Sebenarnya udah lamaaa banget ingin menulis hal ini. Cuma baru sekarang jari-jarinya mau bergerak.
Dokter adalah profesi yang banyak berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia. Baik terhadap pasiennya (baca: klien kesehatan), sesama profesinya, maupun dengan kawan-kawan non profesinya. Pengalamanku selama setahun lebih sedikit menjalani profesi ini, khususnya sebagai dokter sebuah perusahaan swasta yang kadang harus berurusan dengan kertas-kertas klaim penggantian biaya pengobatan karyawannya, membuatku mengenal sebagian karakter sesama teman sejawat, yang mendorongku menuliskan topik ini.
Kasus A, seorang laki-laki berusia 30 tahun datang berobat ke sebuah klinik swasta yang bernamakan pemiliknya di bilangan Pamulang, dengan keluhan buang-buang air sejak 6 jam yang lalu. Frekuensi BAB cair mencapai 12 kali, kini tanpa ampas sama sekali, dengan muntah mencapai 4 kali. Masih mau minum, namun merasa lemas terutama setelah BAB. Dari pemeriksaan dokter, didapatkan tekanan darah normal, dan isi nadi cukup. Hanya dehidrasi ringan tampaknya. Namun... bagaimana kalau kita rawat saja laki-laki ini. Alasannya agar bisa diobservasi diarenya, khawatir jatuh ke dehidrasi. Ia tampaknya juga tidak akan keberatan. Bukankah keputusan di tangan dokter? Obatnya apa ya?? Bagaimana kalau kita berikan ANTIBIOTIKA intravena (diberikan melalui selang infus), plus botol infus dong tentunya. Walaupun panduan penatalaksanaan diare tidak menyebutkan pemberian antibiotika pada diare yang tidak dicurigai karena bakteri. Toh ia akan terima saja semua keputusan dokter. Hmm, sekarang apa ya pilihan antibiotikanya? Ahaa! Kebetulan, kemarin ada perusahaan farmasi yang menawarkan komisi kalau kita meresepkan obatnya. Memang mahal sih.. Melihat pasien ini cuma seorang sopir taksi. Tapi lumayan boo... Kan biayanya akan diganti oleh perusahaannya. OK berikan saja.
Kemudian pria muda ini hanya membutuhkan 1 hari rawat inap (yang sebetulnya tidak perlu, karena tidak memenuhi indikasi rawat inap) saja--tampaknya penyakitnya akibat salah makan saja, jadi ya sembuh sendiri--dengan biaya mencapai Rp 500 ribu. Kok mahal sekalee?? Iya lah, kan sudah di-bom dengan antibiotika berspektrum luas yang harga per botolnya Rp 150 ribu.
Kubaca jelas nama si dokter di salinan kuitansinya. Mudah-mudahan aku tidak bersu'udzon dengannya... Astaghfirulloh...
Kasus B, anak perempuan berumur 2 tahun dengan demam tinggi sejak kemarin. Si kecil tampak lemah, tidak mau makan, maunya minuuumm terus, sejak pagi tidak mau diajak bercanda. Bawa saja ke IGD RS di bilangan Ciputat sono dikit. Baiklah, pemeriksaan fisik tidak mengarah ke penyakit lain kecuali observasi febris (demam) dengan gajala common colds (batuk-pilek). Tapi kok demamnya 'mengkhawatirkan' ya? Mencapai 39 derajat selsius. Kita periksa darah dan kencing saja. Hasilnya pun normal. Tapi si orangtua masih khawatir dengan keadaan anaknya. Sudahlah, daripada repot-repot menjelaskan pada mereka perihal anaknya yang butuh observasi demamnya saja, mending dirawat saja. Orangtua tidak panik, obat bisa diresepkan. Betul ga? Andaikan si orangtua tahu panduan
tata laksana demam. Itu contoh kecil saja, 'modus' tersering bagaimana 'uang tambahan' bisa masuk saku dokter. Lho, kok uang tambahan? Iya, kalau boleh dibagi-bagi, pemasukan utama adalah biaya jasa konsultasi. Dokter adalah profesi, sama dengan pengacara, insinyur, dan lain-lain, yang khususnya dihargai dari kemampuannya sebagai seorang
konsultan. Masalahnya, dokter di Indonesia kurang '
dihargai' dari sisi jasa konsultasi ini. Ya, maksudnya dihargai dalam arti harga sesungguhnya Di sebuah jaringan klinik terkenal di Jakarta saja, jasa konsultasi dokter (umum) dihargai 'hanya' Rp 7000. Itupun yang masuk ke kantong dokter masih sepersekian persen lagi. Namun karena jumlah pasien dalam sehari bisa mencapai puluhan orang, akumulasi dari ongkos ini (plus dari obat) mencapai hasil yang... agak lumayan lah. Salah satu
dampak buruk jumlah pasien yang banyak adalah
waktu layanan konsultasi minim, sehingga dokter tampak kurang berkompeten dalam memberikan jasa konsultasi dan pemeriksaan. Akibatnya? Klien merasa sah-sah saja membayar 'murah'? Toh cuma dilayani 5 menit kemudian disuruh langsung ke apotek?! Bagi yang ‘beruntung’ bisa berpraktik di RS Swasta besar dan mahal, jasa konsultasi akan dihargai lebih pula. Dokter (umum) bisa mendapatkan Rp 75 ribu sampai Rp 150 ribu rupiah untuk setiap konsultasi, dan dokter spesialis bisa mendapatkan Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu rupiah. Berarti yang mendapatkan di bawah ini tergolong kurang beruntung ya? Hehehe Hey, namun jangan salah. Seorang sejawat dokter spesialis anak yang 'beruntung' ini dikenal sangat idealis dan rasional dalam melayani pasien-pasiennya. Tidak rugi mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan jasa konsultasinya. Perhatiannya benar-benar dicurahkan dalam menangai setiap kliennya secara individual. Bahkan tidak jarang ia tidak meresepkan apa-apa untuk pasiennya. Mengapa? Karena ia tahu bahwa kondisi kliennya memang tidak butuh intervensi obat. Malahan orangtua yang memaksa dokter untuk memberikan obat. Masa anak balita dengan demam 3 hari tidak mendapatkan obat apa-apa, hanya disuruh kompres hangat dan minum air putih yang banyak? Karena memang panduan tata laksana demam terbaru menyarankan hal ini.
Eits, mulai muter-muter. Kita balik lagi ke uang tambahan. Ya.. jadinya untuk mendapatkan penghasilan memadai (iya dong, dokter kan sekolahnya minimal 6 tahun, belum kalau lulusan FK swasta harus membayar mahal dengan waktu lulus bisa lebih dari 6 tahun.. jadinya harus 'balik modal' lah), dokter diberikan celah lain. Yaitu dari komisi dari perusahaan farmasi. Ini sudah menjadi rahasia umum, melihat regulasi peraturan perusahaan farmasi di Indonesia yang memungkinkan celah ini. Padahal jelas-jelas dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), hal ini dilarang bagi dokter.
'Modus' kedua adalah merawatinapkan pasien. Jadi pasien yang seharusnya tidak perlu dirawat inap, diminta rawat inap oleh dokternya. Ini dapat terjadi baik di RS pemerintah maupun swasta. Lumayan.. ada ongkos kamar harian, jasa visite dokter dan dokter spesialis, biaya tindakan, belum termasuk obat-obatan yang kalau tidak diberikan obat suntik (yang harganya lebih mahal), tidak 'afdhol' rasanya. Minimal diinfus lah, meskipun pasien masih bisa makan-minum. Masa masuk RS nggak diinfus?
Inilah sebagian kasus yang dapat diceritakan. Masih banyak contoh kasus lain, namun.. segini dulu deh. Bingung buat penutup... Intinya:
bekalilah diri Anda dengan informasi penyakit Anda sebanyak-banyaknya sebelum berobat ke dokter. Setiap hari bisa online browsing dan ikutan milis, masa nggak bisa cari informasi kesehatan yang bejibun jumlahnya di dunia maya?!
-yang nulis bebas bicara soalnya dapat penghasilan dari uang gaji, bukan jasa per pasien dan komisi dari perusahaan obat. Hehehe.
Astaghfirullah, banyak membicarakan teman sejawat sendiri. Harus banyak introspeksi diri juga