Bagi yang pernah membuka blog-ku sebelumnya di http://spaceodyssey.blogspot.com (blog ini sudah tidak pernah di-update lagi sejak berbulan-bulan lalu), mungkin bisa menebak arah pembahasan judul di atas. Ini adalah kelanjutan atau sekuel dari film arahan Stanley Kubrick, “2001: A Space Odyssey”. Sebuah film klasik produksi MGM tahun 195.. Film yang sangat menakjubkan dalam pandanganku, karena aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, Amerika sudah mampu membuat film dengan teknologi seperti ini pada tahun lima puluhan. Sedikit menceritakan, film yang diangkat dari novel karya Arthur C. Clarke ini berkisah tentang perjalanan pesawat luar angkasa “Discovery” menuju planet Jupiter. Pengarang cerita ini membayangkan (waktu itu) pada tahun 2001, manusia sudah mampu menerbangkan pesawat berawak manusia ke planet Jupiter. Sedangkan kita tahu sendiri, saat ini untuk mendarat di Mars saja, NASA hanya mampu menurunkan robot dalam pesawat tanpa awak. Sedangkan pesawat tanpa awak “Voyager” yang diluncurkan 40-an tahun lalu, kalau tidak salah, sudah melewati Jupiter. Inilah impian manusia sejak puluhan tahun lalu.
Film “2001: A Space Odyssey” sudah mampu memperlihatkan efek spesial visualisasi tokoh utama cerita yang melakukan jogging dalam 360 derajat ruang gravitasi. Aku membayangkan tekniknya mungkin dibuat dengan ruang berputar seperti “roda sangkar tikus” (rat race). Hanya saja kameranya dibuat berputar mengikuti si tokoh. Bisa membayangkan, kan? Imajinasi-imajinasi fiksi ilmiah dalam film ini antara lain perjalanan ruang angkasa yang sudah dibuat komersial pada masa itu, stasiun ruang angkasa yang menjadi pemberhentian sementara para penumpang yang sedang mengadakan perjalanan antar planet, komunikasi antar planet melalui telepon dan layar monitor yang memvisualisasikan orang-orang yang bercakap-cakap, dan last but not least: artificial intelligence.
Tokoh utama dalam cerita fiksi ini memang bukan sekedar sang awak yang salah satunya bernama David Bowman, diperankan oleh Keir Dullea, yang akhirnya diceritakan menghilang dalam perjalanan dengan kata-kata terakhirnya: “My God, it’s full of stars”. Tapi juga superkomputer dengan kecerdasan buatan yang mengendalikan seluruh sistem dan perjalanan “Discovery”, bernama: HAL-9000. O iya, sebelum lupa, karena perjalanan dari bumi menuju Jupiter yang memakan waktu dua tahunan, dan keterbatasan cadangan energi dan oksigen dalam pesawat, maka seluruh awaknya dibuat mengalami hibernasi, dan akan dibangunkan oleh HAL-9000 saat sudah mendekati Jupiter. Tokoh utama adalah dua orang yang dibangunkan terlebih dahulu. Sedangkan tiga awak lainnya mengalami pemutusan sistem kehidupan oleh HAL-9000 saat mereka dalam hibernasi. Satu hal menarik lagi dalam cerita ini: Arthur C. Clarke membayangkan suatu saat ini akan ditemukan teknologi untuk membuat makhluk hidup seperti manusia mengalami hibernasi buatan. Yakni dengan menekan serendah-rendahnya seluruh metabolisme, namun seluruh sistem vital tubuh masih dalam kendali.
HAL-9000 menjadi tokoh cerita yang sangat penting, karena artificial intelligence-nya digambarkan memiliki perasaan juga. Akhirnya HAL jugalah yang membunuh hampir seluruh awak manusia.
Film ini masuk dalam posisi teratas top ten film science fiction yang digemari oleh para ilmuwan, dalam sebuah polling di Inggris tahun ini. Posisi kedua adalah film Blade Runner yang dibintangi Harrison Ford (aku belum pernah menontonnya).
Nah, itu tadi “2001: A Space Odyssey”. Sedangkan “2010: The Odyssey Continues”, atau yang ada yang menuliskan juga “2010: The Year We Make Contact”, dibuat beberapa dekade sesudahnya, yakni pada tahun 1984. Film ini menceritakan perjalanan pesawat Rusia (di film ini masih disebut Uni Soviet, karena mereka belum membayangkan USSR akan pecah pada tahun 1991, dan tidak lagi menjadi negara adidaya menyamai USA) “Leonov” yang membawa tiga awak astronot: si pemimpin program perjalanan Discovery sembilan tahun sebelumnya, pencipta HAL-9000, dan seorang teknisi yang memahami seluk beluk Discovery yang digambarkan hilang dalam lintasan dekat Jupiter pada tahun 2001.
Misi pasukan ini adalah menemukan Discovery, mengaktifkan kembali HAL-9000 yang sempat dimatikan oleh astronot David Bowman pada perjalanan tahun 2001, dan mencari tahu sebab-sebab kejanggalan yang terjadi. O iya, satu faktor cerita yang masih menghubungkan dua sekuel ini adalah sebuah materi menyerupai batu hitam bernama monolith. Mengenai hal ini, aku tidak bercerita lebih dalam.
Pada akhirnya. Penonton bisa menyimpulkan sisi-sisi perasaan yang dimiliki artificial intelligence bisa sangat menyerupai manusia. Ketika akan dimatikan fungsi dan sistemnya, HAL dan SAL (satu komputer lagi yang dimiliki Dr. Chandra, pembuat HAL-9000, di ruang kantornya), bisa mengajukan pertanyaan, “Dr. Chandra, will I dream?”.
Inilah satu impian manusia yang masih terus dikembangkan hingga saat ini, yakni menciptakan kecerdasan buatan yang bisa menyamai pikiran manusia, lengkap dengan respon dan perasaannya. Dalam film buatan tahun 2001, lagi-lagi diinspirasikan oleh mendiang Stanley Kubrick sang sutradara Space Odyssey yang keburu meninggal, Steven Spielberg menyutradarai “AI: Artificial Intelligence”. Film yang menceritakan masa depan saat manusia mampu menciptakan robot-robot dengan kecerdasan buatan, bahkan memiliki bentuk fisik dan perasaan yang sangat mirip dengan manusia. Tokoh utamanya Haley Joel Osment yang terkenal pada awalnya melalui “The Sixth Sense”, adalah robot berwujud anak berumur 6-7 tahun, tinggal dalam sebuah keluarga pasangan yang telah kehilangan anak laki-laki satunya. Film ini akhirnya menyimpulkan “his love is real, but he is not”. Dan jika berbicara mengenai robot, aku juga teringat dengan film “The Animatrix”, yang menceritakan di masa depan bumi akan diisi oleh robot-robot berdampingan dengan manusia.
Tidak habis-habisnya memang membicarakan kecerdasan buatan. Dan jika Anda mengunjungi situs AI, di http://www.aimovie.com, pengunjung akan menikmati chatting dengan chatbot yang menggunakan artificial intelligence language yang sudah bisa dikembangkan saat ini, yaitu ALICE.