http://www.femina-online.c
Faktor nutrisi menjadi salah satu penyebab utama masalah kesehatan anak di Indonesia. Di satu sisi, banyak anak menderita kekurangan nutrisi, di sisi lain, banyak pula anak yang kelebihan kalori atau obesitas. Keduanya sama-sama mengalami kondisi tidak sehat. Dari penelitian yang dilakukan Masyarakat Pediatri Indonesia pada anak-anak sekolah dasar di 10 kota besar di Indonesia 2002-2005, angka obesitas rata-rata tergolong tinggi, 10%-12,2%. Penelitian serupa yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Jakarta pada 2006, malah menunjukkan angka mengejutkan, 9,8% hingga 37%. Masalah obesitas ini tampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia, WHO, bahkan sudah menetapkan obesitas sebagai epidemik global yang harus segera diatasi.
Celakanya, masih ada pola pikir yang keliru dari para orang tua. Anak yang gendut, montok, dan berpipi chubby masih menjadi kebanggaan sebagian besar orang tua. Padahal, menurut para ahli kesehatan dunia, anak yang obesitas terancam sederet penyakit berat di masa mereka dewasa.
FAKTOR GENETIS ATAU POLA MAKAN?
Melia (32) cemas bukan main. Anaknya, Jerry (8), tak bisa bergaul dengan teman sebayanya. Penyebabnya, Jerry kerap menjadi sasaran ledekan temannya karena bentuk tubuhnya. Beratnya mencapai 60 kilogram, dengan tinggi badan 148 cm. “Waktu Jerry berusia 2 tahun, posturnya masih bagus. Sejak ia dititipkan di rumah neneknya, berat badannya melambung. Ia terlalu dimanjakan neneknya, makan apa saja dibolehkan. Dari kecil, porsi makan Jerry dibiasakan sebesar orang dewasa,” kenang Melia, yang pernah ‘menitipkan’ anaknya selama 2 tahun kepada orang tua untuk kuliah ke luar negeri.
Kasus Jerry termasuk salah satu kasus obesitas pada anak. Menurut ilmu kedokteran, anak yang mengalami obesitas mempunyai kemungkinan 78% obesitas berlanjut pada saat remaja, dan 25%-50% pada saat dewasa. Seperti yang dikatakan ahli gizi, dr. Carmelita Ridwan, SpGK dari Klinik Primavita, Jakarta, “Orang dewasa yang obesitas mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan berat badan. Antara lain, diabetes melitus, hipertensi, hipokolesterol, stroke, penyakit jantung koroner, kanker usus besar dan payudara, serta risiko kematian dini bila mengalami kegemukan saat remaja dibandingkan dengan orang dewasa yang mengalami obesitas saat dewasa.”
Dokter Arifianto dari Yayasan Orang Tua Peduli, membenarkan hal tersebut. Ia menambahkan, penyakit-penyakit lain karena kondisi obesitas, antara lain saluran napas, asma, sleep apnea (gangguan tidur), dan gangguan ortopedi.
Seperti apa, sih, seorang anak dikatakan obesitas? Cara paling mudah, yakni dengan melihat grafik berat badan yang ada di kartu kesehatan anak. Jika berat anak berdasarkan usia masih berada dalam garis hijau, berarti masih proporsional. Jika sudah di atas garis hijau, berarti menunjukkan kelebihan berat badan yang patut diwaspadai. Definisi WHO menghitung obesitas berdasarkan body mass index (BMI). Rumusnya, berat badan dibagi tinggi badan kuadrat (kg/m²). Disebut obesitas bila dilihat dalam tabel Z score, berdasarkan usia, didapat hasil di atas 3.
Lantas, sejak kapan seorang anak bisa mengalami obesitas? Dokter Arifianto mengatakan, “Bayi baru lahir yang beratnya di atas 4 kilogram bisa dibilang overweight. Jika dirunut, pasti ada yang salah dengan ibunya. Bayi overweight biasanya karena ibunya menderita diebetes melitus tipe 2. Namun, sekarang ada pergeseran tren. Banyak bayi lahir dengan berat di atas 4 kilogram, tapi ibunya tidak terbukti diabetes. Belum ada penelitian lebih lanjut tentang fenomena ini,” ungkapnya. Lebih lanjut, dr. Arifianto menguraikan, anak yang obesitas dari usia 6 bulan, diprediksi akan obesitas pada usia 3 tahun. Anak yang obesitas pada usia 3 tahun, kemungkinan besar akan obesitas di usia remaja.
Baik dr. Arifianto maupun dr. Carmelita mengatakan, faktor genetis memegang peranan dalam menyebabkan obesitas pada anak. Akan tetapi, faktor lingkungan amat besar pengaruhnya. “Kalau faktor lingkungan tidak mencetus, harusnya, meskipun ada faktor genetis, tidak sampai overweight,” ucap dr. Arifianto.
Dokter Carmelita menambahkan, persisnya berapa persen faktor genetis ini berpengaruh, belum diketahui. Tetapi, ada yang menyebut, angkanya kurang lebih 30%. Sisanya, karena faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang dimaksud, kata dr. Carmelita, antara lain pola makan yang mengonsumsi makanan tinggi kalori, misal junk food (burger, french fries, nugget, sosis, dan lainnya), minuman kotak/botol, minuman cepat saji dari sachet, camilan kue dan biskuit manis, serta pola makan yang kurang mengonsumsi buah dan sayur. “Kalau anak makan di restoran fast food, sudah pasti minyaknya banyak. Belum lagi minumnya soda yang bergula tinggi. Terus sayurnya mana? Padahal, sayur dan buah dalam piramida makanan adalah tingkat yang paling besar kedua setelah golongan serealia,” kata dr. Carmelita.
Maka, dr. Carmelita menyarankan, konsumsi sayuran harus selalu ada di menu makan. Begitu juga buah. “Buah yang baik adalah buah potong atau yang di-blender. Bukan hanya sari buah yang berasal dari konsentrat dan tambahan gula,” tutur dr. Carmelita.
WASADA SEJAK ANAK BERUSIA ENAM BULAN
Bagaimana cara mengantisipasi agar anak terhindar dari obesitas? Jawabannya lagi-lagi soal pola makan. Kebiasaan keluarga, pengetahuan serta kepedulian orang tua sangat berperan. “Orang tua harus membiasakan anak makan sayuran dan buah. Untuk itu, orang tua harus memberi contoh. Sebab, anak meniru kebiasaan orang tuanya,” saran dr. Carmelita. Selain itu, orang tua juga sebaiknya membatasi stok jajanan yang terlalu manis, serta snack yang mengandung MSG. Sebagai gantinya, lebih baik menyediakan makanan buatan sendiri, seperti cocktail buah, puding, atau bubur kacang hijau.
Masalah kebiasaan pola makan ini, idealnya, menurut pendapat dr. Arifianto, sudah harus dibentuk sejak anak mulai dikenalkan makanan pendamping ASI (MPASI) di usia 6 bulan. Di usia ini, aktivitas makan bagi anak adalah proses belajar, mengenal berbagai bentuk, tekstur, dan rasa makanan, tanpa perlu sedikit pun memberi tambahan gula atau garam. “Anak belum perlu diberi makan banyak atau nasi 3 kali sehari. Sumber nutrisi utama anak masih dari ASI,” jelas dr. Arifianto.
Kebiasaan memanjakan dan membebaskan anak memilih makanan dan jajanan yang disukai, bukanlah cara bijak. Bukan anak yang menentukan apa yang dimakan, melainkan orang tua. Sayangnya, umumnya para orang tua punya ketakutan berlebihan, jika anak rewel karena permintaan yang tak dituruti atau tak doyan makan sama sekali. Ditambah lagi, adanya dorongan ketidak puasan melihat anak tetangga yang lebih gemuk. Menurut dr. Arifianto, ada fenomena orang tua lebih senang pada anak yang gemuk.
Soal ketidaktegaan ini diakui oleh Rika Martini, ibu dari Azka (4). Menurut Rika, Azka sering minta makan lebih banyak dari yang diberikan. “Kalau Azka minta nambah makan, masa saya larang, kasihan, ‘kan? Biasanya, malah baby sitter-nya yang tega melarang Azka nambah makan,” ujar Rika.
Lain lagi kebiasaan Puti Dewi Oka, ibu dari Redfan (2). Sebagai wirausaha yang punya bisnis sendiri di rumah, kepraktisan terkadang menjadi nomor satu. “Nutrisi memang penting, tetapi menyediakan makanan bernutrisi sehari-hari sangatlah sulit. Apalagi saat di rumah tak ada pembantu yang memasak. Menu anak sama dengan menu untuk orang tuanya, hanya dibuat tidak pedas saja. Kadang-kadang anak menolak sayur. Jadi, kalau dia maunya nasi putih saja, ya, dituruti, yang penting Redfan mau makan,” ujar Puti.
Sisilia Pujiastuti (32) juga pernah menghadapi masalah anak yang tidak mau makan. “Usia 14-16 bulan, Damai pernah susah makan. Saya sampai pusing memilihkan makanan untuknya. Saya sadari, kalau dalam fase itu kita salah mengambil keputusan, mungkin bisa berakibat fatal. Seperti cerita teman saya, ketika dalam fase tersebut anaknya tidak mau makan, dia memberikan fast food. Akhirnya, anak jadi ketagihan sampai sekarang,” ucap Sisil. Pada saat itu, Sisil membelikan Damai sebuah buku dari karakter di serial Sesame Street, Elmo, yang bertema healthy habit, tentang makanan sehat. Perlahan-lahan, Damai pun mau makan sayuran lagi.
PENGARUH TELEVISI DAN VIDEO GAME
Obesitas timbul karena asupan energi dari makanan dan minuman melebihi energi yang dikeluarkan untuk beraktivitas. Dalam hal ini, berlaku hukum termodinamika. “Kalori yang masuk harus sama dengan kalori yang keluar. Obesitas itu akibat dari ketidakseimbangan energi,” kata dr. Arifianto.
Di luar kebiasaan dan pola makan itu, ada faktor penting yang menyebabkan obesitas, yakni kurangnya aktivitas fisik yang membakar kalori. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan obesitas. Keberadaan televisi dan video game yang menjadi ‘berhala’ baru anak zaman sekarang, banyak dituding sebagai faktor pembawa obesitas. Penelitian yang pernah dilakukan oleh G.D. Kopelman terhadap anak Amerika pada tahun 2000 menunjukkan, mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton televisi 2 jam per hari.
Apa hubungannya? “Anak jadi malas bergerak karena keasyikan nonton teve. Apalagi, kebanyakan iklan di teve isinya menyuruh anak-anak jajan yang tak sehat,” kata dr. Arifianto. Idealnya, menonton teve cukup 2 jam saja sehari. Belum lagi, jika anak sudah mulai kecanduan video game dan internet, aktivitas fisiknya makin jauh berkurang. Untuk anak yang obesitas bahkan disarankan menonton teve kurang dari sejam per hari.
Mengurangi kebiasaan menonton teve ini memang sangat sulit. Hal ini diakui Rika. Selain di sekolah, Azka jarang main di luar rumah. “Azka lebih suka main di kamar bersama mainannya atau nonton VCD. Malah, kalau sedang susah makan, baby sitter biasanya sengaja memutarkan VCD agar Azka mau makan,” jelasnya.
Masalah yang hampir sama juga dihadapi Melia. Meski sudah mengurangi jam menonton teve, setiap akhir pekan, Jerry lebih senang menghabiskan waktu untuk main game ketimbang diajak main ke tempat wisata. “Hari Minggu, Jerry bisa 5 jam main PS atau game komputer,” ujar Melia.
Lingkungan saat ini yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah, harus diakui, juga menjadi salah satu pemicu aktivitas anak lari ke televisi. Padahal, anak butuh ruang gerak untuk bermain dengan teman sepermainannya. Hal ini bisa disiasati, misalnya dengan mengikutsertakan anak dalam klub olahraga, atau les menari. Cara lain, “Joging di pagi atau sore hari, mengajak anak membantu beres-beres rumah, juga bisa menjadi alternatif murah dan menyehatkan,” kata dr. Carmelita, memberi saran.
Kebiasaan lain yang membuat penurunan aktivitas anak adalah kenyamanan sarana transportasi. Coba diingat, berapa jam dalam sehari anak Anda berjalan kaki? “Orang tua cenderung mengantar anak sekolah dengan mobil, turun langsung di depan gerbang sekolah. Padahal, ada baiknya membiarkan anak jalan kaki setidaknya 15 menit dari jarak mobil ke sekolah,” kata dr. Arifianto.
Bagaimana dengan anak-anak yang sudah telanjur mengalami obesitas? “ Hal yang perlu dilakukan adalah konseling gizi. Hitung berat badan ideal dan kebutuhan kalorinya. Perlu dijaga agar tidak mengonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi, memperbanyak sayur dan buah. Selain itu, aktivitas fisik juga harus diperbanyak. Usahakan agar berat badan anak tidak bertambah, dipertahankan hingga sesuai dengan usia yang seharusnya,” dr. Arifianto menjelaskan.
Ia menambahkan, kecuali ada hal-hal khusus, misalnya anak yang obesitas disertai penyakit tertentu. “Kalaupun harus turun berat badan, penurunan tidak boleh drastis.”
Penulis: Ficky Yusrini
[Dari femina 19 / 2010]