Sabtu, 29 Oktober 2011

Manajemen Preoperatif Anastesi Spinal pada Herniotomi Et Causa Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra Repponibel

ABSTRAK
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Hal –hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat. Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal. Pada kasus ini dilakukan anastesi spinal subarachnoid karena dilakukan pembedahan pada abdomen pada bagian bawah sesuai dengan indikasi anastesi spinal.
Keywords:
Anastesi spinal, subarachnoid, hernia Inguinalis lateralis repponibel
KASUS
Seorang laki-laki berusia 70 tahun datang ke RSUD dengan keluhan pada scrotum sebelah kiri membesar hilang timbul, pasien mengaku tidak merasa nyeri, pasien mengaku scrotum sebelah kiri tampak membesar terutama bila pasien mengangkat barang yang berat, maupun saat pasien mengejan, keluhan dirasakan muncul sejak 2 tahun yang lalu. BAB tak ada gangguan, flatus normal, tidak mual, tidak muntah, dan tidak ada keluhan BAK. Riwayat hipertensi, jantung, diabetes mellitus, asma maupun alergi disangkal. Riwayat merokok ada. Riwayat anastesi sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat hipertensi, jantung, diabetes mellitus, asma maupun alergi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: keadaan umum compos mentis, TD 140/90 mmHg, Rr 20 x/menit, N 72 x/menit, T 36,8 oC, hasil laboratorium dalam batas normal. Pada status lokalis: testis teraba 2 buah, tampak benjolan di daerah inguinalis sinistra,yang bisa dimasukkan kembali, nyeri tekan tidak ada, finger test ada teraba tekanan ketika pasien diminta untuk mengejan,uji transluminasi tidak ada. Dokter merencanakan untuk dilakukan herniotomi.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasien adalah Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang maka: Diagnosa pre-operasi : Hernia Inguinalis Lateralis Sn Repponibel; Status operasi : ASA I .
TERAPI
Penatalaksanaan anastesi pada pasien antara lain: Premedikasi berupa injeksi ondancentron HCL 4 mg intravena dan injeksi ketorolac 30 mg intravena. Dilanjutkan loading cairan (infus) RL 500 ml. Dilakukan regional anastesi berupa anastesi spinal dengan teknik subarachnoid block atau SAB, dengan menggunakan jarum spinal ukuran 27 antara lumbal 4-5 disuntikan bupivacain 20 mg ditambah dengan clonidine hydrochloride 150 mcg. Selama operasi berlangsung diberikan midazolam 3 mg intravena dan untuk mempertahankan oksigenasi pasien diberikan O2 3 liter/menit. Operasi selesai dalam waktu 1 jam, perdarahan dalam operasi kira-kira 70cc. Bila pasien tenang dan stabil dengan Bromage score ≥ 3 maka dapat dipindah ke bangsal.

DISKUSI
Pada kasus ini pasien seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan diagnosis Hernia Inguinalis lateralis sinistra repponibeldan akan dilakukan herniotomi. Jenis anastesi yang digunakan adalah regional anastesi-anastesi spinal dengan teknik subarachnoid block yaitu anastesi pada ruang subarachnoid kanalis spinalis regio antara vertebra lumbal 4-5. Pemilihan teknik anastesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia, status fisik, jenis dan lokasi operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli anastesi dan pendidikan.
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Dengan indikasi pada pasien yaitu akan dilakukannya pembedahan pada daerah anogenital dimana indikasi untuk anastasi spinal antara lain : bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anastesia umum ringan. Premedikasi yang digunakan pada kasus ini adalah ondancentron HCL 4mg dan ketorolac 30 mg. Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Dosis Ondancentron anjuran yaitu 0,05-0,1 mg/KgBB. Pemberian ketorolac sebagai analgetik digunakan untuk mengurangi nyeri, dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di SSP. Dosis awal pemberian adalah 10-30 mg, dapat diulang setiap 4-6 jam, untuk pasien normal dibatasi maksimal 90 mg; untuk manula, pasien dengan BB <50 kg atau faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg. Induksi anastesi pada kasus ini adalah dengan menggunakan anastesi lokal yaitu bupivacain 20 mg ditambah dengan clonidine hydrochloride 150 mcg. Bupivacain merupakan obat anastesi lokal yang mekanismenya adalah mencegah terjadinya depolarisasi pada membran sel saraf pada tempat suntikan obat tersebut, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan asetil kolin sehingga membran tetap semipermeabel dan tidak terjadi perubahan potensial. Hal ini menyebabkan aliran impuls yang melewati saraf  tersebut berhenti sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak sampai ke sistem saraf pusat. Hal ini menimbulkan parestesia, sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblock. Bupivacain berikatan dengan natrium channel sehingga mencegah depolarisasi. Dosis 1-2 mg/KgBB. Potensi 3-4x dari lidokain dan lama kerja 1-2x lidokain. Sifat hambatan sensoris lebih dominan dibanding motoriknya. Penambahan clonidine pada kasus ini dimaksudkan untuk memperpanjang durasi dari anastesi spinal. Pemilihan obat anastesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang dilakukan Selama operasi pasien diberi midazolam 3 mg secara intravena, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan kecemasan selama operasi berlangsung, midazolam merupakan derivat dari benzodiazepin yang mempunyai khasiat sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik. Pemberian O2 3 liter/menit adalah untuk menjaga oksigenasi pasien. Pada kasus ini tekanan darah pasien relatif stabil walaupun memang mengalami penurunan dibanding tekanan darah saat pasien masuk. Sehingga saat operasi berlangsung tidak diperlukan pemberian efedrin 10 mg intravena untuk membantu menaikkan tekanan darah pasien. Efedrin merupakan vasopressor yang bekerja menstimuli reseptor alfa dan beta berakibat pada peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan mempunyai efek relaksasi otot polos bronkhus serta saluran cerna serta dilatasi pupil, dosis pemberian 5-10 mg dapat diulang setelah 10 menit. Pengelolaan cairan:  Jam I, Maintenance cairan 2cc/KgBB/jam: 50 Kg x 2cc = 100 cc. Puasa 6 jam tidak dihitung karena sejak puasa sudah terpasang RL. Stress operasi : 4 cc/KgBB/jam: 50 Kg x 4cc = 200 cc. Jadi kebutuhan cairan jam I : 100cc + 200cc = 300cc/jam Setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada ksus ini adalah 70cc. EBV: 50 Kg x 75cc = 3750cc. EBV%: 70cc/3750cc x 100% = 1,87%. Karena perdarahan yang keluar pada kasus ini < 20% EBV maka tidak diperlukan adanya transfusi darah. Kebutuhan cairan dibangsal Maintenance 2cc/KgBB/jam : 50Kg x 2cc = 100cc/jam. Sehingga jumlah tetesan yang dibutuhkan jika menggunakan infus 1cc ∞ 15 tetes. Maka, 100cc/60 x 15tetes = 25 tetes/menit. Pasien pindah ke ruang recovery dan dilakukan pemantauan keadaan umum, tekanan darah, respirasi dan nadi. Bila pasien tenang dan stabil dengan bromage score ≥ 3 maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal , bromage score dipakai dalam penanganan pasien post op dengan regional anastesi.  
DAFTAR PUSTAKA
1.       Latief, said. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI
2.       Sari, Irma P. S. 2009. Anestetika Lokal. http://www.scribd.com/doc/19566098/. Diakses 5 MeI 2010
3.       Rochmawati, Anis. 2009. Makalah Tugas Farmakologi. http://www.scribd.com/doc/30705426/29772928-Makalah-Tugas-Farmakologi-i#source:facebook. Diakses 21 juli 2010
4.       Marwoto. 2000. Perbandingan Mula dan Lama Kerja Antara Lidokain- Buvivakain dan Buvivakain pada Block Epidural. http://www.mediamedika.net/archives/105. Diakses 21 juli 2010
5.       Mutschler,E.1991.Dinamika Obat edisiV.Bandung:ITB                             
PENULIS
Mega Prawithasari Lubis, Bagian Anastesi, RSUD Setjonegoro, Kab.Wonosobo, Jawa Tengah
Sumber info 

PROTAP Instalasi Anestesi


PROSEDUR TETAP
PELAYANAN ANESTESI DAN REANIMASI
RSU Dr. SOEROTO
N G A W I

DISUSUN OLEH
Dr. BAMBANG TRIYONO, SpAn.MsiMed
INSTALASI ANESTESI DAN REANIMASI
RSU Dr. SOEROTO
N G A W I

TAHUN 2008


RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU

Dr. Soeroto Ngawi



TINDAKAN ANESTESI , TUGAS DOKTER / PERAWAT ANESTESI
DAN PELIMPAHAN TUGAS/ WEWENANG

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke

Pengertian




Tujuan






Kebijakan















Tindakan anestesi adalah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan atau perawat anestesi di kamar operasi pada pasien yang akan menjalani pembedahan

1.      Memberikan kenyamanan dan keamanan pada pasien yang sedang menjalani pembedahan
2.      Memberikan kenyamanan kepada dokter bedah dalam melakukan tindakan pembedahan
3.      Mengembalikan fungsi fisiologis pasien setelah menjalani pembedahan seperti saat sebelum menjalani pembedahan.

Dokter spesialis anestesi bertugas   :
1.      Melakukan pemeriksaan pada pasien sebelum menjalani program pembedahan melalui kunjungan pre-operasi atau konsultasi yang dilakukan oleh dokter spesialis anestesi
2.      Melakukan tindakan perbaikan atau konsultasi ke bagian lain jika ditemukan hal yang dianggap belum layak pada pasien untuk menjalani pembedahan
3.      Menentukan tehnik anestesi yang terpilih pada pasien yang akan menjalani pembedahan dengan mengutamakan keamanan dan kenyamanan pada pasien
4.      Melakukan tindakan anestesi sesuai dengan prosedur tetap
5.      Memberikan pengawasan dan bimbingan kepada perawat anestesi secara berkesinambungan.
6.      Senantiasa menambah dan mengembangkan keilmuan anestesi melalui pertemuan ilmiah secara berkala dan berkesinambungan.


































PELIMPAHAN WEWENANG

 

Pengertian









Tujuan


Kebijakan










Perawat anestesi bertugas   :
1.      Melakukan persiapan alat dan obat-obatan yang akan dipergunakan untuk tindakan anestesi pada pasien yang akan menjalani pembedahan di kamar operasi
2.      Melakukan tindakan anestesi sesuai prosedur tetap atas petunjuk yang diberikan oleh dokter spesialis anestesi
3.      Melakukan pengawasan atau monitoring pasien selama menjalani tindakan pembedahan
4.      Melakukan upaya resusitasi dan pengelolaan apabila diperlukan selama pasien menjalani pembedahan dan pemulihan.
5.      Melakukan konsultasi kepada dokter spesialis anestesi setiap akan melakukan tindakan anestesi
6.      Membuat medical report / pelaporan pada pasien selama menjalani pembedahan.
7.      Menambah dan mengembangkan pengetahuan ilmu anestesi yang up to date melalui kegiatan atau pertemuan ilmiah

 

Merupakan wewenang  dan tanggung jawab dokter anaesthesi yang dibantu oleh perawat anestesi sesuai dengan bidangnya. Adapun pelayanan anestesi dan reanimasi yang dilakukan oleh perawat anestesi adalah merupakan pelimpahan wewenang dari dokter anestesi


Adanya kesepakatan dalam melaksanakan tindakan medis, keperawatan sesuai dengan hak dan kewajibannya

 

 

 

 

 1.      Melakukan tindakan anaesthesiologi pada pasien yang akan dilakukan operasi baik di ruang instalasi bedah sentral ataupun emergency.

2.      Tindakan perawatan dari persiapan hingga melakukan pengawasan selama pasien belum sadar secara penuh.
3.      Memberikan obat-obatan anestesi bila diperlukan baik dalam persiapan, selama maupun pasca pembedahan sesuai perintah dokter anestesi.




Prosedur
















1.      Jika ada dokter spesialis anestesiologi, maka dapat dimintakan instruksi tertulis serta berikut parafnya.

2.      Jika dokter spesialis anestesiologi tidak ada di tempat tetapi masih dapat dijangkau, maka dapat dimintakan instruksi secara lisan yang kemudian dapat dikonfirmasikan tertulis berikut paraf.

3.      Jika tidak ada  dokter spesialis anestesiologi, maka perawat anestesi mengerjakan sesuai dengan prosedur tetap yang telah disepakati sebelumnya atas perintah tertulis dari dokter yang melakukan pembedahan. Tanggung jawab berada pada dokter yang melakukan pembedahan















                                                       





RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU

Dr. Soeroto
Ngawi





5.      Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami pada waktu yang lalu, berapa kali dan selang waktu. Apakah saat itu mengalami komplikasi, seperti: lama pulih sadar, memerlukan perawatan intensif pasca bedah, dll.
6.      Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi, seperti : merokok, minum minuman beralkohol, pemakai narkoba.

B.     PEMERIKSAAN FISIK

·         Pemeriksaan fisik rutin meliputi: keadaan umum, kesadaran, anemis / tidak, BB, TB, suhu, tekanan darah, denyut nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
·         Dilakukan penilaian kondisi jalan nafas yang dapat menimbulkan kesulitan intubasi
C.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM

·         Darah : Hb, Ht, hitung jenis lekosit, golongan darah, waktu pembekuan dan perdarahan
·         Urine : protein, reduksi, sedimen 
·         Foto thorak : terutama untuk bedah mayor
·         EKG : rutin untuk umur > 40 tahun
·         Elekrolit ( Natrium, Kalium, Chlorida )
·         Dilakukan pemeriksaan khusus bila ada indikasi ,misal:
§  EKG : pada anak dan dewasa < 40tahun dengan tanda-tanda penyakit kardiovaskuler.
§  Fungsi hati ( bilirubin, urobilin dsb ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi hati.
§  Fungsi ginjal (ureum, kreatinin ) bila dicurigai adanya gangguan fungsi ginjal.




























Penatalaksanaan




PERSIAPAN DI HARI OPERASI
1.    Pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi / muntah. Untuk dewasa dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi , sedang anak / bayi 4-5 jam.
2.    Tentang pemberian cairan infus sebagai pengganti defisit cairan selama puasa, paling lambat 1 jam sebelum operasi        (dewasa) atau 3 jam sebelum operasi , untuk bayi / anak dengan rincian :
*  1 jam I         : 50%
                        *  1 jam II       : 25%
                        *  1 jam II       : 25 %
3.    Gigi palsu / protese lain harus ditanggalkan sebab dapat menyumbat jalan nafas dan mengganggu.
4.    Perhiasan dan kosmetik harus dilepas /dihapus sebab akan mengganggu pemantauan selama operasi.
5.    Pasien masuk kamar bedah memakai pakaian khusus, bersih dan longgar dan mudah dilepas
6.    Mintakan ijin operasi dari pasien atau keluarganya
1.      Sudah terpasang jalur / akses intravena menggunakan iv catheter ukuran minimal 18 atau menyesuaikan keadaan pasien dimana dipilih ukuran yang paling maksimal bisa dipasang.
2.      Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi O2
3.      Dilakukan pemeriksaan fisik ulang, jika ditemukan perubahan dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan elektif maka pembedahan dapat ditunda untuk dilakukan pengelolaan lebih lanjut.
4.      Jika pasien gelisah /cemas diberikan premedikasi :
v  Midazolam dosis 0,07 – 0,1mg/kgBB iv
v  Pada anak SA 0,01–0,015 mg/kgBB + midazolam 0,1mg/kgBB + ketamin 3 – 5mg/kgBB im atau secara intra vena  SA 0,01 mg/kgBB + midazolam 0,07 mg/kgBB









5.      Sebelum dilakukan induksi diberikan oksigen 6 liter/menit dengan masker     ( pre oksigenasi ) selama 5 menit.
6.      Obat induksi yang digunakan secara intravena :
1.      Ketamin  ( dosis 1 – 2 mg/kgBB )
2.      Penthotal (dosis 4 – 5 mg/kgBB )
3.      Propofol ( dosis 1 – 2mg/kgBB )
7.      Pada penderita bayi atau anak yang belum terpasang akses intravena, induksi  dilakukan dengan inhalasi memakai agent inhalasi yang tidak iritasi atau merangsang jalan nafas seperti halothane atau sevoflurane.
8.      Selama induksi dilakukan monitor tanda vital ( tekanan darah, nadi maupun saturasi oksigen )
9.      Pada kasus operasi yang memerlukan pemeliharan jalan nafas, dilakukan intubasi endotracheal tube.
10.  Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan menggunakan asas trias anestesia     ( balance anaesthesia ) yaitu : sedasi, analgesi, dan relaksasi
11.  Pemeliharaan anestesi dapat menggunakan agent volatile         ( halothane, enflurane, maupun isoflurane ) atau TIVA         ( Total Intravena Anestesia ) dengan menggunakan ketamin atau propofol.
12.  Pada pembedahan yang memerlukan relaksasi otot diberikan pemeliharaan dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
13.  Ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar.
14.  Setelah operasi penderita dirawat dan dilakukan pengawasan tanda vital secara ketat di ruang pemulihan.
15.  Penderita dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal setelah memenuhi kriteria ( Aldrete score > 8 untuk penderita dewasa atau Stewart Score > 5 untuk penderita bayi / anak )
16.  Apabila post-operasi diperlukan pengawasan hemodinamik secara ketat maka dilakukan di ruang intensif ( ICU ).





II.  OPERASI  DARURAT ( EMERGENCY )
1.      Dilakukan perbaikan keadaan umum seoptimal mungkin sepanjang tersedia waktu.
2.      Dilakukan pemeriksaan laboratorium standard atau pemeriksaan penunjang yang masih mungkin dapat dilakukan.
3.      Pada operasi darurat, dimana tidak dimungkinkan untuk menunggu sekian lama, maka pengosongan lambung dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah dengan apomorfin atau memasang pipa nasogastrik.
4.      Dilakukan induksi dengan metode rapid squence induction menggunakan suksinil kolin dengan dosis 1 – 2 mg /kgBB.
5.      Pemeliharaan anestesi dan monitoring anestesi yang lainnya sesuai dengan operasi elektif.







RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU

Dr. Soeroto Ngawi




















Prosedur


KONTRA INDIKASI  :

1.      Penderita menolak
2.      Infeksi pada tempat penyuntikan
3.      Gangguan fungsi hepar
4.      Kerusakan syaraf
5.      Gangguan koagulasi
6.      Tekanan intra cranial tinggi
7.      Sepsis
8.      Pengguna obat antikoagulan
9.      Pemakai pace maker
10.  Pengguna obat tricyclic antidepresant, MAO inhibitor
11.  Allergi obat anestesi lokal
12.  Hipertensi tak terkontrol
1.      Dilakukan oleh dokter spesialis anestesi
2.      Dilakukan loading cairan koloid 500 cc untuk mencegah terjadinya hipotensi
3.      Dilakukan pengukuran ulang tanda vital ( tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen )
4.      Tarik garis lurus melalui kedua crista iliaca , garis ini akan memotong vertebra lumbal setinggi L4 atau L4-L5 interspace
5.      Posisi penderita duduk atau tidur miring untuk ibu hamil dianjurkan dalam posisi left lateral decubitus.
6.      Dilakukan infiltrasi dengan anestesi lokal pada daerah puncture.
7.      Dilakukan puncture pada L2-3, L3-4 atau L4-5 interspace.
8.      Tehnik puncture dapat dengan mid line approach atau paramedian approach
9.      Obat anestesi lokal yang digunakan lidokain 5% hiperbarik   ( lidodexR ) atau bupivakain 0,5% hiperbarik   ( bunascan 0,5%, decain 0,5% atau marcain 0,5% hiperbarik )  untuk anestesi spinal sedangkan untuk anestesi epidural menggunakan bupivacain isobarik            ( marcain 0,5% isobarik ) atau levobupivacain isobarik      ( chirocain isobarik )
10.  Untuk memperpanjang kerja obat anestesi lokal dapat ditambahkan adrenalin atau catapres.



Monitoring




Komplikasi









Pengobatan komplikasi

Dilakukan monitoring tanda-tanda vital : tekanan darah , nadi dan saturasi secara kontinyu tiap 3 menit.


1.      Dini : hipotensi, mual-muntah, prekardial discomfort, menggigil, depresi nafas, total spinal, anafilaktik, hematom.
2.      Lambat : sakit kepala, sakit punggung, retensi urine, meningitis, sequelae neurology, chronic adhesive arachnoiditis.
3.      Blok tidak adekuat

1.      Hipotensi : efedrin 15 mg iv atau preventif pada m. deltoideus 15 – 20 mg im
2.      Menggigil : pethidine 25 mg iv atau largactil 10 15 mg iv
3.      Kejang : pentotal 2-3 mg/kgBB iv atau diazepam 0,2 mg/kgBB iv
4.      Kesadaran menurun : bebaskan jalan nafas, infus kristaloid, beri O 2
5.      Sakit kepala : tidur terlentang, cairan, analgetik, epidural blood patch ( 5 – 20 cc ), pengikat perut / stagen.


RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU  Dr. Soeroto   Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTHESI PADA PENDERITA

DIABETES MELLITUS ( DM )

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke

Pengertian




Kriteria diagnosis









Persiapan operasi









Diabetes melitus adalah ketidakmampuan metabolisme karbohidrat karena defisiensi aktifitas insulin ditandai dengan hiperglikemia dan glikosuria

1.      Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena ) > 200 mg/dl atau
2.      Kadar glukosa darah puasa ( plasma vena )  > 126 md/dlatau
3.      Kadar glukosa plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah pembebanan glukosa 75 gram pada TTGO

 

DM terkontrol : gula darah 100 – 200 mg%

DM tak terkontrol: gula darah < 100 mg% atau > 300 mg%

·         Pemeriksaan gula darah berkala sebelum MRS
·         Penilaian keadaan metabolik, jantung, ginjal ( elektrolit, gula darah, kreatinin, BUN, protein urine, benda keton, EKG, faal hepar )
·         Diabetes melitus terkendali dengan OAD/diet, pembedahan kecil/sedang yang diperkirakan dapat intake peroral pasca bedah, tidak perlu konversi OAD ke insulin.
·         Kadar gula darah pra bedah dipertahankan antara 120 – 180 mg/dl ( sampel darah WB atau 140 mg/dl ( puasa ) dan 200 mg/dl ( 2 jam PP ) bila yang diperiksa plasma.
·         Untuk pasien dengan regimen insulin    :
§  Pada hari pembedahan infus D5% dengan kecepatan 100 – 150 ml / jam
§  Diberikan insulin ½ sampai 2/3 dosis yang biasa digunakan subkutan
§  Kadar gula darah diperiksa berkala setiap 4 jam selama pembedahan dan pasca bedah
§  Pasca bedah dini diberikan insulin ½ sampai 1/3 dosis sehari-hari.




























































Monitor

§  Tambahan insulin dapat diberikan setiap 4 – 6 jam bergantung pada hasil pemeriksaan kadar gula darah.
·         Gula darah 200 – 250 mg/dl      : Insulin 2 – 3 unit subkutan ( RI )
·         Gula darah 250 – 300 mg/dl      : Insulin 3 – 4 unit subkutan ( RI )
·         Gula darah 300 – 400 mg/dl      : Insulin 5 – 8 unit, periksa gula darah setelah 1 – 2jam
·         Gula darah > 400 mg/dl             : Insulin 10 unit, periksa gula darah setiap 1 jam

·         Premedikasi dengan histamin antagonis atau metokloperamide 10 mg terutama pada pasien gastroparesis, 1,5 jam sebelum induksi.

·         Tentukan urgensi operasi :
·         DM tidak terkontrol :
·         Elektif : tunda, terapi dulu
·         Emergensi : segera terapi :
·      Hipoglikemia : Dextrosa 5%
·      Hiperglikemia            :
·         Ketonuria  < +2 ® insulin loading dose 0,1 U/kgBB iv, lanjutkan drips 0,1 U/kg/jam sampai gula darah 250 mg%
·         Ketonuria > +2 ® insulin loading dose 0,3 U/kg iv, lanjutkan drips: 0,1 U/kg/jam
·         K+ 20 meq/jam
·         Atau sliding scale : tiap urine +1 ® beri reguler insulin 4 U

·      DM terkontrol            : dapat dilakukan operasi

·      Rehidrasi


Tekanan darah, Nadi, EKG, Saturasi O2 , Gula darah,Urine Output









Tehnik Anestesi








Komplikasi pasca anestesi


1.      Regional Anestesi

2.      General Anestesi:
·         Premedikasi           : atropine ( kecuali IHD ) dan benzodiasepin
·         Induksi                  : Penthotal dan atracurium
·         Maintenance          : N2 O, O2 , atracurium dan isoflurane

·         Hipo /hiperglikemia
·         Iskemi / infark miokard
·         Coma persisten



RSU
Dr. SOEROTO
N G A W I

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU     Dr. Soeroto  Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTHESI PADA PENDERITA

PRE-EKLAMPSIA & EKLAMPSIA

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke

Kriteria diagnose


















Problem

Persiapan Operasi




Preeklampsia
·         Kehamilan > 20 minggu
·         Tekanan distolik > 110 mmHg pada wanita dengan tekanan darah yang normal sebelumnya
·         Proteinuria
·         Oedema
Pre eklampsia berat
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 110 mmHg saat istirahat atau sistolik > 140 mmHg atau diastolik > 90 mmHg yang disertai keadaan sebagai berikut :
·         Proteinuria >5 g/24 jam atau urine dipstick 3+ / 4+
·         Oliguria : < 30 ml /jam selama 3 jam berturut-turut
·         Gejala sistemik : edema paru, nyeri kuadran kanan atas, gangguan fungsi hepar, sakit kepala, pandangan kabur atau trombocitopenia

Hipovolemia, vasokontriksi  ® hipertensi , edema

1.      Atasi hipertensi :
a.         Hidralazine : 2.5 – 5 mg iv  lambat setiap 15 – 20 menit dalam 3 dosis. Sampai diastolic < 110 mmHg.
b.        Labetolol : 20 mg iv kemudian dititrasi setiap 10 -  15 menit
2.      Cegah kejang : MgSO4 ® dosis awal 4 – 6 g iv diikuti drips 1- 2 g/jam , cek kadar Mg setiap 2 – 4 jam kadar harus 4 – 7 meq/L. Diberikan jika diastolic > 100 mmHg disertai tanda impending seizure ® visual blurring, scotomata, dan hiperrefleksia. Antidotum MgSO4 : CaCl2 10%  10 ml
3.      Oksigen  : untuk mempertahankan PaO2 > 70 torr dan saturasi > 94%
4.      Perbaiki sirkulasi organ vital
5.      Koreksi : hipoalbumin, elektrolit, asidosis


Tehnik anestesi













Monitor



1.      Regional anestesi : terpilih epidural anestesi ® memperbaiki renal dan uteroplacental blood flow, kontrol tekanan darah ibu lebih mudah, membantu stabilitas cardiac output

2.      General anestesi  : Rapid induction
·           Indikasi          : eklampsia dengan kejang tak terkontrol
·           Premedikasi   : atropine 0,01 mg/kg
·           Induksi           : penthotal 3mg/kg iv, succinilkolin 1-1,5 mg/kgiv
·           Maitenance    : N2O, O2, enflurane, dan atracurium

CVA, DIC, gagal ginjal, gagal jantung


Post  operasi dilakukan observasi di ruang perawatan intensif (  ICU )



RSU
Dr. SOEROTO
N G A W I

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU  Dr. Soeroto Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA

HIPERTENSI

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke


Kriteria diagnose





Prosedur








Persiapan Operasi







Tehnik anestesi

Derajat hipertensi menurut standart WHO
1.      Ringan                               : diastole 90 – 105 mmHg
2.      Sedang                              : diastole 105 – 115 mmHg
3.      Berat                                 : diastole > 115 mmHg
4.      Hipertensi maligna            : diastole > 130 mmHg

Sebelum operasi tentukan Urgency operasi            :
  1. Elektif             : tunda, terapi dulu sampai tensi < 160/100 mmHg
  2. Emergency     : segera terapi preoperasi
·         Diuretika
·         Hidralazine : 5 mg iv, total 20 mg
·         Nifedipin sublingual
·         Nitropruside : 10 – 100 mg/mnt

1.      Terapi hipertensi diteruskan menjelang praoperasi
2.      Rehidrasi, bila terdapat dehidrasi
3.      Koreksi bila ada gangguan : elektrolit, asam basa, ureum, kreatinin
4.      Atasi komplikasi
5.        Periksa : EKG, foto thorak, Laboratorium ( elektrolit, asam basa, ureum,kreatinin, gula darah,kolesterol )

·           Premedikasi  :

Midazolam 0,07 mg/kg im setengah jam sebelum operasi atau dengan neurolep analgesia : droperidol 0,1 – 0,15 mg/kgiv + pethidin 1 mg/kg iv atau fentanil 1-2ug/kg iv.


















Monitor


Komplikasi pasca anestesi




1.      General anestesi            :
§  Induksi                        : pentotal 4 – 5mg/kg iv atau propofol 2 – 2,5 mg/kg iv
§  Pelumpuh otot             : suksinilkolin 1 – 1,5 mg/kg iv, atrakurium 0,5mg/kgiv, vecuronium 0,1 mg/kg iv atau rokuronium 0,6 mg/kg iv
§  Lidokain 2% 1,5 mg/kg iv atau fentanil1 – 2 ug/kg iv
§  Rumatan anestesi        : N2O, O2 , isoflurane/sevoflurane, atrakurium / vecuronium

2.      Regional Anestesi :
 Dapat dilakukan sebelumnya di loading cairan dahulu 10 – 15 cc/kg bb. Hindari spinal anestesi ® dapat terjadi herniasi otak karena kebocoran LCS akibat peningkatan TIK

 

Tekanan darah, Nadi, EKG,produksi urine, dan perdarahan




1.      Kardiovaskuler   : CAD, LVH, CHF, Dysritmia
2.      Renovaskuler       : Renal insuffisiensi
3.      Neurovaskuler     : gangguan neurologis, stroke





RSU
Dr. SOEROTO
N G A W I

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU  Dr. Soeroto Ngawi

PENATALAKSANAAN ANESTHESI PADA PENDERITA

GANGGUAN FUNGSI HATI

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke


Persiapan pre operasi




















Persiapan Operasi





Pemeriksaan pre operasi      :
1.         EKG
2.         Foto thorak
3.         BGA
4.         Laboratorium  :
·         Homeostasis glukosa         : gula darah
·         Metabolisme bilirubin       : bilirubin
·         Sintesa protein                  : Albumin
·         Sintesa protrombine          : jumlah protrombin dan protrombin time
·         Liver function test                        : SGOT, SGPT, LDH, alkaliphospatase
·         Darah                                : Hb, lekosit, diff count, CT,  BT
·         Auto antigen                     : HbSAg
·         Fungsi ginjal                      : Ureum, creatinin, dan elektrolit
Koreksi bila terdapat            :
·           Hipoglikemia             : beri dextrose 5%
·           Hiperbilirubinemia     : bila > 20 mg% berikan manitol 20% : 0,25 - 1 g/kg per drips sampai diuresis > 50 ml/jam
·           Hipoalbuminemia       : bila < 3 g%  berikan albumin 25%
·           Drfisiensi protrombin : vit  K injeksi 10 – 20 mg im tiap 6 jam
·           Gangguan elektrolit
·           Gangguan asam basa
·           Ureum creatinin meninggi : dialisa














Tehnik anestesi
















Monitor


Komplikasi

Atasi   :
·           Ascites                                   : diuretika atau parasintesis
·           Perdarahan GIT bagian atas  : endoskopi
·           Anemia                                  : transfusi
·           Terapi kortikosteroid             : berikan hidrokortison


1.         Regional anestesi            : Jika tidak terdapat gangguan koagulasi

2.         General anestesi             :
·         Hindari            : obat depresi HBF ( hepatic blood flow ) hepatotoksik, obat yang di metabolisme dan ekskresi oleh hepar
·         Hindari            : succinilkolin, karena defisiensi kolinesterase
·         Hindari            : Halotan ® hepatotoksik
·         Premedikasi     : atropin, benzodiasepin
·         Induksi            : Ketamine 1 mg/kg iv dan atracurium 0,5mg/kg iv
·         Maintenance    : Ketamin drips, O2 , atracurium

 

Tekanan darah, Nadi, EKG, dan urine out put



Hepatorenal syndrome, enchepalopati, hipoglikemia





RSU
Dr. SOEROTO
N G A W I

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU  Dr. Soeroto Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA

DENGAN LAMBUNG PENUH

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke


Problem






Persiapan pre operasi


Tehnik anestesi

1.      Aspirasi isi lambung
2.      Dapat terjadi Mendelsons syndrome        : pH< 2,5 dan volume > 0,4ml/kg
3.      Particulate material dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas


1.      Pasang nasogastric tube
2.      Berikan H2 antagonis: simetidin 300mg iv


1.      Regional anestesi
2.      General anestesi  :  Rapid induction atau awake intubation. Ekstubasi harus sadar penuh

Tehnik rapid induction         :
  1. Pre oksigenasi : 3 – 5 menit , flow 7 liter/mnt
  2. Prekurarisasi    : dengan non depolarisasi muscle relaksan
  3. Induksi            : setelah tertidur lakukan cricoid pressure ( sellick’s manuver )
  4. Suksinilkolin 1 – 1,5 mg/kg iv dan jangan diinflasi
  5. Intubasi, setelah terpasang ETT cricoid pressure dihentikan.





RSU
Dr. SOEROTO
N G A W I

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU  Dr. Soeroto Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PENDERITA

HYPERTHYROID

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke


Problem
























Persiapan pre operasi



Thyroid krisis akibat  :
1.      Pembedahan     : insisi , manipulasi
2.      Medikal             : stress psikis, agent anestesi volatil, ketoasidosis, toksemia.
Gejala krisis tiroid  :
1.      Hipermetabolik  : suhu > 390 C , keringat berlebihan
2.      Cardiovaskuler   : takikardi,  disritmia
3.      Respirasi             : hiperventilasi
4.      Neurologi            : gelisah, kejang
5.      Gastrointestinal  : mual, muntah, diare

ELEKTIF
1.      Tunda dan terapi sampai euthyroid dengan :
·         PTU   :  initial dose 75 -  200 mg peros tiap 8 jam, kemudian 30 – 100 mg tiap 6 – 8 jam
·         Lugol : 2 – 6 tetes 4 kali sehari peros
·         Propanolol  : 10 – 60 mg 3 kali sehari per os
EMERGENCY
Segera terapi dengan     :
·         Na iodida   : 1-2 gram iv drips, hambat sekresi hormon
·         Reserpin    : 2,5 mg im, kurangi efek hormon terhadap target organ/ simpatolitik
·         Hidrokortison : 100-300 mg iv, dapat diulang sampai total 0,1 mg/kg sampai HR < 90/mnt

      1.            Koreksi hipertiroid
      2.            Rehidrasi
      3.            Turunkan suhu
      4.            Koreksi  : elektrolit, asam basa











Tehnik anestesi







Monitor

Komplikasi

Pemeriksaan pre operasi
      1.            Jalan nafas
      2.            Laboratorium rutin
      3.            Foto ontgen leher
      4.            Thyroid function test  : T3 ,  T4 dan TSH

Operasi non thyroid    :
·         Regional atau Deep GETA

Operasi Thyroid   :
·         Premedikasi   : cegah takikardi
·         Induksi           : penthotal
·         Maintanance  : N2O, O2, Atracurium, Isoflurane
Tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, temperatur

      1.            Nervus laringeal terputus è trakeomalasia èperlu trakeostomi
      2.            Glandula parathyroid terangkat è hipokalsemia è terapi Ca glukonas 10% 10-30ml
      3.            Krisis tiroid




























RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU         Dr. Soeroto Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA SECTIO CAESARIA


Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke



Monitor



Komplikasi

1.      Monitor tekanan darah setiap 3 menit
2.      Respirasi dan nadi
3.      Tinggi blok

Komplikasi yang sering terjadi :
1.      Total blok spinal è dilakukan monitoring tinggi blok secara baik
2.      Blok gagal / parsial è dilanjutkan atau di kombinasi dengan general anestesi
3.      Nyeri kepala hebat ( PDPH ) è dilakukan penyuntikan blood patch

ANESTESI UMUM :
1.      Prosedur sama seperti penatalaksanaan anestesi umum dengan mempertimbangkan dua kehidupan yang harus diselamatkan
2.      Pemberian obat yang cenderung mempengaruhi janin diberikan setelah bayi lahir.






















 Selengkapnya klik disini





RSU
Dr. SOEROTO
NGAWI

INSTALASI
ANESTESI

Disahkan oleh :

Direktur RSU         Dr. Soeroto Ngawi


PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA TINDAKAN KURET / LAPARASKOPI PADA MOW

Prosedur tetap


No. Dokumen

Tanggal terbit

Revisi ke

 

Anestesi pada pasien gagal ginjal

Abstrak
Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%–60%. Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.
Keyword: gagal ginjal, manejemen anastesi

History
Seorang laki-laki, 67 tahun, datang dengan keluhan BAB dengan lendir darah sejak ± 1 bulan yll. Pasien merasa BAB semakin sulit dan terasa nyeri, disertai darah berwarna merah segar yang semakin banyak, tidak ada benjolan yang keluar dari dubur. Pasien mengaku tidak ada riwayat penyakit yang serius sebelumnya. Pemeriksaan colok dubur TMSA baik, mukosa licin, massa (+), ampula rekti tidak kolaps, NT (+), STLD (+). Status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang : Kadar ureum dan kreatinin meningkat (Ureum: 127 dan Creatinin : 3,4).
Status Anestesi
Keadaan Umum : tampak lemah, anemis          
Airway : Clear, MII, TMD > 6,5 cm, gerak leher, kepala, dan membuka mulut bebas
Breathing : Spontan, agak sesak, RR = 26 x/menit, Rhonki (-), wheezing (-).
Circulation : TD : 140/90 mmHg, HR : 90 x/menit
Ass : Status Fisik ASA III

Diagnosa Kerja
Susp. Ca. Recti dengan status fisik ASA III

Tatalaksana Anastesi
Intruksi Preoperasi
·  Puasa 8 jam preoperasi
·  Lengkapi IC anastesi
·  Balance cairan à pasang DC dan monitor urine output per 3 jam, jika < 60 cc / 3 jam lapor dr.anastesi
·  Sedia darah 2 kolf
·  Perawatan di ICU post-operasi
         Premedikasi
·    Ondancetron 4 mg
·    Midazolam 2,5 mg
·    Fentanyl 50 mg
·    IVFD RL : Koloid = 4 : 1
Induksi
·  Atracurium 25 mg
·  Recofol 50 mg
         Maintenance
·    Sevofluran, N2O, dan O2
·    Torasic 30 mg

Diskusi

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG
 PERTIMBANGAN PREOPERATIF
            Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal.
            Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki renal insufisiensi.Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal postoperatif,  seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta. Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada perburukan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting pada gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar   50%–60%. Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes.
            Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya. Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi. Cairan intravena diberikan untuk mencegah kehilangan intra vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah memberikan peningkatan aliran darah ginjal melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal. Loop diuretik juga dibutuhkan untuk menjaga pengeluaran urin dan mencegah kelebihan cairan.
 PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF
Monitoring
Monitor standard yang digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk operasi yang banyak kehilangan cairan atau darah, pemantauan urin output dan volume intravaskular sangat penting. Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam. Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam pengobatan yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung.
 Induksi
Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup terlebih dahulu. Anestesi induksi pada pasien dengan Renal Insuffisiensi biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk  sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal pengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.
 Pemeliharaan
Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Methoxyflurane dan Sevoflurane. Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat menghasilkan efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi). Efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas. Pemberian utama dari vasopresor α – adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat mengganggu.Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal.”Dosis dopamin untuk ginjal”telah juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor α–adrenergik (norepinephrine).Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama.
Terapi Cairan
Seperti telah dibicarakan diatas, pertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

Kesimpulan 
Selain penilaian anastesi rutin, perhatian pada pasien ini di fokuskan pada fungsi ginjal. Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit ginjal adalah mendapatkannya lewat riwayat medik. Pemeriksaan fisik sering hanya minimal saja yang didapatkan. Unutuk penunjangnya dilakukan pemeriksaan urinalisis, elektrolit, rontgen, EKG dan pemeriksaan fungsi paru sesuai dengan indikasi. Pemeliharaan dengan anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut yaitu isoflouran, halotan, desfluran. Resusitasi cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tanda-tanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan.

Daftar Pustaka
1.      Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., 2002, Fisiologi Ginjal dalam buku Petunjuk praktis Anestesiologi, Cetakan kedua, Bagian anastesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2.      Monk, T. G., Weldon, B. G., 1997, The Renal System and Anesthesia for Urologic Surgery alam The Lippincoltt-Raven Interactive Anesthesia Library on CD-ROM Version 2.0.
3.      Schwartz, Spencer, S., Galloway, D. F, 1999, Principles of Surgery,
seventh edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.

Penulis
Imaniar Ranti (20040310032-FK UMY), Bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi, RSUD Saras Husada, Kab. Purworejo, Jawa Tengah
Sumber Info 

Spinal Anestesi pada pasien DM

Abstrak
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik akan menembus kutis-subkutis-lig. Supraspinosum-lig. Interpinosum-lig. Flavum-ruang epidural-duramater-ruang subarachnoid. Anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada ektremitas bawah seperti operasi debridement ulkus pedis.


Isi
Ibu S, 46 tahun didiagnosis dengan ulkus diabetes. Ny, S menyangkal mempunyai riwayat asma, gangguan jantung maupun pernah menjalani pembedahan sebelumnya. Hipertensi (+), diabetes mellitus (+). Pada tanggal 30 juni Ny S menjalani tindakan debridemen dengan spinal anestesi. Tensi dan nadi awal sebelum di induksi adalah 188/91 mmHg dan nadi 111x/menit. Mulai pembiusan jam 12.30 menggunakan buvanest (bupivakain) 4ml dan morfin 0,2 ml.
Diagnosis
Debridement ulkus pedis
Terapi
Spinal anestesi dengan bupivacaine
Diskusi
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik akan menembus kutis-subkutis-lig. Supraspinosum-lig. Interpinosum-lig. Flavum-ruang epidural-duramater-ruang subarachnoid. Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berahir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.

Anestesi spinal dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah obstetri ginekologi, bedah urologi dan bedah abdomen bawah. Kontra indikasi pasien seperti menolak untuk dilakukan anestesi spinal, terdapat infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia berat sampai syok, menderita koagulopati dan sedang mendapat terapi antikoagulan. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi ), kelainan neurologis, kelainan psikis, menderita penyakit jantung.

Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan informed consent, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Teknik analgesia spinal dilakukan dengan posisi duduk atau tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah adalah posisi yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat
1.      Setelah dimonitor posisikan pasien. Buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus           mudah teraba.
2.      Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua crista iliaka dengan tulang punggung ialah           L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukkan pada L1-2 diatas berisiko trauma medula spinalis.
3.      Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4.      Beri anestesik lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.
5.      Cara tusukkan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G dapat           langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum 27 G dan 29 G dianjurkan penuntun jarum. Tusukkan           introduser sedalam kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut           mandrinnya kelubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar           dengan serat duramater. Kalau LCS tidak keluar putar jarum 90o.

Komplikasi yang ditemui pada anestesi seperti hipotensi, bradikardi, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, muntah, gangguan pendengaran, meningitis dan retensio urin.
Kesimpulan
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid.  Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus.

Referensi
  • Said, Kartini (2001). Petunjuk Praktis Anestesiologi.
  • Muhardi et al (1989). Anestesiologi.
  • Rainy. (2011). Anestesi lokal dan regional.

Penulis
Zaki Saidi, Bagian ilmu Anestesi dan Reanimasi, RSUD Tidar, Kab. Magelang, Jawa Tengah
Sumber 

Jumat, 28 Oktober 2011


ekg

dr.Yendi
Pendahuluan
Tindakan infiltrasi lokal epinefrin pada daerah pembedahan sering dilakukan pada suatu pembedahan. Tujuannya adalah untuk profilaksis hemostasis dan visibility. Walaupun tindakan ini bertujuan untuk mengurangi perdarahan saat pembedahan namun tindakan ini juga dapat menyebabkan terjadinya bencana sirkulasi seperti hipertensi berat, takikardi, disritmia, iskemik miokardia atau edema paru.
Sangat penting untuk mengetahui resiko sirkulasi yang disebabkan oleh infiltrasi lokal epinefrin serta mendeteksi secara cepat kejadian tersebut sehingga dapat diambil tindakan cepat dan tepat dalam penatalaksanaannya.
Epinefrin
Epinefrin merupakan prototype obat golongan simpatomimetik yang termasuk ke dalam naturally occurring cathecolamine bersama dengan norepinefrin serta dopamin.
Epinefrin tidak dapat diberikan secara oral karena dimetabolisme secara cepat oleh mukosa gastrointestinal dan hepar. Karenanya, epinefrin diberikan secara SC, IM atau IV.
Epinefrin bekerja pada multi adrenoreseptor, α1, α2, β1 dan β2 reseptor. Dengan demikian efek klinisnya pun akan susah di prediksi karena saling tindih efek yang dihasilkan masing-masing reseptor tersebut.
Reseptor α1 merupakan adrenoreseptor postsinaptik yang berada pada otot polos diseluruh tubuh, pada mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus dan sistem genitor urinaria. Aktivasi reseptor ini menyebabkan kontraksi otot. Reseptor α1 papa miokardium menghasilkan efek inotropik positif dan kronotropik negative. Efek paling penting pada kardivaskular adalah vasokonstriksi, yang akan meningkatkan resistensi vascular perifer, afterload ventrikel kiri dan tekanan darah.
Reseptor α2 terdapat di presinaptik. Bekerja dengan menghambat aktifitas adenilat siklase sehingga menghambat pelepasan norepinenefrin dari neuron. Pada otot polos vascular terdapat reseptor α2 yang menyebabkan vasokonstriksi. Terpenting, stimulasi reseptor α2 di SSP menyebabkan sedasi dan menurunkan simpatik outflow sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah.
Reseptor β1 terdapat membran postsinaptik di jantung. Efeknya adalah kronotropik, inotropik dan dromotropik positif,
Reseptor β2 terletak postsinaptik di otot polos dan sel glandula. Mekanisme kerjanya seperti β1 melalui aktivasi adenilat siklase. Stimulasi reseptor ini menyebabkan vasodilatasi, bronkodilatasi, dan tokolisis. Reseptor ini juga mengaktifkan Na-K pump sehingga dapat terjadi hipokalemia dan disritmia karena pergerakan kalium ke intraselluler.
Secara umum fungsi alami epinefrin adalah regulasi:
Kontraksi miokardium
Heart rate
Tonus otot polos vascular dan bronchial
Sekresi glandula
Proses metabolic seperti glikogenolisis dan lipolisis
Kegunaan klinis epinefrin:
Campuran pada anestesi lokal untuk menurunkan absorpsi sistemik dan memperpanjang durasi anestesi lokal (konsentrasi 1:200.000)
Profilaksis hemostasis serta meningkatkan visibility pada pembedahan melalui infiltrasi lokal pada area pembedahan
Terapi reaksi alergi yang fatal
Sebagai obat pada CPR
Continous infusion untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium
Sympathetic nervous system activation
Manifestasi sistemik aktivasi system saraf simpatik termasuk hipertensi sistemik, takikardia, disritmia, iskemia miokardium atau edema paru dapat menyertai absorpsi vascular dari alfa-agonis ketika digunakan sebagai injeksi vasokonstriktor pada daerah pembedahan.
Hipertensi sistemik terjadi karena stimulasi alfa-agonis yang meningkatkan sistemik vascular resisten. Peningkatan SVR ini menyebabkan perpindahan darah dari perifer ke vascular pulmonary sehingga meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Kemampuan jantung untuk meningkatkan heart rate dan kontraktilitas merupakan mekanisme kompensasi untuk tetap menjaga cardiac output pada keadaan ini.
Penatalaksanaan
Tanpa intervensi farmakologi
Dalam literatur dikatakan kejadian manifestasi sistemik dari aktivasi simpatetik nervous system ini tidak memerlukan terapi khusus. Tindakan hanya terbatas pada menunggu durasi epinefrin yang diinjeksi secara lokal tadi hilang. Hipertensi sistemik dapat hilang dengan sendirinya tanpa intervensi farmakologi. Akan tetapi severe hypertension perlu intervensi farmakologi asalkan terapi yang diberikan tidak menyebabkan penurunan dari kemampuan miokardium yang sudah terdepresi untuk meningkatkan kontraktilitas dan heart rate. Pada kondisi ini, obat-obatan golongan vasodilator seperti nitroprusid atau nitrogliserin merupakan pilihan.
Beta-adrenergik bloker
Pemberian obat-obatan beta-adrenergik bloker pada kondisi ini tidak diperkenankan karena dapat menyebabkan kejadian edema pulmonary dan irreversible cardiovascular collapse. Hal ini berhubungan dengan mengganggu mekanisme kompensasi miokardium untuk memelihara cardiac output tadi.
Lidokain
Lidokain yang merupakan obat anestesi lokal juga dipergunakan sebagai terapi emergensi pada resusitasi kardiopulmonal. Lidokain diberikan pada kejadian manifestasi sistemik dari aktivasi simpatetik nervous system karena injeksi lokal epinefrin terutama karena kejadian disritmia (ventricular takikardia). Beberapa jurnal mengatakan pemberian lidokain pada situasi ini efektif untuk mengembalikan irama jantung menjadi sinus rythme. Membiarkan jantung dalam keadaan disrtimia berbanding lurus dengan perburukan outcame pasien yang mengarah pada keadaan heart failure. Lidokain diberikan secara bolus intravena dengan dosis 1-1,5 mg/kgbb.
Menurut pedoman ACLS dari AHA 2006, lidokain diberikan untuk terapi alternative dari amiodaron untuk VF/VT pada cardiac arrest. Diindikasikan juga pada stable monomorfik VT, stable polimorfik VT pada keadaan tanpa iskemik dan gangguan elektrolit sebelumnya. Pemberian juga dapat melalui ETT dengan dosis 2-4 mg/kgbb. Untuk maintenance diberikan dengan infuse 1-4 mg/min (30-50 µg/kg per menit).
Efek lidokain ini disebabkan kerja lidokain yang mendepresi automatisiti miokardial. Kontraktilitas dan conduction velocity juga terdepresi. Dihasilkan dari direct cardiac muscle membrane changes (blokade sodium channel jantung) dan inhibisi dari autonomic nervous system.
Cardioversion
Sesuai pedoman ACLS dari AHA 2006, kardioversi diindikasikan pada semua bentuk takikardia (HR>150X/menit) dengan tanda-tanda hemodinamik yang tidak stabil, syok, tapi masih terdapat nadi. Tapi disebutkan juga bahwa kardioversi merupakan kontraindikasi pada keadaan takikardia diatas yang disebabkan oleh keracunan atau drug induced. Pada kasus ini tidak dilakukan kardioversi karena jelas penyebabnya adalah drug induced (infiltrasi lokal epinefrin). Namun persiapan alat defibrillator penting sebagai antisipasi kejadian memburuk sampai dilakukan CPR.
Kesimpulan
1. Penggunaan infiltrasi lokal epinefrin pada area pembedahan menguntungkan karena berfungsi sebagai profilaksis hemostasis sehingga mengurangi perdarahan sekaligus juga meningkatkan visibility operator bedah, akan tetapi perlu diwaspadai bahaya yang dapat ditimbulkannya seperti bencana sirkulasi dalam bentuk hipertensi sistemik, takikardia, disritmia, iskemik miokardia atau edema paru
2. Manifestasi sistemik aktivasi dari simpatik nervous system perlu diketahui dan dipahami dengan demikian tindakan yang cepat dan tepat pada penatalaksanaannya dapat dilakukan sehingga tidak menjadi lebih parah hingga bersifat fatal dan tercapainya outcome pasien yang lebih baik.
3. Konsentrasi tinggi epinefrin juga dapat menyebabkan efek yang bersifat fatal maka perlu lebih hati-hati dan teliti dalam melakukan pengenceran sehingga benar-benar didapat konsentrasi yang tepat dan sesuai.
Daftar Bacaan
1. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed, Lippincot William & Wilkins; 2006: 292-310.
2. Morgan GE, Mikhail MS., Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed, Pasadena: McGraw-hill companies; 2006.
3. Field JM, Hazinski MF, Gilmore D. Handbook of Emergency Cardiovascular Care for Health Care Provider. American Heart Association; 2006.
4. Murakawa T, Koh H, Tsubo T, Matsuki A, et al. Two Cases of Circulatory Failure After Local Infiltration of Epinephrine during Tonsillectomy. The Japanese Journal of Anesthesiology 1998;47(8):955-62.
5. Takayuki M. Circulatory Disaster Following Infiltration of Epinephrine Contained in Local Anesthetic. The Japanese Journal of Anesthesiology 1999;48(9):1020-23.
6. Lee JY, Kim CH, Lee SJ, et al. Acute Heart Failure Induced by a beta-blocker after the Local Infiltration of Epinephrine: A case report. Korean J Anesthesiol 2007;52(5):591-95.
7. Karns JL. Epinephrine-induced Potentially lethal Arrhythmia during Arthroscopic Shoulder Surgery: A case report. AANA J 1999;67(5):419-21.
8. Rutka JA, McKinlay K, et al. Risk of Tragic Error Continues in Operating Rooms. ISMP Canada Safety Bulletin 2004;4(12)
Sumber Info