Membaca Koran Tempo edisi khusus hari ini sungguh menarik. Isinya menceritakan kisah para ilmuwan muda Indonesia, mayoritas di bidang fisika-kimia-biologi, yang sukses di luar negeri. Menempuh pendidikan di luar, melakukan penelitian di luar, dan mendapatkan penghargaan terutama di luar negeri. Sebagai orang yang pernah bercita-cita menjadi ilmuwan fisika, tiap kali membaca kisah orang-orang ini membuat saya iri pada mereka. Mungkin saja saya bisa menjadi sangat profesional seperti mereka jika saya tetap pada cita-cita awal ini. Suatu kejadian menjelang kelulusan dari SMA-lah yang membuat saya mengalihkan pilihan ke kedokteran.
Tiga orang yang dimuat profilnya cukup saya kenal. Tidak hanya mendalami sains, mereka semua juga aktivis da'wah. Dua dari mereka bertetangga tidak jauh di komplek seberang tempat tinggal ayah-ibu saya, dan satu orangnya pernah berinteraksi cukup dekat dengan saya, ketika saya berusaha mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan pasca sarjana di luar lewat bantuannya. Namun saya gagal, sehingga saya mendaftar pendidikan spesialisasi di UI, dan alhamdulillah diterima.
Cukup jarang media massa mengangkat profil dokter yang penghargaannya setara dengan para ilmuwan muda yang diangkat dalam koran Tempo ini. Mungkin memang sangat sulit menemukan profil-profil dokter semacam ini. Dokter adalah profesi. Berinteraksi langsung dengan manusia. Orientasinya menukar jasa dengan sejumlah uang. Materi. Mereka bukanlah ahli teori yang berkutat dalam kesunyian di dalam laboratorium, menemukan sebuah piranti kasat mata, yang menjadi dasar penggerak sebuah mesin atau komputer. Dokter adalah biasa-biasa saja. Ribuan dokter tersebar di negeri ini. Sebagian besarnya bertumpuk di kota-kota. Bersaing mendapatkan pasien. Tidak banyak pelajaran menarik yang bisa diambil. Pelajaran yang ada adalah: ketidakpuasan pasien terhadap dokternya, gugatan malpraktik, dokter pelit bicara, meresepkan terlalu banyak obat, merasa dirinya lebih tahu dari pasiennya, dan setumpuk hal kurang simpatik lainnya.
Dua hari yang lalu, seorang kawan menelepon dari pelosok Lampung. Pasiennya di ambang maut. Perutnya buncit kebanyakan cairan, napasnya sesak, suhunya 40 derajat selsius. Ia meminta saran adakah tindakan lain yang dapat ia lakukan, setelah menceritakan kondisi pasien dan tindakan yang sudah ia lakukan. Adakah pemeriksaan analisis gas darah? Tidak ada, rumah sakitnya hanya dapat melakukan pemeriksaan darah tepi saja. Lagipula kalaupun hasil pemeriksaan menunjukkan darah yang asam, ia tidak punya natrium bikarbonat. Percuma saja. Bahkan sungkup oksigen pun tidak ada, hanya kanul nasal yang terpasang di kedua lubang hidung si pasien. Saya jadi malu, terbiasa dengan berbagai pemeriksaan penunjang, membuat saya sulit berpikir, apa lagi saran yang bisa saya berikan. Semua yang ia lakukan sudah maksimal. Obat furosemid sudah disuntikkan. Monitor balans cairan akan ia kerjakan. Baiklah Mbak, demikian kata saya, jelaskan saja pada orangtuanya berapa lama lagi waktu si anak akan bertahan. Tak disangka, keesokan paginya, kakak kelasku ini menelepon, mengabari bahwa si pasien masih bertahan, dan siap ditransportasi ke RSUD yang akan menempuh lima jam perjalanan.
Dokter-dokter yang ikhlas bekerja seperti ini di pelosok masih banyak. Mereka hampir tak pernah diangkat media. Saya pribadi sangat menghargai mereka. Mereka adalah dokter-dokter sesungguhnya. Sementara saya tinggal di ibukota, menempuh pendidikan lanjutan dengan segala peralatan canggih yang ada.
Merekalah pahlawan sesungguhnya.
Dan saya juga akan tetap mengagumi semua fisikawan Indonesia dengan karya-karyanya.
Apin. Siap-siap jaga malam di IGD: teater kehidupan manusia yang amat lemah di hadapan Penciptanya.