Bagaimanakah nyeri dalam pandangan seorang anak? Pastinya sesuatu yang tidak menyenangkan bukan. Orang dewasa saja tidak mau merasakan nyeri, apalagi anak kecil. Sakit, tidak nyaman, takut, ingin segera melepaskan diri. Kurang-lebih inilah arti nyeri bagi semua makhluk hidup. Yakni ketika saraf-saraf nyeri yang tersebar di seluruh tubuh kita terangsang oleh stimulus, maka rangsang ini akan diteruskan melalui suatu jalur nyeri yang oleh otak direspon sebagai sesuatu yang harus dihindari. Lari. Melarikan diri dari rasa nyeri. Korteks adrenal akan melepaskan hormon adrenergik. Trying to survive. Escaping from pain..
Masalah nyeri cukup menggangguku belakangan ini. Pasien-pasien anak yang menderita keganasan (kanker) sistem darah (hemopoetik), sebut saja leukemia, dengan gambaran hasil laboratorium darah yang hiperleukositosis (kadar sel darah putih yang tinggi, di atas 50000/mikroliter), harus mendapatkan pemantauan darah tepi lengkap dan analisis gas darah, sekurang-kurangnya sekali dalam tiap 24 jam. Sekurang-kurangnya. Artinya pemeriksaan bisa dilakukan lebih dari sekali sehari jika memang diperlukan. Hiperleukositosis pada pasien leukemia bisa menimbulkan kegawatan yang timbul mendadak sewaktu-waktu.
Pengambilan darah tepi lengkap dan analisis gas darah pun dilakukan di dua tempat yang berbeda. Darah tepi lengkap menggunakan sampel darah vena yang relatif lebih mudah diambil, daripada analisis gas darah yang dialmbil dari sampel darah... arteri. Bukan ini saja, mengambil darah pada anak-anak juga tentunya lebih sukar daripada orang dewasa. Belum pada mereka yang gemuk sehingga lebih menyulitkan melihat pembuluh vena, dan mereka yang pembuluh darahnya kolaps akibat syok.
Ambil contoh: anak batita berumur 2 tahun dengan leukemia limfositik akut, harus diperiksa darahnya tiap 12 jam, dengan satu kali pengambilan mendapatkan sekaligus darah arteri dan vena. Jika gagal, darah harus diambil di 2 tempat yang berbeda. Dalam 24 jam ia bisa mendapatkan empat kali tusukan jarum. Tiap bekas tusukan juga biasanya menimbulkan bengkak dan lebam yang bertahan berhari-hari kemudian. Jika disentuh, nyeri rasanya. Artinya tidak bisa mengambil darah di tempat yang sama pada kesempatan berikutnya. Semua lokasi tubuh mulai dari pergelangan tangan, lengan bawah, lipatan lengan, punggung kaki, selangkangan, bahkan kepala, berpotensi menjadi tempat tusukan. Dan perlu ditegaskan, semua ini demi kebaikan si pasien tentunya.
Tapi apa arti semua ini bagi seorang anak kecil? Sakit. Sakit yang luar biasa.
Mendengar derap langkah kaki dokter atau suster dari kejauhan, si anak mulai gelisah. Melihat wajah dokter atau perawat yang tampak menjulang tinggi di hadapannya, anak pun langsung menangis, merengek, rewel, memohon-mohon agar tidak ditusuk."Jangan Dok.. jangan disuntik. Nggak mau disuntik lagi. Sakit.. sakit!"Meski dokter sama sekali tidak bermaksud mengambil darahnya. Ia hanya ingin memeriksa rutin tekanan darah, frekuensi nadi dan napas, serta suhu badan. Tapi trauma mendalam yang telah terpancang dalam benak sang anak membuatnya ketakutan setengah mati.
Wajar. Sangat wajar tentu saja. Ini tidak hanya berlaku bagi anak dengan keluhan seperti ini. Tapi semua anak yang harus dipasangi infus ketika menjalani perawatan di RS, anak yang infusnya lepas dan harus dipasang lagi, dan semua berkenaan dengan suntik-menyuntik anak.
Seorang teman dokter yang anak balitanya pernah menjalani operasi di sebuah RS rujukan utama di Jakarta mengeluhkan perlakuan yang dialami anaknya ketika harus dibius. Si anak yang secara otomatis ketakutan meronta saat akan mendapatkan anestesi, harus dipegangi beberapa orang sekaligus, dibentak dan diancam supaya tidak bergerak, sehingga dapat dilakukan pembiusan. Wajar bukan jika si anak ketakutan? Teman saya ini pun sempat membandingkan dengan keadaan di RS Singapura, ketika membawa anaknya untuk pembedahan yang kedua kalinya (hasil operasi pertama kurang memuaskan). Ia benar-benar mendapatkan perlakuan yang berbeda di sini. Anak dibawa ke sebuah ruang yang sama sekali tidak akan membuatnya berpikir sedang berada di RS, dan pembiusan dengan mudah dilakukan tanpa perlawanan. Tidak heran banyak orang lebih senang berobat ke luar negeri.
Saya pun bertanya-tanya, bagaimana seharusnya seorang dokter menangani rasa takut dan trauma yang timbul pada seorang anak yang sering berhadapan dengan prosedur medik. Kadang dokter yang berada di bawah tekanan pekerjaan, khususnya di RS pendidikan dengan pemantauan ketat dari dokter senior dan dokter konsultan yang tidak mau tahu, semua hasil pemeriksaan penunjang harus ada ketika dibutuhkan, padahal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium atau radiologi ini tidak mudah. Anak-anak seringkali memberontak, berteriak, dan melakukan tindakan yang membuat dokter atau perawat emosional juga, karena tidak kooperatif. Ya, tentu saja karena mereka tidak tahu. They're just kids!
Hal ini saya alami juga ketika harus memberikan vaksinasi pada bayi dan anak-anak. Kadang anak-anak yang tertinggal beberapa imunisasinya, harus melakukan catch up, dan dalam satu kali kunjungan bisa mendapatkan sampai empat tusukan sekaligus! Imunisasi simultan lebih baik dibandingkan dengan anak harus datang tiap bulan untuk disuntik.
I'm still learning how to handle with the pain and needle related-psychological trauma in children.