Kemanatah Surauku
(Sabtu,28 November 2009,19.00)
Alhamdulillah Idul Adha ini, aku mendapat untuk bersilaturahim ke rumah di Magelang. Pas sampai di rumah adzan maghrib berkumandang. Tentu setelah sempet ribet nyari sarung dan peci (karena semuanya tak tinggal di jogja) aku pun berangkat ke langgar (surau.red). Ada pemandangan aneh ketika aku sampai di surauku. “lho kok sepi?” itu pertanyaan pertama yang terbersit di benakku. Aku mencoba membuka kembali memori-memoriku yang tersimpan acak di kepalaku, mengingat dan membandingkan keadaan saat ini dengan keadaan beberapa tahun yang lalu. (wah dah adzan isya’,sholat dulu ah..).
Ku-putar album video masa kecilku dengan hati-hati. Mengingat gelak tawa,dan canda ketika aku dulu masih sering dicukur kuncung bersama teman-teman masa kecilku. Kegembiraan ketika ashar tiba dan matahari mulai mengucapkan kata perpisahan untuk istirahat sebelum menyongsong esok hari. Kami bersiap untuk menimba ilmu di surau kecil kami di pinggiran kampong. Ku kayuh sepeda biru kecilku, dengan peci yang terpasang miring karena terburu-buru dan sarung terkalung seperti si pitung serta buku kecil bertuliskan “AsSaafinatun Najah” kitab fikih pertamaku. Sampai di surau kami dibimbing oleh seorang kyai di kampungku mengkaji isi kitab fikih itu. Kami dengan suara keras mengulang-ulang apa yang dibacakan oleh Pak Kyai. Sampai maghrib kami sholat berjamaah dan dilanjutkan dengan mengaji Al-Quran. Tak jarang kami di jewer atau di suruh berdiri karena membuat gaduh surau atau lupa dengan pelajaran hari sebelumnya. Yah tapi itu justru yang menambah manis kenangan masa laluku.
Benar itu masa lalu dan sekarang ketika kulihat surauku lagi ada perasaan senang bercapur sedih. Perasaan senang karena surauku tak lagi dingin seperti dulu, senang karena surauku sudah lebih cerah cat-nya dibandingkan dulu. Tapi kegembiraan itu seakan sirna ketika melihat kenyataan bahwa ada yang hilang dari surauku. Surauku tak lagi seramai dulu, tidak ada anak kecil dengan suara keras nan semangat melafadzkan ayat-ayat suci AlQuran. Tetap “pede” walau sering ditegur karena tajwid-nya sering tidak pas (itu aku). Substansi dari surau tidak secerah catnya yang masih baru. Tak semengkilap keramiknya yang putih berkilau. Kemanakah anak-anak ini sekarang? sedang apakah mereka magrib ini? Majelis Ta’lim manakah yang mereka ikuti sekarang?
Pertanyaan-pertanyaan yang tentu bisa dijawab dengan mudahnya oleh siapapun yang sadar bahwa ada masalah besar yang menentukan nasib Agama ini, nasib Bangsa ini. Relakah kita, generasi muda kita tidak memiliki sopan santun seperti Sinchan? Relakah kita generasi muda bangsa ini menjadi generasi yang main hantam untuk menyelesaikan masalah layaknya Naruto dan Inuyasha? Tegakah kita membiarkna generasi muda ini berpanjang angan dan hanya mengandalka keajaiban untuk meraih mimpi? Sihir, kekuatan ajaib, undian, relakah? Jawabannya ada pada diri kita.
Ya Alloh aku rindu surauku yang dulu..
Ya Alloh kembalikan Darul Arqam di kampungku ini…
Kembalikan suara-suara riang anak-anak yang bertasbih dan mengkaji ayat-ayatMu
Ya Alloh, selamatkanlah generasi muda bangsa ini..
*ditulis oleh hamba yang dhaif yang punya harapan mengembalikan suraunya yang “hilang”