As a medical doctor, you wouldn't know what kind of people you would meet the day you had practice.
Perempuan berusia 38 tahun itu masuk ruang praktik dengan ekspresi wajah biasa.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanyaku.
"Badan saya lemas terus hari-hari belakangan ini. Tidak ada gairah," paparnya, berhenti sejenak, "jantung juga sering berdebar-debar."
"O ya?" timpalku.
"Ya..." suaranya mulai bergetar. Wajahnya setengah menunduk. "Saya korban kebakaran waktu itu. Anak saya terbakar. Hangus jadi abu."
Ia mulai terisak pelan. Menangis perlahan. Tapi tidak lama. Sekitar semenit. Aku hanya terus menatapnya. Tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Jangan sampai perasaannya semakin terluka dengan pertanyaan mengenai kejadian.
Wanita di hadapanku ini mulai tenang.
"Kebakaran yang kapan, Bu?" dalam hati aku merasa malu tidak tahu dengan bencana yang terjadi masih di sekitar Jakarta.
"Tanggal 16 kemarin. Dua puluh rumah habis terbakar." Isaknya sudah terkendali. Suaranya terdengar tegar.
Sambil diselingi pertanyaan mengenai keluhannya, ia memaparkan kisah sedihnya. Kejadian yang terjadi sehari menjelang peringatan 60 kemerdekaan itu terjadi di Kebayoran Lama. Satu-satunya korban meninggal adalah balita berusia tiga tahun. Anak ketiga dari perempuan yang juga member LKC cabang Cipulir ini. Sehari-harinya ia bekerja sebagai kuli cuci. Saat kejadian, ia sedang mengerjakan kegiatan ini, sedangkan satu-satunya anaknya yang masih tinggal bersamanya tidur dalam buaian di lantai dua.
"Ia habis menangis, minta uang untuk nonton topeng monyet," kenangnya, "sekarang saya makan juga tidak nafsu. Masih teringat dengan dia. Biasanya kita makan berdua. Saya makan nasi sisa dari piringnya."
Ibu dengan tiga anak ini memang tinggal hanya dengan anak bungsunya. Anak pertamanya dibawa suaminya yang sudah tidak tinggal serumah. Anak keduanya berada di sebuah pesantren di Jawa Tengah.
"Sebentar lagi Ibu juga akan ketemu dengan anak yang tinggal di pesantren kan?" aku mencari topik pembicaraan yang kiranya dapat menenangkan hatinya.
"Iya, bulan depan ia akan pulang."
Kuajukan satu pertanyaan yang aku yakin mengetahui jawabannya, "Waktu kejadian, yang pertama kali datang memberikan bantuan siapa?"
"Dari PKS. Istrinya Pak--sebut saja--Fahmi yang terus menemani saya. Ia yang menyuapi saya. Bilang 'Ibu, jangan nangis terus'."
PKS memang hampir selalu menjadi yang pertama datang di setiap bencana apapun di ibukota.
"Iya, Ibu harus makan. Badan ibu lemas karena tidak mau makan. Ibu juga tidak boleh menyiksa diri sendiri, kan?" lanjutku.
Aku menyimpulkan ia mengalami stres pasca trauma. Jujur, aku menilai ibu ini sangat tabah. Tidak banyak ekspresi kesedihan yang keluar saat berbincang denganku. Atau mungkin air matanya sudah habis dalam tiga hari ini.
"Sekarang Ibu sudah ikhlas, kan?" aku mengakhiri pembicaraan.
"Iya, saya ikhlas, ridho. Anak kan yang punya Alloh. Kembalinya ke Alloh."
"Saya senang sekali dengar jawaban dari Ibu. Yang penting Ibu sudah ikhlas. Insya Alloh akan dapat ganti yang lebih baik." Aku terharu mendengar jawaban tulus dan tabah Ibu ini. Subhanalloh.
"Terima kasih, Dok."
"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" (ar-Rahmaan)
Rabu kemarin, hari libur memperingati Kemerdekaan RI, aku bertemu dengan pria itu. Laki-laki menjelang 40 tahun, yang datang ke LKC karena keluhan nyeri perut hebatnya. Ia dalam perjalanan menuju kampungnya di Sumatra Barat. Kesana kemari ia mencari dana untuk ongkos pulang dirinya, istri, dan ketiga anak kecilnya. Entah bagaimana, di tengah perjalanan, ia mengeluh penyakitnya kambuh, dan orang yang ditemuinya di jalan menunjukkan LKC.
Saat memeriksanya, tak henti-hentinya ia memanggilku, sekedar ingin memegang tanganku. Ia tampaknya ketakutan sekali dirinya akan pergi meninggalkan alam ini. Matanya gelap, keluhnya. Sambil mencium tanganku, mulutnya terus mengucapkan doa untukku, agar Tuhan membalas kebaikanku. Aku hanya menatapnya, sambil memintanya agar terus beristighfar. Menenangkannya, bahwa hanya Alloh-lah yang mampu mengangkat segala penyakit. Memintalah pada-Nya.
Setelah satu suntikan Tramadol masuk, pria yang mengaku ingin diberi kesempatan pulang kampung untuk mencium kaki ibunya dan meminta diberi waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya ini, menjadi lebih tenang.
"Sudah tidak sakit kan, Pak? Sudah tidak gelap kan, matanya?
"Sudah, Dok."
Bapak yang memegang surat keterangan miskin dari RS setempat di Sumbar ini kemudian melanjutkan perjalanannya. Mencari ongkos pulang, tidak tahu darimana lagi bisa mendapatkannya. Kami hanya bisa memberikan bantuan untuk mengurangi sakitnya saja. Padahal sebenarnya hanya member yang bisa mendapatkan pelayanan di LKC.
Kisah sedih kaum dhu'afa yang kutemui tidak sebatas di sini saja. Seorang ibu muda membawa anaknya kemarin ke Gerai Sehat Cipulir, cabang dari LKC. Penyakitnya ringan, hanya batuk pilek.
"Namanya Bella," tatap si ibu ke gadis kecilnya yang cantik, "ada kisah dari namanya."
"Waktu itu sudah ada orang yang mau (mengambilnya). Karena waktu itu saya tidak punya uang. Untung ada yang mau membiayainya. Jadinya sampai saat ini Bella masih bersama sama. Jadi banyak yang nge-bela-in dia. Makanya dikasih nama Bella."
Jadi ingat cerita Sayekti dan Hanafi, ibu yang terpaksa anaknya ditahan RS, karena tidak sanggup membiayai persalinannya. Hanya saja ibunda Bella ini hampir 'menjual' anaknya, karena tidak punya biaya untuk membesarkannya. Untung saja hal ini tidak terjadi. Betapa dhu'afa-nya mereka.
"Memangnya suami ibu kerja apa?" tanyaku penasaran
"Dia tidak bertanggung jawab. Sering pergi meninggalkan rumah. Kerjanya jadi calo."
Masih ada lagi ibu yang membawa anak gadisnya datang dengan batuk yang tak kunjung sembuh. Kebiasaanku menemui anak usia sekolah yang datang berobat, kutebak saat ini ia kelas berapa.
"Berarti sekarang kelas 2 SMP ya?" tebakku.
"Nggak Dok, sudah tidak sekolah. Tidak ada biaya," jelas ibunya.
"Tapi SD lulus kan?" selidikku.
"Sempat sampai kelas 6 SD, tapi untuk ujian tidak ada biaya, jadinya berhenti."
Ya Alloh, di pinggiran Jakarta saja masih ada anak yang tidak bisa menyelesaikan SD-nya karena masalah biaya. Kemanakah aliran dana kompensasi BBM?
"Anak ibu ada berapa?"
"Lima."
"Tapi adik-adiknya masih sekolah semua kan?"
"Ya, itupun ditanggung orang lain. Alhamdulillah," cerita ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini. Suaminya bekerja sebagai sopir angkot. Sehari kadang hanya bisa membawa Rp 15 ribu. Ia pun khawatir penghasilannya akan semakin merosot, dengan rencana pemerintah menaikkan BBM menjadi Rp 4000 per liternya.
Jum'at itu aku merenung di shaf kedua masjid sebuah bilangan Cipulir. Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?
Saat jaga malamnya, cerita memilukan masih terus mengalir. Pasangan suami-istri yang bekerja sebagai penjual buah pinang membawa anak gadisnya yang sudah sangat pucat. Dari tampilan klinisnya, kemungkinan kadar hemoglobinnya mungkin sudah di bawah lima. Ia sangat kekurangan oksigen. Gadis berumur 24 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini datang dalam keadaan demikian lemahnya. Untung saja seorang kerabatnya bekerja sebagai perawat di LKC, sehingga bisa membawanya ke sini.
Untung saja orang-orang ini menemukan LKC. Tempat mereka yang dhu'afa dan miskin papa bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, tanpa biaya, sejak awal sampai akhir. Berapa banyak nyawa yang bisa tertolong jika layanan kesehatan macam ini tersebar di ribuan tempat di negara ini?
Inilah negara kita. Negara yang aneh (mengutip istilah yang sering diucapkan Tora, Aming, dkk di Extravaganza). Di mana kesehatan seharusnya menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya. Di mana anggaran kesehatan demikian rendahnya, dibandingkan anggaran untuk ekonomi dan politik. Tapi justru layanan kesehatan yang langsung menyentuh dan bantuannya terasakan oleh masyarakat nyata diberikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) swasta, macam LKC, Dompet Dhu'afa, PKPU, BSMI, MER-C, DSPU, DSUQ, dan lain-lain.
Negara yang aneh.