Sudah lama ingin menumpahkan kekesalan ini dalam tulisan.
Awalnya seorang teman dekat yang sudah kukenal sejak SD kelas 4 (tetangga seberang blok, teman main Street Fighter 2 di Nintendo, partner lomba cerdas tangkas P4 pas SMP, dan kakak kelas beda setahun di SMU) dinyatakan mengalami Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Pada umur yang sangat muda (belum genap 27 tahun), akibat obesitas yang diidapnya (berat badan lebih dari 100 kg dengan tinggi badan tidak mencapai 170 cm). Ia harus masuk RS dengan keluhan badan sangat melas. Sebuah RS swasta kecil di bilangan... ah, jangan disebut, nanti langsung ketahuan, dan saya bisa kena damprat.
Di suatu bakda subuh di masjid komplek rumahku, mertua temanku ini (yang kebetulan tetangga depan rumah. Artinya: pasangan suami-istri ini awalnya adalah tetangga seberang blok!) menghampiriku dan menanyakan beberapa hal tentang penyakit menantunya. Aku memutuskan untuk pergi menjenguknya.
Seperti biasa, jika menjenguk seseorang di RS, aku akan segera menghampiri ruang perawat dan meminta untuk melihat status pasien (rekam medik), untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, diagnosis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan perkembangannya sampai saat ini. Dan tentu saja ini selalu berhasil, kadang tanpa harus menyebutkan identitasku sebagai seorang dokter.
Tapiiii... di RS ini, sebuah RS swasta kecil dengan tabung oksigen di kamar temanku yang sudah kehilangan bola indikatornya, pasiennya kebanyakan golongan menengah ke bawah (dengan biaya perawatan yang tentu saja bukan level kelas mereka, namanya juga RS swasta), dan perawat yang tidak selalu siap sedia di ruangannya, AKU TIDAK DIIJINKAN MELIHAT STATUS PASIEN!!! Alasannya: kebijakan rumah sakit.
Setahuku (sayangnya aku belum mengeceknya lagi di buku pasal-pasal) status catatan rekam medik pasien adalah hak pasien dan keluarganya, untuk dapat diakses. Artinya keluarga boleh membaca rekam mediknya. Karena berkeras melihat status pasien dengan memperkenalkan diri sebagai keluarganya (iya, keluarga satu bangsa), perawat menawarkan aku bertemu dengan dokter jaga. Tentu saja aku menerimanya. Yang penting aku dapat penjelasan mengenai si pasien.
Dipanggillah si dokter jaga. Seorang dokter perempuan berjilbab yang kutaksir umurnya tidak jauh berbeda denganku, dan tidak kukenal. Pastinya beda almamater denganku. Dia bertanya dengan detil:
"Bapak siapa?"
"Saya keluarganya."
"Keluarga apanya ya?"
"Yaa.. sebenarnya temannya. Saya tetangga Pak Widi. Boleh saya melihat status pasien?"
"Di sini kita tidak mengizinkan untuk melihat status pasien."
"Saya dokter."
"Kalau begitu seharusnya mengerti, dong."
Walaahh.. RS macam apa ini? Peraturan macam apa? Ketika menjenguk saudara iparku di sebuah RS swasta kelas menengah di bilangan Jakarta Selatan, aku diizinkan melihat status pasien, meski akhirnya tetap harus bertemu juga dengan dokter jaga. Tapi tetap saja aku boleh melihat status pasien, dan bisa berdiskusi dengannya.
Saat menengok Tanteku yang terbaring sakit di RSUD besar di Kota Bogor, hanya bermodal senyum dan kalimat, "Maaf Pak, boleh saya melihat statusnya Bu Elok?", si perawat langsung menyodorkan status pasien untuk kulihat. Tanpa bertanya-tanya apa aku dokter atau bukan, apa keperluanku dsb.
Justru inilah yang mengundang curiga: sebuah RS yang tidak mengijinkan status pasiennya dilihat, sekalipun oleh pasien atau keluarganya. Jangan-jangan si Direktur khawatir ada tindakan dokternya yang menyalahi SOP medis, dan diketahui keluarga, sehingga memudahkan untuk dituntut. Kalau memang tidak ada kejanggalan atau kesalahan, untuk apa ditutup-tutupi? Toh tujuan melihat status semata-mata untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari si pasien.
Karena tidak diijinkan melihat status, akhirnya aku bertanya-tanya saja langsung pada si dokter jaga.
"Diagnosis masuknya apa?" Kutanyakan supaya aku yakin bahwa ini adalah DM dengan komplikasi, sehingga masuk indikasi rawat inap.
"Curiga Ketoasidosis."
"Saya lihat pas jenguk tadi, Pak Widi tampak mengantuk terus. Diberi obat tidur minor tranquilizer ya?" setelah kutanyakan mengenai perkembangan gula darah hariannya, dan kebetulan aku sangat kenal dengan sang SpPD dan kecenderungannya yang sangat mungkin untuk memberikan obat jenis ini.
"Ya, dapat alprazolam." Sebenarnya yang disebutkan si dokter jaga adalah merek dagangnya. Yang jelas aku kurang setuju dengan pemberian sedatif ini, karena menyamarkan keadaan umum pasien (masking), sehingga sulit dinilai apakah ini akibat DM-nya, atau bukan. Hal ini juga bisa membuat pasien lebih lama dirawat, padahal mungkin seharusnya sudah keluar dari indikasi rawat inap.
Di akhir pembicaraan, aku meminta nomor HP si dokter jaga.
"Boleh saya meminta nomor HP-nya, Dok?"
"Untuk apa ya?"
"Kebetulan saya kerja di perusahaan tidak jauh dari sini. Banyak karyawan saya ketika jatuh sakit langsung datang dan dirawat di sini. Saya tidak punya kontak dengan dokter di sini. Seandainya saya punya, tentunya lebih enak, ketika ada karyawan saya yang dirawat."
"Maaf, langsung saja telepon ke RS kalau begitu." Tampak sekali resistensi darinya. Aku minta pendekatan personal antar satu dokter umum ke dokter umum lainnya, tapi ia tampak sangat berhati-hati. Emangnya gw mau ngapain sih? Ngajuin kasus malpraktik teman sejawat sendiri?
Okay, aku tidak berhasil menjalin persahabatan dengannya.
"O iya, minggu lalu ada anak dari karyawan saya yang dirawat di sini, kok boleh ya saya melihat statusnya?" Kebetulan sekali aku pernah berhasil melihat status pasien, ketika aku menjenguk seseorang yang dirawat di kelas 3.
"O.. itu seharusnya tidak boleh."
Well, itu sekelumit tentang RS yang membuatku amat kesal dengan pelayanannya yang tidak memuaskan. Istri temanku yang juga temanku sejak SMP dan tetangga depan rumah ini juga mengeluhkan sikap kritisnya bertanya-tanya pada perawat dan dokter spesialisnya, dan mendapat tanggapan kurang simpatik. Mungkin mereka terbiasa dengan pasien sosioekonomi menengah ke bawah yang nrimo saja. Padahal suami-istri ini adalah alumni ITB-IPB yang merasa hal biasa ketika ingin mengetahui keadaan persis kesehatannya.
Berikutnya menyangkut dokter yang merawatnya, kebetulan orang yang sudah aku, adikku, dan ayah-ibuku kenal baik, karena pernah berobat dengannya, dan pernah mendapat tutorial mahasiswa.
Untuk ini aku beristighar, astaghfirullooh a' adziim. Niatku semata-mata agar semua dokter di Indonesia memberikan layanan terbaiknya untuk kepentingan konsumen. Mampu memberikan penjelasan ketika pasien bertanya. Minimal memberitahu apa diagnosisnya, dan apa obat yang diberikan, apa tujuannya, dan bagaimana perkembangan hariannya.
Mungkin memang sudah menjadi karakter si dokter ini untuk sedikit bicara. Orangtua pasien pernah bercerita denganku, ketika ia bertanya bagaimana keadaan anaknya.
"Pokoknya tenang aja ya, Bu, kan sedang diobati."
Singkat, tanpa kejelasan.
Sampai aku berhasil membuka statusnya dan mengetahui anak perempuan berusia 13 tahun itu menderita hipertensi dan dugaan glomerulonefritis akut.
Itulah pertama kalinya aku melakukan suatu tindakan yang menurutku--jarang dilakukan dokter di Indonesia--akibat budaya feodal dan senioritas antara dokter spesialis-dokter umum, dosen-mahasiswa.
Aku mengirimi di dokter spesialis secarik surat.
Bingung dan harus berpikir agak lama ketika aku akan menggerakkan ujung pulpenku, di sebuah kertas berkop nama perusahaan tempatku berpraktik. Pasien adalah keluarga karyawan. Aku khawatir sekali kata-kataku akan terdengar kurang sopan, terhadap orang yang pernah menjadi salah seorang pengajarku. Yang jelas ia pastinya tidak ingat denganku, satu dari sekian ribu orang yang pernah menjadi mahasiswa FKUI.
Akhirnya kesimpulan isi surat itu hanyalah: agar dokter bisa menjelaskan pada keluarga pasien bagaimana perkembangan si anak saat dokter visite. Cukup sopan, bukan? Dan tujuan tercapai.
Alhamdulillah, memang ada hasilnya. Beberapa hari kemudian muncul angka-angka seluruh hasil lab yang diperlihatkan untukku, dan permintaannya untuk bertemu denganku. Namun sulit karena jadwalnya bentrok. Ia praktik, aku juga praktik. Namun bisa juga: aku pengecut! Tidak berani, atau segan bertemu dengannya. Beraninya hanya lewat surat antar teman sejawat. Kalau ketemuan langsung... gimana gitu lho junior dengan senior. Meskipun aku sama sekali tidak tertarik dengan bidang spesialisasinya, dan tidak perlu khawatir ketika mendaftar jadi residen nanti untuk harus bertemu dengannya.
Kebiasaan mengirim surat ini aku lanjutkan setelah menjenguk temanku yang mengalami DM. Kebetulan dokter yang merawatnya sama. Aku menulis pandanganku bahwa alprazolam bisa menimbulkan masking effect, dan bertanya kapan temanku ini boleh pulang. Biasa lah, diskusi ilmiah antar dokter. Sama seperti yang diajarkan pada semua mahasiswa kedokteran saat presentasi kasus. Ketika kita semua telah menjadi dokter, tentu kebiasaan ini tidak boleh berhenti, bukan? Sekalipun terhadap senior.
Memang kemudian keluarga temanku memutuskan untuk tidak memberikan suratku ini pada si dokter.
Beberapa hari kemudian terdengarlah kabar mengejutkan (sekaligus sangaat menggelikan). Bapak si pasien anak, salah seorang karyawan perusahaan tempatku bekerja, melapor padaku. Dalam konsultasi lanjutan pasca pulang dari rawat inap, karyawanku ini ditanya dokter.
"Bapak, kenapa waktu itu dokter perusahaan Bapak sampai datang kemari?" sambil menunjukkan suratku yang masih disimpannya setelah berminggu-minggu. Ia kurang suka sampai ada dokter luar datang 'mengintervensi' pasiennya. Hal yang aku tidak sepakat. Hal ini justru membuka peluang adanya second opinion dari teman sejawat lain, sesuatu yang positif. Diskusi bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan kita, jika memang ada, bukan? Tidak ada dokter yang sempurna. Tidak ada manusia sempurna. Dokter adalah profesi yang diciptakan untuk bekerja dalam tim.
"Itu dokter perusahaan saya, Pak. Dia hanya ingin tahu kondisi anak saya."
Diskusi pun berlanjut seru. Aku tidak bisa menceritakannya dalam bentuk dialog. Intinya si karyawan yang kebetulan salah seorang pimpinan dari sekian ratus pekerja ini dengan tegas menegur si dokter.
"Saya hanya ingin tahu. Sudah empat hari dirawat, kok anak saya belum ada perubahan. Harusnya Dokter introspeksi, dong."
Ia bercerita dengan semangat, bahwa so dokter sampai berkeringat mendapat teguran keras dengannya. Perawat hanya berdiri di ruangan sekian lama, menatapi perbincangan seru itu.
Mudah-mudahan saja si dokter mengintrospeksi dirinya, setelah mendapat teguran keras dari seorang pasien yang berani. Agar di lain waktu ia lebih ramah dan berempati pada pasien, mau menjelaskan apa diagnosisnya, dan semua tindakan yang dilakukan, serta perkembangan harian pasien. Bukankah dokter seperti ini akan dicintai pasien, dan pasiennya akan bertambah banyak?
Sekian dulu. Yang terpenting adalah mengintrospeksi diriku sendiri.
Semoga di masa depan komunikasi dokter-pasien jauh lebih baik. Konsumen kesehatan adalah mitra terbaik pemberi layanan jasa. Tanpa pasien, apalah artinya dokter?