pucat, kulit dingin dan berkeringat dan aritmia yang mungkin berakibat ‘cardiac arrest’.
- Pusat di medulla, depresi pada medulla dengan akibat depresi pernapasan, apnu dan ‘vascula collapse’.
BAB VI
OBAT ANESTESI LOKAL YANG SERING DIGUNAKAN
Beberapa jenis obat anestesi local yang sering digunakan sehari-hari akan dibahas dibawah ini.
VI.1. Prokain (novokain)
  1. Prokain adalah ester aminobenzoat untuk infiltrasi, blok, spinal, epidural.
  2. Merupakan obat standard untuk perbandingan potensi dan toksisitas terhadap jenis obat-obat anestetik local yang lain.
  3. Diberikan intravena untuk pengobatan aritmia selama anestesi umum, bedah jantung atau ‘induced hypothermia’.
  4. Absorbsi berlangsung cepat pada tempat suntikan, hidrolisis juga cepat oleh enzim plasma (prokain esterase).
  5. Pemberian intravena merupakan kontra indikasi untuk penderita miastenia gravis karena prokain menghasilkan derajat blok neuromuskuler. Prokain tidak boleh diberikan bersama-sama sulfonamide.
  6. Larutan 1-2% kadang-kadang kekuning-kuningan (amines), tidak berbahaya.
  7. Tidak mempenetrasi kulit dan selaput lender/ mukosa. Jadi tidak efektif untuk surface analgesi.
  8. Dosis 15 mg/ kgbb.
Untuk infiltrasi: larutan 0,25-0,5 % dosis maksimum 1000 mg. Onset: 2-5 menit, durasi 30-60 menit. Bisa ditambah adrenalin (1: 100.000 atau 1:200.000). Dosis untuk blok epidural (maksimum) 25 ml larutan 1,5%. Untuk kaudal 25 ml larutan 1,5%. Spinal analgesia 50-200 mg, tergantung efek yang dikehendaki, lamanya (duration) 1 jam.
VI.2. Lidokain (lignocaine, xylocain, lidonest).
  1. Lidokain adalah golongan amida. Sering dipakai untuk surface analgesi, blok infiltrasi, spinal, epidural dan caudal analgesia dan nerve blok lainnya. Juga dipakai secara intravena untuk mengobati aritmia selama anesthesia umum, bedah jantung dan ‘induced hypothermia’. Dibandingkan prokain, onset lebih cepat, lebih kuat (intensea), lebih mahal dan durasi lebih lama. Potensi dan toksisitas 10 kali prokain. Tertrakain tidak boleh digunakan bersama-sama sulfonamide. Onset 5-10 menit, duration sekitar 2 jam.
  2. Dosis.
Konsentrasi efektif minimal 0,25%.
Infiltrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan.
Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok perifer.
0,25-0,5% + adrenalin 200.000 untuk infiltrasi.
0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik.
1% untuk blok motorik dan sensorik.
2% untuk blok motorik pasien berotot (muscular).
4% atau 10% untuk topical semprot faring-laring (pump spray).
5% bentuk jeli untuk dioleskan di pipa trakea.
5% lidokain dicampur 5% prilokain untuk topical kulit.
5% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subaraknoid, subdural).
VI.3. Bupivakain (marcain).
Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal 200mg. Duration 3-8 jam. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Mula kerja lebih lambat dibanding lidokain. Setelah suntikan kaudal, epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anesthesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%.
VI.4. Kokain.
Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa jalan napas atas. Lama kerja 2-30 menit.
VI.5. Kloroprokain (nesakain).
Derivate prokain dengan masa kerja lebih pendek.
VI.6. EMLA (eutentic mixture of local anesthetic).
Campuran emulsi minyak dalam air (krem) antara lidokain dan prilokain masing-masing 5%. EMLA dioleskan di kulit intak 1-2 jam sebelum tindakan untuk mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri atau untuk miringotomi pada anak, mencabut bulu halus atau buang tato. Tidak dianjurkan untuk mukosa atau kulit terluka.
VI.7. Ropivakain (naropin) dan levobupivakain (chirokain).
Penggunaannya seperti bupivakain, karena kedua obat tersebut merupakan isomer bagian kiri dari bupivakain yang dampak sampingnya lebih ringan dibandingkan bupivakain. Bagian isomer kanan dari bupivakain dampak sampingnya lebih besar. Konsentrasi efektif minimal 0,25%.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Dardjat M T, editor. Obat Anestetik Lokal. Dalam: Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina;1986. hal 243.
  2. Latief Said, Surjadi Kartini, Dachlan Ruswan, editor. Anestetik Lokal. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. hal 97-104.
  3. S Kristanto. Anestetik Regional. Dalam: Basuki Gunawarman, Muhadi Muhiman, Latief Said, editor. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1989. hal 123-5