Tatoe arashi ga futou tomo.. Tatoe oo nami ateru tomo.. Kogida sou tatakai no umi he.. Tobikomou tatakaino uzu he..
Belum mengenal potongan syair lagu di atas? Bagaimana dengan ini:
“Voltus Lima sahabat kita semua.. Lima pemuda yang gagah perkasa.. Sangat disukai anak-anak semua.. Dengan robot tempur perkasa Voltus Lima..”
Beberapa dari kita pasti pernah familiar dengan kalimat-kalimat tersebut. Lets say.. sekitar 20 tahun yang lalu. Dinyanyikan oleh Sanggar Cerita Shangrila dalam kaset-kaset cerita anak-anaknya. Dan kita lebih ingat lagi dengan tokoh yang dimaksudkan: Voltus V (baca: voltus five). Robot raksasa bentukan dari lima pesawat tempur, dengan lima orang jagoan berkostum merah-biru-hijau-kuning-pink. Khas Jepang banget deh.
Bukan itu yang demikian berkesan buatku. Tapi kenangan masa kecilnya. Inilah sesuatu yang berharga. Kadang manusia membayar harga mahal untuk sebuah kenangan.
Sebagai seorang anak kecil yang dibesarkan di sebuah sudut Jakarta di awal tahun ’80-an, menonton film-film kartun Jepang adalah kebiasaan sehari-hari. Pulang sekolah (baca: TK), ganti baju, pergi ke rumah teman, putar video-nya. Hari ini episode 1, besok episode 2, dan seterusnya sampai habis. Voltus Five adalah salah satu yang paling berkesan buatku. Mengapa? Karena ia termasuk yang paling awal kulihat, paling banyak episodenya, ditonton beramai-ramai, dan warna-warni kostum serta imajinasinya itu yang membuatku sedemikian membekas. Aku bahkan masih menyimpan poster kertasnya, bonus dari majalah Bobo.
Kini dua puluh tahun berselang, aku membangkitkan kenangan masa kecilku ini. Aku membeli satu keping DVD yang berisi 40 episodenya sekitar enam bulan lalu (thanks to DivX technology that compressed all the episodes to one single DVD) via internet seharga Rp 40 ribu. Perasaan yang membuncah ketika mendengar Kenichi berseru: “V TOGETHER.. LET’S VOLT IN,” sambil menekankan telunjuknya pada tombol panel, dan seketika itu kelima pesawat tempur membentuk formasi, dan siap menyatu menjadi tubuh raksasa mecha Voltus V.
Film yang diputar di stasiun TV Jepang pada 1977-78 ini banyak dipuji karena isi ceritanya yang ‘agak’ berbobot. Bukan melulu perang-perangan antara robot jagoan dan monster, terus si jagoan mengeluarkan senjata pamungkas ‘TENKUU KEN’, dan monsternya hancur berkeping-keping. Tapi ada kisah persahabatan dan kasih ayah pada anak-anaknya yang mengharukan. Pada episode-episode awal, kita bisa melihat konflik yang terjadi antara dua tokoh utama, kemudian episode-episode yang menceritakan masing-masing karakter, sampai pada episode-episode akhir yang menunjukkan film ini dibuat dengan pengetahuan teknik cukup memadai. Inilah yang sedikit aku tekankan dalam resensi ini.
Voltus V menceritakan planet rekaan bernama Boazan dengan jarak 14 ribu tahun cahaya dari bumi (bayangkan saja, sudah dipikirkan sampai sini). Dengan kecepatan maksimal Mach 20, tentu saja Voltus V tidak akan mencapai planet ini di akhir episodenya. Untungnya ada Solar Bird yang bisa melakukan kecepatan Warp untuk mencapai Boazan. Aha, pastinya pencipta kisah ini penggemar berat Star Trek juga. Menggunakan konsep Einstein mengenai kesatuan ruang-waktu, dengan cara menyatukan dua titik yang terpisah di dalam kesatuan dimensi ini, melalui lubang cacing (wormhole) Voltus V bisa mencapai Boazan dalam hitungan menit dengan selamat. Tidak hancur berkeping-keping setelah melewati Lubang Hitam (Black Hole). Meski konsep milik Stephen Hawking ini sudah dibantah tahun lalu melalui penelitian terbaru. Andaikan pengarang buku The Physics of Star Trek menyaksikan anime ini, pastinya dia akan menambahkan daftar kritikan atas kesalahan-kesalahan teknis konsep fisika yang dibuat.
Yaa… tentu saja, Prof. Lawrence M. Krauss tidak setuju laser yang ditembakkan oleh phaser milik Kenichi dkk bisa terlihat mata, kecuali melalui medium ruang gelap tanpa cahaya.