Each visit to doctor ends with prescriptions.
Kita sakit, trus kita berobat ke dokter, pulangnya harus bawa obat, atau minimal dikasih resep. Iya nggak sih?
Ya iya dong. Masak udah jauh-jauh datang ke dokter, keluar ongkos, waktu kepake, keluar dari ruang dokter nggak dikasih obat?
Misalnya kita demam dari semalam, badan panas dingin, menggigil, nggak masuk kerja hari ini, udah minum parasetamol sih, ada stoknya di rumah, trus sorenya berobat ke dokter. Setelah diperiksa, dokternya bilang: ini demam baru hari kedua, tidak ada tanda-tanda penyakit spesifik lain, paling mungkin ini infeksi virus aja. Sudah ada obat penurun demam di rumah kan ya? Pake itu aja. Saya nggak ngasih obat lagi. Nggak perlu antibiotika dll. Minum air yang banyak, kompres pake air hangat supaya demamnya turun, kita observasi sampai lusa. OKeh?
Udah deh, gitu aja, dokternya nggak ngasih obat. Cuma kasih nasehat aja. Padahal ongkos konsultasinya aja Rp 50 rebu.
Padahal saudara-saudara, tidak semua kunjungan ke dokter harus berakhir dengan dikasih resep. Kalau cuma sakit demam baru tiga hari, batuk-pilek, mencret alias diare, ini mah kaga perlu obat. Istirahat aja dulu, minum yang banyak. Kalo diare nggak perlu minum obat macam-macam antidiare-antibiotika (diare baru 1-2 hari tanpa darah, dan warna tinja biasa aja). Minum aja oralit. Ini kan juga nggak perlu ke dokter.
Jadi jangan ngambek ya kalau dokternya nggak kasih resep obat, cuma kasih nasihat aja. Pemberian obat yang tidak sesuai indikasi justru meningkatkan risiko efek samping, dan interaksi obat kalau obatnya lebih dari dua macam.
Kan ente-ente pade punya akses internet, silakan browsing dulu di internet kira-kira ini masuk kategori sakit apa. Perlu ke dokter nggak, atau perlu obat nggak?
Nasihat dokter itu obat juga lho. Makanya konsultasinya aja dihargai mahal. Hehehe...
kalo yg mau kasih komen, berhubung shoutbox-nya lagi error, ke http://drarifianto.multiply.com aja isi shoutbox di situ
apin lagi nulis dikit, dikejar menyelesaikan penelitian sebelum mulai kuliah PPDS