Good Doctor, Bad Doctor.
Bagaimanakah dokter yang baik menurut Anda? Ia menebar senyum sejak Anda membuka pintu ruang praktiknya, serentak berdiri sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman, meluangkan waktu yang cukup untuk mendengarkan segala keluhan, seraya melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, dan berujung pada menulis di atas kertas resep, dan menyerahkannya pada Anda. Keluhannya sih mungkin ringan, hanya batuk-pilek dengan sedikit demam sudah tiga hari tak kunjung mereda. Dokter yang ramah dan baik hati ini menuliskan dua macam antibiotika dalam resepnya: amoksisilin 500 mg dan kotrimoxazol 480 mg dalam sediaan paten. “Ingat ya, harus dihabiskan antibiotikanya,” pesannya sebelum si pasien meninggalkan ruangan.
Common colds diberikan antibiotika? Sampai dua macam pula. Merek-nya paten pula. Tapi dokternya baik sih.. Jarang lho dapat dokter ramah dan baik hari seperti itu. Apapun obatnya, akan kubeli. Hey, belum tentu si dokter bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk mengeruk komisi obat paten lho! (well, meskipun tetap ada kemungkinan sih) Bisa saja memang si dokter ramah ini kurang updated ilmunya. Jadi memberikan obat dengan ilmu sepuluh tahun lalu, padahal dunia kedokteran terus berkembang…
Lalu dengan dokter satu ini: sejak Anda masuk ke dalam ruangannya, wajahnya datar-datar saja. Ia tidak banyak bicara, hanya mendengarkan keluhan Anda, memeriksa seperlunya, bertanya seperlunya, dan menuliskan resep sambil memberitahukan cara penggunaannya. Yang jelas si dokter satu ini paham betul dengan penggunaan obat secara rasional. Termasuk antibiotika, ia tidak akan meresepkannya jika dinilai tidak perlu. Kadang-kadang si pasien sampai merengek minta diberikan antibiotika padahal hanya luka tergores saja di lututnya. Ia paham betul dengan ‘parahnya’ penggunaan antibiotika di Indonesia. Ia tidak ingin memperkeruh kondisi ini.
Kedua contoh di atas bukanlah contoh yang ideal, bukan? Kita mengharapkan dokter ramah dan baik hati terhadap pasiennya, namun juga rasional dalam memberikan obat, plus updated ilmunya. Itu dokter yang bagus. Pasiennya banyak, sampai mengantrinya pun berjam-jam. Obatnya cocok! Minimal ada satu antibiotika pada kunjungan pertama. Alhamdulillah sih seringnya langsung sembuh. Kalau ke dokter lain belum tentu obatnya cocok.
Beberapa hari lalu, sambil menyetir sendirian malam-malam pulang dari tempat kerja (one thing I really enjoyed, driving alone at night, but I think having ‘someone’ right beside me while driving must be much more enjoyable, there’s someone to talk with… but the time hasn’t come yet—sorry nih OOT) dan mendengarkan sebuah radio swasta ibukota, si penyiar dalam obrolannya di sela-sela lagu menceritakan, “Gue mau cerita nih tentang dokter gue. Gue memang terkenal bandel kalau disuruh minum obat. Disuruh minum antibiotika sampai habis, begitu badan gue merasa enakan, gue stop obatnya. Akibatnya saudara-saudara? Sekarang gue disuruh minum sampai tiga macam antibiotika kalau sakit, karena gue udah kebal sama antibiotika. Makanya gue harus minum tiga macam untuk membunuh semua virus sampai tuntas.”
Dengan nada bangga si penyiar menceritakan pengalamannya. Dokternya yang dibanggakannya ini memberikan kombinasi antibiotika menyadari resistensi obat yang ada (memangnya sudah dibuktikan dengan uji kultur darah?). Ia pun salah menyebutkan kata ‘virus’. Antibiotika untuk memubuh bakteri, Mas, bukan virus! Ini si penyiar memang tidak begitu mau tahu ilmunya, atau si dokter telah (maaf) ‘membodohi’ pasiennya, dengan entengnya mengkombinasi antibiotika, tanpa memberikan edukasi yang baik. Jadi instead of keep giving multiple antibiotics, yang lebih penting adalah mendiagnosis dengan tepat penyakitnya, dan memberikan edukasi agar mampu menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit.
Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membeberkan teori antibiotika dan resistensinya, juga data-data kuantitatif antibiotics abuse di Indonesia. Singkatnya, Indonesia adalah negara dengan pola konsumsi antibiotika tidak rasional. Dokter mudah merasa khawatir dengan penyakit pasiennya, maka mudahnya, berikan saja antibiotika sebagai ‘obat dewa’, mampu ‘menyembuhkan semua penyakit’. Ditambah mahalnya ongkos pemeriksaan penunjang, maka dokter di Indonesia cenderung terjebak pada pola terapetik farmasi. Sekali datang, langsung obati, mudah-mudahan ‘cespleng’! Penekanan pada aspek kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan). Konsumen kesehatan menambah parahnya kondisi ini dengan mereka yang meminta antibiotika ke dokter, padahal dokter belum tentu ingin meresepkan. Khawatir ‘tidak laku’, maka dokter memenuhi permintaan pasien.
Ironic, isn’t it?
Inilah yang akhirnya menyebabkan SUPERBUGS: bakteri resisten terhadap golongan antibiotika spektrum luas. Kalau kumannya sudah begini, mau diobati dengan apa lagi? Saya ingat dengan kisah sedih kawan SMU saya, anaknya yang berumur 1 minggu dirawat di sebuah RS pemerintah dengan mendapat tiga macam antibiotika spektrum luas!! Saya khawatir kuman penyebabnya tidak berasal dari lingkungan alamiah si anak, melainkan didapat dari RS selama perawatan. Namanya infeksi nosokomial. Semacam oleh-oleh dari RS jika dirawat. Seseorang dirawat, keadaannya bukannya membaik, melainkan mendapat infeksi bakteri baru dari RS yang resisten dengan berbagai macam antibiotika.
Udahan dulu deh…
Ini lagi ga nyambung: laporan jaga semalam di LKC:
- satu pasien dengan penurunan kesadaran suspek CVD stroke hemoragik GCS 3, diobservasi aja, alhamdulillah paginya bisa respon suara, jadinya GCS 15! (kayanya gue yang salah nilai GCS pas masuk deh) Cuma ada parese nervus VII aja sih, ga ada hemiparesis.
- Dua pasien kebidanan: satu wanita 35 tahun dengan G2P1A0 lahir spontan jam 23-an, dan satu wanita 31 tahun dengan G9P7A1 (grande multipara boo) partus spontan abis sholat subuh. Sempat bikin panik karena ada hysterical reaction (‘Dokter Apin harap turun ke ruang Bidan CITO’) dibilangnya pingsan. Untuk ga ada apa-apa. Semua bayi AS-nya bagus dan BL normal.
- Bolak-bolak nelepon perawat rujukan di RSCM gara-gara ga dapat kamar untuk satu bayi BBLR preterm 32 minggu dengan hiperbilirubinemia, dan satu lagi member baru anak 2,5 tahun dengan KEP suspek meningitis khawatir ada dekomp juga. Cari ruangan di Harkit ga dapet, cari ke Fatmawati ga dapet juga. Ya beginilah kondisi RS kita, seringkali pasien ditolak, ga tau memang penih ruangannya di RS rujukan, atau memang nolak pasien GAKIN (mudah-mudahan yang terakhir ini engga. Kalau ketahuan Bu Menteri bisa jadi kasus lagi. Hehehe)