Kembali terjadi bencana alam di negeri ini. Senin malam 28 Maret lalu, gempa tektonik berkekuatan 8,4-8,6 SR mengguncang Kepulauan Nias di Sumatra Utara dan Pulau Simeuleu di NAD. Aku mengetahui berita ini Selasa paginya di televisi selepas jogging, sesuatu yang amat jarang kulakukan. Segera browsing di situs earthquake.usgs.gov setelah membaca detik dot com, dan memang getaran ini terdeteksi hingga di Amrik sono. Dalam hati sempat terlintas, sepertinya sebentar lagi akan ada yang meminta aku segera pergi ke lokasi bencana. Ya, tiga bulan sebelumnya aku sempat diminta pergi ke NAD tiga hari setelah tsunami. Dan… aku melewati lebih kurang 10 hari melintasi Lhokseumawe-Banda Aceh sebagai tim kesehatan sebuah LSM. Kini, tiga bulan berselang, bencana kembali terjadi, firasat aku akan segera menuju lokasi bencana menguat.
Benar juga. Sekitar pukul 10.00 aku menerima SMS dari LKC, tempat aku bekerja sebagai dokter praktik, menanyakan apakah aku bersedia pergi sebagai relawan medis ke lokasi bencana di Nias. Koordinator Layanan Luar Gedung lembaga ini juga menanyakan apakah aku bisa mencari seorang kawan dokter lagi yang bisa diajak ikut serta.
Keesokan harinya, pergilah aku dan dr. Anjas Asmara, sejawat sejak melewati masa-masa studi di FKUI selama 6 tahun ke Medan, Sumatra Utara, untuk kemudian menuju Pulau Nias. Setelah malamnya aku masih sempat dinas di LKC. Inginnya bisa istirahat agar paginya memiliki cukup energi untuk melakukan perjalanan. Tapi seorang pasien dengan muntah darah cukup menghabiskan waktu, sehingga tidak sempat beristirahat banyak.
Rabu pagi 30 Maret, aku, Anjas, dan Adi seorang perawat LKC, menuju bandara Soekarno-Hatta, untuk lepas landas ke Medan. Sebelumnya, minum klorokuin dua tablet dulu, karena Nias endemi malaria. Sesampainya di Bandara Polonia pukul 09.00, menunggu sebentar jemputan dari kawan-kawan ACT—Aksi Cepat Tanggap—DD Republika, yang mengirim kami bertiga ke tempat ini. Sebenarnya LKC hanyalah lembaga yang menyalurkan tenaga kesehatan saja, sedangkan ACT-lah yang memiliki core competence untuk disaster management. Jadi kami bergerak selaku ACT-Medis. Sebuah mobil kijang ACT dengan plat B menjemput kami hampir sejam sesudahnya. Ikun dan Pak Hendra, dua orang anggota ACT yang sudah berangkat dari Jakarta sehari sebelumnya, menjemput kami. Kami bertiga sudah bertemu saat penanganan bencana di Aceh sejak berangkat dari Jakarta. Pengemudi mobil ini adalah sopir handal dari Medan, Bapak Yono, yang setia menemani kami sejak dari Aceh. Dua orang penumpang lainnya adalah relawan ACT Medan yang bertugas di Sigli dalam program WAKALA (Wanita Kepala Keluarga), ialah Lita, seorang akhwat lulusan Sastra Arab USU. Dia ditemani adiknya Yeni yang masih kuliah di Akuntansi Univ. Muhammadiyah Medan. Dua orang akhwat Padang ini kebetulan lahir dan besar di Nias. Kedua orangtua mereka pun berada di sini. Sejak kejadian bencana dua malam sebelumnya, mereka belum berhasil mengontak sang ayah-ibu. Tapi mereka optimis kedua orangtuanya di Kota Gunung Sitoli selamat dari bencana. Tujuan kami membawa mereka juga untuk mengatasi kendala bahasa dan lokasi nantinya.
Pukul 10.00 segera kami melaju ke arah Sibolga dengan kecepatan tinggi, untuk kemudian melanjutkan perjalanan laut menuju Pulau Nias. Aku benar-benar menikmati perjalanan darat ini. Inilah untuk pertama kalinya aku melintasi daratan Sumatra Utara. Mulai dari ibukota Medan, terus ke arah Selatan, melewati Danau Toba yang subhanalloh indahnya, lika-liku Tarutung menuju Sibolga yang medannya lumayan berat. Kami harus melewati jalan sempit dengan tikungan terjal diapit jurang dan pegunungan selama hampir dua jam. Sampai salah seorang dari anggota rombongan harus mengeluarkan isi lambungnya (not me, of course). Di daerah Tapanuli dan Batak Karo kami melihat banyak kuburan-kuburan Kristen yang besar-besar di kiri-kanan jalan, gereja-gereja yang dapat ditemui pada hampir setiap kilometernya, dan melewati satu upacara tradisional kematian penduduk Batak Kristen di salah satu tepi jalan, yang tentunya tidak dapat kita temui di kota seperti Jakarta. Sangat menarik. Sampai akhirnya kami tiba agak terlambat dari waktu yang direncanakan sebelumnya, sekitar pukul 19.30 di Sibolga. Kami berencana mengejar keberangkatan kapal laut jam 20.00 dari Pelabuhan Sibolga menuju Pulau Nias, dengan membawa satu mobil kijang yang kami harapkan bisa diangkut dengan kapal feri. Namun ternyata Alloh berkehendak lain. Tidak ada kapal feri yang berlabuh malam itu. Karena situasi bencana yang cukup dahsyat, transportasi laut ke Pulau Nias juga mengalami masalah. Setelah sedikit berembuk, kami putuskan untuk menaiki kapal penumpang saja, yang tidak bisa mengangkut mobil. Terpaksa Pak Yono dan mobilnya harus ditinggal di Sibolga dan kembali ke kantor ACT Medan. Kami mendapatkan tiket keberangkatan kapal kayu—istilah kapal penumpang yang menuju Nias, dan memang benar-benar terbuat dari kayu—yang dijadwalkan berangkat pukul 01.00 dini hari. Tapi katanya kapal akan berangkat jam 23.00, sehingga waktu menunggunya semakin singkat. Adanya sisa waktu ini kami manfaatkan untuk bebelanja kebutuhan pribadi, karena berdasarkan informasi yang kami dapatkan, sulit sekali mendapatkan beras dan bahan bakar di Nias.
Kapal laut ternyata mengalami keterlambatan keberangkatan. Aku sempat khawatir kapal ini tidak jadi berangkat, karena hingga pukul 01.00 masih belum berlayar juga. Sampai-sampai satu rombongan penumpang beretnis Cina meninggalkan kapal ini untuk mencari kapal lain yang katanya pergi lebih dulu. Informasi apakah kapal ini akan berangkat atau tidak benar-benar tidak jelas. Rombongan kami sendiri awalnya tidak mendapatkan ‘kursi’ di kapal ini, meskipun telah membayar karcis normal. Jadi penumpang yang menaiki kapal ini tampaknya memang sedikit melebihi muatan. Dengan adanya sekelompok orang yang pindah dari kapal ini, tanpa pikir panjang kami segera menempati jatah mereka untuk bisa berbaring.
Tiba-tiba sekitar pukul 03.00 kapal kayu ini berangkat. Inilah pengalaman pertamaku naik kapal kayu. Kendaraan ini adalah kapal yang sepenuhnya terbuat dari kayu, tapi cukup besar. Memuat penumpang sekitar 200-an orang. Ruangan terdiri atas ruang atas dan bawah, berupa bilik-bilik tidur berukuran kira-kira satu meter kali 175 cm yang dibatasi dengan nomor di kiri-kanan sisi kapal. Jadi untuk duduk tegak saja sulit di bilik-bilik ini, yang memang khusus dirancang untuk tidur saja, dengan risiko menyenggol penumpang lainnya di sebelah kita. Normalnya kapal memang berlayar malam hari, dan sampai di Pelabuhan Gunung Sitoli, Nias keesokan paginya. Jadi apalagi yang bisa dilewati si kapal penumpang seperti ini selain tidur saja? Di tengah lautan Samudera Hindia ini, goncangan ombak juga sangat terasa. Jadi posisi berbaring jauh lebih nyaman dibandingkan duduk, apalagi berdiri. Khususnya sangat terasa bagi mereka yang mabuk laut. Yah, sesekali terdengar suara orang muntah di satu sisi kapal. Benar-benar perjalanan pertama yang mengesankan.
Bersama kami di kapal ini ada serombongan Polisi BRIMOB berpangkat paling rendah, sekitar 20 orang. Tampaknya mereka diperbantukan dalam bencana di Pulau Nias. Terkadang lantunan lagu-lagu Peterpan dan Doddy Dores terdengar keras dari speaker dan TV karaoke dalam kapal. Hiburan yang tidak begitu menyenangkan. Dan yang paling membuatku muak dan mual adalah: asap rokok yang dihembuskan di mana-mana. Baik oleh penumpang pria maupun polisi-polisi prajurit itu. Hanya bisa bersabar dan beristighfar saja. Kapal ini juga memuat banyak karung beras di dek bawah. Apakah beras-beras ini memang ditujukan sebagai bantuan untuk bencana di sini, atau memang sengaja akan ditimbun dulu, wallahu a’lam.
***
Setelah melewati perjalanan tanpa banyak hal yang bisa dibincangkan, sampailah kami di Pulau Nias pukul 12.00. Tetapi kapal tidak bisa segera merapat. Hujan pun turun cukup deras. Dari kejauhan, kami melihat pinggiran pantai pelabuhan Gunung Sitoli yang subhanalloh indahnya. Dasarnya masih tampak biru, meskipun ada sedikit sampah yang mengambang. Sama sekali tidak bisa dibandingkan pelabuhan Tanjung Priok saat aku pernah mengunjungi Kepulauan Seribu. Sampai akhirnya pukul 13.00 kami merapat, dan ditimpa derasnya hujan, kami menurunkan muatan kami yang agak banyak, baik bekal pribadi maupun obat-obatan yang dibawa dari LKC Ciputat, dengan harus memasuki kapal kayu lain yang merapat di sebelahnya. Di pelabuhan cukup banyak tentara yang terlihat. Mereka berasal dari BRIMOB, ZENI, dan AL. Setelah mendapatkan ojek ‘kereta’, sebutan untuk sepeda motor di sini, untuk mengangkut kami, dan becak kayuh untuk mengangut barang-barang bawaan, kami menuju lokasi rumah Lita, sekitar pukul 13.30.
Sepanjang perjalanan menuju pusat kota Gunung Sitoli, kehancuran tampak di mana-mana. Sebuah masjid dengan kubah hijau yang besar ambruk ke tanah. Pendopo di kanan jalan hanya tampak atap besanya saja. Sebuah bangunan pertokoan hampir rata dengan tanah, padahal katanya sebelumnya itu adalah bangunan delapan lantai. Masya Alloh, aku tidak bisa membayangkan jika bencana seperti ini menimpa pusat kota Jakarta. Na’uudzu billaahi min dzaalika. Melewati sebuah jembatan besar di Jl. Sudirman, kehancuran besar-besaran tampak lebih nyata. Hanya satu traktor sebagai alat berat yang bekerja mengangkat puing-puing. Upaya pencarian korban baik hidup maupun mati akan sangat sulit dan lama di tengah-tengah kehancuran seperti ini. Bangunan-banguan besar dan banyak, kekurangan alat berat, mempersulit evakuasi korban. Bau mayat masih belum begitu menyengat untuk ukuranku yang pernah terbiasa satu bulan lamanya di Bagian Forensik RSCM. Namun penduduk yang melintas sebagian mengenakan masker. Relawan-relawan dari berbagai LSM lokal maupun asing banyak terlihat. Tidak kalah banyaknya tentara yang memanggul AK-47. Mengevakuasi korban menggunakan AK-47? Oh, ternyata, kabarnya SBY datang ke Nias siang itu.
Kira-kira sejak kemudian sampailah kami di rumah orangtua Lita dan Yeni, setelah sebelumnya sempat singgah di kedai milik abang mereka, Bang Mendra. Ternyata kedua orangtua Lita sudah tidak berada di rumah, yang untungnya selamat dari bencana. Ayah-Ibu Lita ternyata baru saja meninggalkan pulau menuju Medan, untuk bertemu dengan kedua putrinya. Ya, tanpa kami sadari, sebenarnya kami berpapasan di pelabuhan.
Rumah yang dihuni orangtua Lita dan Yeni adalah sebuah rumah petak dengan satu ruang tamu, satu kamar tidur, dan kamar mandi sekaligus tempat mencuci. Rumah kontrakan ini berukuran kira-kira delapan kali 2,5 meter persegi, berada satu deret dengan sekitar total 10 rumah kontrakan berukuran sama lainnya. Semua rumah ini kosong ditinggalkan penghuninya yang mengungsi. Hanya rumah-rumah di seberang jalan yang masih dihuni. Lokasi perumahan ini tepat berbatasan dengan pantai, kira-kira hanya 10 meter dari laut. Jadi, kami sempat membayangkan jika tsunami menerjang, segera tersapulah kami! Tepat sekitar lima meter di hadapan perumahan ini, terdapat sebuah gedung sekolah swasta yang separuhnya sudah ambruk, dan tanah di depannya jelas tampak terbelah.
Sore harinya kami menjamak sholat dzuhur dan ashar. Untuk berwudhu, kami harus menggunakan kamar mandi milik tetangga yang memiliki sumur. Karena rumah yang kami tempati ini menggunakan air PAM, sedangkan instalasi air dan listrik tidak berfungsi sama sekali. Untuk mandi, kami bisa menimba air terlebih dahulu di sebuah sumur milik penduduk yang sebagian dinding ruangannya sudah roboh, namun untungnya sumur tidak tertimbun. Dalam keadaan seperti ini, penduduk desa saling membantu satu sama lain. Siapa saja boleh mengambil air dari sumur ini. Kami bisa mandi menggunakan air sumur, setelah menimba dan membawa air dengan ember, berjalan kaki sekitar 20 meter. Suara helikopter Chinook milik Singapura dan helikopter lain milik PBB tidak henti-hentinya mengusik keheningan.
Malamnya kami semua—laki-laki—beristirahat di lantai ruang tamu, dengan sedikit kekhawatiran jika terjadi gempa besar susulan. Alhamdulillah kami bisa menikmati nasi yang beras dan minyak tanahnya, serta sedikit lauk-pauk, telah kami bawa sejak dari Sibolga. Malam tanpa listrik sama sekali. Langit begitu indah dengan taburan bintangnya yang tampak jelas. Sesuatu yang tidak dapat ditemui di Jakarta. Mudah-mudahan tidak ada nyamuk malaria yang menggigit kami.
***
Jum’at, 1 April 2005
Alhamdulillah, semalam kami semua bisa beristirahat dengan baik. Walaupun sempat satu kali kami merasakan gempa ringan, mungkin sekitar 3-4 SR. Sholat subuh kami pun agak terlambat. Paginya kami kembali bisa menikmati sarapan, yang dimasak oleh kakak-beradik Lita-Yeni. Banyak kisah beredar. Lita menceritakan satu keluarga orang Padang yang seluruhnya meninggal terhimpit bangunan rumahnya. Anak yang selamat karena ia sedang kuliah di UISU. Pak Hendra yang kembali dari berjalan-jalan maghrib sebelumnya mengabarkan satu keluarga yang ditemuinya di tenda pengungsi daerah alun-alun dekat pendopo. Ia menemui seorang ibu dengan bayinya yang berumur 10 hari, dengan total enam anaknya, belum mendapatkan makanan. Padahal ini adalah pusat kota, dengan banyak LSM berkumpul. Apa saja yang telah mereka lakukan? Mungkinkah demikian sulitnya bantuan makanan sampai ke kota ini? Bagaimana dengan berton-ton beras yang kami lihat di kapal kayu? Ditimbun saja?
Bang Mendra datang dengan membawa cerita yang tidak kalah serunya. Kota ini memang sedang mengalami krisis bahan pangan. Gudang beras dijaga tentara bersenjata lengkap, karena khawatir akan dijarah warga. Warga kota tidak membutuhkan pakaian, mereka butuh makanan! Di tengah-tengah masyarakat juga telah tersiar berita, bahwa menurut BMG Jepang, bentuk Pulau Nias ini mirip jamur jika dilihat dari dasar laut. Ditopang oleh ‘tiang’. Jika terjadi satu kali lagi gempa berkekuatan besar seperti sebelumnya, dikhawatirkan ‘tiang’ ini akan patah, dan Nias terperosok ke dalam lautan, tenggelam! Kini posisi Pulau Nias sudah miring. Jadi satu ujungnya semakin tenggelam ke dalam lautan, sedangkan satu ujung lainnya mendangkal. Sehingga kapal-kapal tidak bisa mendekat ke pesisir pantai, karena akan menabrak bebatuan karang pantai yang relatif meninggi. Kabar seperti inilah yang membuat banyak warga memutuskan untuk meninggalkan Nias.
Hujan rintik-rintik terus membasahi. Kami membahas bagaimana cara ideal mendistribusikan beras di sini. Kami memutuskan untuk bergerak aktif ke kantong-kantong penduduk muslim yang bisa dijangkau melalui jalan darat dari daerah ini. Kami memang belum membawa bantuan pangan, karena masih tertahan di Sibolga, menunggu transportasi yang mampu membawa bantuan berton-ton beratnya. Setidaknya kami saat ini membawa obat-obatan, sehingga minimal kami bisa melakukan pengobatan di desa-desa yang membutuhkan. Pukul 10.00 kami berangkat dengan menggunakan mobil carteran L-300 dari penduduk setempat.
Ternyata ACT telah mendapatkan lokasi sebagai posko tetap, yakni di Jl. Patimura, tidak jauh dari kantor DPD PKS. Beberapa terpal yang kami bawa sejak perjalanan Medan-Sibolga disusun menjadi sebuah tenda. Kami berhenti sebentar di Posko untuk mendapatkan relawan lokal yang bersedia menjadi pemandu perjalanan. Sempat pula kami mengambil gambar sesosok mayat yang tertindih separuh tubuhnya di pinggir jalan tidak jauh dari posko. Diiring rintik hujan, kami menuju ke lokasi pertama, di Desa Foa, sekitar 10 km dari Gn. Sitoli. Membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencapai tempat ini. Di tengah-tengah perjalanan, kami melewati sebuah lokasi wisata indah, yakni Pantai Lao Maru. Tepat di salah satu sudut pesisir pantai, di tebing yang cukup curam, sebagian jalan menjadi sangat sempit, karena sebagiannya runtuh akibat gempa. Lintasan ini hanya bisa dilewati satu mobil saja. Cukup riskan. Bila tidak hati-hati, akan jatuh ke kedalaman yang cukup tinggi. Pemandangan di daerah ini luar biasa indahnya. Namun kini keadaannya sangat sepi. Entah dengan sebelum gempa.
Sepanjang perjalanan menuju Foa ini, terlihat jelas kerusakan banguan yang merata. Tempat-tempat ibadah, baik masjid maupun gereja, tidak luput dari kehancuran. Sekitar pukul 11, kami tiba di lokasi pertama, yakni Desa Tete Hesi, Kecamatan Gido. Lokasi ini bisa dikatakan terbagi dua, yakni penduduk yang mayoritas Kristen, dan mayoritas Islam. Tokoh masyarakat muslim yang kami temui menekankan agar kami melakukan pengobatan di kedua daerah, agar tidak terjadi kecemburuan masyarakatnya. Maka sekitar pukul 11.15, kami melakukan pengobatan pertama di desa berpenduduk mayoritas Nasrani. Kendala utama dalam melakukan pengobatan tentunya adalah bahasa. Peran penerjemah lokal, seperti Lita dan relawan pria lokal yang kami bawa, menjadi sangat penting. Anjas melakukan satu tindakan wound toilet di sini. Sebagian besar penduduk mengeluh jantungnya selalu berdebar-debar sejak kejadian gempa. Tepat satu jam, kami segera pamitan, karena mengejar waktu sholat Jum’at. Kami bergegas menuju masjid di perkampungan pesantren Hidayatullah, Desa Siwalabanua. Untuk mencapai tempat wudhu saja, di sebuah mata air kecil, kami harus menuruni dataran curam yang cukup licin, dengan kemiringan sekitar 45 derajat, 10 meter ke bawah, untuk kemudian bergegas naik lagi. Di dalam ‘masjid’ yang sangat sederhana, sholat Jum’at sudah dimulai. Aku tidak sempat mengikuti khutbah Jum’at. Jumlah jama’ahnya sekitar 20 orang saja. Selepas Jum’atan, kami menggelar pengobatan di depan ruang kelas berukuran delapan kali enam meter persegi yang berperan sebagai masjid. Lagi-lagi Anjas cukup ‘beruntung’ mendapatkan tindakan jahit-menjahit, bahkan sampai dua pasien. Salah satunya luka robek di kepala, dengan dasar luka jaringan lunak. Anjas sudah khawatir saja, tengkorak orang ini tidak menyatu sempurna. Segera saja ia menjahitnya, dibantu Adi. Sekitar dua jam kami melakukan pengobatan di tempat ini. Masyarakatnya lebih baik dalam berbahasa Indonesia. Selepasnya, pimpinan pesantren menjamu kami dengan nasi, mie, tempe, dan air putih hangat. Aku sangat terkesan dengan para asatidz di sini, khas Hidayatullah. Mereka bisa merintis sebuah pusat Islam di daerah yang mayoritas non muslim. Pimpinannya adalah seorang pria Jawa yang sebelumnya lama tinggal di Bengkulu, dan baru dua tahun ditugaskan di pesantren ini. Pesantren ini sendiri baru dirintis dan berdiri tahun 1998. Subhanalloh, perjuangan para da’I Hidayatullah.
Pukul 15.30 sampai 17.30 kami meneruskan pengobatan di Desa Umene Satua. Rasanya pasien di sini tidak habis-habisnya. Sampai akhirnya kami menyadari bahwa sebagian obat esensial telah habis terpakai. Kami sempat mengunjungi satu masjid lagi, tapi tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa, karena persediaan obat sudah tidak memadai lagi. Kami hanya bisa menjanjikan kepada penduduk setempat, bahwa kami akan kembali. Kesimpulan yang kami dapatkan di sini, sebagian besar pasien mengeluhkan sakit ‘jantung’, maksudnya mereka selalu berdebar-debar sejak kejadian gempa. Hal ini aku interpretasikan sebagai semacam stres pasca trauma. Kasus hipertensi juga cukup banyak di sini. Sepertinya hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan kaum pria yang mayoritas perokok berat, dan mengkonsumsi makanan tinggi garam. Ketika aku minta agar mereka mengurangi konsumsi garam, ternyata sulit juga, karena makanan yang tersedia sebagian besar adalah ikan asin sebagai lauk. Penyakit-penyakit tertentu yang membutuhkan terapi jangka panjang di Puskesmas pun, tidak dapat ditindaklanjuti dengan baik, karena Puskesmas yang juga ditinggalkan petugasnya. Menjelang maghrib kami kembali ke Posko di kota.
Hari ini juga kami bertemu dengan kawan-kawan Kepanduan PKS DPW Sumut dan Komite Kemanusiaan Indonesia (KKI) Sumut, bersama seorang relawan dari Portal Infaq yang sempat kami temui dalam perjalanan pesawat Jakarta-Medan. Seharusnya rombongan ini telah berangkat sejak hari Rabu menggunakan helikopter. Namun Alloh bekehendak lain. Mereka justru menempuh perjalanan laut menggunakan kapal ikan yang berkapasitas kecil, mengangkut sekitar belasan orang, dan mampu membawa muatan total sampai 10 ton. Lama perjalanan mereka 12 jam, diterpa hempasan ombak yang keras terasa, dan dilewati dengan kepasrahan total kepada Alloh saja. Khususnya bagi mereka yang tidak biasa menempuh perjalanan laut, dan tidak bisa berenang! Mereka membawa satu buah gen-set. Sehingga malam itu, kantor DPD PKS Kabupaten Nias di Gunung Sitoli adalah satu dari sedikit bangunan yang bersinar terang oleh cahaya lampu.
Sampai hari ini, transportasi menuju pulau masih demikian sulitnya, sampai-sampai bantuan yang disalurkan swadaya masyarakat seperti PKS menggunakan kapal yang disewa sendiri selama satu bulan, dengan segala keterbatasannya. Pemerintah tampaknya tidak berpikir untuk memudahkan transportasi penyakuran bantuan ke Nias. Justru transportasi udara banyak datang dari asing.
Malam itu kami tidur beratapkan terpal dan beralaskan tikar di posko. Mudah-mudahan kondisi badanku senantiasa terjaga sampai akhir tugas kami di sini.
***
Sabtu, 2 April 2005
Kisah Lita
Persediaan obat menipis, bantuan sembako masih tertahan di Sibolga, entah kapan bisa mencapai Pulau ini. Kabarnya beras beberapa ton, minyak goreng, dan beberapa kebutuhan pokok lain sudah dimasukkan ke dalam truk, tinggal dibawa oleh kapal feri menuju Nias. Tapi sampai hari ini masih belum bisa berangkat juga. Sehingga praktis tidak ada kegiatan yang bisa kami lakukan hari ini. Dengan semangat juang, Lita berangkat seorang diri menuju Medan untuk menemui kedua orangtuanya yang seharusnya sudah berada di sini, sekaligus membeli obat-obatan yang sudah habis. Mantan caleg PKS yang mewakili Pulau Nias untuk daerah pemilihan Sumut ini adalah akhwat tangguh bertenaga ikhwan. Berbekal sebuah ransel 60 liter, satu tas jinjing, dan rompi ACT, anak kelima dari tujuh bersaudara ini diantar abangnya, Bang Mendra, menuju bandara. Sebagai seorang relawan, Lita berpikir selayaknya ia bisa mendapatkan transportasi gratis keluar pulau untuk mendapatkan bantuan. Namun hari itu ia tidak berhasil mendapatkan penerbangan bebas biaya. Lita harus membayar 500 ribu rupiah untuk sebuah tiket pesawat Merpati, yang ternyata diganti dengan pesawat Angkatan berkapasitas 10 orang. Tampaknya ada deal-deal bisnis antara perusahaan penerbangan Merpati dengan Angkatan Darat.
Sesampainya di Medan sekitar pukul 14.00, dengan keluwesannya bergaul, Lita mendapatkan kenalan baru di Polonia, yang menjanjikannya pesawat gratis kembali ke Medan sore itu. Tapi karena belanjaan yang cukup banyak, khususnya obat-obatan, ia baru menyelsaikan berbelanja pukul 18.00. Bawaan yang sangat banyak ini dibawanya dengan becak motor menuju rumahnya. Sempat juga Lita bertemu dengan kawan-kawan KKI Medan. Malam harinya Lita berhasil bertemu dengan kedua orangtuanya, yang ternyata baru tiba dari Sibolga. Alhamdulillah mereka selamat. Hanya saja sang Bunda kurang sehat, karena harus tidur di luar rumah bersama pengungsi lain malam-malam sebelumnya. Kisah Lita selanjutnya diteruskan esok hari.
Aku, Adi, Anjas, Ikun, dan Pak Hendra praktis tidak memiliki kegiatan berarti sejak pagi hingga siang itu. Kecuali menunggu Lita kembali dari Medan membawa obat-obatan. Kebetulan kawan-kawan BSMI pusat datang siang harinya, bersama ketua umumnya dr. Basuki S, SpBO, dan beberapa dokter lainnya dari Aceh dan Surabaya. Aku berkenalan dengan sejawat dari FK Unair yang seangkatan, dr. Fahmi. Mereka mendapatkan rumah sangat berdekatan dengan posko kami, sebagai sekretariat BSMI di Nias. Rombongan ini tiba dengan pesawat dari Medan.
Eksodus Besar-besaran
Untung bagiku, sore harinya ada sebuah peristiwa besar yang bisa aku ikuti. Eksodus besar-besaran penduduk Nias ke luar pulau! Pak Hendra yang mendapatkan informasi ini, sekaligus menunggu bantuan yang akan disalurkan Elshinta, mendahului menuju Pelabuhan G. Sitoli bersama Bapak Yorhamun dengan ‘kereta’ alias motor. Beberapa SMS ditujukan bagiku dan Ikun, meminta agar kami dapat meliput peristiwa ini. Kami berdua bergegas menumpang mobil angkutan umum menuju pelabuhan.
Luar biasa, pelabuhan begitu ramai sora itu. Sebuah kapal kayu dengan jenis sama seperti yang kutumpangi dalam perjalanan Sibolga-Nias, nyaris tenggelam di dermaga karena kelebihan penumpang! Ribuan orang lainnya yang tidak memiliki tiket dengan tidak sabar berusaha memasuki kapal feri besar, Jatra III dari Jakarta, yang memuat puluhan mobil dari berbagai lembaga pembawa bantuan. Termasuk dua mobil ambulans BSMI yang diangkutnya. Berbekalkan sebuah kamera digital Sony Cybershot, handycam Mini DV Sony, dan kamera otomatis berlensa tele Canon, aku dan Ikun mengambil dokumentasi sebanyak-banyaknya. Kami sempat berbincang-bincang dengan beberapa pengungsi. Mereka tidak memiliki biaya sama sekali untuk melakukan perjalanan, sehingga berusaha mencari tumpangan gratis keluar pulau. Isu akan terjadinya gempa susulan yang akan menenggelamkan Nias membulatkan tekad meninggalkan pulau ini.
Banyak sekali ibu-ibu yang membawa anaknya, ditingkahi suara tangisan tidak mengerti, mengiringi pengungsian besar-besaran itu. Setelah semua mobil dan kendaraan bermotor, termasuk alat berat, dikeluarkan dari feri, ribuan orang berlarian merangsek memasuki kapal. Dengan membawa handycam, aku ikuti rombongan ini sampai dalam dek kapal, merekam ekspresi kepanikan dalam wajah para pengungsi. Sampai-sampai jembatan kapal hampir diangkat, aku berlari keluar dari kapal, agar tidak ikut terbawa. Antrian motor di luar yang menunggu diijinkan masuk, dan penduduk yang tidak henti-hentinya berusaha memasuki kapal, terus berlangsung sampai pukul 18.00. Kami berdua akhirnya memutuskan meninggalkan pelabuhan. Semoga mereka semua selamat tiba di tempat tujuan di Sibolga.
Malamnya kami kembali beristirahat di tenda Posko. Terdengar suara anak-anak batuk dari kemah kecil dekat terpal kami. Kemah kecil berukuran sekitar 1,5 kali 1,5 meter persegi ini ditinggali Bapak Yorhamun, relawan kami dari Waspada Peduli Umat yang merelakan madrasahnya sebagai posko, bersama istri dan tiga anaknya yang balita. Semoga anak-anak kecil ini sehat-sehat saja.
***
Ahad, 3 April 2005
Kisah Lita Episode 2
Pagi harinya, Lita mencarikan kontrakan untuk kedua orangtuanya, dengan bantuan biaya dari ACT. Tidak banyak waktu yang ia habiskan bersama ayah-ibunya. Ia harus segera kembali bekerja. Jam 10.00, Pak Hendra menghubungi untuk segera kembali ke Nias. Dengan membawa barang yang sangat banyak untuk dibawa seorang diri, sebuah box besar berisi obat-obatan seberat kira-kira 20 kg, dan satu tas carrier, Lita berangkat menggunakan taksi menuju Polonia. Hanya keyakinan atas pertolongan Alloh sajalah yang menguatkan akhwat ini untuk membawa bantuan yang demikian banyak. Jam 13.00, dengan seseorang yang baru dikenalnya, Lita mengangkasa dengan pesawat CASA TNI AL. Sebelumnya barang bawaan Lita yang terlalu banyak ini sempat dipermasalahkan sebelum naik pesawat. Tetapi ia bersikeras bantuan ini untuk pengobatan. Lagi-lagi di pesawat ia mendapatkan kenalan baru yang menjanjikan akan membantu, jika ada relawan ACT yang membutuhkannya. Jam 14.30 Lita sampai di bandara Binaka, Nias. Selanjutnya ia segera kembali ke Posko.
Pagi itu juga, sambil menunggu kedatangan Lita, kami berbincang-bincang dengan seorang pria Nias di Posko. Ia menjelaskan bahwa Nias adalah pulau yang cukup besar. Panjang pulau ini sekitar 200 km, dan lebarnya antara 80 sampai 120 km. Kami banyak menyebut-nyebut lokasi yang cukup banyak dihuni umat Islam, namun masih sulit dijangkau hingga saat itu, yakni Lahewa di sebelah utara pulau, dan Teluk Dalam di selatan. Jumlah penduduk beragama Islam di pulau ini tidak sampai 10 persen, dan banyak di antara mereka yang menjadi korban. Pria ini juga menjelaskan bahwa Nias adalah daerah yang terdiri dari beragam etnis pendatang sejak dahulu kala. Bugis, Makasar, Aceh, Padang, Cina dan lainnya. Nama marga di pulau ini juga khas, seperti Zebua, Harefa, Zega. Lita pernah menjelaskan bahwa marga asli Nias tidak ada yang berakhiran konsonan, semuanya vokal. Begitu juga dengan kata-katanya. Kata serapan konsonan akan dibuat menjadi vokal, misalnya mobil menjadi mobi. Satu hal yang unik bagiku adalah cara mereka mengucapkan huruf f dan r. Seperti aksen Prancis. Mereka juga tampaknya tidak mengenal huruf p.
Pada pukul 10.13, terjadi gempa yang cukup besar dan lama, sekitar 1 menit. Getarannya sangat terasa. Untungnya tidak ada barang yang jatuh atau bangunan roboh. Kami sedang berada di Posko. Di jalanan tampak sedikit kepanikan. Orang-orang sebagian berlarian, para pengendara motor menghentikan kendaraannya.
Sekitar pukul 10.20, mobil truk tanki air dari PAM datang. Sejak kedatanganku di pulau ini, air dan listrik masih belum berfungsi. Untuk mandi pagi, aku dan kawan-kawan sengaja berjalan agak jauh ke rumah Lita, untuk mengambil air sumur. Dan.. cukup mandi sekali saja sehari. Mobil berhenti tepat di sekretariat BSMI, sekitar 15 meter dari posko kami. Anak-anak perempuan, laki-laki, semuanya mengambil ember dan alat apapun yang bisa menampung air, bolak-balik dari posko ke mobil tanki, menampung air yang dikucurkan dari selang besar. Mereka tampak kepayahan ketika membawa ember menuju rumahnya, namun ekspresi kepuasaan terlihat di wajah. Subhanalloh, inilah rasanya kondisi sulit air. Sekitar 20 menitan mobil memberikan airnya bagi penduduk sekitar yang berdatangan dari segala penjuru, kemudian pergi menuju daerah lain, agar pembagian air merata.
Sore itu kami menjama’ sholat dzuhur dan ashar di Panti Asuhan Al-Washliyah, sekitar 500 meter dari posko kami. Berangkat menggunakan satu becak kayuh dinaiki berempat, sempat becak ini terjungkal. Untungnya tidak ada yang terluka. Kami hanya tertawa saja membayangkan kekonyolan ini. Tidak tega juga sih, melihat para pengayuh becak di kota ini. Medannya sangat berliku-liku, naik-turun, dengan para pengemudi yang kurus-kurus dan selalu tampak kepayahan. Cukup nyaman beristirahat di ruang sholat panti asuhan ini, sambil berkenalan dengan anak-anak SD penghuni panti, sedikit belajar bahasa Nias dengan mereka. Mereka suka sekali difoto. Setelah Lita datang, kami mengadakan pengobatan di satu daerah saja, tidak jauh dari desa yang kami kunjungi dua hari lalu, sampai maghrib tiba.
Malam ini gen-set sudah menyala di posko kami, sehingga lapangan madrasah yang kami tinggali cukup terang. Kami tidak perlu lagi menumpang di tempat lain untuk men-charge batere HP. Tapi instalasi air masih belum berfungsi.
***
Senin, 4 April 2005
Hari ini Pak Hendra harus kembali ke Jakarta, membawa laporan, dan foto-foto yang belum dicetak dalam rol-rol film kamera otomatis. Ia meminta Lita mengurus keberangkatannya, sedangkan Lita juga harus mengurus adiknya Yeni, yang harus kembali ke Medan untuk mengurusi ayah-ibunya. Dengan mengendarai motor, Lita dan Yeni berangkat ke rumah mereka untuk mengemas pakaian orangtuanya. Mereka kemudian menuju bandara. Atas bantuan Bayu, seorang polisi muda baik hati yang dikenal Lita saat di Polonia, Pak Hendra berangkat ke Medan menggunakan pesawat polisi. Yeni berangkat menggunakan pesawat AL atas bantuan Pak Firman, kenalan Lita yang lain.
Dalam perjalanan pulang, Lita kembali menemui sedikit masalah. Ia pulang mengendarai motor sendirian. Di tengah-tengah perjalanan, motornya berhenti karena kehabisan bensin. Untungnya ia berhasil mendapatkan tumpangan untuk minta diantar mendapatkan bensin lima liter. Lita harus mengangkat ember berisi bensin seorang diri. Kemudian ia kembali ke DPD PKS, dan bertemu dengan seorang wanita yang menceritakan desanya sebagian terendam air, dan sebagian lagi belum pernah mendapatkan bantuan. Sore harinya ia menuju posko ACT dan menekankan agar ACT bisa membantunya, dengan membawa peta Nias. Lita bersikeras agar kami semua bisa pergi ke Teluk Dalam yang jaraknya “hanya” 120 km saja. Padahal saat itu untuk mencapai Teluk Dalam di Kabupaten Nias Selatan, belum bisa ditempuh melalui perjalanan darat biasa, setidaknya menggunakan mobil. Akhwat yang pernah berkampanye puluhan kilometer jauhnya menggunakan motor saat Pemilu tahun lalu itu mengatakan kami semua bisa menggunakan beberapa motor untuk mencapai Teluk Dalam bersamanya. Tapi karena pertimbangan lokasi yang terlalu jauh, memakan waktu, dan medan yang berat, rencana itu diurungkan.
Hari itu juga, setelah kepergian Pak Hendra dan Lita ke bandara, kami mengadakan pengobatan ke arah utara, sampai 12 km dari Gunung Sitoli, kalau sebelumnya kami mengarah ke selatan ke Desa Foa, 16 km dari Gn. Sitoli. Inilah medan tersulit yang aku rasakan setelah beberapa hari berada di sini. Menggunakan minibus Suzuki Carry lama dengan pengemudi lokal, kami melewati sekurangnya dua jembatan kayu dan dua jembatan beraspal dengan patahan jalan yang cukup besar. Salah satunya patah tepat di antara jalan mendaki beraspal yang menghubungkan dengan jembatan kayu. Sehingga ban mobil sulit mendapatkan pijakan. Untuk melintasi jembatan ini, kami dibantu beberapa penduduk setempat yang mengatur gundukan tanah, batu-batuan, dan pasir di dalam patahan, sehingga bisa dilewati mobil. Itupun harus didorong juga. Sungguh menegangkan. Belum lagi jalanan desa yang berkerikil dan berlubang-lubang, sejak sebelum gempa. Ditambah lagi satu bagian jalan yang terbelah cukup besar di tengah-tengah jalan. Hanya pengemudi handal saja yang bisa melewati tipe jalanan seperti ini.
Kami menghabiskan hari ini dengan pengobatan di dua tempat sampai sore hari. Desa Mboe, yang kami kunjungi pertama kali, sudah mendapatkan bantuan medis asing beberapa hari sebelumnya. Kemudian kami lanjutkan ke Kec. Tuhemberua, dan Desa Afiat. Lagi-lagi kendala terbesar kami adalah penduduk yang sebagian besar tidak bisa berbahasa Indonesia. Keluhan mereka sama: jantung berdebar-debar, batuk-pilek, lemah, dan gatal-gatal. Pasien yang kami tangani total kira-kira mencapai 200-an. Ingin sekali kami bisa memberikan bantuan makanan ke daerah-daerah ini. Mereka lebih butuh makanan, dibandingkan obat-obatan. Namun apa daya, bantuan makanan kami belum tiba.
Hari ini mobil tanki air tidak datang. Persediaan air di Posko kami menipis. Malamnya kami berempat, aku, Ikun, Lita, dan Anjas mendiskusikan apa yang bisa kami lakukan esok hari.
***
Selasa, 5 April 2005
Tadi malam masih terdengar suara anak kecil terbatuk-batuk dari kemah kecil keluarga Pak Yorhamun. Mungkin itu suara Afni, Rais, atau Akbar, yang berusia 3-4 tahunan. Kasihan sekali mereka, harus merasakan dinginnya udara malam selama berhari-hari, karena tidak berani tidur di dalam rumah.
Pagi ini aku kedatangan seorang laki-laki berusia 30 tahun yang meminta obat-obatan untuk istrinya yang sedang hamil 5 bulan. Ia menceritakan tentang dirinya, seorang tukang kayu keturunan Nias-Jawa yang merantau dari Medan dua tahun silam. Saat ini istrinya sedang mengandung anak ketiganya, dengan anak pertamanya yang meninggal saat usia 7 bulan karena kelainan jantung, dan anak keduanya yang kini masih berusia 8 bulan. Pria ini mengeluhkan minimnya bantuan sampai saat ini. Ia juga menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat muslim Nias, yang menurutnya kurang membantu antara yang kaya dan miskin. Misalnya saat pembagian daging kurban, yang dirasakannya tidak merata.
Selama beberapa hari sejak terjadinya bencana, bapak ini sehari-harinya berkeliling dengan berjalan kaki dari satu posko ke posko lain, mencari bantuan makanan bagi dirinya dan keluarganya. Pernah ia mendapatkan tawaran bantuan makanan dari gereja, namun ia ragu-ragu menerimanya, karena khawatir akan status kehalalannya. Maka bantuan dari sesama muslim sangat ia butuhkan. Pria ini juga pernah mencoba meminta bantuan ke tentara. Bukannya beras yang ia terima, tetapi bentakan dan ancaman untuk segera meninggalkan tempat itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang TNI lakukan dengan bantuan sebanyak itu? Bukankah seharusnya mereka menyalurkannya? Atau mereka memperjualbelikannya? Sudah menjadi rahasia umum bahwa bencana seperti ini adalah bisnis bagi tentara.
Kami berbincang-bincang agak lama. Aku memberikan beberapa tablet vitamin dan zat besi bagi istrinya yang hamil di rumah, dan menyampaikan agar ia bisa kembali lagi besok, dengan harapan bantuan kami dari Sibolga sudah tiba. Siang ini bantuan air PAM datang agak terlambat, pukul 11.45. Kemarin air tidak datang sama sekali. Rupanya bantuan air hanya tiap dua hari sekali.
Tampaknya tetangga kami, BSMI, juga tidak banyak melakukan kegiatan pengobatan lapangan beberapa hari ini. Mereka lebih berkonsentrasi untuk mendirikan rumah sakit lapangan. Sedangkan PKS, dari informasi yang kami dapatkan malam harinya, menuju sebuah daerah di Botohaenga. Tim dari Kepanduan DPW PKS bersama dr. Kuspriyadi dari PKPU, seniorku angkatan ’88 yang menemani pengobatan kami dua hari lalu, menempuh perjalanan laut selama empat jam untuk mencapai daerah ini, yang normalnya bisa ditempuh lewat darat. Mereka menggunakan kapal nelayan. Tiba di tempat, sungguh mengenaskan, sebagian daerah ini sudah terendam oleh laut, bukan oleh tsunami, melainkan daratannya yang melesak ke bawah akibat gempa! Tentunya keadaan ini akan bersifat permanen. Kawan-kawan PKS menceritakan sempat terjadi sedikit keributan di sini, antara penduduk dua desa yang terkena musibah. Pasalnya satu desa yang merasa mendapatkan kerusakan lebih parah menginginkan bantuan pangan lebih banyak dibandingkan desa lainnya, sedangkan satu desa lain menginginkan bantuan yang merata antara keduanya. Reaksi mereka bagaikan orang-orang tidak makan selama berhari-hari. Ketika sore menjelang, air laut mulai pasang. Para relawan yang saat datang masih bisa melangkah biasa, saat pulang sudah terendam kakinya sampai sebatas lutut. Mereka kemudian pulang menaiki kapal yang sama, tiba di DPD malam harinya. Aku menemui dr. Kus untuk melakukan kegiatan rutin malam hari: memindahkan gambar dari kamera digital ke laptop-nya.
Sore hari ini aku, Ikun, Anjas, Adi, dan Lita memutuskan berjalan-jalan di sekitar kota mencari suvenir untuk oleh-oleh. Ikun ingin sekali membeli kaos bertuliskan “Nias”. Sekaligus kami ingin mencari tambahan bahan makanan yang bisa disalurkan dari toko lokal, sambil menunggu bantuan yang kabarnya datang dari Sibolga malam ini. Hujan turun agak deras ketika kami menggunakan dua becak kayuh untuk menuju lokasi toko. Sekitar 10 menit, kami tiba di sebuah toko yang menjual beberapa jenis kerajinan khas Nias. Karena harga yang terlalu mahal, Ikun hanya membeli gantungan kunci sebuah saja. Lainnya hanya membeli minuman. Bayangkan saja, harga Aqua botol Rp. 3500 sebuahnya, dan minuman seperti Fanta dan Sprite Rp. 4000. Kami kemudian berjalan kaki menuju pusat pemerintahan. Sempat berhenti sebentar dan melihat-lihat keadaan RSUD Gn. Sitoli. Rumah sakit ini diaktifkan oleh banyak elemen seperti BSMI, Mercy Malaysia, PMI, FK Unhas, IDI, BSB, dan lainnya, sehingga menjadi pusat rujukan pasien-pasien yang membutuhkan perawatan. Instalasi gawat daruratnya juga berfungsi dan penuh oleh pasien. Aku bertemu dengan Fahmi dari BSMI di sini. Ia mendapat giliran dinas RS hari itu. Sampai pusat pemerintahan, kami tidak mendapatkan apa yang kami cari, kemudian kami pulang ke posko menggunakan becak kayuh lagi. Kami juga kesulitan membeli beras di sini. Maksimal katanya hanya dibatasi 50 kg saja. Padahal niat kami semata hanyalah untuk disalurkan lagi.
Malam ini sekitar pukul 21.00, kami mendengar kabar bahwa kapal yang membawa bantuan pangan segera tiba di pelabuhan. Kapal sewaan PKS ini membawa hampir 10 ton beras yang dibeli oleh PKS, PKPU, dan ACT. Belanjaan kami hanya 1 ton saja, meliputi beras satu ton, ditambah ikan asin, susu balita, telor, dan minyak. Sekitar pukul 23.00, aku, Ikun, Anjas, dan Adi meluncur menuju pelabuhan dengan menumpang mobil pick up yang disewa PKS, langsung dari kantor DPD. Udara malam langsung menerpa kami yang duduk di bak belakang. Sementara beberapa anggota Kepanduan PKS menggunakan motor trail mencapai pelabuhan.
Ditunggu sampai pukul 01.00 dini hari, kapal masih belum bisa merapat juga, karena ada feri besar yang belum berangkat, sehingga harus mengantri masuk dermaga. Kami akhirnya pulang, dan langsung tergeletak di lantai ruang utama DPD untuk tidur sebentar.
***
Rabu, 6 April 2005
Dokter Multi Fungsi
Paginya selepas subuh, kami kembali menuju pelabuhan. Alhamdulillah kapal bisa merapat di sini, sekitar pukul 06.00. Terdiri dari dari seorang anggota Kepanduan, dan tiga ABK, kapal membawa berton-ton beras dan barang lainnya, termasuk dua gen set tambahan, dan bensin. Mulailah pekerjaan berat ini: memindahkan hampir seluruh isi muatan kapal ke dua mobil pick up, untuk diangkut ke kantor DPD bolak-balik. Butuh waktu sekitar empat jam untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Dokter Anjas dan Ikun beralih fungsi menjadi kuli pelabuhan, melempar ratusan kilo beras dari kapal ke atas. Beberapa anggota Kepanduan dan relawan dari DPD juga mengerjakan hal ini. Sementara aku mencari yang ringannya saja: mengambil dokumentasi kegiatan. Dokter Kuspriyadi beralih fungsi menjadi sopir pick up yang bolak-balik mengantarkan berton-ton muatan. Kulit kami semua benar-benar terbakar pagi itu.
Sesampainya di Posko, tanpa banyak beristirahat, kami memindahkan satu ton beras dari kantor DPD, kemudian mengepaknya dalam tas-tas kresek, masing-masing seberat 3,5 kg, untuk bisa didistribusikan ke beberapa desa sore itu. Kami benar-benar mengejar target. Karena kalau bisa, besok sudah kembali ke Jakarta!
Sore hari kami menyelesaikan mengemas 70-an kantong beras dan ikan asin, kemudian membersihkan diri di DPD. Menjelang maghrib kami membawa bantuan ke dua desa menuju arah Foa, berisi kantong-kantong beras, ikan asin, dan susu balita. PKS dan PKPU tentunya juga melakukan hal yang sama, dengan distribusi lokasi yang berbeda. Malam hari kami menyelesaikan pekerjaan melelahkan ini. Ya Alloh, senantiasa jagalah niat kami melakukan ini untuk mengharap ridho-Mu semata.
Anjas dan Adi menggunakan motor untuk mengantar kami, sedangkan yang lainnya menggunakan mobil. Saat perjalanan pulang, sudah gelap karena malam, mereka tidak mengetahui bahwa daerah yang mereka lalui di sekitar Lao Maru rawan akan pembunuhan. Pernah terjadi beberapa peristiwa perampokan dan pemenggalan kepala beberapa tahun silam. Saat kami ceritakan di Posko, mereka menjadi demikian paniknya dan mengomel.
Malam itu juga sempat terbersit gagasan untuk kembali ke Sibolga menggunakan feri, agar besoknya bisa kembali ke Jakarta. Namun kemudian Lita mendapat konfirmasi dari Bayu, bahwa besok kami bisa menggunakan pesawat Polisi dari Bandara Binaka untuk menuju Medan. Alhamdulillah. Kami pun beristirahat di bawah terpal malam itu. Malam terakhir kami di pulau indah ini.
***
Kamis, 7 April 2005
Hujan turun deras pagi itu. Aku dan kawan-kawan berwudhu langsung dari curahan hujan yang turun. Air di tempat penampungan di Posko sudah sangat sedikit. Kami bisa mandi di kantor DPD PKS pagi itu, dan diantar oleh dr. Kus menggunakan kijang PKPU sampai bandara Binaka.
Saat berpamitan dengan kawan-kawan di DPD, aku sempat bingung.
“Sampai ketemu… kapan ya?”
“Sampai ketemu di bencana berikutnya,” Aminullah dari Kepanduan DPW menimpali dengan nada gurauan.
Ya, aku sedih juga, pertemuan dengan kawan-kawan ini hanya bisa terjadi pada keadaan yang menyedihkan, yakni bencana. Tentunya tidak ada seorang pun yang menginginkan bencana. Mudah-mudahan Alloh mempertemukan kami kembali pada suasana yang menyenangkan di kesempatan lain.
Perjalanan gratis dengan pesawat Polisi ternyata tidak begitu mulus. Hanya separuh rombongan yang diijinkan masuk pesawat berkapasitas, mungkin, maksimal 20 orang itu plus barang bawaan. Kami memutuskan untuk membagi jumlah enam orang ini menjadi dua. Ikun, kakak ipar Lita yang tengah hamil tua, dan Anjas berangkat duluan. Karena Ikun harus memberi laporan ke kantor Waspada di Medan, dan setidaknya ada seorang dokter seperti Anjas yang ikut seandainya sesuatu terjadi pada wanita yang hamil tua ini. Pesawat berangkat sekitar pukul 10.00.
Bandara Binaka tidak ubahnya bandara internasional. Relawan asing dari berbagai negara, pesawat dan helikopter asing milik PBB, Singapura, dan negara lain, serta pesawat dari TNI AD, AL, AU, dan Polisi, singgah dan pergi di tempat ini. Satu-satunya penerbangan komersial yang ada adalah Merpati, dengan tiket mencapai Rp.500 ribu untuk mencapai Medan saja!
Aku, Lita, dan Adi, tetap menunggu sampai ada penerbangan gratis, khususnya dari pesawat angkatan yang bisa dinaiki. Ternyata sampai pukul 14.00, harapan ini pupus. Kami harus segera kembali ke Medan, karena tiket pesawat Medan-Jakarta sudah dipesan, dan pesawat berangkat sekitar pukul 16.30. Akhirnya kami bertiga memesan tiga tiket Merpati yang mahalnya luar biasa itu, dan dengan pesawat Fokker ini, pada pukul 14.15, kami meninggalkan Nias. Bisa dikatakan, untuk menikmati segelas air putih di pesawat ini, kami harus membayar 500 ribu!
Begitu pesawat mengangkasa, aku bisa melihat lautan Nias yang begitu biru dan indahnya. Satu jam kemudian kami sampai di Polonia. Bergegas mencari rombongan yang telah tiba lebih dulu, dan memastikan keberangkatan kami ke Jakarta.
Untungnya kami mempunyai “orang dalam” di bandara, sehingga bisa memesan tiket tepat sebelum pesawat berangkat. Pesawat Wings Air yang dijadwalkan berangkat pukul 16.40, molor menjadi pukul 17.20, dikarenakan kami baru check in pukul 17 lewat! Aku jadi teringat film Home Alone 2.
Dan… kembalilah kami ke Jakarta.