Kamis, 30 Juni 2011

10 Kesalahan Perawat Dalam Injeksi IM


Sudah di penghujung bulan, laporan evaluasi surveilansku masih menggantung, sebulan lebih tak jua selesai… jika dirunut, terakhir kali kukirimkan laporan ke kampus adalah tertanggal 12 mei, berarti sebulan setengah aku tak produktif sama sekali menyelesaikan tugas lapanganku… huft… What ever lah, daripada memikirkan tugas tanpa action, coret sana sini di kertas, kayaknya seru nih kalo dilanjutin membuat postingan untuk blog saya...
Sekarang pengen nulis tentang 10 kesalahan perawat dalam melakukan injeksi IM, injeksi IM itu yang paling gampang, tapi banyak juga yang masih meninggalkan hal-hal sepele namun itu penting. Injeksi IM (Intra Muscullar), intra = didalam, muscular = otot, jadi jelaskan…?? Injeksi ini memasukkan obat kedalam otot, bukan dibawahnya ataupun diatasnya. Kesalahan-kesalahan apa saja sih yang biasa terjadi ketika injeksi IM?? Lets check it out..

1. Salah Letak
Kalau definisinya IM adalah kedalam otot, berarti kita harus mencari daerah-daerah yang memiliki otot yang tebal. Nah, lazimnya atau biasanya terdapat 3 posisi yang bis
a digunakan untuk injeksi IM. Yang paling sering adalah Ventrogluteal (di pantat), nah letak
pastinya adalah area sepertiga sias bagian atas. Cara paling mundah menentukan posisi ini adalah dengan meletakkan jempol di tulang pinggul, jari kelingking di ujung tulang ekor, nah bagi tiga (kirologi pasti bermain disini), area sepertiga bagian ataslah yang menjadi sasaran jarum suntik. Area kedua adalah
pada bagian lengan atas (deltoid) ada beberapa pendapat mengatakan letaknya 3 jari dari pundak, ada yang bilang 4 jari, kalo menurut saya sih sama prinsipnya, ambil sepertiga bagian atas itulah letaknya. Posisi yang ketiga adalah di vastus lateralis (paha) nah posisi ini lebih mudah, tinggal taruh 3 jari dari jalur setrikaan (pakai imajinasi) bagian luar… tapi pada paha relative lebih luas.

2. Salah Sudut
Secara teori sudut untuk melakukan injeksi ini adalah 90 derajat, tegak lurus dengan permukaan kulit. Lalu bagaimana jika kita menggunakan jarum yang tidak pada porsinya?? Boleh dimodifikasi dengan mengurangi sudutnya tapi ini benar-benar tidak dianjurkan

3. Lupa Aspirasi
Tidak melakukan aspirasi adalah kesalahan fatal dalam injeksi IM. Aspirasi adalah cara untuk mengetahui apakah posisi jarum kita tepat atau tidak. Dengan cara menghisap terlebih dahulu, jika tidak ada darah ataupun cairan lain yang masuk ke spuit kita setelah dihisap, maka dipastikan posisi kita sudah tepat. Jadi jangan sampai lupa melakukan aspirasi ketika injeksi IM.

4. Salah Spuit/Nal
Spuit dan Nal (jarum) yang dipakai untuk injeksi adalah jarum khusus, begitupun pada injeksi IM, tidak boleh kebesaran atau kekecilan, tidak boleh kepanjangan ataupun kependekkan, jarum untuk dewasa digunakan untuk usia dewasa, begitupun untuk anak. Ukuran Spuit dan Nal yang dipakai untuk dewasa adalah 21-23 G dan panjang 1 – 1,5 inch dan untuk anak-anak 25-27 G dengan panjang 1 inch, ukuran tersebut bisa dilihat di kemasan spuit.

5. Tidak memasukkan Nal secara Sempurna
Jika letak sudah sempurna, jarum tepat namun jika teknik yang dipakai salah maka injeksi IM ini juga tidak akan berhasil. Jika sudah menggunakan sudut 90 derajat, maka jarum harus masuk seminimal mungkin 2/3 bagian, biar lebih aman masukkan hingga pangkal jarum (nal), baru lakukan aspirasi lalu masukkan obat.

6. Salah Obat
Jangan lupa selalu perhatikan kemasan obat, walaupun itu adalah sebuah order, selalu perhatikan kemasan obat, karena disana akan ditemukan obat tersebut harus dimasukkan dengan cara apa. Jika obat tersebut dimasukkan dengan cara IM, maka akan tertera tanda “IM” jika IV maka akan tertera “IV” jika bisa keduanya maka “IV/IM”.

7. Salah Pasien
Kroschek nama dan diagnose pasien, lalu cocokkan dengan obat. Kesalahan yang tak dapat dimaafkan adalah memasukkan obat kepada pasien yang salah, jangan hanya mengingat kamar dan bed saja, tapi ingat kamar, bed, nama dan diagnose. Lalu klarifikasi dengan menanyakan langsung dengan keluarga maupun pasien.

8. Lupa Desinfeksi
Untuk menjaga agar tidak timbul infeksi setelah injeksi, maka sebagai perawat tidak boleh melupakan cuci tangan sebelum dan sesudah injeksi, memakai Hanscoon, dan lakukan desinfeksi pada daerah yang akan diinjeksi menggunakan kapas alcohol.

9. Tidak mengeluarkan udara dari spuit
Bekerja dengan hati, jika terburu-buru maka kita akan kehilangan ketelitian. Kadang kerja dengan terburu-buru akan melupakan hal sepele, hal yang sering terlupa adalah mengeluarkan udara dari spuit setelah memasukkan obat kedalam spuit, harus dibiasakan dan harus dilakukan. Tak boleh ada udara sedikitpun dalam spuit kita sebelum memasukkan obat kedalam tubuh.

10. Lupa Komunikasi
Tak semua orang bisa menerima injeksi IM, bahkan lebih banyak orang yang takut dengan injeksi IM. Jurus ampuh perawat adalah komunikasi, komunikasi terapeutik diharapkan dapat membuat apsien rileks dan mengurangi sakit akibat injeksi. Dengan komunikasi kita juga akan terhindar dari kesalahan salah pasien, dan jangan lupa informed concent. So jangan lupa komunikasi ya….

Rabu, 29 Juni 2011

NILAI FINAL TEST PERAWATAN DEWASA I

Pemberitahuan:

  • Nilai ujian bobot 10 tiap soal
  • Nilai T harus melakukan perbaikan nilai
  • Nilai C boleh melakukan perbaikan nilai, hasil perbaikan nilai adalah Nilai C atau B
  • Nilai akhir adalah nilai tertinggi (Final atau Remedial)
  • Batas Akhir perbaikan nilai tanggal 07 Juli 2011
  • Apabila tidak melakukan perbaikan nilai maka nilai akhir adalah Nilai C dan atau E
  • Perbaikan nilai wajib disertai surat pengantar dari Kampus
  • Informasi yang kurang jelas dapat menghubungi Dosen Mata Kuliah

Untuk informasi selanjutnya silahkan hubungi Dosen Mata Kluiah..

Kamis, 23 Juni 2011

dr Sonia wibisono

dr Sonia Wibisono, si Manja yang Berubah Peduli Saat Jadi Dokter
Published with Blogger-droid v1.7.2

NILAI FINAL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II



Pemberitahuan:
  • Nilai Choice bobot 2 point, Essay 10 point
  • Nilai T harus melakukan perbaikan nilai
  • Nilai C boleh melakukan perbaikan nilai, hasil perbaikan nilai adalah Nilai C atau B
  • Nilai akhir adalah nilai tertinggi (Final atau Remedial)
  • Batas Akhir perbaikan nilai tanggal 2 Juli 2011
  • Apabila tidak melakukan perbaikan nilai maka nilai akhir adalah Nilai C dan atau E
  • Perbaikan nilai wajib disertai surat pengantar dari Kampus
  • Informasi yang kurang jelas dapat menghubungi Dosen Mata Kuliah

Rabu, 22 Juni 2011

10 Jenis Luka dan Perawatan awalnya (bag 2)


Melanjutkan bahasan postingan saya yang sebelumnya, khawatirnya terlalu panjang jika digabung, makanya saya bagi menjadi 2 bagian… yah anggep aja biar lebih dramatis lah.. sinetron aja sampe berseason-season…
Nah kalo di postingan sebelumnya saya berusaha memperkenalkan sepuluh jenis luka (nyambung gak…???) sekarang ala saya, saya akan berusaha bercerita bagaimana sih cara menangani luka-luka tersebut…. Mengingat keterbatasan saya, bagi yang ingin mengoreksi, monggo disampaikan…

1. Vulnus laceratum (Laserasi)
Untuk jenis luka ini, harus diperhatikan dengan seksama… apakah lukanya bersih atau tidak, dalam atau dangkal, rapi atau tak beraturan (biasanya tak beraturan). Untuk skala luka yang luas dan dalam, berarti kita harus bersiap diri untuk menjahitnya… pertama, perhatikan bentuk lukanya bersih atau tidak, jika luka kotor, maka kita bersihkan terlebih dahulu dengan cairan NaCl 0,9%, jika terlalu kotor dan melekat kuat kotorannya, kita bersihkan menggunakan H2O2, karena cairan ini sangat pedih sekali, maka kita harus memberikan anastesi dulu (local menggunakan Lidokain). Setelah luka dibersihkan langkah berikutnya adalah melakukan desinfektan dengan menggunakan IODINE, jika luka lebar dan dalam maka kita harus melakukan Hecting (menjahit) agar penyembuhan luka lebih cepat, terhindar infeksi dan hasilnya baik (secara estetika lebih minim meninggalkan bekas). Jika luka dalam, maka hecting boleh berlapis-lapis, jangan menyisakan rongga di bagian dalam, karena kuman akan sangat suka tinggal disana, makanya menjahit dengan berlapis sangat dianjurkan. Biasanya luka jenis ini bentuknya tidak beraturan, oleh karena itu bisa dirapihkan sedikit dengan cara mengunting bagian-bagian yang dirasa sangat berserabut (disesuaikan bentuk lukanya).
Untuk perawatan luka VL ini adalah bentuk perawatan luka tertutup, dengan tetap menjaga sterilitas luka, untuk luka awal Ganti verban pertama bisa dilakukan 48 jam sesudah luka, tetap perhatikan tanda-tanda infeksi. Pembersihan luka bisa digunakan NaCl 0,9%, dengan tetap menjaga sterilitas.

2. Vulnus excoriasi (Luka lecet)
Jenis luka yang satu ini derajat nyerinya biasanya lebih tinggi disbanding luka robek, mengingat luka jenis ini biasanya terletak di ujung-ujung syaraf nyeri di kulit. Jadi harus lebih dipahamkan kepada pasien. Pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan luka terlebih dahulu menggunakan NaCl 0,9%, dan bersiaplah mendengar teriakan pasien, karena jenis luka ini tidak memungkinkan kita melakukan anastesi, namun analgetik boleh diberikan. Setelah bersih, berikan desinfektan. Perawatan jenis luka ini adalah perawatan luka terbuka, namun harus tetap bersih, hindari penggunaan IODINE salep pada luka jenis ini, karena hanya akan menjadi sarang kuman, dan pemberian IODINE juga tidak perlu dilakukan tiap hari, karena akan melukai jaringan yang baru terbentuk.

3. Vulnus punctum (Luka tusuk)
Luka tusuk biasanya adalah luka akibat logam, nah yang harus diingat maka kita harus curiga adalanya bakteri clostridium tetani dalam logam tersebut. Oleh karena itu penangan luka jenis ini harus memungkinkan adanya aliran udara, mengingat clostridium tetani adalah bakteri anaerob. Hal pertama ketika melihat pasien luka tusuk adalah jangan asal menarik benda yang menusuk, karena bisa mengakibatkan perlukaan tempat lain ataupun mengenai pembuluh darah. Bila benda yang menusuk sudah dicabut, maka yang harus kita lakukan adalah membersihkan luka dengan cara menggunakan H2O2, kemudian didesinfktan. Lubang luka ditutup menggunakan kasa, namun dimodifikasi sehingga ada aliran udara yang terjadi...

4. Vulnus contussum (luka kontusiopin)
Luka memar tentunya jangan diurut ataupun ditekan-tekan, karena hanya aka mengakibatkan robek pembuluh darah semakin lebar saja. Yang perlu dilakukan adalah kompres dengan air dingin, karena akan mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah, sehingga memampatkan pembuluh-pembuluh darah yang robek.

5. Vulnus insivum (Luka sayat)
Luka jenid ini biasanya tipis, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan dan memberikan desinfektan.

6. Vulnus schlopetorum
Jika menemukan pasien seperti ini maka jelaslah ini tugasnya ruang operasi untuk menyelesaikannya.. namun jika berhadapan dengan pasien seperti ini jangan langsung mengeluarkan pelurunya, namun yang harus dilakukan adalah membersihkan luka dengan H2O2, berikan desinfektan dan tutup luka. Biarkan luka selama setidaknya seminggu baru pasien dibawa ke ruang operasi untuk dikeluarkan pelurunya. Diharapkan dalam waktu seminggu posisi peluru sudah mantap dan tak bergeser karena setidaknya sudah terbentuk jaringan disekitar peluru.

7. Vulnus morsum (luka gigitan)
Untuk luka jenis ini anda bisa membuka postingan saya tentang ini… monggo dibuka-buka lagi…

8. Vulnus perforatum
Ini adalah jenis luka yang tentunya hanya bisa diselesaikan di ruang khusus operasi, sehingga perawatan yang bisa kita lakukan adalah perawatan luka pasca operasi..

9. Vulnus amputatum
Sama dengan kasus diatas perawatan luka ini adalah perawatan luka pasca operasi.

10. Vulnus combustion (luka bakar)
Penanganan paling awal luka ini adalah alirkan dibawah air mengalir, bukan menggunakan odol apalagi minyak tanah. Alirkan dibawah air mengalir untuk perpindahan kalornya… bila terbentuk bula boleh dipecahkan, perawatan luka jenis ini adalah perawatan luka terbuka dengan tetap menjaga sterilitas mengingat luka jenis ini sangat mudah terinfeksi. Dan ingat kebutuhan cairan pada pasien luka bakar…
Hufh… ternyata jari-jariku tak begitu mampu mengejar apa yang ada di benak saya, what everlah…. Nulis… nulis… nulis… nulis….

BURN INJURY



Budhi Arifin Noor, Dion Ade Putra, Oktaviati, Ridho Ardhi Syaiful, Rizky Amaliah, Mursid
Translator: Adrian Salim, Andrio Wishnu Prabowo, Arnetta Naomi L. Lalisang, Julistian, Muliyadi, Sony Sanjaya, Stefanny, Zamzania Anggia Shalih.

General Surgery Department, FKUI/RSCM, Jakarta, Indonesia, May 2011.

CASE ILLUSTRATION
A man, 43 years old came with complaint of burn injury 8 hours before hospital admission. The patient was exposed to flame sparks on the face, body and both upper trunk while working as a construction worker. Patient was holding steel when the steel was exposed to electrical wires and caused fire. The patient was unconscious for 5 minutes and taken to a private hospital, there patient treated with MEBO, RL 1 kolf infusion, urinary catheters, anti-tetanus and analgesics. The patient was then referred to the RSCM due to limited facility.




The primary survey during physical examination was clear airway, spontaneous breathing, vital signs was within normal limits, with GCS 15 (E4M6V5), and on secondary survey there was found burn wounds on the face, neck and chest (see local status). Other physical examinations were within normal limits with height 165 cm, and weight 62 kg. Laboratory tests result showed hemoglobin level of 12.2 g / dL, hematocrit 35%, leukocytes 10,480 / ul, 82.2 fl platelets, albumin 2.2, random blood glucose 152 mg / dl, procalsitonin 16.06 and other laboratory results within normal result. The diagnosis for this patient was second degree burn injury 37.5% wide.




Patient was treated with fluid resuscitation (37.5 x 4 x 62) 9300 ml, 4650 ml within the first 8 hours, and continued with 4650 ml in the next 16 hours and then titrated until the urine output reached 0.5 to 1 ml / kg / hour. Patients were also given co-amoksiklav injection of 3 x 1 gram, ketorolac injection of 3 x 300 mg, ranitidine injection of 3 x 150 mg, and vitamin E injection of 1 x 400 mg. Patients were then consulted to anesthesiologist for CVP installation. After 1 day of treatment in the ER patients were then moved to the RSCM Burn Unit.



LITERATURE REVIEW

Burn injuries can be caused by fire, exposure to high temperature such as the sun, electrocution, chemicals and radiation. Most of burn injuries admitted to RSCM are caused by fire with 56% of the total case, 40% of boiling water, 3% of electrocution and 1% of chemicals.5

I.                PATHOPHYSIOLOGY
Areas of burn wounds are divided into three zones, which are coagulation zone, stasis zone and hyperemic zone.1,2

a.       Coagulation zone
          The tissue in this zone is irreversibly damaged during traumatic burn.
b.       Stasis zone
          There are moderate perfusion disturbances in the area surrounding the necrotic zone. In the stasis zone, there is vascular damage thus causes vascular leakage. 
c.       Hyperemic zone  
          The character of the hyperemic zone is vasodilatation due to
                                                       inflammation process.

 Burn Injury Phases5
  • Acute Phase / shock phase. The patients may experience disturbance in the airway, breathing and circulation.
  • Sub-acute phase, which takes place after the shock phase is resolved. Lost or damaged tissue resulting from contact with the heat source will cause inflammatory process with exudation of plasma protein and infection that can cause sepsis.
  • Late Phase occurred after wound closure until maturation. The problem that arises during this phase are scarring, contractures and deformities due to the fragility of tissue or structured organ.

 II.              DIAGNOSIS
a.       Total burn surface area can be evaluated with:
i.      Palmar surface method : the patient’s palmar (including the fingers)  
      measured as 1% of Total Body Surface Area (TBSA).
ii.     Wallace’s Rule Of Nine
iii.   Lund and Browder charts: to measure body shape differences in patient 
       age and asses precise score in burn children.
b.       Age : Infant, children, and adult
c.       Burn Wound Depth
d.       Circumferential Grade II and III Burn Injury cause blood flow restriction at 
        extremities, disturb respiration process if located at chest, therefore 
        escharotomy is needed.


Table 1. Classification of Burn Wound Depth in United States.3
          
        III.         BURN INJURY MANAGEMENT.4,6
                      Burn injury wound care could be divided into 3 major steps, which are
                      emergency/resuscitation phase, acute phase, and rehabilitation phase.

  Table 2. Categorization of Burns.
    1. Acute/shock phase :  to protect patient from the source of burn injury, ABC evaluation, evaluation of any other trauma, fluid resuscitation, urine catheter, nasogastric tube, vital sign and laboratory, pain management, tetanus prophylaxis, administration of antibiotics and wound care.
    2. Sub acute phase started when patient is hemodinamically stable. Management for acute phases:  to prevent infection, wound care, and nutrition.
    3. Phase rehabilitation : to increase self-sufficiency through the achievement of improved full                                                                                                         functionality.


III.1. Fluid resuscitation.5,6

III.2. Indication for fluid therapy
Grade 2 or 3 > 25% in adult, burn injury in the face with inhalation trauma and if the patient can not drink. Whereas in children and elderly burn injury grade II or III >15%, the intravenous fluid resuscitation is generally required.
  •  Baxter formula  
              First day : TBSA x body weight (kg) x 4 cc (RL)
Second day : coloid : 500-2000cc + glucose 5% to maintain the fluid.
Half the fluid volume is given in the first 8 hours and another halfis given  in the next 16 hours.



III.3. Indications  for hospitalization
-          Grade  2 over 15% in adults and over 10% in children
-          Grade 2 on the face, hands, feet and perineum
-          Grade 3 more than 2% in adults and every grade 3 in children
-          Burns with viscera trauma, bones and airway

III.4. Wound management.5,7
First burn wound should be washed with a solution of dilute detergent (baby soap), debridethe skin that has been damaged. Dry the wound and apply mecurochrom or silver sulfa diazine. In handling the wound required protective material to create an optimal environment for wound healing, protect the wound from bacteria, from the friction and absorb the exudat, this is what we called dressing. There are many kinds of dressings, starting from the traditional (honey) conventional/passive occlusive dressing (opened: mebo cream, silversulfadiazine cream; closed: wet gauze, dry gauze, pembebatan) modern dressing/active occlusive dressing (absorbent cellulosic material, tulle grass dressing and film dressing).


IV. DISCUSSION
In this patient, the diagnosis of Burn injury Grade II A-B was upheld on the grounds that the injuries occurred on dermis; there were blisters, and reddish white colored injury that were very painful. Total burn surface area was 37,5%, it was determined by Lund and Browder charts.

The patients treatment was consist of fluid resuscitation with baxter formula (TBSA x body weight (kg) x 4 cc (RL) in 24 hours), in this case, patient was given 9300 cc for 24 hours, divided into 4650 cc or 50% in the first 8 hours, then 4650 cc or 50% in the next 16 hours. Urine production is needed to be monitored in the resuscitation fluid because it describes the circulation of the fluid and the adequacy of fluid given. Nomally, urine production is 0.5 cc / kg / hour. Installation of CVP is indicated to monitor systemic circulation of fluid resuscitation and to access other solution.




First Day

  

Wound dressing







After seventh day (1)





After seventh day (2)

There is no indication in giving antibiotic for burn injury patients, but this patient was given injections of co-amoksiklav  3 x 1 gram. Analgesic is recommended in burn injury, in this case, the patient was given intravenous ketorolac 3 x 300 mg. Indication for hospitalization on these patients is second-degree burns over 15% and there were wounds on his face and hands.



V. REFERENCES
  1. Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery. 18th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.
  2. Gibran NS. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Gerard M, Ronald V, Upchurch GR. Editors. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2006.
  3. Klein MB. Thermal, Chemical and Electrical Injuries. In: Thorne CH, Beasley RW, Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL. Editors. Grab and Smith’s Plastic Surgery. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007.
  4. Hettiaratchy S, Dziewulsky P. ABC Burns. BMJ 2004; 328: 1427-9.
  5. Reksoprodjo S dkk (ed). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
  6. Herndon, David N. Total Burn Care 3rd edition. Saunders Elsevier.
  7. Grunwald TB, Garner WL. Acute Burns Plast Reconstr Surg. 2008(121):311.