Bagi yang pernah membaca catatan perjalananku selama di Aceh, setidaknya mengetahui bahwa aku bekerja di lembaga ini: Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC) Dompet Dhu’afa Republika. Salah satu ‘sayap’ DD yang khusus menangani pasien dari kaum dhu’afa alias tidak mampu atau keluarga miskin (gakin), secara cuma-cuma alias gratis atau tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Aku memang baru bergabung dengan lembaga yang bermarkas di Ciputat Mega Mal ini sekitar 3 bulan. Namun ada beberapa kisah pasien dhu’afa yang ingin kubagi.
Setidaknya di sinilah aku mendapatkan gambaran masyarakat kita yang memang benar-benar dhu’afa. Jika selama masa pendidikanku di RSCM, RS Persahabatan, atau RSU Tangerang aku menemui pasien yang berasal dari golongan ekonomi kurang mampu berobat, meraka harus mengeluarkan biaya dari kocek sendiri, hingga akhirnya tidak mampu menuntaskan masa perawatan karena ketiadaan biaya, dan minta ‘pulang paksa’.
Inilah gambaran masyarakat miskin kita:
Seringkali mereka berobat jika memang kondisi kesehatannya benar-benar sudah parah. Seorang pasien stroke yang sudah terbaring tidak sadar selama 3 hari di rumahnya baru dibawa ke LKC sesuahnya. Alasan suami yang mengantarnya adalah kesulitan kendaraan umum untuk membawa ke LKC, karena lokasi rumah mereka yang cukup jauh dari Ciputat. Dan ia tidak akan membawa istrinya yang sakit ke RS terdekat tentunya, karena tidak memiliki biaya. Toh selama ini mereka berobat terus ke LKC, dan masih menjadi member LKC.
Dalam masa perawatan pun hanya suaminya yang menunggu si istri yang sampai hari ini berbaring tidak sadarkan diri. Mungkin anak-anaknya terlalu sibuk untuk menjenguk orangtua mereka yang sedang sakit, atau tidak mengetahui kabar kedua orangtuanya karena tidak tinggal satu rumah dan tidak memiliki telepon. Mungkin…Si Bapak ini juga agak cuek saat mengurus istrinya yang terbaring di ruang perawatan. Tidak begitu ada ekspresi sedih yang tergambar. Mungkin ia sudah letih menunggui istrinya yang tidak kunjung sadar.
Ada lagi pasien wanita tua lain dengan muntah dan BAB darah, sampai akhirnya meninggal. Suaminya adalah seorang tuna netra, yang pada saat-saat menjelang ajal sang istri, ia sudah keburu merelakannya. Tidak ada kesedihan sama sekali tergambar. Tampaknya ia juga sudah kesal menunggui istrinya yang sakit, dan mungkin ‘merepotkannya’. Astaghfirullah…
Ada juga seorang pria paruh baya yang menderita luka terinfeksi di kakinya karena diabetes melitus, harus melewati hari-hari perawatannya di ruang rawat inap LKC seorang diri. Istrinya seorang pembantu rumah tangga yang tidak bisa menunggui suaminya bermalam di LKC, karena harus bekerja setiap hari dan pulang untuk menemani anak-anak mereka yang masih kecil di rumah.
Untung saja Bapak ini ‘menemukan’ LKC, sehingga ia tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mendapatkan perawatan lengkap, hingga ampul insulin yang ratusan ribu harganya setiap hari.
Kisah sedih bisa dijumpai hampir setiap minggunya, ialah kematian. Karena pasien yang dirawat sebagian adalah penyakit yang memang sudah terlalu kronik sehingga harapan untuk pulih sangat kecil, atau penyakit keganasan, kematian adalah hal ‘biasa’ di bangsal rawat inap kami.
Kematian pertama yang kujumpai selama tugas dinasku di sini adalah seorang akhwat yang meninggal karena leukemia. Ada catatan yang membuatku cukup terkesan di sini. Akhwat yang sempat mendapat transfusi beberapa kantong darah dari PMI ini, didatangi oleh beberapa ikhwan kader PKS pada suatu malam. Mereka merelakan darahnya didonorkan untuk dapat digunakan oleh si pasien, seandainya persediaan darah di PMI Kramat tidak mencukupi. Mereka datang hampir tengah malam dengan motor, membawakan sampel darah si pasien ke PMI Kramat, dan mengantar kantong darahnya kembali ke LKC tengah malam. Subhanalloh.
Walaupun akhirnya pasien ini meninggal, dengan diiringi sedikit isak tangis sang ibu, karena ukhti yang baru berusia di awal 20-an ini adalah anak satu-satunya. Di saat-saat wafatnya, beberapa akhwat menghibur dan menguatkan ibu paruh baya ini.
Kisah lain, saat praktik malam, seorang ibu membawa anaknya yang demam berobat ke LKC. Ia menceritakan kisahnya padaku. Ibu beranak dua ini beberapa bulan yang lalu adalah seorang pendeta. Dengan kesungguhannya belajar sendiri, dan atas hidayah Alloh, ia masuk Islam. Namun sebagai konsekuensi, keluarganya mengejarnya dan mengancamnya untuk dibunuh. Hingga ia melarikan diri sampai keluar kota. Suatu hari bahkan ia pernah terjatuh dan kepalanya terbentur. Kini ia mengalami kejang beberapa kali, yang sangat dimungkinkan akibat bekas jatuhnya di kepala. Ia pun menjadi dhu’afa, dan otomatis diceraikan oleh suaminya terdahulu. Seorang perawat LKC mengenalkannya kepada lembaga ini, dan Ibu ini menjadi member kami. Katanya seorang pria yang jauh lebih muda insya Alloh akan segera menikahinya. Subhanalloh…
Atau kisah seorang pasangan suami-istri paruh baya dengan anak laki-lakinya usia 8 tahun yang didiagnosis menderita tumor di otaknya, sampai harus menjalani perawatan berminggu-minggu di RSCM. Bapak ini hanyalah seorang penjual mainan keliling di sekolah-sekolah.
Masih banyak cerita lain di tempat ini. Menggambarkan betapa miskin dan rendahnya pendidikan sebagian masyarakat Indonesia, sekalipun tinggal di perkotaan macam Jabotabek.
Kawan-kawan sejawatku yang lebih senior di tempat ini tentunya memiliki cerita yang lebih banyak lagi, dan menggugah perasaan.
Jika Anda berminat menjadi donatur lembaga ini, silakan buka http://www.lkc.or.id
Atau bisa juga dengan me-reply tulisan saya ini.
Sudah dzuhur… siang ini harus berangkat lagi ke LKC