Sabtu, 30 Agustus 2008

Risiko Diabetes Ancam Bayi Caesar

SEJUMLAH riset telah mengungkap bahwa persalinan melalui bedah caesar dapat menimbulkan risiko lebih besar bagi bayi, terutama ancaman mengidap beragam penyakit, mulai dari gangguan pernapasan hingga alergi.

Kini, sebuah penelitian terbaru di Eropa yang dimuat jurnal PubMed mengindikasikan, bayi yang lahir melalui proses bedar caesar berisiko 20 persen lebih besar mengidap diabetes tipe 1 di bandingkan bayi yang lahir lewat persalinan normal.

Penyakit diabetes tipe 1, yang dapat muncul sejak usia dini, saat ini tengah meningkat prevalensinya di Eropa dan para ahli belum bisa memastikan penyebabnya.

"Akhir-akhir ini diabetse tipe 1 pada anak-anak saat ini meningkat prevalensinya di Eropa, dan tingginya rata-rata ini mengidikasikan bahwa faktor-faktor lingkungan dapat menjadi penyebabnya," ungkap Dr Chris Cardwell dari Queen's University Belfast.

Fenomena itu lalu membuat Cardwell dan timnya kemudian melakukan kajian terhadap 20 penelitian yang telah dilakukan. Hasil kajian mengindikasikan bahwa kontak awal bayi terhadap bakteri di rumah sakit saat tindakan operasi caesar mungkin bisa menjadi penyebabnya. Padahal, bila bayi lahir secara normal, maka tubuh mereka akan melakukan kontak di jalan lahir dengan bakteri menguntungkan yang berasal dari ibu untuk pertama kalinya.

Tak heran bila risiko bayi lahir normal mengidap diabetes, menurut kajian studi Cardwell, hanya sekitar 0,3 persen saja. Sedangkan pada bayi yang di-caesar risikonya meningkat hingga 20 persen meskipun angka ini belum dapat dijelaskan atau dikaitkan dengan faktor lain, seperti berat bayi saat lahir, asupan ASI, usia ibu, atau kondisi-kondisi lain seperti diabetes gestasional atau meningkatnya gula darah saat hamil pada ibu yang sebelumnya tak mengidapnya.

"Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten risiko diabetes sebanyak 20 persen. Penting untuk diingat bahwa penyebab meningkatnya risiko ini belum diketahui meski ada kemungkinan bahwa bedah caesar bukan satu-satunya yang bertanggung jawab. Mungkin karena bayi yang lahir melalui metode ini terpapar bakteri yang berasal dari lingkungan rumah sakit untuk pertama kalinya ketimbang kontak dengan bakteri dari ibu," ungkapnya.

Sementara itu, Dr Iain Frame dari Diabetes UK berpendapat bahwa faktor genetik dan infeksi di masa kanak-kanak bisa berperan dalam timbulnya penyakit diabetes tipe 1. Namun, riset lebih mendalam perlu dilakukan untuk mencari hubungannya dengan operasi caesar.

"Temuan dari riset ini mengindikasikan bahwa cara bayi dilahirkan dapat memengaruhi bagaimana mereka tumbuh dan berkembang di kemudian hari. Tak semua wanita punya pilihan apakah mereka dapat melakukan caesar atau tidak. Tetapi, bagi mereka yang berharap menjalaninya seharusnya memperhitungkan risiko ini," paparnya.

(Dikutip dari KompasKAMIS, 28 AGUSTUS 2008 )


SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN BUAT SELURUH UMAT SEDHARMA


PADA SAAT KESUSAHAN SEORANG SAHABAT PERNAH BERTUTUR TENTANG POHON PAHIT YANG BERBUAH AMAT MANIS, POHON ITU DISEBUT POHON KESABARAN.


I NYOMAN RUDI SUSANTHA

ENDOKRINOLOGI KEHAMILAN

1. Hormon steroid dalam kehamilan:
Steroidogenesis pada unit fetoplasenta merupakan interaksi antara bagian maternal, plasenta dan fetal. Ketiga bagian tersebut saling melengkapi dan membentuk unit yang utuh, menggunakan bagian maternal sebagai sumber bahan baku utama. Hormon steroid dalam kehamilan meliputi:
a. Progesteron:
Pada awal kehamilan (<> 10 minggu plasenta sebagai sumber utama progesterone.
Biosintesa:
- Bagian maternal:
Pembentukan kolesterol (LDL)dari asetat. Selanjutnya terjadi pembentukan pregnenolon dari kolesterol. Kolesterol dan pregnenolon kemudian masuk ke plasenta (trofoblas) secara endositosis.
- Bagian plasenta:
Terjadi perubahan kolesterol menjadi pregnenolon. Selanjutnya pregnenolon dirubah menjadi progesteron.
- Bagian fetal:
Tidak terlibat dalam proses pembentukan progesteron. Fetal menggunakan progesteron yang dibentuk oleh plasenta sebagai bahan baku pembentukan kortikosteroids oleh kelenjar adrenal janin.
Peranan progesteron pada kehamilan:
- menekan respon imunlogis maternal terhadap antigen(janin)
- mempersiapkan endometrium untuk implantasi
- sebagai bahan dasar pembentukan glukokortikoid dan mineralokortikoid di kelenjar adrenal janin.

b. Estrogen:
Produksi estrogen dalam kehamilan berada di bawah kendali janin. Pada awal kehamilan androgen sebagai bahan dasar estrogen berasal dari sirkulasi maternal. Setelah umur kehamilan 20 minggu 90% estriol diproduksi di kelenjar adrenal janin dengan bahan baku dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS). Pregnenolon sulfate adalah bahan baku dari DHEAS.

2. Estrogen:
a. Estriol:
- estriol meningkat 1000 kali lipat pada saat hamil dibandingkan wanita tidak hamil.
- mulai terdeksi pada umur kehamilan 9 minggu.
- kadarnya konstan pada umur kehamilan 31-35 minggu, meningkat lagi > 35 minggu
- merupakan hormon yang penting dalam kehamilan, kadarnya lebih tinggi pada janin
dibandingkan maternal.
b. Estetrol:
- Dibentuk oleh janin, tergantung pada aktivitas 15α-hydroksilasi di hepar janin.
- Untuk kepentingan klinis kurang bermakna dibandingkan estriol.

3. CRH:
- Diproduksi oleh trofoblas, membran janin dan desidua.
- Produksinya menurun oleh progesteron dan meningkat oleh glukokortikoid.
- Produksinya diregulasi oleh vasopresin, norepineprin, angiotensin II, prostaglandin, neuropeptida Y dan oksitosin.
- Distimulasi oleh aktivin, diinhibisi oleh inhibin dan nitrit oksida.
- CRH maternal meningkat pada stressed pregnancy, menunjukan adanya peningkatan CRH plasenta sebagai respon terhadap ACTH dari hipofise janin dan kortisol adrenal.

4. hypotalamic-like releasing hormon pada plasenta:
Hypotalamic-like releasing hormone yang dihasilkan oleh plasenta:
- Gonadotropin releasing hormone (GnRH)
- Corticotropin releasing hormone (CRH)
- Thyrotropin releasing hormone (TRH)
- Somatostatin

5. hCG:
Merupakan suatu glikoprotein. Terdiri dari sub unit α dan β. Struktur kimianya mirip dengan FSH, LH dan TSH.
Regulasi produksi hCG:
- GnRH yang dihasilkan oleh plasenta merangsang produksi hCG.
- Inhibin menghambat dan aktivin meningkatkan sistem GnRH-hCG.
- Peranan hCG adalah mempertahankan fungsi korpus luteum dan mendukung kehamilan.
Fluktuasi kadar hGG selama kehamilan:
- Kurang lebih 100 IU/L saat telat haid.
- Mencapai puncak 100.000 IU/L saat umur kehamilan 10 minggu.
- Menurun mencapai 10.000 sampai 20.000 IU/L saat umur kehamilan 18-20 minggu, kemudian dipertahankan sampai aterm.
Manfaat klinis pengukuran hCG:
- Dalam diagnosis dan penganan penyakit trofoblas
- Dalam memprediksi kehamilan ektopik
hCG pada keadaan tidak hamil:
- Dihasilkan oleh laki dan perempuan secara pulsatil mirip dengan LH.
- Diproduksi di hipofise
- Subunit α juga diproduksi oleh manusia yang sehat.

6. Human placental lactogen (HPL):
Disebut juga human chorinic somatomammotropin. Diproduksi oleh sinsitiotrofoblas.
Karakteristik HPL:
- Waktu paruh pendek (kurang lebih 15 menit)
- Kadarnya sesuai dengan berat janin dan plasenta.
- Meningkat selama kehamilan. Kadar tetap setelah umur kehamilan 4 minggu(5-7 mg/mL). Kadarnya sangat tinggi (sampai 40 mg/mL) pada kehamilan kembar.
Fungsi fisiologis:
- Pada ibu, HPL merangsang produksi IGF-1 dan sekresi insulin dan menginduksi resistensi insulin dan intoleransi karbohidrat.
- HPL meningkat saat hipoglikemia dan menurun saat hiperglikemia.
Peranan HPL dalam metabolisme:
- HPL memecah lemak menjadi asam lemak bebas, sehingga meningkat kadar asam lemak bebas.
- Pada keadaan kelaparan, HPL merangsang lipolisis sehingga ibu mendapat bahan baku dalam mempertahankan asam amino dan glukosa untuk janin.

7. Relaksin:
- Merupakan hormon peptide yang diproduksi oleh corpus luteum selama kehamilan.
- Merupakan dua rantai peptide
- Diproduksi di plasenta, desiduadan chorion
- Peranannya dalam kehamilan belum diketahui
- Dapat membantu dalam ripening serviks

8. Prolaktin
- Diproduksi oleh endometrium setelah desidualisasi

MENUAI OVUM PADA IVF

Amino A R
Klinik Infertilitas Permata Hati, Instalasi Kesehatan Reproduksi RSUP Dr Sardjito
SMF/Bgn Obsgin FK UGM

ABSTRACT

Objective: Introduction and overview clinical practice of the ovum pick up in the management of In Vitro Fertilization.
Design: literature study and clinical experience.
Patients and aquipment: follicular aspiration following IVF patient using laparoscopic, abdominal transducer USG and vaginal transducer USG.
Setting: Permata Hati Infertility Clinic, SMF-Department of Obs-Gyn, Dr Sardjito Central & Teaching Hospital / Faculty of Medicine , Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Results: Literatures have been explained Ovum pick up procedures, since first time efficacy IVF up to now. Explained some excellence and technical improvement and insuffiency execution, start since using guidance laparoskopic, USG by abdominal transduser, and USG by vaginal transduser, to yield the way of follicular aspiration by accurate needle, so that achived optimal ovum pick up procedures. Also explained the sterilization and take care of vaginal transduser and its needle and also the ways of premedication and its anaesthesia.
Conclusions: Ovum pick up procedure in its improvement require the attention, experience and adequate skilled for the diagnosed of mature follicle, chosening method, using equipments and its maintanance, sterilization procedure and also method of anaesthesia. Puncturing needle connected to the vaginal transduser for the ovum pick up is the best method and set equipment system. Method by using laparoskopic still has the place for the Gift.
Key Words: IVF, ovum pick up, using laparoscopic, USG by abdominal transducer, USG by vaginal transducer.


Tujuan: Memperkenalkan dan meninjau ulang dari kepustakaan dan pengalaman klinik menuai ovum (MO) dalam program teknologi reproduksi bantuan (TRB).
Rancangan: studi kepustakaan dan pengalaman klinik.
Pasien dan peralatan: Aspirasi folikel pada pasien yang mengikuti program FIV dengan menggunakan peralatan laparoskop , USG dengan metode perabdominal dan metode pervaginal.
Tempat: Klinik Infertilitas Permata Hati, SMF-Bag Obs-Gyn RSUP/ RS Pendidikkan Dr Sardjito/ FK UGM Yogyakarta.
Hasil: Telah dijelaskan tata cara menuai ovum dari kepustakaan, sejak pertama kali keberhasilan FIV-PE sampai dengan sekarang. Dijelaskan beberapa keunggulan dan kekurangan perkembangan teknis pelaksanaan, mulai sejak menggunakan panduan laparoskopi, USG dengan transduser abdominal dan USG dengan transduser vaginal, untuk menghasilkan cara aspirasi folikel dengan jarum yang akurat, sehingga dihasilkan MO yang optimal. Juga dijelaskan mengenai sterilisasi dan perawatan transduser vagina dan jarum penusuknya serta tatacara premedikasi dan pembiusannya.
Kesimpulan: MO didalam perkembangannya membutuhkan perhatian, pengalaman dan ketrampilan yang memadai untuk mendiagnosa folikel masak, memilih metode, menggunakan peralatan, merawat dan mensuci hamakan serta cara pembiusan yang digunakan. Jarum yang melekat dan menyatu dengan transduser vaginal untuk MO merupakan metode dan set peralatan yang terbaik. Metode dengan menggunakan laparoskop masih mempunyai tempat untuk TAGIT.
Kata kunci: TRB, menuai ovum, laparoskopi, USG perabdominal, USG pervaginal.


PENDAHULUAN

Sejak Steptoe dan Edward dalam majalah lancet mengumumkan kelahiran Louise Brown, “bayi FIV-PE” pertama lahir di kota kecil Oldham, Lancashire, England pada 25 juli 1978, fertilisasi in vitro merupakan tindakkan penting yang tersedia pada penanganan infertilitas. Sebagai salah satu tindakkan penting dalam penanganan infertilitas, Fertilisasi in Vitro dan Pengembalian Embrio (FIV-PE) merupakan penanganan yang membutuhkan ketekunan, ketrampilan dan ketelitian. Tahap tahap yang perlu dilalui dalam program FIV-PE adalah seleksi pasutri, indikasi yang jelas dan akhirnya penanganan FIV-PE itu sendiri. Pengertian pengobatan FIV-PE adalah suatu usaha mendapatkan ovum matur yang baik, fertilisasi, kultur embrio dan akhirnya mengembalikan embrio ke rahim ibu. Dalam proses tersebut memerlukan persyaratan tertentu seperti, lokasi dan tempat yang memadai, peralatan peralatan canggih tertentu dan pelaksana yang mampu, bisa mendukung dan menjamin kontrol kualitas dan kontrol asurens pada program tersebut. Dalam usaha mendapatkan telur masak yang baik biasanya sebelum menuai ovum (MO) telah dilakukan induksi ovulasi. Setelah proses induksi berjalan lancar dan berhasil, kemudian baru dilakukan menuai ovum – OPU (ovum pick up).
Disini akan dibicarakan tata cara MO mulai persiapan yang akan dilakukan menjelang MO, teknik pelaksanaan, peralatan, media dan cara desinfeksi, sampai kepada premedikasi dan anestesi yang dipilih.

I. PERSIAPAN MENUAI OVUM (MO)

MO dilakukan 32-36 jam setelah pemberian Human Chorionic Gonadotropin (HCG) pada induksi ovulasi. Beberapa persyaratan MO harus dipenuhi antara lain:
1. Pelaksana dan pembantu pelaksana.
Untuk mendapatkan hasil yang baik program FIV-PE harus dilaksanakan oleh pelaksana yang khusus mempunyai perhatian, berminat, trampil dan terlatih pada penanganan infertilitas umumnya dan teknologi reproduksi bantuan (TRB) pada khususnya. Pelaksana utama pada FIV-PE adalah seorang ahli kebidanan dan penyakit kandungan yang sudah terlatih dan mendapatkan pengakuan di bidang TRB dan seorang dokter ahli embriologi dan kultur jaringan, terutama terlatih pada kultur embrio khususnya untuk TRB pada manusia. Kemudian dibantu oleh 3 orang paramedis, 1 orang sebagai asisten MO, 1 orang penghubung dan pengantar tabung yang berisi materi MO dari operator ke dokter ahli embriologi, 1 orang pembantu umum yang menyiapkan premedikasi, menyiapkan USG, aspirator dll.


2. Tempat dan lokasi.
Sebaiknya ruangan untuk MO dan ruang laboratorium embriologi steril berdampingan sedemikian rupa sehingga operator MO dan ahli embriologi dapat berkomunikasi dengan mudah untuk memastikan apakah hasil pungsi folikel betul berhasil mendapatkan ovum atau tidak. Tempat ini sebaiknya merupakan ruangan operasi steril dengan suhu dan kelembapan yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan sedemikian rupa sehingga dapat bekerja dengan nyaman tapi tidak mudah memberi kesempatan tumbuhnya jamur dan bakteri yang akan mengganggu kultur biakkan. Kebiasaan di klinik kami suhu sekitar 25-26° C dan kelembaban udara 50-60%. Tergantung letak geografis, penggunaan air conditioning yang dapat diatur suhu dan kelembabannya sangat menguntungkan. Selain itu filter yang terkontrol yang ada padanya merupakan suatu keharusan untuk mengurangi kontaminasi udara dari luar. Untuk laboratorium yang bersatu dalam kamar operasi harus dijaga jangan sampai terkontaminasi dengan gas anestesi. Sterilisasi ruangan jangan menggunakan zat yang toksis terhadap ovum/ embrio. Di klinik kami setiap minggu dilakukan sterilisasi dengan ultraviolet atau ozon. Apabila diperlukan bisa menggunakan Cidex (glutaraldehyde) atau Neoresiguard (chlorhexidine gluconate) untuk sterilisasi lantai, dan baru bisa digunakan ruangan tersebut sekitar 2 - 3 hari kemudian. Kamar operasi harus bebas dari cat yang toksik, bau bauan dari cat, fornitur, dinding dari porselain yang mudah dibersihkan. Meja kursi yang mudah dibersihkan dari bahan stainless steel, cahaya lampu sorot vagina yang mudah diatur dan cahaya laboratorium embriologi yang mudah disesuaikan.

3. Peralatan.
a. Meja operasi yang mudah disesuaikan untuk mendapatkan posisi posisi pasien yang dikehendaki.
b. USG transvaginal yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk MO. (Aloka 650, Kretztechnik dll) atau set alat laparoskopi apabila menggunakan laparoskopi.
c. Jarum pungsi set No 17, 30 cm , single/ double lumen( labotect, Cook dll)
d. Automatic flushing system dan aspiration pump.
e. Warmer set untuk penghangat tabung berisi media dan hasil aspirasi folikel yang bisa stabil pada suhu 37° C.
f. Laminar air flow.
g. CO2 inkubator.
h. Bahan medis habis pakai: petri , spuit disposibel 20 cc, 10 cc, 5 cc dll.

4. Pakaian.
Berhubungan dengan ovum dan embrio, kita perlu memperhatikan lingkungan yang steril sekaligus tidak toksis. Untuk memenuhi hal tersebut perlu pakaian operasi atau pakaian petugas laboratorium yang steril dan tidak menimbulkan kontaminasi bau dan debu dari serat serat kain yang dipakai. Perlu tutup kepala dan masker penutup mulut dan hidung. Sarung tangan yang tidak mengandung bahan toksis dan bebas serbuk (non powdered gloves). Beberapa ahli embriologi tidak menggunakan sarung tangan waktu melakukan manipulasi ovum dan embrio, tetapi cuci tangan bersih dengan Habiscrub diikuti dengan bilasan propanol absolut (90%).

5. Media Kultur.
Dapat membuat sendiri atau beli yang sudah jadi. Di klinik kami menggunakan EBSS buatan sendiri. Keuntungan membuat sendiri kita bisa lebih yakin kontrol kualitas dan asurens, dan masih lebih murah dibandingkan beli yang sudah jadi. Media ini oleh ahli embriologi sudah dipersiapkan dalam inkubator CO2 sehari sebelumnya.

II. TEKNIK PELAKSANAAN

MO dengan aspirasi folikel pada mulanya menggunakan laparoskopi dengan anestesi umum. Keberhasilan mendapatkan ovum dapat terpenuhi, akan tetapi setiap tindakan membuat pasien makin tegang dan takut. Kemudian pada permulaan 1980 dicoba menggunakan panduan dengan USG. Dengan bimbingan USG abdominal bagian bawah, dan dengan kandung kencing penuh sebagai sound window, visualisasi organ organ dalam rongga pelvis minor dapat ditampakkan. Akan tetapi sebagian dokter kurang menyukai teknik ini, karena pandangannya sering tertutup oleh usus atau gambaran folikel-ovarium terganggu oleh gambaran udara dalam usus. Disamping itu operator waktu memanipulasi jarum sering tidak sinkron dengan arah transduser sehingga ujung jarum sulit ditemukan dalam satu pandang dengan transduser. Kemudian diciptakan perangkat jarum yang dilektakan dengan transduser sehingga diperoleh gambaran yang tepat dengan transuser. Hal inipun tidak memuaskan. Cara tersebut diatas pada mulanya di sponsori oleh Lenz dan Lauritzen dari Denmark. Kemudian Danish dkk mencoba dengan Transduser abdominal yang memandu pungsi melalui kandung kencing (transvesical). Pada mulanya dilakukan tanpa fiksasi jarum ke transduser menjadi satu kesatuan. Dia mengatakan angka keberhasilan 53% lebih tinggi dibandingkan dengan prosedur laparoskopi. Selain itu dikembangkan pula metode transurethral dan transvaginal dengan panduan transdduser abdominal. Tapi banyak terjadi hematuri dan infeksi didaerah tersebut.
Terakhir diperkenalkan aspirasi folikel yang set jarum pungsinya menjadi satu paket dengan transduser vaginal sebagai pemandu jarum untuk menusuk, menghisap dan menguras folikel. Teknik ini mulai berkembang dan disukai karena arah ujung jarum menuju folikel dan sekaligus menghisap dan menguras isi folikel tampak lebih jelas hasilnya. Terjadi demikian karena jarak antara transduser dan ovarium yang dituju lebih dekat, kecuali pada obesitas kadangkala agak kurang jelas, namun demikian masih lebih jelas dibanding yang perabdominal. Pada umumnya dapat dilakukan tanpa anestesi umum. Komplikasinyapun ( perforasi usus, perdarahan intra abdominal, peritonitis ) lebih rendah. Pada perkembangan selanjutnya cara yang lebih baik dengan menggunakan perangkat jarum yang bersatu dengan transduser vagina makin praktis dan banyak digunakan. Angka keberhasilan mendapatkan ovum lebih tinggi mencapai 60 - 70 % lebih tinggi di bandingkan dengan menggunakan laparoskopi. Maka setelah cara pervaginam ini digunakan untuk aspirasi folikel, lambat laun penggunaan laparoskopi untuk MO sudah jarang digunakan.

1. MO dengan laparoskopi.

Aspirasi folikel dengan laparoskopi sekarang hanya digunakan pada keadaan keadaan tertentu saja. Misalnya bersamaan dengan tujuan diagnosis evaluasi endometriosis, setelah dilakukan operasi mikro koreksi tuba atau bagian dari program tandur alih gamet intra tuba (TAGIT).

Keuntungan:
- Folikel di tusuk tepat dengan pandangan langsung pada ovarium, mengurangi
resiko melukai pembuluh darah atau usus.
- Dapat dilakukan diagnosa eksplorasi terhadap perlengketan, infeksi, endometriosis dll.
- Dapat langsung dilakukan adesiolisis pada waktu didapatkan perlekatan, elektrokoagulasi terhadap endometriosis atau operasi laparoskopi lainnya.
Kerugian:
Resiko durante operationum.
- Menggunakan anestesi umum yang memerlukan tambahan pekerjaan dan pengawasan.
- Resiko trauma pada usus dan pembuluh darah terutama pada multiple laparotomi, laparatomi yang irisannya longitudinal, yang bisa berakibat sampai total histrektomi karena perdarahan yang tidak bisa diatasi.
Resiko post operatif.
- Perdarahan pada tempat insisi.
- Infeksi pada pelvis minor.

Persiapan pasien dan pelaksanaan MO.
- Persiapan rutin sebelum operasi dikerjakan, pasien sudah dipuasakan, lavemen yang baik, cukur pubes dst.
- Dinding perut luar didisinfeksi rutin mulai dari lipat paha ke atas pertengahan
Umbilikus – proc Xyphoideus. Umbilikus dibersihkan sebaik mungkin. Jarum verres di tes apakah sudah benar benar lancar tidak buntu dan pegasnya sudah berjalan baik.
- Melalui fosa umbilikalis dibuat irisan untuk lewat tusukan jarum verres kedalam rongga abdomen.
- Gas CO diinsuflasikan kedalamnya sekitar 2-3 l dengan alat insuflator.
- Setelah gas cukup, jarum verres dilepas diikuti memasukkan Trokar 10 mm untuk kemudian diikuti laparoskop operatif.
- Laparoskop operatif ada 2 macam. Yang lurus sistem optiknya dan yang siku ( atau bersudut). Pada yang sistem lurus, Selain tusukkan laprokator 10 mm di fosa umbilikalis untuk lewat laparoskop, juga dibuat 2 buah lobang tusukkan dengan laprokator 5 mm. Yang pertama untuk lewat instrumen dan yang ke 2 untuk lewat jarum pungsi folikel. Jarum pungsi bisa dilewatkan melalui tusukkan ke dua atau ke tiga di dinding abdomen bawah, bisa melalui selongsong trokar 5mm dengan reducer atau bisa langsung ditusukkan ke dinding perut tanpa tusukkan ke 3. Sementara tusukkan ke dua di kontra lateralnya untuk lewat instrumen lainnya, untuk fiksasi ovarium. Kalau menggunakan sistem siku, jarum pungsi bisa lewat saluran instrumen.
- Ovarium kita fiksasi dengan forsep ovarium lewat saluran ke 2 melalui bimbingan laparoskop yang dimasukkan lewat saluran pertama di fosa umbilikus. Folikel folikel sekitar puncak ovarium kita tusuk dan hisap yang pertama kali dengan vakum 100-150 mmHG, kita kuras (flushing) sesuai volume cairan folikel yang kita hisap. Dicari bagian yang avaskuler. Apabila mengalami kebocoran, cairan kavum Douglas dikuras untuk mencari ovum yang mungkin terdapat di situ.
- Setelah selesai dilakukan evaluasi apakah terjadi perdarahan atau tidak dengan melakukan eksplorasi sekitar daerah alat genital dalam.
- Setelah eksplorasi aman trokar dan selongsong 5 mm ditarik satu persatu, sambil dimonitor melalui laparoskop apakah terjadi perdarahan dinding perut atau tidak, diikuti pengeluaran udara CO dan akhirnya laparoskop dan selongsong trokar 10 mm dicabut. Kemudian bekas luka tusukan dijahit dan diplester.
- Perawatan postoperatif ditujukan pada komplikasi vaskuler dan perdarahan selama 6-24 jam postoperatif.
- Setelah 6-24 jam postoperatif pasien diijinkan pulang dengan pesan: jangan membawa kendaraan sendiri, kemungkinan komplikasim perdarahan, kemungkinan komplikasi infeksi, resiko hiperstimulasi dengan bertambahnya cairan abdomen.
- Dipesan segera kembali ke rumah sakit apabila mengalami keluhan perut tegang mengeras, gangguan pernapasan, gangguan trombosis dan sirkulasi, demam.


2. MO dengan panduan USG Transduser Abdominal

Metode MO dengan cara ini sebenarnya sudah ditinggalkan, tinggal sejarah saja.
Ada beberapa cara:
1. Aspirasi Folikel Transvesicular. Pada 1981 Lenz dkk mengerjakan MO dengan perkutaneus transvesikal. Hamberger dkk 1982, Lenz dan Lauritzen pada 1982 merupakan kelompok kelompok ahli di Scandinavia telah melaporkan kesuksesan mereka dengan cara tersebut. Menurut mereka dengan mempertahankan kandung kencing penuh beberapa waktu, jarum pungsi ditusukkan melewati dinding kandung kencing dengan anestesi lokal pasien tidak terlalu merasakan sakit.
2. Aspirasi folikel periurethral. Menurut Parson dkk pada 1985, folikel diaspirasi dengan tangan bebas melalui urethra sambil dipandu USG perabdominal.
3. Transvaginal. Menurut Dellenbach dkk 1984, metode ini meggunakan USG perabdominal dengan kandung kencing penuh, sementara aspirasi folikel menggunakan jarum lewat vagina. Dengan cara ini visualisasi folikel sering menimbulkan masalah, karena terhalang gambaran usus atau udara.

3. MO pervaginam dengan Panduan Transduser Vagina.
Pada prinsipnya folikel ditusuk dengan jarum yang menyatu dengan transduser vagina. Gambaran yang diterima oleh transduser vagina oleh sistem USG dapat dihantarkan ke layar monitor, sehingga tampak jelas ujung jarum yang akan menusuk folikel yang dituju. Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Wikland dkk pada 1985, dan keuntungan dari metode ini didukung oleh beberapa kelompok peneliti diantaranya Feichtinger dan Kemeter 1986, Cohen dkk 1986, Lenz dkk 1987. Karena keuntungan yang nyata lebih baik dibanding metode metode sebelumnya yang telah dilakukan, maka MO dengan transduser vagina sekarang menjadi pilihan utama dalam program MO dalam FIV-PE.

Keuntungan MO dengan Transduser Vaginal.

- Trauma luka di vagina dengan resiko yang kecil.
- Folikel dapat dilokaliser lebih akurat oleh karena jarak yang pendek dengan transduser.
- Tidak perlu rawat inap.
- Umumnya tanpa anestesi umum
- Tidak harus dalam kamar operasi yang lengkap.
- Lebih sedikit pelaksana tim yang bekerja.
- Masih memungkinkan dikerjakan pada perlekatan perlekatan berat selama masih bisa menampilkan gambaran folikel pada ovarium, pembuluh darah dan usus dan tidak menimbulkan komplikasi.
- Metode ini mudah dipelajari dengan baik dan cepat.
- Biayanya relatif lebih murah dibandingkan dengan metode laparoskopi.

Kerugiannya dan resikonya

- Resiko trauma melukai usus atau pembuluh darah, terutama pada bekas insisi abdominal longitudinal.
- Resiko histrektomi pada kasus kasus perdarahan yang tidak terkontrol di bawah 1:1000.
- Tanpa adesiolisis atau evaluasi tambahan abdomen seperti pada laparoskopi.
- Resiko inflamasi pelvis minor ( < 1% ).
4. MO automatik Transvaginal dengan panduan USG vaginal.

MO transvaginal tersebut di atas akan lebih baik apabila memakai sistim “transvaginal aspirasi folikel automatik” atau jarum penghisap automatik (PA). PA dihubungkan dengan penghisap khusus yang automatik dan bersatu dengan transduser vagina. Ujung jarum kita tusukkan ke folikel yang dituju secara akurat dalam panduan USG (yang sudah terprogram dalam sistem tersebut) dan dapat kita saksikan lewat monitor dengan jelas, kemudian pedal PA kita injak sesuai kebutuhan kita untuk menghisap isi folikel, kemudian kita kuras dan hisap 1-2 kali tiap folikel sehingga kita berhasil mendapatkan ovum atau tidak. Ujung jarum tersebut dibuat alur alur dangkal sehingga memberikan gambaran eko yang jelas pada monitor. Dengan demikian apabila menusuk folikel yang dituju dapat tepat dan akurat. Pengalaman dapat mengaspirasi folikel < 1 cm yang didalamnya seringkali bisa didapatkan ovum yang masak.

Keuntungan menggunakan Penghisap Automatik.
- Pemakai mudah dengan cepat mempelajari dan mengoperasikan.
- Ovarium tidak mudah terdorong oleh karena jarum yang tajam yang ditusukkan dengan kecepan tinggi.
- Posisi dan letak jarum yang akurat menjamin penusukkan yang salah atau kurang tepat.
- Dimungkinkan aspirasi folikel ukuran < 1 cm yang mungkin berisis ovum masak.
- Apabila digunakan untuk menghisap dan menguras hasilnya meningkatkan pendapatan ovum dari 70% menjadi 96%.
- Kemungkinan komplikasi sangat kecil.

Kerugian.
- Investasi dan perawatan yang mahal.
- Pengaturan untuk penyesuaian dalamnya tusukkan memperpanjang waktu prosedur tindakan.
-
.
III. PERALATAN MO PERVAGINAM

1. USG Khusus.
USG khusus yang diprogram untuk aspirasi folikel dengan transduser vaginal
yang khusus untuk: - aspirasi folikel yang dilengkapi selongsong khusus
untuk lewat dan fiksasi jarum pungsi secara manual
- Aspirasi folikel yang dihubungkan dengan sistim PA.
2. Transduser vaginal.
o Transduser vaginal yang dilengkapi selongsong untuk lewat dan pengarah jarum kedalam vagina siap dihubungkan dengan sistem PA.atau MO secara manual.
o Lapangan pandang >115°.
o 5 - 7,5 MHz.
o Dapat penetrasi 10 cm
o Transduser elektronik/ kristal memberikan gambaran ekogenik (image) yang terbaik dibandingkan dengan transduser mekanik.
3. PA dengan jarum manual.
4. PA dengan sistim pengarah jarum penghisap automatik. Sistim PA dipasang pada Transduser. Mekanisme jarum PA merupakan mekanisme aspirasi folikel yang sudah dipatenkan, merupakan PA yang didasarkan pada kumparan pegas yang membantu mengarahkan jarum secara automatic akurat, cepat dan tidak begitu sakit waktu menusukkan jarum, secara kontinu teratur mudah menyesuaikan dalamnya penetrasi. Didalam menggunakan, membersihkan dan sterilisasi instrumen ini harus memperhatikan petunjuk pabrik pembuat.
5. Jarum penghisap.
Banyak tipe jarum yang digunakan diproduksi oleh beberapa pabrik. Ada yang single lumen atau double lumen. Ukuran jarum no 17 atau 18. Panjang 25 cm atau 30 cm. Diklinik kita biasa menggunakan double lumen karena lebih praktis mengunakannya. Ukuran no 17, panjang 30 cm. Jarum terdiri atas Stainles steel/ bebas karat. Ujung jarum dibuat alur alur dangkal supaya dapat memberi visualisasi yang jelas pada ultrasound, sangat tajam dan disposibel, sekali pakai buang.

IV. SUCI HAMA DAN PERAWATAN

1. Transduser vagina
- Setelah digunakan dibersihkan secara hati hati dengan tangan dan kasa
- Menggunakan air yang mengalir kemudian dibilas dengan air deionisasi.
- Sebelum digunakan untuk MO didesinfeksi selama 15 menit dengan Cidex (Cidex instrument Disinfection, Johnson & Johnson Medical; zat aktif: 2.5 g glutaraldehyde; aktivator: sodium hydrogencarbonat, trisodium phosphate, sodium salt of oxymethane sulfinic acid)
- Cuci sisa sisa desinfektan dengan air suling/ akuadestilata.
- Pengalaman di klinik kami dicuci dengan akuabides atau air bebas mineral/ deionisasi steril, kemudian dengan kasa steril dibersihkan dengan propanol absolut atau 90%. Sementara kabel transduser diselubungi plastik steril untuk menjaga sterulitas.

2. Jarum
- Selain jarum disposibel, apabila jarum akan digunakan lagi lumen segera dicuci dengan garam fisiologis untuk melarutkan jendalan jendalan darah kemudian ditiupkan akuabides secukupnya hingga bersih dilanjutkan dengan air demineralisasi / bebas mineral steril, kemudian disucihamakan dengan sterilisasi gas.


3. Jarum penghisap automatis.
- Setelah digunakan bongkar system automatis sesuai instruksi manual pabrik.
- Cuci dengan air bebas mineral/ deionisasi.
- Masukkan autoclave 30 menit / 121º C.



V. ANESTESI

- Premedikasi
50 mg tramadol hidroklorid ( 20 tetes tramal peroral) dan 1/2 tablet Dormicum
7,5 mg ( 3,75 mg Midazolam hidroklorida) 30 menit sebelum tindakan.
- Intra operativ medikasi.
Bila perlu 1/2 ampul Tramal i.v. ( 50-100 mg Tramadol Hydrocloride) selama
Tindakan.
- Analgesi lebih lanjut.
Anestesi umum, intraveneus short-term anesthesia, anestesi lokal, akupuncture
dll.
- Di klinik kami premedikasi kita berikan sulfas atropin 0,25 mg i.v, kemudian pethidin 50 mg yang sudah diencerkan dengan salin i.v. atau dormicum 2,5 mg i.v. menjelang tindakan dan selama tindakan.


VI. KESIMPULAN

Telah dijelaskan diatas sejak TRB menghasilkan kehamilan pertama pada 1978, beberapa inovativ tatacara MO telah dicoba. Beberapa komponen peralatan dengan berbagai metode MO di pertimbangkan untung ruginya untuk mencapai keberhasilan yang makin tinggi.
MO didalam perkembangannya membutuhkan perhatian, persiapan, pengalaman dan ketrampilan yang memadai untuk mendiagnosa folikel masak, memilih metode, menggunakan peralatan dan merawatnya, mensuci hamakan dan pembiusan yang digunakan. Jarum yang melekat dan menyatu dengan transduser vaginal untuk MO merupakan metode dan set perawatan yang terbaik. Metode dengan menggunakan laparoskop masih mempunyai tempat untuk TAGIT.



VII. KEPUSTAKAAN

1. Rabe T, Diedrich K, Eberhardt I, Küpker W. In vitro Fertilization. Dalam: Ma
Nual on Assisted Reproduction. T.Rabe,K.Diedrich, B.Runnebaum
(Eds.).Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. 1997. hal 252-311.
2. Orvieto R, Rafael Z B. Bleeding, severe pelvic infection, and ectopic pregnancy. Dalam: Textbook of Assisted Reproductive Techniques. Laboratory and Clinical Perspectives. Ed. David K Gardner, Ariel Weissman, Colin M Howles, Zeev Shoham. Martin Dunitz. 2002. hal 655-62.
3. Downing B. Oocyte Pick-Up. Dalam: Clinical In Vitro Fertilization. Ed. Carl Wood and Alan Traunson. Springe-Verlag Berlin Heidelberg New York Tokyo. 1984. hal 67-81.
4. Wikland H, Hamberger L, and Enk L. Ultrasound for oocyte recovery. Dalam: In Vitro Fertilization. Past. Present. Future. Ed. S.Fishel and E.M. Symonds. IRL Press Limited. Oxford, England. 1986.Hal 59-67.
5. Webster J. Laparoscopic oocyte recovery. Dalam: In Vitro Fertilization. Past. Present. Future. Ed. S.Fishel and E.M. Symonds. IRL Press Limited. Oxford, England. 1986.Hal 69-76.
6. Grunfeld L dan Sandler B. In Vitro Fertilization and Embryo Transfer. Dalam Endovaginal Ultrasound. Steven R. Goldstein, MD. Alan R. Liss, Inc., New York. 1988. Hal 133-148.
*1) Disampaikan pada Workshop - Kongres PATRI, 2 - 4 Oktober 2003
di Gedung Kesehatan Reproduksi RS Sanglah Denpasar dan Grand Bali Beach, Sanur Bali.

IVF

OLEH: DR. KT SUARDANA
PENDAHULUAN

Sulit hamil atau mendapat keturunan yang dikenal dalam istilah kedokteran sebagai infertilitas memang menjadi problem pasangan suami istri yang serius. Tidak hanya itu, bahkan dalam sistem masyarakat Indonesia dimana suami-istri merupakan bagian dari keluarga besar, hingga problem ini seolah – olah menjadi masalah bersama. Tekanan dari pihak luar ini, seringkali yang malah menjadi pokok persoalan dalam hubungan suami istri.
Apabila banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak mempunyai anak yang masih hidup, maka menurut Sensus Penduduk terdapat 12 % baik di desa maupun di kota, atau kira – kira 3 juta pasangan infertil di seluruh Indonesia.
Ilmu kedokteran masa kini baru berhasil menolong 50 % pasangan infertil memperoleh anak yang diinginkannya. Itu berarti separuhnya lagi terpaksa menempuh hidup tanpa anak, mengangkat anak (adopsi), poligami atau bercerai. Berkat kemajuan teknologi kedokteran, beberapa pasangan telah dimungkinkan memperoleh anak dengan jalan inseminasi buatan donor, “bayi tabung”, atau membesarkan janin di rahim wanita lain. (1,2)
Suatu penelitian terhadap sejumlah pasangan mengungkapkan, bahwa kurang lebih 10 % dari pasangan yang menikah, belum hamil dalam waktu 1 tahun. Walaupun mereka telah melakukan senggama secara teratur tanpa menggunakan kontrasepsi. Para pakar sependapat menamakan kelompok ini adalah infertil. Pada tahun 2000, penduduk Indonesia sekitar 220 juta, 30 juta diantaranya adalah pasangan usia subur. Di antara pasangan usia subur tersebut, sekitar 10 – 15 % atau 3 – 4,5 juta pasangan memiliki problem kesuburan (infertilitas). Mereka ini adalah pasangan yang mendapat kesulitan untuk hamil dan harus mendapat pertolongan medik. (3)
Fertlisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu teknik hilir pada penanganan infertilitas. Teknik ini diadakan untuk memperbesar kemungkinan kehamilan pada pasangan infertil yang telah menjalani pengobatan fertilitas lainnya tetapi tidak berhasil atau tidak memungkinkan. Artinya, FIV merupakan muara dari penanganan infertilitas. Teknik FIV pada manusia pertama kali dikembangkan oleh deKretzer pada tahun 1973, kemudian disusul oleh Edwards (ahli embriologi) dan Steptoe (ahli ginekologi) pada tahun 1976, yang sukses dengan bayi tabung pertama Louise Brown pada tanggal 25 Juli 1978 di Brisbol-Inggris. (4,5,6) Keberhasilan ini diikuti oleh peneliti – peneliti lain di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, FIV mulai dilakukan pada tahun 1985, dan bayi tabung pertama lahir tahun 1988 di RS Harapan Kita Jakarta. (7)
Sejak itu teknik ini terus berkembang mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi rekayasa reproduksi, sehingga keberhasilan bayi tabung dan masalah medis yang dihadapi telah dapat dikuasai. Dasar – dasar fertilisasi in vitro dan pembiakannya masih tetap sama, yaitu membuat dan memelihara secara cermat lingkungan steril yang terkendali dengan baik. Dalam hal ini fisiologi normal dan perkembangan awal dari pembuahan dapat dilakukan relatif tanpa terganggu, guna menyediakan embrio yang sehat bagi tandur alih ke dalam tubuh, yaitu uterus. Terdapat kemajuan besar dalam perkembangan medium biakan yang lebih layak agar embrio dapat tumbuh dalam kurun waktu yang lebih lama. Berkat kemajuan itu, sekarang kelebihan sel telur dan embrio telah dimungkinkan untuk disimpan beku dalam nitrogen cair untuk dipakai pada siklus berikutnya.
Kemajuan dan temuan baru dalam obat – obatan perangsang pertumbuhan folikel juga telah memungkinkan pemicuan ovarium secara terkendali untuk memperoleh sel telur matang. Perolehannya bervariasi antara 1 – 30 sel telur tergantung pada seberapa jauh reaksi ovarium terhadap gonadotropin yang digunakan untuk memicunya. Sementara itu, bahan sperma yang berisi spermatozoa untuk menginseminasi seltelur, dikumpulkan dan diproses dengan teknik pemisahan sel agar diperoleh spermatozoa sebersih dan seaktif mungkin. Laboratorium FIV yang baik akan menjadi jaminan diperolehnya spermatozoa yang baik untuk sel telur yang baik pula. Akhirnya, setelah beberapa jam dalam medium biakan, spermatozoa dan sel telur dibiarkan mengalami fertilisasi dengan cara yang relatif alami untuk menghasilkan embrio yang selanjutnya ditanamkan ke dalam uterus melalui tandur alih embrio / transfer embrio. (3)
BAB 2
FERTILISASI IN VITRO

2.1. Indikasi.
Semula FIV itu diusahakan untuk isteri yang mengalami kerusakan kedua tuba. Setelah ternyata tingkat keberhasilannya meningkat sampai 20 % per transfer embrio, maka sekarang ini indikasinya telah diperluas mencakup :
1. Kerusakan kedua tuba
2. Faktor suami (oligospermia)
3. Faktor servik abnormal
4. Faktor imunologik
5. Infertilitas tak diketahui sebabnya
6. Infertilitas karena endometriosis

2.2. Tahap – Tahap Pelaksanaan Fertilisasi In Vitro
2.2.1. Seleksi Pasien
Teknik fertilisasi in vitro (FIV) saat ini merupakan alternatif terakhir setelah cara – cara lain tidak membuahkan hasil. Untuk sampai pada tahap pelaksanaan program, pasangan suami – istri harus memenuhi beberapa persyaratan umum dan medik. Ada tujuh persyaratan umum yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Pasangan suami – istri terikat perkawinan yang sah
2. Sudah menikah lebih dari 12 bulan
3. Usia istri sebaiknya kurang dari 38 tahun
4. Sudah memperoleh konseling khusus mengenai program FIV, prosedur, biaya, kemungkinan keberhasilan atau kegagalan, serta komplikasinya
5. Sudah menandatangani informed consent
6. Siap membiayai program ini sepenuhnya
7. Siap untuk hamil, melahirkan, dan memelihara bayinya kelak

Selain persyaratan umum, ada 9 ketentuan medik yang harus dipenuhi oleh pasangan suami – istri yang ingin mengikuti program ini, yaitu :
1. Tidak ada kontra indikasi untuk hamil
2. Jika pada pemeriksaan imunologi terhadap virus rubella sebelum program menunjukkan adanya antibodi terhadap virus rubella, maka pasien harus diimunisasi 3 bulan sebelum memulai program
3. Pasien harus bebas dari infeksi hepatitis B atau C, sifilis, toksoplasma, dan HIV
4. Siklus haid berovulasi atau bisa ovulasi sebagai respon terhadap obat – obatan induksi ovulasi
5. Pemeriksaan infertilitas dasar sudah lengkap
6. Ada indikasi yang jelas untuk menjalani program FIV
7. Sudah dilakukan upaya – upaya lain sebelumnya sesuai dengan prosedur penanganan infertilitas dasar, tetapi belum berhasil hamil
8. Harus dilakukan pemeriksaan analisa sperma 2 kali selama 3 bulan terakhir
9. Istri tidak boleh merokok
Setelah semua persyaratan awal terpenuhi, pasangan suami istri memulai tahapan persiapan. Pada tahap persiapan atau pra penanganan FIV, dilakukan 8 jenis pemeriksaan atau tindakan pada pasien, meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan ginekologi, USG, pemeriksaan hormonal, analisa sperma, pemeriksaan serologis, pemeriksaan laparoskopi, dan konseling.
2.2.1.1. Anamnesis
Sebelum pasien mengikuti program FIV, yang pertama kali dilakukan adalah anamnesis khususnya mengenai keadaan kesehatan secara umum, riwayat perkawinan atau kehamilan, dan riwayat haid termasuk siklus haid 6 bulan terakhir. Riwayat pemakaian obat pemicu ovulasi sebelumnya termasuk mengenai jenis obat, dosis, lama pemakaian dan hasil-hasil pendahuluan yang sudah dilakukan juga harus dievaluasi (3)

2.2.1.2. Pemeriksaan ginekologik
Pemeriksaan ginekologik harus dilakukan secara teliti sebelum program FIV untuk mengetahui keadaan vagina, uterus, arah uterus, keadaan adneksa, dan kelainan-kelainan lain dalam genitalia interna.

2.2.1.3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG transvaginal dilakukan pada hari ke3-5 dari siklus haid sebelum program untuk menilai besar, bentuk, dan arah atau posisi uterus, serta kelainan uterus. Ukuran dan letak ovarium serta kemungkinan adanya penyakit ovarium polikistik.

2.2.1.4. Pemeriksaan hormonal
Pemeriksaan hormonl basal untuk FSH, LH, E2 dan Prolaktin dilakukan pada hari ke2-5 dari siklus haid dengan maksud untuk mengetahui fungsi ovarium, adanya penyakit ovarium polikistik, kemungkinan respon ovarium terhadap obat pemicu ovulasi pada program FIV.

2.2.1.5. Analisa sperma
Sebelum memulai program FIV, harus dilakukan sedikitnya2 kali analisa sperma dengan selang waktu 3 minggu dalam 3 bulan terakhir. Harus dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui kemungkinan adanya antibodi antisperma. Pemeriksaan mikrobiologi semen juga perlu dilakukan.

2.2.1.6. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan tidak hanya pada istri namun juga pada suami. Namun tindakan medik lebih banyak difokuskan pada istri.
a. Pada istri :
Secara rutin dilakukan penapisan terhadap sifilis, toksoplasma, rubella, hepatitis B/C, dan HIV sebelum masuk dalam siklus pengobatan. Hepatitis B/C harus diperiksa karena infeksi hepatitis B/C dapat mempengaruhi media kultur yang dalam persiapannya juga memakai serum ibu, atau dapat menginfeksi petugas. Pemeriksaan HIV perlu dipertimbangkan secara selektif karena risiko pasien-pasien yang yang mengikuti program FIV termasuk kelompok risiko rendah.
b. Pada suami :
Perlu dilakukan pemeriksaan rutin untuk hepatitis B/C atau HIV secara selektif.


2.2.1.7. Pemeriksaan laparoskopi
Sebelum mengikuti program FIV, idealnya semua pasien perlu menjalani pemeriksaan laparoskopi. Tetapi karena biaya yang mahal, maka pemeriksaan laparoskopi dilakukan secara selektif pada pasien-pasien dengan dugaan endometriosis berat atau kista endometriosis, adanya kista ovarium, dugaan hidrosalping, atau posisi ovarium yang tidak menguntungkan untuk aspirasi transvaginal.

2.2.1.8. Konseling
Sebelum masuk ke siklus pengobatan, semua pasangan suami-istri harus mendapat konseling khusus dari tim bayi tabung. Hal yang dijelaskan terutama mengenai prosedur atau teknik FIV, cara-cara memakai obat untuk down regulation maupun pemicu ovulasi, kemungkinan komplikasi, kemungkinan keberhasilan atau kegagalan, komplikasi kehamilan, kemungkinan kelainan pada janin dan biaya seluruh siklus pengobatan secara rinci, kemudian suami-istri harus menandatangani formulir informed consent.


2.2.2. Tahap penekanan atau penyamarataan folikel
Sekitar 7 hari setelah lonjakan LH (sekitar hari ke-21 dari siklus haid 28 hari), pasien akan memulai jadwal suntikan agonis GnRH secara subkutan. Suntikan ini akan diteruskan selama 14 hari (long protocol) atau selama 7 hari mulai hari ke-2 siklus haid (short protocol), bahkan mungkin lebih lama jika diperlukan. GnRH agonis (aGnRH) berfungsi melakukan desensitisasi sel gonadotrop di hipotalamus dan menurunkan jumlah reseptor GnRH. Pemberian aGnRH akan meningkatkan kekuatan ikatan kimia dan lama waktu ikatan tersebut dengan reseptor sehingga lebih tahan terhadap proses pelepasan melalui proses enzimatik. Dengan kemajuan teknologi akhirnya berhasil dirancang GnRH sintesis yang lebih stabil dan mempunyai potensi afinitas untuk berikatan dengan reseptor GnRH lebih dari 200 kali dibandingkan dengan molekul GnRH asli (5).
Kokohnya ikatan terhadap reseptor ini menimbulkan pengaruh pada keseimbangan hormon steroid dan gonadotropin yang lazim disebut sebagai up regulation yaitu, terjadi pembebasan sejumlah besar LH dan FSH dari hipofise dan meningkatnya jumlah reseptor GnRH di hipofise. Pengaruh ini dibuktikan dalam suatu uji klinis yang menunjukkan bahwa 12 jam setelah pemberian GnRH terjadi peningkatan FSH sebesar 5 kali, LH sebesar 10 kali, dan estradiol sebesar 4 kali. Namun pemberian aGnRH secara konstan dalam waktu lama (14-21 hari) menimbulkan desensitisasi total sehingga sel gonadotrop tidak mampu memberikan reaksi terhadap rangsangan GnRH. Akibatnya terjadi penurunan kadar LH, FSH, hormon steroid, dan atresia folikel. Fenomena ini melandasi pemikiran untuk menggunakan aGnRH dalam induksi ovulasi (5).

2.2.3. Induksi Ovulasi
Perkembangan teknologi reproduksi bantuan memasuki era baru ketika pada tanggal 25 Juli 1978 dilaporkan kelahiran seorang bayi bernama Louise Brown di Inggris melalui proses fertilisasi in vitro. Sukses tersebut merupakan hasil dari teknik fertilisasi in vitro (FIV) dengan memanfaatkan oosit yang diperoleh melalui ovulasi spontan, tanpa induksi. Pengambilan oosit melalui ovulasi spontan memerlukan pemeriksaan urin dan darah untuk memantau kadar luteinizing hormone (LH). Pemantauan tersebut berguna untuk mengamati peningkatan kadar LH sehingga laparoskopi untuk aspirasi folikel dapat dilakukan sesaat sebelum ovulasi terjadi (5,8). Namun pengambilan oosit melaui ovulasi spontan kurang efisien dalam perolehan jumlah oosit, yaitu rata-rata hanya 1,7 oosit persiklus dan tingginya angka kegagalan untuk menghasilkan kehamilan dan kelahiran. Sampai dengan tahun 1987, angka kelahiran yang berhasil dicapai baru berkisar antara 9-10% per transfer oosit (6).
Adanya kekecewaan tersebut mendorong para pengelola program fertilisasi in vitro untuk meninggalkan pendekatan ovulasi spontan dan beralih ke program fertilisasi in vitro dengan menggunakan induksi ovulasi (5). Tujuan utama induksi ovulasi adalah untuk meningkatkan jumlah dan pematangan folikel secara bersamaan sehingga dapat diperoleh lebih dari satu embrio, sebab sukses fertilisasi in fitro juga tergantung pada berapa banyak embrio yang diletakkan ke dalam rahim.(6,8) Selama dekade pertama (1980-1990), dikemukakan berbagai protokol induksi yang umumnya masih didominasi oleh kombinasi Clomiphene Citrate (CC), Folikel Stimulating Hormone (FSH), terutama FSH yang bukan produk rekombinan (berasal dari urin yang dimurnikan) dan Human Menopousal Gonadotropin (hMG), serta Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada dekade berikutnya (1990-1999), arah pengembangan induksi ovulasi dengan menggunakan produk-produk rekombinan termasuk penggunaan GnRH dan progesteron (5).

2.2.3.1. Pengaruh Induksi Ovulasi
a. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Sel Oosit
Pada induksi ovulasi terjadi pematangan sekelompok oosit dengan derajat yang berbeda. Oosit dengan tingkat kematangan terbaik adalah pada stadium metafase II dengan tanda ditemukannya polar body, yang tentunya mampu memberikan kemungkinan hasil terbaik untuk fertilisasi. Oosit yang diambil pada stadium metafase I membutuhkan waktu inkubasi antara 5-15 jam untuk mampu melanjutkan proses meiosis secara mandiri. Oosit yang diambil pada stadium profase I membutuhkan masa inkubasi yang lebih lama yakni 24 jam untuk menjadi matang. Derajat pematangan oosit ini memberikan dampak pada fertilisasi. Oosit pada stadium metafase I memberikan tingkat keberhasilan fertilisasi yang lebih rendah.
Induksi ovulasi dapat memproduksi oosit dengan berbagai tingkatan kualitas, mulai tingkat imatur, sedang, dan matur sesuai dengan tipe induksi ovualsi yang digunakan. Kapasitas oosit untuk melakukan fertilisasi tidak sepenuhnya mempunyai korelasi dengan tingkat kematangan oosit itu sendiri. Oosit yang kualitasnya kurang baik, misalnya pada kualitas imatur, ternyata berhasil mencapai fertilisasi walaupun tidak terjadi kehamilan secara klinis. Sebaliknya laporan lain menunjukkan bahwa sekalipun oosit dengan kualitas terbaik, yakni pada stadium metafase II dengan masa inkubasi < 5 jam dan oosit pada stadium metafase I dengan masa inkubasi yang lebih lama, ternyata masih sering ditemukan terjadinya fertilisasi yang abnormal (6,8).
Kualitas oosit juga banyak dipengaruhi oleh tipe protokol induksi ovulasi disamping oleh faktor umur penderita. Dikemukakan bahwa pemberian hMG dengan dosis rendah berhubungan dengan sedikitnya jumlah oosit yang atretik, dan terdapat kecendrungan peningkatan angka kehamilan klinik. Tujuaan pemberian induksi ovulasi adalah untuk merekrut lebih banyak folikel dengan kualitas oosit yang lebih baik. Penilaian kualitas oosit secara morfologis dengan menggunakan mikroskop tidak mudah dilakukan untuk meramalkan derajat kematangan dan potensi fertilisasi. Oleh karena itu ditambahkan parameter lain yaitu menilai kadar lingkungan endokrin oosit dengan cara mengukur berbagai substansi molekul termasuk kadar hormon steroid dalam cairan folikel. (5,6,8)
Namun, berbagai hormon immunoassay yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang kontroversial. Misalnya upaya untuk menghubungkan antara kadar angiotensin II, III, estradiol, dan progesteron dengan kualitas oosit tidak berhasil, karena tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Laporan lain menyatakan bahwa pada kelompok dengan oosit matur ditemukan kadar estradiol, progesteron, FSH, dan LH yang lebih tinggi, sedangkan konsentrasi testosteron lebih rendah disertai dengan angka fertilisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok oosit yang imatur. Laporan yang lain lagi menyatakan tidak terdapat hubungan antara kadar steroid dalam cairan folikel dengan derajat kualitas oosit dan angka kehamilan, tetapi terdapat hubungan erat antara kualitas oosit dengan tingginya konsentrasi beta endorpin. Satu-satunya kesepakatan tentang pengaruh cairan folikel terhadap oosit adalah tentang rasio estradiol:progesteron yang berhubungan erat dengan kualitas oosit, dan memberikan pengaruh pada angka implantasi dan angka kehamilan. (5)
Adanya perbedaan pendapat yang didasarkan pada hasil penelitian, baik secara biomolekuler maupun klinis menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya perbedaan tingkat kualitas oosit pada program fertilisasi in vitro masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun yang jelas, apabila tidak dilakukan induksi ovulasi tidak akan terjadi perbedaan tingkat kualitas oosit.

b. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Folikel
Induksi ovulasi yang optimal merupakan faktor penting pada program fertilisasi in vitro mengingat induksi ovulasi akan menentukan kualitas oosit, fungsi korpus luteum, dan kesiapan endometrium untuk menerima embrio. Induksi ovulasi akan merubah keseimbangan optimal antara gonadotropin, hormon steroid, dan komponen non steroid di dalam dan di luar ovarium. Keadaan monofolikel berubah menjadi multifolikel yang mengakibatkan meningkatnya produksi estrogen dan inhibin (5,6,8).
Pemberian hCG diperlukan mengingat LH endogen tidak mampu menimbulkan ovulasi pada keadaan multifolikel tersebut. Saat yang tepat untuk pemberian hCG merupakan masalah yang juga mempengaruhi keberhasilan fertilisasi in vitro. Bila pemberian hCG terlalu awal, maka pertumbuhan folikel praovulasi akan terganggu sehingga berakibat kegagalan ovulasi. Sebaliknya bila terlambat akan menimbulkan penurunan angka fertilisasi dan peningkatan degenerasi oosit. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh lamanya oosit berada di dalam folikel yang sedang mengalami proses atresia atau luteinisasi Pada siklus normal, kadar puncak LH terjadi 24 jam sebelum ovulasi sedangkan pada induksi ovulasi kadar estrogen meningkat sampai 24 jam setelah pemberian hCG. Karena itu proses kematangan folikel mempunyai pola yang berbeda dibandingkan dengan siklus normal. Sementara peningkatan kadar puncak LH akan menghentikan pertumbuhan folikel sehingga memungkinkan terjadinya ovulasi (5).

c. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Hormon Steroid
Salah satu parameter yang digunakan sebagai refleksi dari kualitas induksi ovulasi adalah steroidogenesis di folikel. Umumnya induksi ovulasi akan meningkatkan produksi dan sekresi hormon steroid (estradiol dan progesteron), sebagai refleksi dari pertumbuhan multifolikel. Semua induksi ovulasi akan merubah pola dan komposisi rasio kadar hormon steroid, khususnya estradiol dan progesteron, baik di sirkulasi maupun di cairan folikel (5).
Sampai kini telah dicapai kesepakatan bahwa kadar estradiol plasma merupakan parameter yang dapat dipakai untuk memantau pertumbuhan folikel. Tetapi untuk mengevaluasi/mengidentifikasi spektrum kadar estradiol yang dianggap sesuai bagi suksesnya suatu kehamilan pada program fertilisasi in vitro, masih belum dicapai kesepakatan. Peningkatan kadar estradiol plasma secara bertahap/stabil yang dipantau secara berkala, dan diikuti dengan pertumbuhan diameter folikel yang konsisten (dipantau dengan sonografi transvagina) akan memberikan korelasi terhadap oosit dengan kualitas yang lebih baik. Lagi pula penurunan atau tidak adanya peningkatan kadar estradiol di awal induksi ovulasi merupakan parameter utama untuk membatalkan/menunda program fertilisasi in vitro sehingga dapat menghemat biaya dan waktu (8).
Selain estradiol, pemantauan kadar progesteron juga mulai mendapat perhatian. Pemeriksaan kadar progesteron plasma pada 20 sampai 34 jam setelah pemberian hCG pada induksi ovulasi dengan FSH/hMG menunjukkan peningkatan progesteron plasma 3 kali lebih besar pada kelompok penderita yang hamil dibandingkan dengan kelompok yang tidak hamil. Hasil ini menunjukkan adanya suatu tanda awal dari periode transisi antara kapasitas folikel yang matang dan mulai berfungsinya korpus luteum, mengingat pada keadaan fisiologis luteinisasi di folikel Graaf sudah mulai terjadi 20 jam sebelum ovulasi. Dapat pula diinterpretasikan sebagai waktu yang tepat untuk pemberian hCG dan dimulainya fase luteinisasi atau sebagai salah satu kriteria untuk meramalkan kematangan oosit di dalam folikel yang matang tersebut. Sebab aspirasi folikel baru dilakukan antara 34-36 jam setelah pemberian hCG (5,6,8).

d. Pengaruh Induksi Ovulasi Terhadap Prolaktin
Kadar prolaktin umumnya akan meningkat pada induksi ovulasi, yang juga diikuti dengan peningkatan kadar estradiol. Mengingat estradiol mempunyai potensi untuk menginduksi produksi prolaktin, maka terdapat kemungkinan bahwa peningkatan kadar prolaktin ini disebabkan karena peningkatan estradiol. Karena itu tingginya kadar estradiol serum dapat dipakai untuk meramalkan peningkatan kadar prolaktin di dalam cairan folikel. Sekalipun pengaruh prolaktin in vivo terhadap sel granulosa tidak diketahui dengan jelas, ternyata terjadi penurunan kadar progesteron setelah pada kultur sel granulosa ditambahkan prolaktin. Diduga kadar prolaktin di dalam cairan folikel yang mencapai > 100 ng/ml merupakan salah satu penyebab turunnya kemampuan korpus luteum untuk memproduksi hormon steroid (5).

e. Sindroma Hiperstimulasi Ovarium
Sindroma Hiperstimulasi Ovarium lebih sering terjadi pada induksi ovulasi dengan gonadotropin terutama terhadap penderita yang peka terhadap pemberian hCG. Kepekaan ini disebabkan oleh karena meningkatnya permeabilitas kapiler pembuluh darah penderita sebagai akibat induksi ovulasi yang berlebihan. Pada suatu penelitian in vitro ditemukan adanya hubungan antara meningkatnya kadar hCG dengan aktifitas DNA yang memproduksi Vascular Permeability Factor (VPF), sehingga dikemukakan suatu teori bahwa terjadinya Sindrom Hiperstimulasi Ovarium pada induksi ovulasi dengan gonadotropin dan hCG disebabkan oleh meningkatnya VPF dan dikenal sebagai penyebab terjadinya Vascular Leak Syndrome (VLS) (5).
Diagnosis biasanya ditegakkan atas dasar keparahan sindrom yang ditentukan dari gabungan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, USG, dan data laboratorium. Sebagian besar kasus terjadi pada kadar estradiol serum pra hCG lebih besar dari 3000 pg/ml, tetapi kadar estradiol yang lebih rendah tidak meniadakan timbulnya sindrom ini Gejala umumnya terjadi 3-10 hari setelah pemberian hCG. Nyeri abdomen, distensi, dan mual selalu ditemukan pada semua kasus, kecuali kasus yang paling ringan. Terapi dengan hCG disarankan ditunda jika kadar estradiol serum mencapai 2000 pg/ml. Hiperstimulasi ovarium yang parah jarang terjadi pada kadar estradiol di bawah 2000 pg/ml (6,8).
Hiperstimulasi Ovarium diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, atau parah berdasarkan ukuran ovarium, yang ditentukan dari pemeriksaan pelvis dan USG. Tetapi penatalaksanaan pasien didasarkan pada derajat pembesaran ovarium dan ada atau tidak adanya masalah penyerta, seperti ascites, efusi pleura, hipotensi postural, muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi, hiperkalemia, dan fungsi ginjal yang abnormal. Hiperstimulasi ovarium ringan didefinisikan sebagai pembesaran ovarium kurang dari 7 cm. Hiperstimulasi sedang dengan pembesaran ovarium 7 sampai 12 cm, sering kali disertai dengan gangguan lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi tanpa adanya ascites, efusi pleura, hipovolemia, muntah, sesak nafas, hemokonsentrasi, atau gangguan elektrolit/ginjal. Pasien-pasien dengan hiperstimulasi ovarium yang parah biasanya memiliki masalah penyerta dan mengalami pembesaran ovarium yang nyata, dan semua wanita tersebut tanpa memandang gejalanya harus dirawat di rumah sakit (3,6,8).
Akhir alami dari hiperstimulasi ovarium adalah resolusi spontan. Resolusi klinis biasanya terjadi dalam 7 sampai 14 hari pada wanita yang tidak hamil, tetapi mungkin memerlukan waktu 30 hari jika terjadi kehamilan dan hCG endogen menimbulkan stimulasi ovarium tambahan (5).




2.2.4. Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel
Monitoring pertumbuhan folikel dengan ultrasonografi merupakan investigasi yang sangat diperlukan saat ini dalam teknologi reproduksi bantuan. Pada kondisi optimal, sebuah folikel dengan diameter 2-3 mm dapat divisualisasi dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal atau diameter 3-4 mm bila menggunakan pendekatan transabdominal. Ditemukan adanya hubungan yang baik antara diameter folikel dan konsentrasi estradiol plasma pada wanita-wanita dengan siklus normal Pemeriksaan USG transvaginal biasanya dimulai setelah kadar estradiol diukur dan dilanjutkan beberapa kali sampai tahap petik ovum. Pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel dilakukan pada hari ke-5, 8, 9, 10 dari saat pemberian gonadotropin. Jika pada pemeriksaan USG transvaginal dijumpai sedikitnya 2 folikel dengan diameter ³ 18 mm dan pada saat yang sama kadar estradiol sudah mencapai 200-250 pg/ml/folikel, maka dianggap pasien sudah siap untuk tahap petik ovum. Selanjutnya pasien akan diberikan suntikan hCG pada malam hari ± 36 jam sebelum tahap petik ovum (3).

2.2.5. Tahap Petik Ovum
Tahap petik ovum dilakukan 34-36 jam setelah penyuntikan hCG. Teknik pengambilan ovum kini dapat dilakukan secara transvaginal (transvaginal oocyte retrieval). Dengan teknik ini petik ovum dilakukan dengan alat penghisap ovum dengan tuntunan tranduser USG melalui vagina. Terlebih dahulu vagina dibersihkan untuk meminimalkan risiko infeksi. Jarum vaginal (berbentuk pipa tipis dan lentur) dimasukkan menembus fornoks vagina ke dalam ovarium dengan tuntunan USG untuk menentukan letak setiap folikel. Cairan folikel diisap keluar melalui pipa plastik halus yang khusus dialirkan ke dalam tabung untuk memperoleh ovum. Cairan folikel segera dibawa ke laboratorium terdekat untuk mencari ovum, menilai, dan mempersiapkan inseminasi. Cairan folikel diperiksa dibawah mikroskop untuk menemukan ovum kemudian memindahkan ovum dari cairan yang mengelilinginya ke dalam cawan biakan. Cawan tersebut dibiakkan pada kondisi yang sama seperti tubuh seorang wanita sampai siap untuk diinseminasikan dengan spermatozoa. Spermatozoa diperoleh melalui masturbasi pada hari yang sama dengan petik ovum minimal 2 jam sebelum tahap petik ovum setelah sebelumnya abstinensia selama 2-5 hari sebelum prosedur petik ovum (3).
Pada pasangan dengan jumlah spermatozoa normal, inseminasi dilakukan dengan cara inseminasi ke dalam cawan biakan. Dari sperma yang telah dicuci, diambil yang motil saja, kemudian bersama ovum disatukan di dalam cawan yang berisi medium biakan. Hanya 1/10 dari 1000 spermatozoa yang dibutuhkan untuk membuahi ovum, dan mulailah berkembang tahapan pertama kehidupan, yaitu embrio. Perkembangannya diperiksa dibawah mikroskop setiap 12-24 jam. Sekitar 30 jam setelah inseminasi ovum yang telah dibuahi membelah diri menjadi 2 sel, setelah 40 jam menjadi embrio 4 sel, dan setelah 60 jam menjadi embrio 8 sel. Embrio tetap berada dalam cawan biakan laboratorium dalam campuran nutrisi yang berperan sebagai pengganti lingkungna yang seharusnya disediakan oleh tuba falopi sampai siap untuk ditandur-alihkan. Biasanya embrio ditandur-alihkan pada tahap 8 sel dan hanya yang pertumbuhannya simetris ke segala arah saja yang ditandur-alihkan (3).

2.2.6. Tandur Alih Embrio atau Transfer Embrio
Tandur alih/transfer beberapa embrio dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan fertilisasi in vitro. Jumlah embrio yang ditransferkan bergantung pada keadaan individual pasangan dan keputusan dibuat oleh pasangan suami-istri dan dokter. Biasanya 2-4 embrio dapat ditransferkan pada 1 siklus penanganan. Peluang kehamilan akan berkurang bila transfer embrio tidak dijalankan oleh pasien pada waktu yang ditentukan. Transfer embrio lebih dari satu juga meningkatkan risiko kehamilan kembar. Transfer embrio dilakukan pada masa yang pada keadaan normal embrio itu telah mencapai cavum uteri (2-3 hari setelah petik ovum) (3).

2.2.7. Penanganan Lanjutan
Pada hari ke-5, 8, dan ke-11 dari saat petik ovum, pasien akan mendapatkan suntikan hormon hCG untuk mempertahankan korpus luteum sebagai penghasil progesteron yang menyiapkan lapisan endometrium untuk menerima embrio yang ditransferkan. Pada hari ke-15 setelah petik ovum dilakukan pemeriksaan b-hCG dan estradiol. Sesuai dengan kesepakatan bahwa paien yang menjalani program FIV dinyatakan hamil secara kimiawi bila didapatkan kadar b-hCG ≥ 50 mIU/mL dan kadar estradiol > 3000 pg/mL. Apabila berhasil hamil, pada minggu ke-6 setelah transfer embrio dilakukan USG untuk meyakinkan adanya kantong kehamilan. USG awal ini penting untuk menilai kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, dan kehamilan kembar. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan sebagaimana kehamilan biasa (3).

2.3. Protokol Induksi Ovulasi Pada Program Fertilisasi In Vitro
Induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro umumnya menggunakan obat-obatan sebagai suatu kombinasi, jarang digunakan secara tersendiri. Sampai saat ini produk yang sering digunakan adalah Gonadotropin Releasing Hormone agonis (aGnRH), seperti halnya program bayi tabung Poliklinik Bayi Tabung RS Sanglah Denpasar, dalam kombinasi dengan Gonadotropin dan hCG. Dalam pelaksanaannya, kombinasi obat-obatan induksi ovulasi tersebut digunakan dengan dua cara, yang dikenal sebagai short protocol dan long protocol.

2.3.1. Short Protocol
Secara umum, induksi ovulasi akan berhasil dengan baik bila digunakan pada pasien-pasien dengan respon ovarium yang baik. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan kadar hormonal basal, yaitu pada hari ke-2 atau ke-3 haid. Bila didapatkan kadar FSH > 12 IU/mL, lebih-lebih sampai diatas 20 IU/mL berhubungan dengan respon yang jelek untuk induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro. Tingginya kadar FSH ini berhubungan pula dengan meningkatnya usia penderita, dimana peningkatan usia menyebabkan penurunan jumlah oosit dan kualitas oosit. Tingginya kadar estradiol pada hari ke-2 atau ke-3 haid (lebih dari 80 pg/mL) juga dapat memprediksi sulitnya terjadi proses kehamilan. Peningkatan kadar estradiol yang prematur berhubungan dengan recruitment folikel sebagai respon meningkatnya sekresi FSH. Bila kadar basal hormon FSH dan estradiol tinggi pada hari ke-2 atau hari-3 haid menunjukkan respon ovarium terhadap induksi ovulasi yang jelek (Hornstein MD, Schust DJ, 1999; Speroff dkk, 1999; Allahbadia G, Gandhi G, 2001; Hansotia MD, Tank JD, 2001). Bila hanya didasarkan pada kadar estradiol basal, short protocol digunakan bila kadar estradiol basal < 50 pg/mL (7).
Protokol induksi ovulasi short protocol menekankan cara pemberian GnRH dan gonadotropin secara bersamaan yaitu pada saat awal fase proliferasi (hari ke-2 haid) sampai saat pemberian hCG. Di Poliklinik Bayi Tabung RS Sanglah Denpasar, pelaksanaan program bayi tabung dengan menggunakan short protocol sebagai berikut (3,7) :
· Hari ke-1 ditentukan sebagai hari pertama haid.
· Hari ke-2 dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, status hormonal basal dan sonografi transvaginal. Mulai dilakukan pemberian GnRH 0,2 mg (0,2cc) sampai hari ke-9.
· Hari ke-3 mulai dilakukan pemberian gonadotropin 75-225 mg (1-4 ampul) sampai hari ke-9
· Hari ke-9 dilakukan pemeriksaan sonografi transvaginal untuk memonitor perkembangan folikel dan pemeriksaan kadar estradiol. Pada tahapan ini dapat diputuskan untuk membatalkan siklus pengobatan atau melanjutkan ke tahapan berikutnya. Bila pada saat ini didapatkan perkembangan folikel dan kadar estradiol adekuat (diameter folikel > 18 mm dan kadar estradiol > 300 pg/mL), dilakukan pemberian hCG 5000-10.000 IU pada malam hari.
· Hari ke-10 ada kemungkinan pemantauan diteruskan atau dibatalkan. Jika siklus dibatalkan maka perlu diatur konsultasi medik selanjutnya. Namun jika diputuskan untuk meneruskan pemantauan, akan dilakukan sonografi transvaginal ulang 1 – 3 hari kemudian.
· Hari petik ovum ditentukan 34 – 36 jam setelah pemberian hCG. Petik ovum dilakukan di kamar operasi dengan cara transvaginal oocyte retrieval dengan bantuan USG.
· Hari pertama pasca petik ovum (PO + 1) dapat dipastikan terjadinya fertilisasi. Dokter dapat memberitahukan hasilnya kepada pasien dan menentukan hari atau waktu transfer embrio.
· Hari ke-2 dan ke-3 pasca petik ovum (PO +2/3) merupakan waktu alternatif untuk transfer embrio.
· Hari ke-5, 8, dan 11 merupakan waktu untuk suport fase luteal dengan pemberian hCG 1500 IU.
· Hari ke-15 pasca petik ovum jika belum terjadi haid dilakukan pemeriksaan b-hCG. Kehamilan secara kimiawi ditentukan dengan kadar b-hCG > 50 mIU/mL dan kadar estradiol > 3000 pg/mL.

2.3.2. Long Protocol
Metode induksi ovulasi long protocol menekankan pemberian GnRH pada pertengahan siklus haid tahapan siklus sebelumnya atau seminggu sebelum tahap awal siklus berikutnya, sampai saat pemberian hCG. Induksi dengan gonadotropin diberikan sampai terdapat keyakinan bahwa fungsi hipofise dapat ditekan secara total. Dari penelitian – penelitian, diperoleh penggunaan long protocol memberikan angka kehamilan yang lebih baik, dibanding dengan short protocol. Walaupun long protocol menghasilkan angka kehamilan yang lebih baik, terdapat kekhawatiran timbulnya dampak negatif seperti blokade total hipofise sehingga mengakibatkan terjadinya desentisisasi total, dan biaya yang lebih mahal mengingat penggunaan obat – obatan dibutuhkan lebih banyak. Hal ini didukung dengan adanya penurunan aktifitas enzim aromatase, produksi progesteron, dan penurunan reseptor LH sebanyak 83 % (3,5,7)
Kini penggunaan GnRH sebagai pengobatan pendahuluan induksi ovulasi pada program fertilisasi in vitro sudah merupakan prosedur standar. GnRH sudah terbukti dapat meningkatkan sinkronisasi dan penurunan frekuensi terjadinya penundaan akibat peningkatan kadar puncak LH prematur yaitu sebesar 20 % penundaan menjadi hanya 2 % penundaan. Selain itu, juga tejadi peningkatan angka fertilisasi dan angka implantasi (5).
Metode long protocol merupakan cara desensitisasi panjang (long desensitization regim). Pada metode ini GnRH mulai diberikan pada fase luteal madya. Namun sebelum pemberian GnRH diperiksa dahulu kadar estradiol dan progesteron fase luteal madya untuk menentukan awal pemberian obat tersebut. Penetuan hari fase luteal madya tergantung siklus haid. Jika progesteron > 10 pg/mL dan estradiol > 80 pg/mL, makaGnRH mulai diberikan 3 hari setelah pengambilan darah untuk pemeriksaan hormonal. Ada kemungkinan juga obat ini diberikan keesokan harinya setelah pemeriksaan darah bila kadar progesteron 5 -–1- pg/mL, yang menunjukkan fase luteal akhir. Secara umum pada siklus haid 28 hari, pemberian GnRH mulai diberikan 7 hari sebelum hari I siklus haid berikutnya. GnRH diberikan dengan dosis 0,4 mg (0,4 cc). Seminggu setelah pemberian GnRH, kadar progesteron dan estradiol diperiksa lebih lanjut untuk menentukan down regulation, yaitu jika estradiol menunjukkan kadar < 50 pg/mL dan LH < 10 mIU/mL. Serta progesteron < 1 ng/mL. (3)
Jika tidak terjadi haid seminggu setelah pemberian GnRH, perlu dilakukan pemeriksaan b-hCG untuk mengetahui ada tidaknya kehamilan. Jika tidak ada tanda kehamilan, dilakukan pemeriksaan estradiol, progesteron dan USG untuk memastikannya Bila sudah terjadi down regulation atau adanya menstruasi atau USG menunjukkan adanya endometrium yang tipis, maka disepakati sebagai hari pertama untuk mulai dilakukan pemberian gonadotropin. Mulai hari pertama GnRH terus diberikan dengan dosis yang lebih rendah dari sebelumnya, yaitu 0,2 mg (0,2 cc) disertai pemberian gonadotropin, sampai saat pemberian hCG. Protokol selanjutnya sama seperti pada metode short protocol (3).


BAB 3
PENUTUP

Program fertilisasi in vitro yang ideal adalah yang tidak memerlukan biaya tinggi untuk induksi dan pemantauan, yang menghasilkan banyak oosit dengan kualitas baik dan yang mempunyai angka transfer serta angka kehamilan yang tinggi.
Induksi ovulasi merupakan rangkaian proses yang terdiri atas berbagai komponen dan melalui tahapan fundamental untuk program fertilisasi in vitro. Suksesnya induksi ovulasi sangat ditentukan oleh manipulasi terhadap fungsi endokrin dari sistem reproduksi, yang tentunya memerlukan pengertian mendasar tentang aspek biomolekul endokrinologi reproduksi.
Pada induksi ovulasi yang menggunakan komponen GnRH agonis, cara pemberiannya dibedakan menjadi metode short protocol dan long protocol
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumapraja S. 1985. Pemeriksaan Pasangan Infertil dalam Manual Infertilitas. Jakarta : 1 – 44.
2. Sumapraja S. 1997. Infertilitas dalam Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 497 – 575.
3. Ikawati Y, Kasdu D. 1995. Bayi Tabung : Sebuah Harapan Baru. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK) bekerja sama dengan RS Bunda –Jakarta. Jakarta : 61 – 112.
4. Sumapraja S, dkk.1999. Perkembangan Terakhir dalam Ilmu Kebidanan : Dasar – dasar Konsepsi Buatan dalam Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, eds. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 937 – 946.
5. Sundoro T. 1999. Induksi Ovulasi. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD?RS Sanglah Denpasar. Denpasar : 1 – 134.
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. 1999. Induction of Ovulation in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia : 1133 – 1145.
7. Angsar I, dkk. 2002. Penanganan Infertilitas dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Denpasar : 70 – 72.
8. Homstein MD, Schust DJ. 1999. Infertility in Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, eds. Novaks Gynecology. 12th Williams and Wilkins. Philadelphia : 915 – 952.
Mini Referat

INSEMINASI INTRA UTERIN

INFERTILITAS
Di saat sekarang ini terdapat banyak pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak dan jumlah pasutri tersebut diramalkan akan semakin meningkat di masa yang akan datang. Keadaan tanpa anak akan membawa dampak pada keluarga, khususnya pada pihak istri dan juga akan membawa dampak pada keluarga besar atau lingkungan social lainnya.
Permasalahan tersebut akan membawa pasutri untuk mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari dokter keluarga dan memerlukan tindakan-tindakan khusus dari ahli reproduksi.
Pilihan penanganan ahli reproduksi sangat tergantung dari penyebab infertilitas yang ditemukan pada pemeriksaan. Booklet ini akan menjelaskan tentang IIU, salah satu dari sejumlah cara penanganan yang tergabung dalam tehnologi reproduksi bantuan.

BESARNYA MASALAH
Pasangan normal dengan usia 20-an, hubungan seksual teratur, memiliki kemungkinan hamil satu dari empat setiap bulannya. Yang berarti 9 dari 10 pasangan ingin hamil akan hamil dalam setahun. Akan tetapi SATU DARI SEPULUH pasangan tidak hamil dan akan didiagnosa sebagai pasangan infertil. Sekitar dua per tiganya sesungguhnya adalah subfertil dan dapat dibantu dengan tehnik reproduksi bantuan. Dokter biasanya mendefinisikan infertilitas sebagai kemampuan untuk hamil setelah berusaha sekurangnya 1 tahun.
IIU adalah satu dari metode yang mungkin terpilih bagi pasangan yang tepat. Biasanya IIU dilakukan bagi pasangan yang pada pemeriksaan awal tidak ditemukan penyebab yang jelas bagi infertilitasnya dan telah berusaha hamil sekurangnya 2 tahun. Oleh karenanya, hampir semuanya telah mengenal pengukuran suhu basal, koitus terjadwal dan pada beberapa kasus telah dicoba pemakaian obat-obat induksi ovulasi.

MENCARI PENYEBAB
Pemeriksaan yang dilakukan pada klinik-klinik infertilitas akan dapat menemukan penyebab infertilitas pada hampir semua kasus. Hanya sekitar 20% tetap tidak terjelaskan (unexplained infertility) dan penelitian menunjukkan bahwa IIU dapat membantu pada keadaan ini.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan penyebab infertilitas akan mengukur adanya ovulasi, kualitas tuba fallopii (dengan laparoskopi), kadar hormon dan produksi sperma (jumlah, pergerakan dan bentuk) pada suami.
Suatu test pasca koitus dapat memberi informasi apakah sperma dapat melewati mulut rahim setelah senggama.

IIU
Tujuan IIU adalah memasukkan sejumlah semen ke dalam rahim pasangannya, untuk mendorong terjadinya fertilisasi.
Pasangan suami istri yang mana yang cocok dengan teknik ini?
Karena semen dimasukkan ke dalam rahim, sangat penting diketahui bahwa pada pihak istri tidak terdapat kelainan sistem organ reproduksi. Istri harus mengalami ovulasi secara normal dan kedua ruba fallopii terbuka. Akan tetapi IIU juga efektif untuk wanita yang mengalami gangguan ovulasi. Pada kasus semcam ini dilakukan terapi hormon untuk merangsang ovulasi dan inseminasi dilakukan sesaat setelah ovulasi terjadi. Cara ini sangat efektif dan sekarang lebih disukai bagi pasangan baik dengan atau tanpa gangguan ovulasi.
Karena IIU didasarkan atas kemampuan alamiah sperma dalam membuahi sel telur, maka penting dilakukan test fungsi sperma (jumlah, pergerakan dan bentuk) sehingga didapat sperma yang ideal. IIU juga biasa ditujukan bagi keadaan di mana suami mengalami reaksi imunologi (alergi) terhadap spermanya sendiri. Kelainan ini (disebut “anti-sperm antibodies”), berakibat sperma tidak dapat menembus lendir mulut rahim, sehingga tidak dapat mencapai sel telur
Teknik IIU memungkinkan sperma yang telah dipersiapkan melewati mulut rahim ke dalam uterus, sehingga dapat mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh anti-sperm antibodi. IIU juga cukup berhasil dikerjakan pada wanita dengan kelainan endometriosis ringan. Kelainan ini sangat sering dijumpai khususnya pada wanita usia 30-an yang belum memiliki anak, kejadian 1 dari 15 kasus infertilitas. Endometriosis terjadi bila jaringan yang melapisi bagian dalam rahim (endometrium) ditemukan pada tempat-tempat lain dalam organ reproduksi. Penanganan wanita dengan endometriosis ringan sama dengan unexplained infertility.

Indikasi tersering IIU adalah
· Infertilitas yang tak terjelaskan
· Anti-sperm antibodies
· Endometriosis ringan

IIU tidak efektif pada kasus dengan kelainan jumlah spermatozoa yang rendah atau kelainan bentuk sperma. Wanita dengan kelainan tuba fallopii tidak dapat ditangani dengan IIU.

BAGAIMANA IIU DIKERJAKAN
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa hasil terbaik didapatkan bila IIU dikerjakan sekitar masa ovulasi yang dirangsang oleh obat-obatan. Karena itu langkah pertama adalah merangsang dan memonitor adanya ovulasi. Angka keberhasilan tertinggi didapat dengan menggunakan obat gonadotropin.

Langkah-langkah IIU
Pengobatan untuk mendapatkan 2 atau 3 telur yang baik
biasanya dipakai gonadotropin untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel dan menimbulkan ovulasi.
Monitor pengobatan, mengukur pertumbuhan folikel, menentukan dosis obat, mencegah efek samping
dengan ultrasound transvaginal sebanyak 2-3 kali
dapat ditambahkan pemeriksaan kadar hormon.
Pengambilan sperma, dilakukan pada pagi hari saat ovulasi diduga terjadi,
kemudian dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam rahim.
Test kehamilan dan monitoring.


Karena obat-obat penyubur menghasilkan sejumlah telur, “monitoring” menjadi sangat penting untuk segera menemukan efek samping dan mencegah kehamilan ganda. Monitoring dikerjakan dengan mengukur kadar hormon dalam darah dan melihat perkembangan folikel yang mengandung sel telur dengan ultrasonografi (USG).
Adanya folikel yang banyak mengakibatkan dihasilkannya terlalu banyak sel telur, yang meningkatkan risiko kehamilan ganda. Jadi dalam IIU diusahakan didapatkan tidak lebih dari 3 telur. (Berbeda dengan program In Vitro Fertilization (IVF) dimana diusahakan mendapatkan telur sebanyak mungkin untuk dibuahi di laboratorium).
Bila 2 atau 3 folikel telah mencapai ukuran yang diharapkan, ovulasi akan diinduksi dengan suntikan hormon (hCG). Kemudian sesaat setelah ovulasi, sperma suami yang telah dipersiapkan dimasukkan ke dalam rahim istri dengan menggunakan kateter yang sangat halus. Tidakan ini tidak menimbulkan rasa sakit.

SPERMATOZOA SIAPA?

Pada keadaan biasa dan sesuai hukum di Indonesia, maka tindakan IIU dilakukan hanya menggunakan spermatozoa suami. Pada keaadaan kelainan spermatozoa, maka dikembangkan teknik lain yaitu teknik manipulasi mikro yang disebut injeksi spermatozoa intra sitoplasmik (ISIS), dimana dilakukan penyuntikan sel sperma ke dalam sel telur untuk proses pembuahan
RISIKO TINDAKAN
Risiko tindakan IIU adalah sedikit. Pada kasus di mana didapatkan lebih dari 3 folikel dengan ukuran melebihi 14 mm terdapat risiko kehamilan ganda, yang dapat berarti pembatalan IIU. Kehamilan ganda berkaitan dengan tingginya angka abortus, bayi dengan berat badan lahir rendah dan masalah sosial lainnya. Tindakan juga bisa dihentikan bila ditemukan tanda-tanda hiperstimulasi ovarium (ovarian hiperstimulation syndrome), oleh karena itulah monitoring saat pengobatan selalu dilakukan. Dosis obat yang terlalu besar dapat menyebabkan perangsangan indung telur berlebihan yang dirasakan sebagai nyeri di perut.
ANGKA KEBERHASILAN
Angka keberhasilan super ovulasi dan IIU berkisar 10-15% per siklus, tapi dapat mencapai 50% setelah beberapa kali prosedur dalam setahun jika dilakukan pada keadaan spermatozoa normal dan saluran telur yang sehat. Yang berarti pada setiap 100 pasangan yang mengikuti prosedur IIU berulang dalam setahun, sekitar 50 akan hamil dan memiliki bayi sehat. Keberhasilan bervariasi tergantung pada jenis obat yang digunakan. Pemakaian klomifen sitrat berkaitan dengan angka kehamilan yang rendah (angka kehamilan kurang dari 10% per siklus). Angka kehamilan tertinggi didapat pada pemakaian gonadotropin.
Dokter akan melaksanakan 4 siklus IIU dan bila tidak berhasil, akan direkomendasikan teknik lain seperti IVF.

INDUKSI OVULASI

Hormon-hormon Reproduksi
Siklus reproduksi wanita normal pada prinsipnya dikontrol oleh hormon yang dikeluarkan oleh sejumlah organ di badan. Di dasar otak, kelenjar hypothalamus menghasilkan hormon pelepas gonadotropin (GnRH). Hormon ini merangsang kelenjar lain yang disebut hipofise yang bertempat sedikit di bawah hypothalamus. Hipofise menghasilkan 2 hormon penting yang terlibat dalam reproduksi – Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Kedua hormon ini memiliki efek langsung pada indung telur selama siklus menstruasi. Jumlah FSH dan LH yang dikeluarkan dan fungsinya berubah sejalan dengan siklus menstruasi.
FSH merangsang tumbuhnya kantong-kantong kecil dalam indung telur yang disebut folikel. Masing-masing folikel mengandung sel telur dan menghasilkan hormon lain. LH membantu FSH merangsang produksi hormon-hormon ini, baik sebelum maupun sesudah ovulasi.
Kira-kira dipertengahan siklus menstruasi, terjadi kenaikan mendadak kadar LH dan FSH yang menyebabkan pecahnya folikel yang dominan, dan dikeluarkannya sel telur dari dalam folikel. Saat pertengahan siklus LH menjadi hormon yang terpenting karena memungkinkan telur menjadi matang dan siap untuk dibuahi spermatozoa.

Indung Telur
Wanita memiliki 2 indung telur yang terletak di dalam panggul pada sisi kanan dan kiri rahim. Fungsi utamanya adalah menghasilkan telur dan hormon. Saat lahir, indung telur berisi ribuan telur, masing-masing dikelilingi oleh sel-sel yang berkembang menjadi kantongan berisi cairan (folikel). Setiap bulannya, pada wanita dengan siklus menstruasi yang normal, satu dari folikel-folikel ini akan tumbuh dan berkembang sampai mencapai diameter 20 mm dan akan mengeluarkan satu sel telur (ovulasi), yang akan menuju saluran telur. Di saluran telur terjadi pembuahan dan embrio akan melanjutkan perjalanan menuju ke rahim baru terjadinya kehamilan. Bila tidak ada telur yang dibuahi, rahim akan mengalami menstruasi 14 hari setelah ovulasi.
Indung telur juga menghasilkan hormon, yang terpenting adalah estrogen dan progesteron. Estrogen membantu perkembangan folikel dan timbulnya lapisan dalam rahim (endometrium), sementara progesteron, yang dikeluarkan setelah ovulasi, sangat penting dalam menyiapkan rahim untuk terjadinya kehamilan.

Infertilitas
Diperkirakan satu dari sepuluh pasutri sulit mendapatkan keturunan. Hampir semua dapat dibantu dengan penanganan medis, hanya sebagian kecil yang memang betul-betul tidak bisa tertangani. Penyebabnya dapat ditemukan pada istri (misalnya tertutupnya saluran telur) atau pada pihak suami (misalnya jumlah sperma yang rendah). Pada keadaan tertentu secara medis tidak ditemukan penyebab yang jelas yang disebut ‘unexplained infertility’.
Akan tetapi, salah satu penyebab yang sering terjadi pada wanita adalah gangguan hormonal yang sering dapat mengganggu, bahkan menghentikan siklus reproduksi. Sebagai contoh, keluaran hormon reproduksi dari hipofise atau hipothalamus tidak cukup atau tidak seimbang, folikel tidak dapat berkembang dengan baik dan tidak terjadi ovulasi. Keadaan ini disebut infertilitas ‘anovulatory’. Penyebab terbanyak adalah sindroma ovarium polikistik, dimana terjadi gangguan hormon ovarium.
Yang lebih jarang terjadi, adalah kelainan hipotalamus atau hipofise dimana tidak dihasilkan gonadotropin (atau GnRH) sama sekali; pada wanita dengan kelainan ini tidak mengalami perkembangan folikel yang diperlukan untuk ovulasi. Pada keadaan ini ovulasi dapat diinduksi dengan obat-obat penyubur, yang dapat diberikan dalam bentuk tablet atau sebagai suntikan gonadotropin.
Jadi induksi ovulasi merupakan satu diantara sejumlah penanganan infertilitas. Prinsipnya adalah merangsang indung telur untuk menghasilkan satu folikel yang matang, menimbulkan ovulasi dan meningkatkan terjadinya fertilisasi / pembuahan lewat senggama alamiah.

Induksi Ovulasi
Siapa yang memerlukan ?
1. Wanita dengan gangguan hormonal.
FSH dan LH yang tidak cukup atau tidak seimbang, mengakibatkan telur tidak dihasilkan setiap bulannya dan gagal untuk berovulasi. Keadaan ini bisa disertai oleh haid yang tidak teratur atau bukti tidak haid sama sekali. Kelainan hormonal yang lebih jarang adalah tidak diproduksinya gonadotropin sama sekali yang disebut hipogonadotropik-hipogonadism (yang penyebabnya sering belum diketahui). Termasuk dalam kategori ini adalah wanita yang sangat kurus, pelari maraton.
2. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik.
Pada keadaan ini tidak terjadi ovulasi, obat penyubur (tablet, suntikan) biasanya dapat memecahkan masalah tersebut.

Obat-obat Penyubur
Klomifen sitrat
Merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk induksi ovulasi. Di minum selama lima hari mulai hari 2-3 haid. Hasilnya 4 dari 5 wanita akan berovulasi, tetapi hanya satu dari tiga yang berhasil hamil. Dosis dimulai dengan 50 mg, yang dapat ditingkatkan sampai 100-150 mg. Klomifen dapat menyebabkan penebalan leher mulut rahim, sehingga suatu uji pasca senggama mungkin diperlukan untuk mengetahui keadaan sperma di saluran reproduksi. Efek sampingnya adalah gangguan perut, semburan panas, rasa kembung, sakit kepala, depresi dan nyeri payudara, risiko kehamilan ganda sedikit meningkat, tetapi kelainan cacat bawaan tidak terjadi.

Gonadotropin
Biasanya digunakan setelah kegagalan klomifen sitrat, tetapi apabila hormon hipofise dan hypothalamus abnormal maka gonadotropin menjadi pilihan utama. Pemberian gonadotropin dimulai pada hari-hari awal haid. Jika wanita tidak haid maka dilakukan pemeriksaan transvaginal USG dan haid ditimbulkan dengan pemberian progesteron. Dosis gonadotropin bervariasi tergantung pada respon indung telur. Injeksi dapat diberikan setiap hari atau setiap dua hari.

Monitoring
Induksi ovulasi meningkatkan wanita dengan gangguan hormonal berovulasi secara normal sehingga memiliki kesempatan untuk hamil secara normal. Yang penting bagi keberhasilan adalah senggama dijadwalkan di seputar saat ovulasi. Monitoring respon pengobatan menjadi penting untuk memaksimalkan kesempatan hamil dan meminimalkan risiko yang terjadi. Monitoring yang hati-hati dapat mencegah berkembangnya telur menjadi banyak, sehingga mencegah kehamilan ganda dan sindroma ovarian hiperstimulasi. Bila kedua hal ini terjadi maka siklus perangsangan dibatalkan. Cara terbaik menilai respon ovarium adalah dengan ultrasonografi.


Dikenal dua macam pemeriksaan yaitu transabdominal yang memerlukan penuhnya kandung kemih dan transvaginal. Pemeriksaan akan dapat melihat berapa folikel yang berkembang di masing-masing indung telur. Masing-masing folikel mengandung satu sel telur, dan dikatakan siap untuk ovulasi bila diameter mencapai sekurangnya 17 mm. Lapisan dalam rahim (endometrium) menebal, dalam persiapan menerima embrio, ketebalan endometrium harus sekurang-kurangnya 8 mm pada seputar ovulasi.


Beberapa klinik juga melakukan pemeriksaan hormon, yang paling penting adalah kadar estrogen, karena menunjukan bagaimana perkembangan folikel. Pada pertengahan siklus normal, hipofise mengeluarkan lonjakan LH yang mendorong folikel dominan melepas telurnya. Proses alamiah ini ditiru pada induksi ovulasi dengan menyuntikan human Chorionic Gonadotrpin (hCG), suntikan dilakukan bila indung telur sudah berisi satu atau lebih folikel yang matang. HCG memerlukan waktu 36-48 jam untuk bekerja, jadi bila diberikan pada pagi hari, ovulasi diharapkan terjadi pada malam hari berikutnya. Senggama terbaik dilakukan pada malam harinya atau pada malam keesokan harinya. Hubungan seksual 2-3 kali seminggu baik bagi tersedianya spermatozoa untuk membuahi sel telur saat dilepaskan waktu ovulasi. Puasa berhubungan seksual terlalu lama tampaknya dapat memperburuk fungsi sperma. Beberapa pasangan merasakan basis monitoring yang intensif menghilangkan spontanitas dalam kehidupan seksual mereka. Masa istirahat 2-3 bulan mungkin dapat menghilangkan tekanan ini dan meningkatkan hubungan seksual yang lebih relax.


LANGKAH-LANGKAH INDUKSI OVULASI
1. Pengobatan menghasilkan satu telur yang matang : klomifensitrat atau gonadotropin.
2. Monitoring penanganan, untuk mengukur perkembangan folikel, menentukan dosis, dan mencegah efek samping:
dengan transvaginal ultrasound.
kadang mengukur kadar estrogen darah.
3. Pemberian hCG, saat folikel mencapai diameter sekurangnnya 17 mm.
hCG mendorong pematangan folikel dan keluarnya telur dari folikel dominan.
Bila berkembang 3 atau lebih folikel dengan diameter > 15 mm, hCG dibatalkan untuk mencegah efek samping yang serius seperti OHSS dan kehamilan ganda.
4. Senggama atau IIU dijadwalkan 36-48 jam setelah hCG.
5. Penentuan kehamilan / monitoring

Efek samping
Efek samping klomifen sitrat dan gonadotropin jarang terjadi dan biasanya berlangsung singkat. Klomifen aman dipakai jangka pendek dan dengan monitoring yang ketat.
Efek samping yang perlu diatasi adalah :
Ovarian Hyperstimulation Syndrome.
Terlalu banyaknya folikel yang berkembang menyebabkan distensi perut, tidak nyamanan, mual dan kadang kesulitan bernafas. Mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit.
Kehamilan ganda
Ultarsonografi dapat melihat jika lebih dari 3 folikel tumbuh menjadi matang. Jika hal ini terjadi, penanganan dihentikan, karena kemungkinan terjadinya kehamilan ganda sangat besar.



Keberhasilan
Keberhasilan bergantung kepada umur istri, penyebab infertilitas dan adanya masalah lain (seperti jumlah sperma yang kurang), angka keberhasilan per siklus adalah 15-25%. Jadi sering diperlukan lebih dari satu siklus baru terjadinya kehamilan.
Era Baru Pengobatan Infertilitas dengan Gonal-F (Follitropin Alpha/FSH Recombinant)
HOTMA P. SILITONGA Product Department PT. Dipa Pharmalab Intersain Divisi Serono
Pendahuluan
Gonal-F (Follitropin Alpha) adalah FSH recombinant pertama yang dibuat di dunia. FSH berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium pada wanita, juga untuk spermatogenesis pada pria. Evolusi produk FSH sudah berlangsung selama empat dekade. Sebelum era FSH recombinant, FSH diperoleh dari urin wanita menopause. Tahun 1949, Donini dan Montezolo mempublikasikan temuan mereka, yaitu human menopausal gonadotropin (HMG) yang kala itu disebut faktor A dan faktor B. Oleh Serono, HMG dipasarkan dengan merek dagang Pergonal.
Pada 1962, Lunenfeld dan kawan-kawan melaporkan 3 kehamilan yang terjadi setelah mendapatkan terapi Pergonal (HMG) dan HCG. Bayi pertama yang lahir adalah bayi perempuan dengan berat 3500 gram. HMG mengandung FSH dan LH dengan perbandingan 1 : 1, juga protein urin dalam jumlah yang besar. Protein urin mempunyai potensi untuk menimbulkan alergi1,2.
Pada 1983, Metrodin (FSH urin) diperkenalkan. Sediaan ini hampir tidak mengandung LH lagi, namun kadar FSH yang dikandung hanya 5%. Sementara, protein urin masih sekitar 95%.
Usaha mempublikasi tetap dilanjutkan dan pada 1993 Metrodin-HP (FSH highly purified) diperkenalkan. Metrodin-HP jauh lebih baik dari Metrodin dan Pergonal karena sudah lebih murni (FSH > 95%) dan protein urin jumlahnya sangat sedikit (< 5%). Walaupun demikian, sumber Metrodin-HP masih dari urin wanita menopause.
Permintaan terhadap FSH meningkat terus, sementara untuk mendapatkan FSH eksogen dalam jumlah yang banyak tidak mudah, karena urin yang diperlukan harus urin yang berkualitas baik. Sebagai gambaran, pada 1997 diperlukan 64 juta liter urin. Karena itu, riset untuk memperoleh FSH terus dikembangkan sehingga tidak tergantung pada urin wanita menopause.
Pilihan utama adalah melalui bioteknologi. Pada awal 90-an, FSH berhasil dibuat melalui rekayasa genetika dan bioteknologi. Serono memasarkan FSH recombinant tersebut dengan nama dagang Gonal-F. Gonal-F telah disahkan oleh European Medicines Evaluation Agency (EMEA) dan FDA untuk dipasarkan3,4.
Pembuatan FSH Manusia dengan Teknologi DNA Recombinant
Beberapa produk recombinant sudah tersedia dan banyak digunakan saat ini, misalnya Saizen (recombinant human growth hormone), Rebif (Interferon Beta 2 a), Ovidrel (Recombinant KCG), dan Luveris (r-hLH). Kelihatannya, produk recombinant menjadi pilihan utama saat ini dan di masa yang akan datang. Hal ini didukung oleh kemajuan bioteknologi yang sangat cepat.
Pada awalnya, banyak kendala yang dihadapi saat membuat FSH recombinant karena struktur FSH yang sangat kompleks. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan sel mamalia yang mampu memproduksi FSH recombinant yang identik dengan FSH endogen5,6.
Diketahui bahwa FSH manusia merupakan glikoprotein yang terdiri dari sub-unit alpha dan sub-unit beta yang masing-masing dikode oleh gen yang berbeda. Gen pengkode sub-unit alpha dan gen pengkode sub-unit beta terlebih dahulu diidentifikasi, kemudian diisolasi dengan memotongnya dari rantai DNA dengan bantuan enzim. Masing-masing gen yang telah diisolasi tersebut kemudian diselipkan ke dalam potongan DNA yang lebih besar yang disebut vektor. Vektor pembawa gen sub-unit alpha dan vektor pembawa gen subunit beta kemudian ditransfeksikan ke dalam sel pejamu, yaitu China hamster ovary (CHO) yang merupakan sel mamalia. Sel mamalia dipilih karena mampu untuk mengadakan glikosilasi protein subunit FSH yang kompleks, sedangkan sel bakteri (E. coli) tidak mampu melakukannya. Selanjutnya, sel CHO tersebut akan mensintesis FSH tersebut5,6.
Farmakologi R-FSH
R-FSH terdiri dari sub-unit alpha dan sub-unit beta yang berbeda satu sama lain. Sub-unit alpha disusun oleh 92 asam amino sedangkan sub-unit beta disusun oleh 111 asam amino.
Asam amino tersebut identik dengan FSH alami yang dihasilkan oleh sel hipofisis anterior. R-FSH memiliki aktivitas spesifik 10000 IU/mg protein. Kemurniannya 99,9% dan tidak mengandung LH7.
Berikut ini adalah perbandingan Physico-kimia antar sediaan FSH.
Berbeda dari produk lainnya, sumber material Gonal-F tidak berasal dari urin wanita menopause, tetapi diproduksi oleh sel CHO melalui teknologi DNA recombinant. Dengan demikian, tidak ada kekuatiran terhadap kekurangan pasokan Gonal-F. Di samping itu, Gonal F lebih aman dan nyaman untuk pasien karena tidak mengandung protein urin yang dapat menyebabkan reaksi hipersensitif. Beberapa laporan menunjukkan bahwa HMG dan FSH urin dapat menyebabkan reaksi hipersensitif1,2. Keuntungan lainnya adalah Gonal-F tidak mengandung LH. Kadar LH yang terlalu banyak pada fase folikuler dan periovulasi dapat merusak kualitas oosit8,9,10,11.
Aktivitas spesifik Gonal-F sangat tinggi, yaitu 10000 IU/mg protein, sekitar 166 kali lipat dari HMG. Kemurnian dari Gonal-F yang mencapai >99% membuat Gonal-F dapat disuntikkan secara subkutan dan ditoleransi dengan baik oleh pasien. Di samping itu, dengan puritas yang sangat tinggi, variasi antar ampul per ampul hampir tidak ada lagi7.
Farmakokinetik
Farmakokinetik FSH eksogen tidak berbeda dengan FSH alami. Masa paruh Gonal-F berkisar 24 jam dan bioavailibilitas berkisar 70% setelah pemberian subkutan1,2.
Indikasi
Induksi ovulasi pada wanita yang tidak responsif terhadap Clomiphene citrate (termasuk penderita PCOD).
Menstimulasi perkembangan folikel pada pasien yang menjalani program IVF atau program teknik bantu reproduksi lainnya.
Dosis dan Cara Pemberian
Induksi ovulasi pada penderita anovulasi, termasuk PCOD
Tujuan pengobatan dengan Gonal-F adalah untuk merangsang pertumbuhan folikel tunggal dan diharapkan terjadi ovulasi setelah pemberian profasi (HCG). Dosis yang lazim digunakan adalah 75--150 IU/hari, dinaikkan 37,5 IU atau 75 IU pada interval 7--14 hari bila tidak ada respons dari ovarium. Dosis awal FSH eksogen yang direkomendasikan oleh American Society of Reproduction untuk pasien yang pertama kali mengikuti induksi ovulasi adalah 75 IU. Dosis maksimal harian 225 IU. Siklus pengobatan dibatalkan jika tidak diperoleh respons yang adekuat. Jika respons yang optimal sudah didapatkan, injeksi tunggal profasi (HCG) sebesar 5000--10000 IU diberikan 24--48 jam setelah pemberian Gonal-F terakhir. Penderita diminta untuk mengadakan koitus 1 hari setelah pemberian profasi. Jika respons ovarium yang didapatkan sangat berlebih, pengobatan dengan Gonal-F harus dihentikan dan pemberian HCG ditunda. Dosis Gonal-F yang dianjurkan untuk pengobatan pada siklus berikutnya adalah dengan dosis yang lebih rendah. Berikut ini adalah contoh protokol yang sering digunakan:
Keterangan:
Dosis awal Gonal-F 75 IU.
Dosis dinaikkan 37,5 atau 75 IU dalam interval 7 atau 14 hari.
Dosis diteruskan sampai folikel dominan > 18 mm dan ketebalan endometrium > 8 mm.
Profasi 5000 IU atau 10000 IU disuntikkan 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F terakhir.
Dosis maksimum harian FSH adalah 225 IU.
Koitus pada hari pemberian profasi dan hari berikutnya.
Jika respons berlebih, pengobatan dihentikan dan HCG ditunda. Dosis yang lebih rendah direkomendasikan untuk pengobatan pada siklus berikutnya.
Program IVF atau program teknik bantu reproduksi lainnya
Down regulation dengan Gonadotrophin - releasing hormone (GnRH agonist) sering dilakukan untuk menekan lonjakan LH endogen, juga untuk mengontrol kadar LH. Pengobatan dengan Gonal-F biasanya dimulai 2 minggu setelah awal pemberian GNRH agonist. Gonal-F dan GNRH dilanjutkan sampai respons folikel yang adekuat diperoleh.
Dosis umum biasanya 150--225/hari mulai hari ke-2 atau ke-3 siklus haid. Dosis disesuaikan dengan respons ovarium pasien dan dosis maksimum 450 IU. Setelah respons folikel yang adekuat diperoleh, profasi (HCG) 5000--10000 IU diberikan dalam 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F yang terakhir. Sekarang ini, regimen stimulasi ovarium yang sering digunakan pada IVF adalah Long protocol, di mana down regulation dilakukan terlebih dahulu.
Berikut ini adalah contoh long protocol yang sering digunakan:
Keterangan:
Down regulasi dengan GnRH agonist mulai hari ke-21 siklus haid sampai hari terakhir pemberian Gonal-F.
Gonal-F diberikan mulai hari ke-3 menstruasi dengan dosis 150 IU.
Satu minggu kemudian, respons ovarium dinilai untuk penyesuaian dosis.
Bila terjadi respons ovarium, dosis dipertahankan, tetapi bila respons ovarium kurang, dosis dinaikkan 75 IU.
Kenaikkan dosis dilakukan dalam interval 7 hari.
Down regulasi sampai tidak ada bukti aktivitas ovarium, ketebalan endometrium < 7 mm. Serum E2 ≤ 0,2 nmol/l.
Gonal-F diteruskan sampai folikel dominan > 18 mm dan 2 folikel lain 16 mm, serta ketebalan endometrium > 8 mm.
Injeksi profasi dilakukan 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F terakhir.
Kontra Indikasi
Kehamilan, perdarahan kandungan, ca ovarium, dan ca payudara.
Efek Samping
Efek samping yang paling berat yang dihubungkan dengan penggunaan gonadotropin pada stimulasi ovarium adalah timbulnya Ovarium Hiperstimulation Syndrome (OHSS). Karena itu, harus dilakukan monitor pengobatan secara ketat. Angka OHSS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan Gonal-F tidak berbeda dari pasien yang diterapi dengan FSH urin lainnya. Frydman dkk., menunjukkan bahwa peningkatan efektivitas Gonal-F tidak diiringi oleh peningkatan OHSS.
Efek samping lain berupa adanya sakit kepala, mual, dan muntah yang mungkin disebabkan oleh perubahan kadar estrogen yang beredar dalam tubuh sebagai konsekuensi pengobatan dengan FSH.
Toleransi dan Keamanan
Gonal-F aman untuk digunakan karena lebih murni, tidak ada lagi protein urin yang mempunyai potensi menimbulkan reaksi alergi yang tidak diinginkan. Karena puritasnya yang tinggi, Gonal-F dapat diinjeksikan secara subkutan. Sergeant dkk. melakukan studi yang menyelidiki perbedaan kemudahan penggunaan dan toleransi berbagai jenis gonadotropin melalui analisis pertanyaan. Dari tabel 4 terlihat bahwa penderita yang diobati dengan Gonal-F mengeluh rasa sakit yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang diterapi dengan produk gonadotropin lainnya.
Studi Klinis Gonal-F
1.Induksi Ovulasi penderita Infertilitas WHO grup 2
Efektivitas Gonal-F
Gonal-F telah digunakan untuk menginduksi perkembangan folikel pada pasien WHO grup 2 yang ditandai gangguan keseimbangan gonadotropin dan produksi estrogen dengan kadar prolaktin normal. Karena penderita ini memiliki kadar LH normal atau LH
yang meningkat maka penambahan kadar LH tidak diperlukan lagi.
Homnes dkk., melaporkan bahwa Gonal-F efektif merangsang pertumbuhan folikel dan berhasil menginduksi ovulasi serta kehamilan setelah dikombinasikan dengan profasi (HCG)13.
Temuan ini kemudian dikonfirmasikan oleh studi multi nasional prospektif teracak ganda yang membandingkan efikasi Gonal-F dengan FSH urin pada lebih dari 200 pasien WHO group 2. Studi tersebut menggunakan Chronic Low Dose Protocol di mana dosis awal 75 IU per hari selama 14 hari, kemudian dinaikkan 50% setiap 7 hari bila tidak ada respons folikel. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa dengan penggunaan Gonal-F, angka ovulasi yang terjadi lebih dari 60%14.
Balasch dkk. juga melaporkan bahwa efikasi Gonal-F lebih baik dari Metrodin Hp untuk menginduksi ovulasi pada pasien anovulasi klasifikasi WHO group 2. Hal ini terlihat dari perkembangan folikel dan kadar hormonal yang lebih baik15.
Conventional Versus Chronic Low Dose Pprotocol
Studi banding yang menggunakan Gonal-F dan FSH urin untuk ovulasi induksi group 2 WHO menunjukkan bahwa chronic low dose protocol lebih baik dari conventional protocol16. Studi tersebut menunjukkan bahwa chronic low dose protocol lebih aman karena insiden Sindrom Hiperstimulasi Ovarium (OHSS) lebih rendah dan pengontrolan perkembangan folikel yang lebih baik, tanpa mengurangi angka kehamilan.
Hedon dkk. juga melaporkan temuan yang sama bahwa chronic low dose protocol lebih baik dari conventional protocol17. Hal ini terlihat dari perkembangan monofolikular yang lebih baik dan angka kehamilan ganda yang lebih rendah.
Kesimpulan
Gonal-F (Follitropin alpha) adalah FSH recombinant pertama di dunia yang dibuat dengan menggunakan bioteknologi tinggi. Gonal-F merupakan sediaan FSH yang sangat murni dan tidak mengandung protein urin serta LH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gonal-F lebih efektif untuk menstimulasi perkembangan folikel.
Gonal-F ditoleransi dengan baik, karena itu aman untuk digunakan oleh pasien.
Daftar Pustaka
Harika G, Gabriel R, Quereux C, et al, Hypersensitization to human menopausal gonadotrophins with anaphylactic shock syndrome during a fifth in vitro fertilization cycle. J Assist Reprod Genet 1994; 11(l):51-3
Li TC, Hindle JE. Adverse local reaction to intramuscular injections of urinary-derived gonadotrophins. Hum Reprod 1993; 8(11): 1835-6.
Recombinant FSH approved in the US. Scrip 1997 Oct 7; 2273:21.
RPR's Taxotere-2nd EU approval. Scrip 1997 Dee 5; 2083:18.
Howles CM. III. Expression of human FSH (Gonal-F) by recombinant DNA tecimology. Hum Reprod Update 1996; 2(2 genetic engineering of human FSH (Gonal-F): 183-91.
Recombinant human FSH product development group. Recombinant follicle stimulating hormone: development of the first biotechnology product for the treatment of infertility. Hum. Reprod. Update 1998; 6:862-881.
Loumaye, E., Campbell, R., and Salat-Baroux, J. Human follicle stimulating hormone produced by recombinant DNA technology: a review for clinicians. Hum. Reprod. Update 1995:1:188-189.
Stanger, J. and Yovich, J.J. Reduced in vitro fertilization of human oocytes form patients with raised basal luteinizing hormone levels during the follicular phase. BR. J. Obstet. Gynaecol. 1985, 92, 385-393.
Regan, L., Owen, E.J. and Jacobs, H.S. Hypersecretion of luteinizing hormone, infertility and miscarriage. Lancet 1990, 336, 1141-1144.
Homburg, R., Armar, N.A., Eshel, Eshel, A. et al. Influence of serum luteinizing hormone concentrations on ovulation, conception, and early pregnancy loss in polycystic ovary syndrome. Br. Med. J. 1998, 297, 1024-1026.
Howles, C., Macnamee, M.C. and Edwards, R.G. Foilicular cycles after human in vitro fertilization: endocrine correlates. Hum. Reprod. 1987. 2, 17-21.
Goa K. and WagstaffAJ. Follitropin alpha in infertility: A review Bio Drugs 1998; 9:253-260.
Homnes P, Giroud D, Howles CM, Loumaye E,. Recombinant human follicle stimulating hormone treatment leads to normal follicular growth, estradiol secretion and pregnancy in a World Health Organization group II anovulatory women. Fertil steril 1993; 60:724-726.
Serono study 5642, data on file.
Balascli J. Follicular development and hormonal levels following higlily purified or recombinant follicle stimulating hormone administration in ovulatory women and WHO group II anovulatory infertile patients. J assited reproduction and genetics 1998; 15(9): 552-559.
Homburg R, Levy T., Ben-Rafael Z. A comparative prospective study of conventional regimen with chronic low-dose administration of follicle stimulating hormone for anovulatory associated with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 1995.63(4):729-733.
Hedon,, B., Hughes, J.N., Emperaire, J.C Chabaud JJ, Barbereau D, Boujenah A, Howles'C, Truong F.et al. A comparative prospective study of a chronic low dose versus a conventional ovulation stimulation regimen using recombinant human FSH (Gonal-F) inanovulatory infertile women. Hum. Reprod. 1998; 13(10):2688-2692.
Fernandez-Moriz J and Guerra-Flecha JM. Comparison of ovulation stimulation with highly purified FSH or recombinant FSH (Gonal-F) in patients group II of the WHO'S classification. ASRM 1998.
Catena EMR, Naranjo de la Puerta F, Diaz-Garcia Donate JA et al. FSH Urinaria alternate purificada y FSH humana recombinate: comparacion de las fases de estimulacion en placientes sometidas a IAC (in Spanish). Presented at the 5th World Congress of Obstetric and Gynaecology, Barcelona, 1997. Abstract
Bergh et al. Gonal-F vs. Metrodin HP: results of a randomized comparative study in women undergoing ART. Hum Reprod 1997; 12(10): 2133-2139.
Khalaf et al. Comparative clinical study of r-hFSH and u-FSH. Fertil Steril 1998; 70(3:1): AP-955.
Frydman R., Howles CM., Truong F. A double-blind, randomized study to compare recombinant human follicle stimulating hormone (FSH; Gonal-F) with highly purified urinary FSH (Metrodin HP) in women undergoing assisted reproductive techniques including intracytoplasmic sperm injection. The French multicentre trialists. Hum. Reprod. 2000; 15:520-5.
Study 9075/9139 (Serono study, data on file).
Alvino H, Norman R and Matthews C. Recombinant human follicle stimulating hormone (r-hFSH, Gonal-F) for in vitro fertilization. A prospective randomized clinical trial of r-hFSH versus urinary human FSH (u-hFSH, Metrodin) (submitted for publication, June 1999).
Daya S, Gunby J. Recombinant versus urinary follicle-stimulating hormone for ovarian stimulation in assisted reproduction. Hum. Reprod. 1999; 14:2207-2215.
Schats R, Sutter PD. Basils et al. Ovarian stimulating during assisted reproduction treatment: a comparison of recombinant and highly purified urinary FSH. Hum. Reprod. 2000; 15:1691-1697
Templeton A. Cooke I and O'Brien PMS. Recommendations arising from the 35th RCOG study group. Evidence-based fertility treatment, chapter 31. The Royal College of Obstetricians and Gynaecologist (RCOG) press.
Induction of ovarian follicle development and ovulation with exogenous gonadotrophins. ASRM practice committee report - A Technical Bulletin, June 1998.
Bilan general FIVNAT 1997, French IVF registry. Part of FIVNAT 1997 report. Contracept fertile sex 1998; 26(7-8): 463-465.
Beberapa Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Infertilisasi In Vitro
ANDI DARMA PUTRA
Pendahuluan
Infertilitas adalah masalah pasangan yang sejak dalu telah banyak diteliti cara-cara mengatasinya. Pada kenyataannya, masalah pada pria dan pada wanita sama besarnya, yakni masing-masing 50%. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi problem infertilitas, mulai dengan cara kuno seperti menggunakan bulu, cara sederhana dengan mengatur pola hubungan seksual pada masa subur, hingga cara moderen seperti pembuahan secara in vitro. Ditemukannya obat-obat pemicu ovulasi pada 1958 telah mengubah prognosis infertilitas menjadi lebih baik. Tetapi, bersamaan dengan hal tersebut, timbul masalah baru seperti efek samping yang tidak pasti dan angka keberhasilan yang masih kecil. Hingga kini belum ada terapi definitif dan cara yang menjamin keberhasilan fertilisasi.
Telah dilakukan berbagai penelitian tentang hal-hal yang mempengaruhi infertilitas pada seorang wanita, di antaranya pengaruh umur, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis, serta kadar gonadotropin endogen dan eksogen. Walaupun demikian, angka keberhasilan program fertilisasi in vitro belum sesuai dengan harapan dan hingga saat ini masih dicari obat-obat baru yang dapat meningkatkan keberhasilan tersebut.
Hormon pada Suntikan Menstruasi
Siklus menstruasi dimulai dari hipotalamus, sebuah kelenjar yang berada pada otak yang melepaskan gonadotropin releasing hormone (GnRH). Fungsi utama GnRH adalah melakukan stimulasi pada kelenjar hipofisis untuk melepaskan folliclle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). FSH dan LH adalah hormon yang paling bertanggung jawab terhadap siklus reproduksi normal. FSH menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel pada ovarium selama 10--14 hari pertama dari siklus. Sekitar hari ke-12 sampai hari ke-16, kelenjar hipofisis meningkatkan produksi LH. Keadaan ini yang sering disebut sebagai LH surge. Lecut LH menyebabkan folikel mengandung sel telur yang matang, kemudian pecah dan dilepaskan sebagai ovulasi. Saat di sekitar ovulasi adalah waktu yang paling baik untuk fertilisasi. Periode ini berlangsung sekitar 2--4 hari. Pada suatu keadaan karena suatu sebab tertentu, ovulasi tidak terjadi dan untuk itu dibutuhkan zat yang dapat memicu terjadinya ovulasi dari luar. Hingga saat ini, satu-satunya zat pemicu ovulasi yang telah beredar luas adalah hCG, sementara rh-LH masih dalam penelitian clinical trial tahap III.
Glikopeptida seperti FSH, LH, dan hCG bukanlah protein tunggal, tetapi merupakan protein yang terbentuk secara heterogen dengan aktivitas imunologik dan biologik yang bervariasi. Variasi tersebut terbentuk dari perbedaan promotor DNA, rangkaian RNA, dan rantai karbohidrat. Perbedaan itu mengakibatkan perbedaan struktur, klirens metabolik, efek, dan aktivitas biologik.
FSH, LH, TSH, dan hCG dibentuk dari dua unit polipeptida yang terglikosilasi, yaitu subunit alfa dan subunit beta. Hormon ini mempuyai rantai a yang sama dan strukturnya identik dengan 92 asam amino2. Sedangkan rantai beta berbeda baik dalam susunan asam amino maupun karbohidratnya. Perbedaan aktivitas biologik ditentukan oleh rantai b.
hCG adalah hormon dengan rantai beta terbesar, mempunyai 145 residu asam amino dan rantai karbohidrat yang besar. Ini adalah bagian yang unik dari sebuah struktur hCG yang memungkinkan diproduksinya antibodi yang sangat spesifik. Terminal karboksil hCG mengandung 4 sisi untuk proses glikosilasi yang lebih besar dari LH, yang membuat hCG mempunyai waktu paruh yang lebih lama dibandingkan LH. Gen DNA hCG dan LH 96% identik. Identiknya hCG inilah yang dipakai sebagai pengganti LH sebagai pencetus terjadinya ovulasi sebelum adanya preparat LH rekombinan. Tetapi, saat ini dengan ditemukannnya LH rekombinan maka mulai diteliti di banyak pusat penelitian karena preparat ini dianggap mempunyai kemampuan yang sama dengan LH endogen dan memberikan hasil yang lebih baik serta efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan hCG.
Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan korelasi yang signifikan antara pemberian injeksi hCG dengan ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Beberapa faktor yang turut berperan dalam timbulnya OHSS yaitu berat badan yang rendah, tingginya kadar estradiol, jumlah oosit yang dapat diambil, polycystic ovarian syndrome (PCOS)3.
Keberhasilan hamil yang pertama dari teknik fertilisasi in vitro terjadi pada tahun 1978 yang berasal dari sel telur yang didapat dari siklus alami,. Akan tetapi, dalam perkembangan teknik tersebut, angka keberhasilan dari siklus alami sangat rendah. Banyak pusat penelitian kemudian mendapatkan sel telur dari siklus stimulasi ovarium yang terkontrol (controlled ovarian hyperstimulation/ superovulasi). Selain itu, pada siklus alami pemantauan terhadap kejadian lonjakan LH juga harus lebih sering sehingga terdapat kesulitan dalam penjadwalan pengambilan sel telur bagi peserta, pembedah, dan staf laboratorium. Kini, dalam praktiknya, pemberian hCG/LH tidak dilakukan sendiri, tetapi diberikan sebagai suatu protokol yang mengikuti pemberian obat-obatan induksi ovulasi dalam program fertilisasi in vitro.
Umur5,,,,,, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis,, PCOS, , dan kadar hormon gonadotropin endogen serta eksogen, adalah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program IVF.
Weshoff dkk. mengatakan bahwa terjadi penurunan jumlah folikel secara bermakna sejalan dengan tuanya umur6. Wu dkk mengatakan terjadi peningkatan apoptosis pada wanita tua yang mengakibatkan rendahnya kualitas oosit.7 Hal serupa juga dikemukakan oleh Lau dkk. yang mendapatkan bahwa pada wanita tua terdapat penurunan kesuburan akibat menurunnya kualitas oosit.9
Fauser mendapatkan bahwa terjadi peningkatan androgen pada wanita dengan obesitas yang mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi. Pengurangan berat badan merupakan terapi terbaik pada pasien-pasien ini 11.
Penelitian yang dilakukan Leidenberger menduga bahwa kadar prolaktin yang tinggi akan menyebabkan terbentuknya dopamine dalam jumlah besar yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penghambatan LH 12.
Petigrew 1993 melakukan penelitian terhadap pasien yang menderita endometriosis dan didapatkan bahwa secara in vitro terjadi penurunan sel granulosa yang memproduksi estradiol dan progesteron, dan terjadi penurunan kadar LH dalam cairan folikel, serta penurunan puncak LH selama lonjakan preovulatori. Pada pasien dengan endometriosis stadium III-IV didapatkan angka fertilisasi, angka kehamilan yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang hanya mempunyai masalah pada kedua tubanya14. Hal ini akibat adanya peningkatan apoptosis pada sel granulosa wanita endometriosis sedang dan berat13.
Sindrom hiperandrogenism, insulin resistence, dan achanthosis nigricans (HAIR-AN syndrome) adalah salah satu bentuk manifestasi PCOS16, 15. Pada pasien-pasien ini, pengurangan berat badan dan perangsangan reseptor insulin adalah suatu metode untuk meningkatkan induksi ovulasi16, .
Hasil penelitian yang dilakukan Loumaye dkk. dan Strehler E dkk. mengatakan tidak ada perbedaan yang bermakna angka kehamilan antara pasien yang mendapatkan hMG dengan pasien yang mendapatkan rFSH18,. Tetapi, Gordon dkk. mengatakan terjadi peningkatan angka implantasi yang signifikan pada pasien yang mendapat FSH/LH dalam rasio 75/75 IU, meskipun tidak terbukti meningkatkan angka kelahiran hidup.
Bila terjadi kegagalan program stimulasi ovarium yang terkontrol, dapat dilakukan berulang kali. Namun, Alboughar dkk. menyarankan percobaan hanya dilakukan maksimal 3 kali pada pasien-pasien infertilitas yang penyebabnya tidak diketahui. Ini berkaitan dengan angka kehamilan yang secara bermakna turun pada pasien-pasien yang sudah 3 kali dilakukan stimulasi ovarium terkontrol.
Tujuan dari program stimulasi ovarium yang terkontrol/superovulasi pada fertilisasi in vitro adalah mendapatkan perkembangan folikel-folikel pada saat yang bersamaan, sehingga pemberian human chorionic gonadotropin atau luteinizing hormone dan pengambilan sel telur dapat dijadwalkan dengan tepat. Selain itu, juga untuk memperoleh cukup sel telur yang matang yang mempunyai kemampuan dibuahi dan menghasilkan kehamilan, memperoleh keadaan endometrium yang menyokong implantasi dan perkembangan embrio, memperkecil pembatalan pengambilan sel telur karena tidak terjadinya perkembangan folikel, serta mendapatkan hasil optimal dari biaya pengobatan dan pemantauan.
Meskipun terbentuk folikel dominan, kegagalan ovulasi dapat dijumpai pada 9% wanita fertil normal dibandingkan dengan wanita infertil (Batista dkk., 1996). Pada siklus pengobatan dengan klomifen sitrat, pemberian hCG diberikan pada siklus berikutnya apabila pemeriksaan progesteron masa luteal tengah menunjukkan kadar <10 ng/ml. Indikasi lain pemberian hCG adalah untuk perencanaan saat ovulasi sehubungan dengan tindakan inseminasi buatan.
Pemberian hCG dilakukan berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Olivenness dkk., Daya S Albano dkk., Born dan Mannaertz, Felberbauhm dkk., serta Akman MA dkk. yaitu paling sedikit terdapat tiga atau lebih folikel dengan folikel yang terbesar sudah berdiameter e 18 mm dan kadar estradiol e 1200 pg/ ml.
Bila pada pemantauan perkembangan folikel sudah terdapat paling sedikit 3 folikel dengan ukuran yang terbesar telah mencapai 18 mm dan kadar estradiol serum >1200 pg/mL, rhFSH, dan GnRH agonist dihentikan. Suntikan intramuskular hCG 5000 IU. Selain itu, telah dicoba obat baru sebagai pengganti hCG yaitu LH dengan dosis 15000 IU yang diberikan 24 jam setelah suntikan rhFSH. Pengambilan sel telur sendiri dijadwalkan 34--38 jam setelah suntikan u-hCG/ rhLH.
Kesimpulan
Keberhasilan fertilisasi in vitro dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain umur, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis, serta kadar gonadotropin endogen dan eksogen. Hingga saat ini belum ada terapi atau cara yang sempurna untuk mengatasi pengaruh-pengaruh tersebut, tetapi telah ditemukan obat baru pengganti preparat hCG sebagai pencetus ovulasi dan saat ini penelitian tentang obat ini telah sampai pada clinical trial tahap III.
Daftar Pustaka
Fillicori M. The role of luteinizing hormone in folliculogenesis and ovulation induction. Fertil Steril 1999; 71:405-414
Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA, 1999:31-105
Joseph G, Whelan III, Vlahos NF. The ovarian hyperstimulation syndrome. Fertil Steril 2000;73:883-896
Scott L. The cutting edge: the use of stem cells, clonning and embryo research in the context of human ART. The Scientific America 2000: 15-21
Chew S, Kumar J, Foong LC, Ng SC, Assisted Reprodutive Techniques – Promised and Problems. Singapore Med J 1999; 40(04): 76-81
Westhoff C, Murphy P, Heller D. Predictors of follicle number. Fertil Steril 2000; 74:624-628
Wu J, Zahang L, Wang X. Maturation and apoptosi of human oocytes in vitro are age related. Fertil Steril 2000; 74:1137-1141
Hull, MGR, Flemming CF, Hughes AO, McDermot A. The age-related decliune in female fecundity: a quantitative controlled study of implanting capacity and survival of individual embryos after in vitro fertilization. Fertil Steril 1996; 65: 763-790
Lau WNT, So WWK, Yeung WSB, Ho PC. The effect of ageing on female fertility in an assisted reproduction programme in Hong Kong: retrospective study. Hongkong Med J 2000; 6:147-152
Deaton JL. Assisted Reproductive Technology Succsess Rates. Profile, Wake Forest University School of Medicine 1998
Fauser BCJM. FSH action and intarovarian regulation. Study in Profertility series. Erasmus University Scholl of Medicine, Rotherdam, The Netherland, 1999; 6
Grudzinskas JG, Yovich. Gametes – The Oocytes. Great Briatin University Press, Cambriges, 1995: 277-291
Toya M, Saito H, Ohta N, Saito T, Kaneko T, Hiroi M. Oocyte quality in patient with moderate and severe endometriosis. Fertil Steril 2000; 73: 344-350
Azem F, Lessing JB, Geva E, Sharar A, Lerner-Geva; Yovel I; Amit A. Patient with stages III and IV endometriosis have a poorer outcome of in vitro fertilization-embryo transfer than patients with tubal infertility. Fertil Steril 1999; 72: 1107-1109
Tuckerman EM, Okon MA, Li, TC, Laird SM. Do Androgens have a direct effect on endometrial function? An in vitro study. Fertil Steril 2000; 74:771-779
Slowey MJ. Polycystic Ovary Syndrome: New Perspective on an old problem. Southern Med J. 2001; 94:190-196
Gordon UD. Gonadotropin stimulation regimens and oocytes quality. Center for Reproductive Medicine, University of Bristol. Bristol, United Kingdom, 2000
Loumaye E, Engrand P, Howles CM, O’dea L. Assessment of the role of serum luterinizing hormone and estradiole response to follicle-stimulating hormone on in vitro fertilization treament outcome. Fertil Steril 1998; 69: 76S-85S
Barbieri RL. Induction ovulation in infertile women with hyperandrogenism and insulin resistence. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:1412-8
Stehler E, Markus Abt, El-Danasouri I, De Santo M, Sterzik K. Impact of recombinat follicle stimulating hormone an d human menopausal gonadotropins on in vitro fertilization outcome.
Gordon UD, Harrison RF, Fawzy M, Hennelly B, Gordon AC. A randomized prospective assessor-blind evaluation of luteinizing hormone dosage and in vitro fertilization outcome. Fertil Steril 2001; 75:324-331
Alboughar M, Mansour R, Serour G, Abdrazek A, Amin Y, Rhodes C. Controlled ovarian hyperstimulation and intrauterine insemination for treatment of unexplained infertility should be limited to a maximum of three trial. Fertil Steril 2001; 75:88-91
Subiyanto et al. Stimulasi ovarium pada program fertilisasi invitro. Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita. Jakarta, 2000:1-11
Daya S. GnRH antagonists in Assisted Reproduction, 1999.
Albano C, Sm,ith J, Camus M. Comparison of Different Doses of Gonadotropin-realeasing Hormone Antagonist Centrorelix during Controlled Ovarian Hyperstimulation. Fertil Steril 1997; 67:917-922
Born G, Mannaerts B. Treatment with the Gonadotropin-releasing Hormone Antagonist Ganirelix in Women undergoing Ovarian Stimulation with Rekombinant Follicle Stimulating Hormone is Effective, Safe and Covinient: Result of a Controlled, Randomized, Multicentre Trial. Hum Reprod 2000; 15:1490-1498
Akman MA, Erden HF, Tosun SB, Bayazit N, Aksoy E, Bahceci M. Addition of GnRH antagonist in cycles of poor reponders undergoing IVF. Hum Reprod 2000; 15: 2145-2147
Rabu 26 September 2007

PERBAIKAN OVULASI MONOFOLIKULAR
PERBAIKAN OVULASI MONOFOLIKULAR PADA WANITA ANOVULATOR DAN OLIGO-OVULATOR SETELAH PEMBERIAN PROTOKOL FOLIKEL STIMULATING HORMON (FSH) DOSIS RENDAH YANG DINAIKKAN (STEP UP) DENGAN PENAMBAHAN
25 INTERNATIONAL UNIT SETIAP MINGGU

Tujuan :
Membandingkan efektifitas dan efisiensi protokol step up dosis rendah untuk induksi ovulasi pada wanita dengan infertilitas anovulator ( WHO grup II)
Desain :
Penelitian open-label, prospektif, secara randomisasi, dengan membandingkan kelompok, dan multisenter.
Tempat :
Delapan belas pusat infertilitas di Eropa dan Kanada.
Pasien :
Seratus limapuluh delapan wanita infertil anovulator atau oligo-ovulator.
Intervensi :
Pasien secara acak diberikan satu dari dua protokol folitropin beta (rFSH) untuk satu siklus menggunakan perlengkapan pen. Dosis awal adalah 50 IU/ hari selama 7 hari. Jika tidak ditemukan folikel yang berukuran ¡Ý 12 mm, maka dosis harian ditingkatkan 25 atau 50 IU setiap minggunya.
Nilai utama yang diukur :
Persentase dari semua subyek yang diterapi yang mengalami ovulasi setelah satu siklus terapi ( efikasi ) dan dosis total rFSH untuk mencapai ovulasi ( efisiensi ).
Hasil :
Kelompok 25 IU memiliki insiden pertumbuhan monofolikular yang lebih tinggi ( 41,3% dari 80 wanita vs 21,8% dari 78 wanita) demikian juga dengan ovulasi (81,3% vs 60,3%), dosis rFSH kumulatif yang lebih rendah (887 IU vs 984 IU ), dan insiden kegagalan akibat hiperespon yang lebih sedikit ( > 3 folikel ¡Ý 15 mm; 5,0 % vs 20,5% ). Kedua protokol dapat ditoleransi dengan baik.

Kesimpulan :
Penambahan mingguan sebesar 25 IU dari dosis harian lebih efektif dan efisien dibandingkan penambahan 50 IU.
Klomifen sitrat merupakan terapi inisial standar bagi wanita infertil dengan anovulasi kelompok II menurut WHO. Terapi ini mengembalikan ovulasi pada sekitar 70% pasien, dan 35% mengalami kehamilan dalam 6 bulan. Namun bagaimanapun, angka konsepsi dengan klomifen sitrat diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan terapi gonadotropin, kemungkinan karena efek antiestrogenik klomifen sitrat pada mukus servik dan endometrium atau siklus terapi yang tidak dimonitor dengan baik. Terapi gonadotropin digunakan secara umum pada pasien yang resisten terhadap klomifen sitrat atau pada pasien yang tidak mengandung setelah pemberian berulang dari klomifen sitrat.
Tujuan dari induksi ovulasi dengan gonadotropin adalah untuk menemukan dosis ambang dari FSH yang dibutuhkan untuk mengembangkan folikel preovulator tunggal dan menghindari pengerahan multifolikular. Karena ambang respon terhadap FSH dari ovarium berbeda pada setiap individu, maka pelaksanaan ¡°protokol step up¡± telah memperoleh persetujuan secara luas.
Risiko utama dari beberapa protokol step up adalah berkembangnya banyak folikel−memicu pembatalan siklus, sindrom hiperstimulasi ovarium berat (OHSS), atau kehamilan multipel. Untuk mengurangi risiko komplikasi ini, telah diteliti berbagai regimen dosis rendah yang dinaikkan (step up) dan diturunkan (step down). Pada regimen dosis rendah yang dinaikkan, jumlah FSH yang digunakan dikurangi dengan menggunakan interval waktu yang lebih lama antara setiap kenaikan peningkatan dosis dan/atau dengan penambahan dosis yang lebih rendah (37,5 IU atau 50 IU bahkan 75 IU). Regimen ini terbukti berhasil mengurangi risiko hiperstimulasi ovarium sementara angka kehamilan tetap memuaskan. Namun bagaimanapun, protokol ini tidak tepat karena pasien perlu mengurus sendiri pemberian setengah atau duapertiga dari ampul gonadotropin 75 IU.
Dengan tersedianya rekombinan FSH (rFSH) dalam vial yang mengandung 50 IU (folitropin beta) atau 37,5 IU (folitropin alfa), maka akan lebih mudah bagi pasien untuk menggunakan dosis yang lebih rendah. Banyak penelitian baru-baru ini yang menunjukkan bahwa dosis awal sebesar 50 IU cukup adekuat untuk memicu ovulasi. Namun bagaimanapun, dengan mempertahankan dosis 50 IU atau bahkan lebih rendah selama 2 minggu akan membutuhkan perpanjangan periode terapi hingga lebih dari 20 hari untuk dapat menghasilkan ovulasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyaring regimen rFSH lebih lanjut. Kami mengevaluasi dan membandingkan efektifitas dan efisiensi protokol step up dosis rendah dengan rFSH (folitropin beta, yang dipasarkan sebagai Follistim di Amerika Serikat dan Puregon di negara lain). Kedua regimen dimulai dengan dosis harian 50 IU selama 7 hari. Dengan interval mingguan, dosis harian dinaikkan (25 IU untuk satu kelompok dan 50 IU untuk kelompok lain) pada wanita yang tidak memiliki folikel dengan diameter sekurang-kurangnya 12 mm. Puregon Pen (Follistim Pen ), digunakan sebagai perlengkapan yang bisa diinjeksikan sendiri dengan dosis gonadotropin 25 IU.

MATERI DAN METODE
Pasien
Penelitian ini dibiayai oleh dana pendidikan yang tidak terbatas dari Organon. Delapan belas pusat infertilitas di delapan negara-negara Eropa dan Kanada berpartisipasi dalam perekrutan pasien. Komite Etik Independen dari masing-masing tempat menyetujui protokol percobaan ini. Periode penelitian adalah dari Juni 2000 hingga Januari 2002. Wanita yang memenuhi syarat adalah wanita anovulator dan oligo-ovulator (infertilitas grup II menurut WHO), dengan perdarahan withdrawal progestagen atau perdarahan menstruasi spontan. Wanita harus telah mengalami infertilitas sekurang-kurangnya satu tahun sebelumnya dan tidak mengalami ovulasi atau konsepsi selama sekurang-kurangnya tiga siklus penggunaan klomifen sitrat sebelumnya. Namun, pasien tidak boleh menggunakan klomifen sitrat atau gonadotropin dalam 30 hari sebelum dimulainya penelitian.
Para wanita ini harus berusia 18-39 tahun dan memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik. Indeks massa tubuh tidak boleh kurang dari 18 kg/m2 dan tidak boleh lebih dari 33 kg/m2. Pasien harus memiliki kavitas uterin yang normal, yang dibuktikan dengan gambaran terbaru histeroskopi, histerosalfingografi, atau sonohisterografi (dalam 3 tahun) saat skrining. Untuk menyingkirkan wanita yang memiliki tumor sekresi androgen, maka wanita tersebut harus memiliki kadar T total serum < 5,0 nmol/L (nilai normal teratas bagi wanita eumenorhea sehat nonhirsute adalah 2,94 nmol/L) atau kadar T bebas berada dalam batas normal menurut referensi laboratorium lokal. Semen dari pasangan wanita tersebut haruslah memiliki sekurang-kurangnya 10 x 106 sel sperma per mililiter yang motil secara progresif, yang diperiksa tidak lebih dari 2 tahun sebelum randomisasi.
Wanita yang tidak memenuhi syarat apabila mereka sedang hamil atau menyusui, pernah dirawat karena OHSS, mengalami hiperprolakinemia yang tidak ditangani, atau memiliki tumor ovarium, payudara, uterus, hipofise atau hipothalamus. Wanita dengan kondisi ginekologi yang tidak memungkinkan untuk kehamilan (seperti tumor fibroid uterus berat atau malformasi organ seksual) juga tidak akan diikutsertakan. Kriteria eklusi lainnya termasuk perdarahan vagina yang tidak terdiagnosis, kegagalan ovarium primer, kista ovarium atau pembesaran ovarium (tidak berhubungan dengan penyakit ovarium polikistik), dan riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol dalam 12 bulan terakhir. Tes kehamilan perlu dilakukan sebelum dimulainya terapi.
Penelitian disetujui oleh Komite Etik dari masing-masing pusat infertilitas yang berpartisipasi. Seluruh pasien memberikan inform consent tertulis. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada Deklarasi Helsinki, International Conference on Harmonization Guidelines, dan Good Clinical Practice.

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian open-label, secara randomisasi, dengan membandingkan kelompok, dan multisenter untuk menilai efek dari dua regimen induksi ovulasi yang berbeda. Pasien yang sesuai dengan seluruh kriteria seleksi secara acak diberikan satu dari dua kelompok terapi dengan menerima nomor kode subyek dari daftar randomisasi. Setiap senter menerima urutan nomor kode tersebut dan mengalokasikan nomor-nomor ini pada pasien dalam pendaftaran untuk penelitian.
Kedua regimen dimulai dengan dosis harian follitropin beta 50 IU/ hari selama 7 hari. Penambahan dosis harian setiap minggunya (25 IU pada satu regimen, 50 IU pada regimen lainnya) hanya boleh diberikan pada wanita yang tidak memiliki folikel yang berukuran sekurang-kurangnya 12 mm. Pasien menggunakan obat ini sendiri, menggunakan perlengkapan injeksi pen yang disediakan yang mengandung follitropin beta 300 IU.
Terapi diawali dalam 3 hari setelah inisiasi dari menstruasi spontan atau yang dipicu dengan progestagen. Sebelum injeksi pertama, scan ultrasound dilakukan untuk menilai aktivitas folikuler dan dilakukan pengukuran kadar serum FSH, LH dan E2. Ultrasound dan pengukuran LH dan E2 diulangi pada hari ketujuh dari terapi dan kemudian setiap 2-3 hari, tergantung dan termasuk hari pemberian hCG. Sekurang-kurangnya pada dua kesempatan (5-10 hari setelah pemberian hCG), kadar P serum diukur untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (¡Ý 25 nmol/L, seperti yang diukur oleh laboratorium setempat). Ovulasi juga dapat dikonfirmasikan dengan ultrasound.
Terapi dilanjutkan hingga terlihat satu folikel yang ¡Ý 18 mm. Kemudian hCG ( Pregnyl 10.000 IU) diberikan dalam bentuk injeksi tunggal baik secara SC maupun IM untuk memicu terjadinya ovulasi. Setelah itu, inseminasi intrauterin (IUI) dapat dilakukan. Pemberian hCG tidak dilakukan jika terdapat insufisiensi respon ovarium setelah 35 hari terapi atau pada kasus dimana terjadi hiperespon dari ovarium ( ¡Ý3 folikel yang ¡Ý 15 mm).
Terapi pada penelitian ini hanya terbatas pada satu siklus (maksimum 35 hari), dan periode percobaan diakhiri dengan perdarahan menstruasi, keguguran, atau adanya bukti klinis yang menunjukkan kehamilan yang sedang berlangsung. Dalam rangka mengkonfirmasikan ovulasi, pasien diminta untuk mengunjungi klinik 3-6 minggu setelah hari pemberian hCG atau sejak injeksi terakhir folitropin beta untuk mendeteksi kemungkinan kehamilan dengan ultrasound. Kehamilan juga dapat dinilai dengan pengukuran hCG serum. Jika wanita terseburt hamil, maka dilakukan ultrasound pada minggu 10-12 untuk mendokumentasikan kehamilan yang sedang berlangsung.
Poin Akhir
Hasil primer yang diukur adalah persentase dari semua subyek yang diterapi yang mengalami ovulasi setelah satu siklus terapi (efikasi) dan dosis total rFSH untuk mencapai ovulasi (efisiensi). Wanita ini dianggap mengalami ovulasi jika sekurang-kurangnya satu kali pengukuran progesteron (P) serum setelah terapi follitropin beta adalah diatas nilai ambang ( ¡Ý 25 nmol/L); jika mereka menjadi hamil atau mengalami kehamilan ektopik atau keguguran; atau jika dijumpai bukti lain dari ovulasi (misal melalui ultrasound). Pasien yang meninggalkan penelitian ini dan melanjutkan dengan IVF-ET dianggap tidak mengalami ovulasi.
Hasil sekunder yang diukur termasuk diantaranya persentase dari wanita dengan siklus monofolikular; persentase dari kegagalan siklus karena hipo- atau hiperespon ovarium; jumlah total hari terapi; jumlah total folikel ¡Ý2, ¡Ý 14, ¡Ý 16 dan ¡Ý 18 mm; kadar serum E2, FSH, dan LH pada hari pemberian hCG atau pada 1-3 hari sebelumnya; ukuran dosis terakhir dari follitropin beta; angka kehamilan yang sedang berlangsung; dan angka gestasi multipel. Siklus diklasifikasikan kedalam ¡°monofolikuler¡± jika secara pasti ditemukan satu folikel ¡Ý 16 mm dan tidak ada folikel lain yang ¡Ý 12 mm.
Melalui penelitian ini, keamanan dievaluasi dengan memonitor kejadian merugikan (adverse event/ AE) alamiah dan insiden dari OHSS. OHSS digolongkan dalam kelompok ringan, sedang, atau berat.
Analisa Statistik
Untuk penilaian efikasi dan efisiensi, convidence interval (CI) 95% dua sisi dihitung untuk keseluruhan perbedaan terapi. Metode stratifikasi Cochran digunakan untuk parameter nondikotomi, dan pendekatan stratifikasi Cochran-Mantel-Hanzel digunakan untuk parameter dikotomi. Dengan 90 pasien yang dapat dievaluasi dari masing-masing kelompok, angka ovulasi dapat diperkirakan dengan ketelitian (SE) sekitar 5%.
HASIL
Pasien
Dari 161 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi, sebanyak 158 wanita yang menjalani terapi. Tiga wanita (semuanya dari kelompok 25 IU) berhenti sebelum terapi dimulai: satu orang dikarenakan kehamilan spontan, satu orang karena problem sosial, dan satu orang karena kista folikuler. Dari 158 wanita yang menjalani terapi, 80 orang pasien merupakan kelompok penambahan 25 IU dan 78 pasien dari kelompok penambahan 50 IU.
Total 40 orang pasien berhenti menjalani terapi sebelum waktunya. Alasan utama penghentian ini adalah risiko terjadinya hiperstimulasi ovarium (5 orang dari kelompok 25 IU dan 16 orang dari kelompok 50 IU). Tiga wanita menghentikan terapi karena timbulnya efek samping yang merugikan: dua wanita dari kelompok 25 IU berupa perdarahan mirip menstruasi yang ringan-sedang dan satu wanita dari kelompok 50 IU karena demam sedang. Dari masing-masing kelompok, satu wanita berhenti karena respon yang tidak kuat dan satu wanita karena ovulasi spontan.
Diantara pasien yang ditangani dengan hCG, 7 wanita (2 orang dari kelompok 25 IU dan 5 orang dari kelompok 50 IU) memiliki lebih dari 3 folikel yang berukuran ¡Ý 15 mm dan melanjutkan dengan IVF. Tiga wanita lainnya memiliki banyak sekali folikel namun tidak melanjutkan dengan IVF; alasan berhentinya mereka diklasifikasikan ke dalam ¡° alasan lain-lain¡±. Satu wanita melakukan injeksi hCG namun tidak memiliki IUI karena indeks massa tubuh yang tinggi. Totalnya, 118 wanita menyelesaikan percobaan (68 orang dari kelompok 25 IU dan 50 orang dari kelompok 50 IU).
Tabel 1 menunjukkan ringkasan dari karakteristik demografi, menstrual, dan fertilitas dari semua wanita yang memulai terapi. Nilai basis dari kadar hormon dari kedua kelompok dibandingkan (Tabel 2).
Parameter Efikasi dan Efisiensi Primer
Gambar 1 memperlihatkan angka ovulasi dan nilai rata-rata dari dosis total follitropin beta yang digunakan pada kedua kelompok. Kebanyakan wanita yang berovulasi adalah dari kelompok 25 IU dibanding kelompok 50 IU (65 [81.3%] vs 47 [60,3%] ). Perkiraan perbedaan terapi dari poin persentase 18,6 secara statistik adalah signifikan. Dengan angka ovulasi 81.3% pada kelompok 25 IU dan 60,3% pada kelompok 50 IU, maka 4,8 subjek akan membutuhkan penanganan dengan regimen penambahan 25 IU untuk mendapatkan ovulasi sekali lagi. Diantara pasien yang ditangani dengan hCG, angka ovulasi adalah 89.9% untuk kelompok 25 IU dan 78,9% untuk kelompok 50 IU.
Dosis total rata-rata dari follitropin beta yang diberikan lebih rendah pada kelompok 25 IU dibandingkan pada kelompok 50 IU (886,6 ¡À 491,3 IU vs 984 ¡À 572,4 IU ). Perkiraan perbedaan terapi juga signifikan secara statistik.
Parameter Efikasi Sekunder
Tabel 3 menunjukkan hasil dan analisa statistik dari seluruh pengukuran hasil efikasi sekunder. Persentase pasien dengan siklus monofolikuler pada kelompok 25 IU hampir dua kali lipat lebih tinggi dari pada kelompok 50 IU (41,3% vs 21,8%, dari seluruh subjek yang diterapi). Angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium adalah lebih rendah pada kelompok 25 IU, dimana dosis ambang rata-ratanya (dosis terakhir dari follitropin beta sebelum pemberian hCG) dan kadar E2 serum rata-rata juga lebih rendah. Kadar LH serum rata-rata lebih tinggi pada kelompok 25 IU. Namun bagaimanapun, perbedaan ini secara luas adalah dikarenakan tiga nilai (yang menunjukkan peningkatan tajam dari LH) pada salah satu pusat penelitian. Jika hasil dari tempat ini tidak dimasukkan dalam analisa, maka hanya akan menghasilkan sedikit perbedaan antara kedua kelompok terapi (7,16 dan 6,28 U/L), yang tidak signifikan secara statistik. Sekitar 30% pasien dari kedua kelompok tetap bertahan pada dosis awal 50 IU. Lebih dari setengah wanita dari kedua kelompok membutuhkan penambahan dosis satu kali selama terapi; dan pada kedua kelompok sama-sama membutuhkan penambahan dosis hingga dua atau tiga kali dengan persentase yang sama (~ 10%)
Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai kegagalan yang dikarenakan respon yang rendah, jumlah total hari terapi, dan kadar FSH serum rata-rata. Demikian juga halnya dengan angka kehamilan yang sedang berlangsung (20,0% pada kelompok 25 IU vs 12,8% pada kelompok 50 IU) yang secara statistik tidak signifikan. Tidak ditemukan adanya kehamilan ektopik. Ditemukan dua kehamilan multipel (satu kembar dan satu kembar tiga), yang berasal dari kelompok 25 IU. Kedua wanita yang mengalami kehamilan multipel memiliki satu folikel 14 mm, satu folikel 15 mm, dan satu folikel ¡Ý 18 mm yang ditemukan pada pemeriksaan ultrasound yang terakhir.
Gambar 2 menunjukkan jumlah folikel rata-rata dari keempat ukuran, yang diukur pada saat pemberian hCG (atau 1-3 hari lebih awal). Semua wanita yang menerima hCG ikut dihitung, sedangkan mereka yang beralih ke siklus IVF tidak dihitung. Folikel yang banyak ditemukan dari kelompok 50 IU, terutama dengan ukuran 14-18 mm (gambar 2A). Karena itu dari kelompok 50 IU ini, lebih banyak yang beralih pada siklus IVF setelah menjalani injeksi hCG (lima vs dua). Jika ketujuh wanita ini dieklusikan, maka jumlah total folikel-folikel ditemukan hanya sedikit lebih tinggi pada pada kelompok 50 IU dan distribusi dari folikel-folikel ini berdasarkan ukurannya sebanding antara kedua kelompok terapi (gambar 2B).
Gambar 3 menunjukkan angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium selama periode terapi. Ditemukan jumlah wanita yang mengalami hiperespon ovarium lebih tinggi pada pada kelompok 50 IU: 20,5% vs 5,0% dari kelompok 25 IU (P = .004)
Keamanan
Insiden dari efek merugikan (AE) sebanding antara kedua kelompok terapi. Totalnya 12,7% dari wanita dilaporkan mengalami AE yang diperkirakan mungkin atau pasti berhubungan dengan medikasi penelitian (10% pada kelompok 25 IU dan 15,4% pada kelompok 50 IU). AE yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala (11,3% pada kelompok 25 IU vs 9,0% pada kelompok 50 IU) dan nyeri abdomen (ginekologikal) (12,5% pada kelompok 25 IU vs 9,0% pada kelompok 50 IU).
Dua pasien (satu dari kelompok 25 IU dan satu dari kelompok 50 IU) dirawat akibat OHSS, yang diklasifikasikan sebagai kejadian merugikan yang berat Kedua pasien membaik, meskipun salah satunya membutuhkan waktu perbaikan hingga 40 hari. Dua wanita dari kelompok 25 IU dan satu wanita dari kelompok 50 IU mengalami OHSS ringan. Tiga wanita meninggalkan penelitian akibat timbulnya AE: pada dua kasus (dari kelompok 25 IU) dikarenakan perdarahan seperti menstruasi yang tidak teratur yang diklasifikasikan kedalam derajat ringan dan sedang dan keduanya kemungkinan berhubungan dengan medikasi penelitian; pada satu kasus dikarenakan demam (dari kelompok 50 IU) yang tergolong sedang dan tidak berhubungan dengan medikasi penelitian.

DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua regimen dosis dari rFSH (follitropin beta) efektif dan aman untuk induksi ovulasi pada wanita anovulator dan oligo-ovulator (WHO grup II). Penggunaan dosis tambahan yang lebih kecil (25 IU daripada 50 IU) menghasilkan angka ovulasi yang lebih tinggi (81.3% vs 60,3% dari seluruh subjek yang diterapi), dengan total rFSH yang dibutuhkan serta dosis ambang yang lebih kecil. Karena itu regimen dengan penambahan 25 IU lebih efektif dan efisien dibandingkan regimen dengan penambahan 50 IU. Hasil ini mendukung konsep bahwa regimen follitropin beta dengan menambah dosis hanya 25 IU setiap minggunya jelas-jelas mengurangi risiko hiperstimulasi pada pasien yang terutama sensitif terhadap gonadotropin.
Angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium dalam penelitian kami jelas berkurang pada kelompok 25 IU (5,0 % vs 20,5% pada kelompok 50 IU; P =.004 ). Namun bagaimanapun, angka kegagalan yang lebih rendah ini tidak memperhitungkan keseluruhan insiden yang lebih tinggi pada kelompok 25 IU. Insiden kista monofolikular diantara pasien yang mengalami ovulasi tidak berbeda antara kelompok 25 IU dan 50 IU.
Lebih dari satu dekade terakhir, protokol dengan dosis FSH yang bervariasi telah diteliti untuk induksi ovulasi. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh maturasi dan ovulasi dari folikel tunggal yang dominan, tanpa memicu terjadinya kiperstimulasi ovarium. Saat ini, regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama adalah yang paling banyak digunakan. Dibandingkan dengan regimen step up konvensional lainnya, regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama cenderung menghasilkan angka perkembangan monofolikular yang lebih tinggi dan sedikit peningkatan angka kehamilan. Sebagai tambahan, timbulnya OHSS terhindari dan angka kehamilan multipel jelas berkurang. Namun bagaimanapun, regimen step up dosis rendah menggunakan dosis awal FSH 75 IU untuk 14 hari dapat menyebabkan overstimulasi ketika preparat FSH rekombinan yang lebih poten digunakan. Sekitar 10%-20% siklus batal akibat hiperespon ovarium, dan perkembangan folikel dominan yang tunggal hanya dapat dicapai sekitar 50% (37%-79%) dari seluruh siklus yang tidak batal.
Dalam penelitian multisenter luas menggunakan regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama dengan FSH urinarius (uFSH) atau rFSH untuk induksi ovulasi, angka ovulasi adalah sekitar 60% dari seluruh siklus yang tidak batal dan sekitar 70% dari seluruh siklus yang telah mulai. Angka kumulatif dari kehamilan yang sedang berlangsung (diobservasi setelah maksimal tiga siklus terapi) dilaporkan dalam penelitian-penelitian ini adalah sekitar 45% dari siklus yang tidak batal dan sekitar 25% dari seluruh siklus yang telah dimulai.
Hasil efikasi dari penelitian klinis terhadap induksi ovulasi adalah sangat bergantung pada populasi yang digunakan dalam analisa, jumlah siklus terapi, dan bagaimana data dipresentasikan. Penelitian kali ini menggunakan analisa intent-to-treat dan menampilkan hasil akhir pengukuran (seperti angka ovulasi, jumlah siklus monofolikuler, dan angka kehamilan) dalam bentuk persentase dari keseluruhan siklus yang telah dimulai (penelitian ini hanya terdiri dari satu siklus terapi). Sebaliknya, kebanyakan dari penelitian-penelitian regimen step up dosis rendah standar yang telah disebutkan diatas tidak menggunakan analisa intent-to-treat dan menampilkan hasil kumulatif setelah maksimal tiga siklus. Karena itu, hasil dari penelitian ini sulit dibandingkan dengan penelitian-penelitian regimen step up dosis rendah standar tersebut.
Penelitian kecil, cross over, secara randomisasi membandingkan respon folikular dari kedua dosis awal rFSH yang rendah (follitropin beta 50 IU vs follitropin alfa 37,5 IU). Dosis harian ini dipertahankan selama 2 minggu; jika tidak ditemukan bukti perkembangan folikular, maka dosis harian ini ditingkatkan 50 IU (follitropin beta) atau 37,5 IU (follitropin alfa) dalam interval mingguan. Terdapat interval sekurang-kurangnya satu bulan antara siklus terapi. Limabelas pasien yang resiten terhadap klomifen sitrat menerima kedua regimen terapi. Semua siklus terapi adalah ovulator. Enampuluh persen dari siklus follitropin beta dan 67% dari siklus follitropin alfa adalah siklus monofolikuler; perbedaannya tidaklah signifikan secara statistik. Perbedaan selisih hasil antara penelitian ini dengan tiga penelitian sebelumnya dapat dijelaskan dengan sejumlah kecil sampel sebanyak 15 wanita, dimana tidak satupun yang mengalami siklus yang batal.
Dua penelitian terbaru pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memberikan bukti yang lebih jelas bahwa dosis awal follitropin beta 50 IU dan penambahan mingguan sebesar 25 IU menghasilkan perbaikan efikasi dan memperendah risiko terjadinya OHSS. Satu dari penelitian ini membandingkan regimen step up versus regimen step down, keduanya menggunakan follitropin beta, pada 83 wanita dengan PCOS. Regimen step up menggunakan dosis harian awal 50 IU selama 14 hari, diikuti dengan penambahan mingguan sebesar 25 IU, hingga dosis harian maksimum 100 IU pada siklus pertama. Kedua siklus selanjutnya dapat dimulai dengan dosis 75 IU/hari dan dapat ditingkatkan hingga dosis hariannya 125 IU/hari. Pada regimen step down, dosis awal 100 IU digunakan hingga ditemukan folikel > 9 mm, kemudian dosis dikurangi hingga 75 IU/hari selama 3 hari dan 50 IU/hari hingga hari sebelum pemberian hCG. Jika pembentukkan folikuler terbukti tidak ada dalam 5 hari, maka dosis harian ditingkatkan hingga 150 IU. Ketika folikel > 9 mm terlihat, dosis harian dikurangi menjadi 125 IU/hari selama 3 hari, kemudian 100 IU/hari untuk 3 hari, dan kemudian 75 IU/hari hingga hari sebelum pemberian hCG. Protokol step up memiliki insiden pertumbuhan monofolikuler yang lebih tinggi ( 68,2% vs 32%; P < .0001) dan angka ovulasi yang lebih tinggi ( 70,3% vs 61,7%; P = .02)
Penelitian lain membandingkan dua regimen step up dosis rendah rFSH pada 100 wanita dengan PCOS yang resisten terhadap klomifen sitrat: satu kelompok menerima follitropin alfa (dosis awal 75 IU dan dosis tambahan 37,5 IU), dan lainnya menerima follitropin beta (dosis awal 50 IU dan dosis tambahan 25 IU). Perbedaan persentase wanita yang mengalami ovulasi secara statistik tidaklah signifikan (89% untuk folitropin alfa dan 98% untuk folitropin beta). Namun bagaimanapun, kelompok folitropin beta memiliki folikel > 16 mm yang lebih banyak (2,1 vs 1,6 , P < .05) dan siklus yang batal lebih sedikit (4% vs 15,7%, P<.05) dibandingkan kelompok follitropin alfa. Kedua penelitian terbaru ini mengkonfirmasi lebih lanjut penemuan kami bahwa dosis awal folitropin beta 50 IU, diikuti peningkatan dosis secara mingguan sebesar 25 IU, adalah merupakan alternatif terapi yang optimal, meminimalisasi risiko terjadinya hiperstimulasi ovarium.
Pada penelitian kami ini, hanya satu wanita (1,3%) dari masing-masing kelompok dirawat akibat OHSS. Ini mengindikasikan bahwa kedua regimen dosis cukup adekuat untuk meminimalkan risiko terjadinya OHSS pada kelompok pasien terutama yang sensitif terhadapnya. Rendahnya kejadian gestasi multipel (hanya dua kasus) mendukung pentingnya pemantauan yang teliti terhadap perkembangan folikel selama perangsangan ovarium pada pasien PCOS. Penemuan yang mengejutkan adalah insiden keguguran yang relatif rendah (11,1% dari kehamilan) pada kelompok 25 IU. Kebanyakan pasien hamil dengan PCOS dilaporkan memiliki angka keguguran dini sekitar 20%-30%. Namun bagaimanapun, angka keguguran yang sama (15%) juga ditemukan pada penelitian kecil menggunakan regimen step up dan step down.
Penelitian ini mengesankan bahwa kedua dosis kumulatif dari folitropin beta diperlukan dan dosis ambang folitropin beta berkurang jika digunakan dosis tambahan yang lebih kecil (25 IU daripada 50 IU). Durasi terapi rata-rata pada kedua kelompok adalah sama (13-14 hari). Periode terapi ini sebanding dengan laporan hasil penelitian lain dengan regimen uFSH atau rFSH. Peralatan injeksi pen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai sekali bagi pasien untuk menghasilkan dosis yang tepat 25 IU yang dapat dipergunakan sendiri.
Sebagai kesimpulan, protokol step up dosis rendah follitropin beta (yang diberikan menggunakan peralatan injeksi pen), dengan dosis awal rFSH 50 IU dengan pemberian tambahan yang lebih sedikit (25 IU dibandingkan 50 IU) secara mingguan (pada keadaan tidak ditemuinya folikel yang berukuran diameter minimal 12 mm), menghasilkan stimulasi ovarium yang lebih terkontrol untuk induksi ovulasi. Protokol dengan penambahan dosis secara mingguan yang lebih kecil ini lebih efektif dan efisien, ditunjukkan dengan besarnya persentase wanita yang mengalami pertumbuhan monofolikuler, tingginya persentase wanita yang mengalami ovulasi, dan rendahnya kegagalan sehubungan dengan hiperespon, serta dosis total rFSH yang digunakan lebih rendah.
Got a little couch potato? Check out fun summer activities for kids.
Diposting oleh suheimi ksuheimi di 11:15
0 komentar:
Posting sebuah Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Berlangganan: Posting Komentar (Atom)
Pilot Project: Kompilasi Web by Minangs.Com
Saat ini kami sedang mengembangkan sebuah web compiler, yang menampilkan postingan (tulisan) dari kawan-kawan (minang's) di www.minangs.com (Hak Cipta tulisan pada penulis masing-masing).Mohon tanggapan dan kritiknya, jika ingin berpartisipasi juga memungkinkan, maaf belum bisa meletakkan bukutamu di web tersebut, karena sedang dalam perbaikan.Mohon memberi tanggapan
Cakrawala Baru Bayi Tabung
9- 2004

WANITA penderita infertilitas yang disebabkan oleh Polycystic Ovarian Syndrome (PCO), kelainan ovarium dengan banyak gelembung cairan (folikel) berisi sel telur (oosit), dalam waktu dekat akan mendapatkan alternatif baru untuk memperoleh anak melalui program bayi tabung (IVF). Proses penanganan yang selama ini melelahkan, menjemukan, dan menghabiskan biaya cukup besar, kemungkinan akan berubah secara dramatis menjadi penanganan yang sederhana, singkat, dan dengan biaya yang relatif lebih murah. Baru-baru ini dikemukakan kelahiran 20 bayi dari 33 wanita infertil dengan kelainan PCO, melalui teknik kultur oosit in vitro yang lazim disebut sebagai teknik Oocytes In Vitro Maturation (IVM). Prinsip teknik ini adalah memberikan waktu yang optimum bagi oosit, dalam medium kultur dengan formula khusus, untuk melanjutkan proses pembelahan (meiosis) dari fase I ke fase II, agar oosit mampu melakukan fertilisasi dengan sperma untuk menjadi embrio. Artinya, oosit dengan tingkat kualitas yang kurang sempurna, seperti pada penderita PCO, dapat berkembang lebih baik pada medium kultur in vitro. Keberhasilan tersebut dipaparkan oleh Kwa-Yung Cha dan kawan-kawan, dalam 11th World Congress on In Vitro Fertilization and Human Reproductive Genetics yang diselenggarakan pada 9-14 Mei 1999 di Sydney, Australia, dan dihadiri oleh ribuan peserta termasuk penulis. Teknik IVM ini sebenarnya telah dirintis oleh Ryle pada oosit mencit sejak 10 tahun sebelum Louise Brown, bayi tabung pertama, dilahirkan pada tahun 1978. Berturut-turut kemudian, dikembangkan oleh para ahli pada mamalia lainnya, dan baru tahun 1974 pada manusia. Karena pertimbangan etika, minat para ahli untuk menyempurnakan teknik IVM pada IVF masih sedikit . Baru pada tahun 1996, para ahli yakin bahwa IVM dapat secara aman diterapkan pada manusia, setelah kelompok Eppig mampu membuktikan hasil yang baik pada saat diterapkan pada mencit. Namun sebelumnya, pada tahun 1992, secara tidak terduga Cha dan kawan-kawan, berhasil melaporkan kelahiran 4 bayi baru dengan teknik IVM pada uji klinik terhadap 7 wanita infertil dengan PCO. Berbagai kritik pedas yang dilancarkan, menyebabkan para ahli berupaya keras untuk membuktikan secara ilmiah pada dunia internasional bahwa agar teknik IVM dapat diterapkan pada manusia, harus mampu memenuhi persyaratan klinis dan etis seperti ditetapkan WHO. Induksi ovulasiSeperti diketahui bahwa program bayi tabung (IVF) semula menggunakan pendekatan ovulasi spontan; yaitu hanya satu oosit diperoleh pada pertengahan masa haid per bulan. Sejak 20 tahun terakhir lebih banyak digunakan program induksi ovulasi agar dapat diperoleh oosit lebih dari satu (multi-oosit). Penyebab infertilitas sebenarnya masih belum diketahui dengan jelas. Salah satunya dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormon reproduksi, misalnya anovulasi, sehingga ovarium tidak menghasilkan oosit setiap bulan. Gangguan keseimbangan hormon ini menyebabkan para ahli mengembangkan cara baru dalam pengendalian hormon melalui induksi ovulasi. Berbagai protokol induksi ovulasi telah banyak dikemukakan oleh sentra klinik di berbagai negara, termasuk Indonesia, tergantung pada indikasi penderita, tingkat pemahaman pengelola, dan yang terpenting, biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita.Tujuan utama induksi ovulasi sesungguhnya adalah untuk mendapatkan lebih dari satu oosit agar lebih banyak sel oosit yang dibuahi oleh sperma sehingga dapat diperoleh lebih dari satu embrio; karena sukses IVF juga tergantung pada berapa banyak embrio yang diletakkan ke dalam rahim. Dalam perkembangan selanjutnya, sekalipun para ahli berbeda pendapat mengenai protokol induksi ovulasi, setelah diinduksi terjadi pertumbuhan beberapa folikel yang mengandung oosit, seringkali melebihi 10, dengan derajat kualitas oosit berbeda, yang erat kaitannya dengan tahapan meiosis, yaitu oosit dengan kualitas rendah, sedang, dan baik. Oosit dengan tingkat kematangan sempurna adalah pada meiosis metafase II dengan tanda ditemukannya polar body (Lihat gambar); oosit yang diambil pada metafase I dan diberikan waktu inkubasi antara 5 - 15 jam, ternyata mampu melanjutkan proses meiosis secara mandiri. IVF merupakan tindakan yang sulit diterapkan pada penderita PCO karena kekhawatiran terjadinya efek samping sindroma hiperstimulasi akibat induksi ovulasi; akibatnya, sering dilakukan penundaan penanganan penderita. Selain itu, sejumlah oosit yang diperoleh dari penderita ini mempunyai derajat kualitas yang berbeda, menyebabkan rendahnya angka keberhasilan. Untuk menghindarkan terjadinya kedua hal tersebut, induksi dilakukan terhadap sejumlah oosit secara in vitro menggunakan medium dengan formula khusus. Medium ini ternyata dapat memacu proses pembelahan sejumlah oosit sampai metafase II. Manfaat teknik IVMSelain terjadi efek samping akibat induksi, dengan makin banyaknya jenis obat baru pemacu hormon untuk induksi ovulasi seperti produk mutakhir rancangan teknologi rekombinan, dan jenis bahan habis pakai, menyebabkan biaya penanganan IVF menjadi makin mahal. Komponen terbesar biaya tersebut adalah terutama untuk pengadaan obat pemacu hormon dan bahan habis pakai untuk induksi ovulasi, yang diperkirakan dapat mencapai hingga 70 persen dari biaya keseluruhan untuk setiap IVF. Biaya tersebut akan bertambah apabila penanganan IVF gagal dan harus diulang pada siklus haid berikutnya. Teknik IVM kultur oosit in vitro dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penanganan IVF karena manfaatnya antara lain adalah: (1) meniadakan induksi ovulasi karena sejumlah oosit dapat diambil dari gelembung folikel PCO dengan diameter >6 mm, dan selanjutnya dikultur dengan menggunakan teknik IVM; (2) menekan biaya karena tidak perlu dilakukan induksi ovulasi; dan (3) mencegah terbuangnya oosit dengan kualitas rendah pada penderita infertilitas lain yang menggunakan induksi ovulasi. Reaksi penderita yang beragam pada induksi dengan cara apa pun, menyebabkan sulitnya pemberian dosis dan saat yang tepat untuk dilakukan pengambilan oosit. Salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan pendekatan per individu dan merancang protokol yang tepat digunakan untuk penderita tersebut. Program IVF yang ideal tidak memerlukan biaya tinggi, menghasilkan banyak oosit dengan kualitas baik, dan mempunyai angka transfer serta angka kehamilan yang tinggi. Protokol yang optimal hendaknya mempertimbangkan sinkronisasi kualitas oosit, kesiapan rahim, dan kemampuan embrio untuk tumbuh dalam rahim. IVF adalah prosedur kompleks yang terdiri dari berbagai tahapan dan banyak dipengaruhi berbagai faktor yang tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu banyak laporan yang menunjukkan angka keberhasilan dengan berbagai kelemahan karena terdapat beberapa parameter yang tidak dikemukakan. Misalnya, dilaporkan tingginya angka kehamilan mencapai 40 persen, sedangkan di lain pihak dilaporkan hanya 10 persen, bahkan seringkali kegagalan tidak dilaporkan. Kenyataan menunjukkan bahwa sukses dari nilai dan kualitas protokol untuk IVF selama dua dekade terakhir merupakan fakta yang tak dapat disangkal lagi. Pada tahun 1995 saja, lebih dari 200.000 bayi telah dilahirkan oleh sekitar 1.000 klinik di seluruh dunia. Kini tergantung dari setiap pengelola untuk menggunakan protokol yang sederhana sesuai dengan kondisi, situasi, fasilitas, dan tingkat penguasaan iptek reproduksi pengelola. Yang terpenting adalah pertimbangan terhadap kemampuan biaya dan kenyamanan penderita infertil.

Ingin Memiliki Buah Hati.
Nita, 11 Feb 2005 14:28:34
Saya sudah 1 thn menikah dan belum dikaruniakan anak. Saya memiliki siklus haid yg tdk teratur. Ketika masuk kedalam pernikahan, saya pernah 6 bln tdk dpt haid. Ketika menikah, saya ambil keputusan utk ke dokter di Jakarta. Pada awalnya, saya diberikan gnekosit & primolut (berlangsung slm 3bln). Stiap minum obat tsb, haid saya keluar. Dokter sarankan saya utk periksa hormon & USG Amnore sekunder. Hasil USG baik. Sedangkan hasil lab utk hormon adlh LH: 9.2, FSH: 9.4, Prolactin: 6.22, Estradiol: <20. Menurut dokter, saya memiliki masalah di hormon. Tetapi terus diberikan gnekosit & primolut. Akhirnya saya ganti dokter di daerah Lippo Cikarang, & dokter katakan hormon saya masih dlm batas normal. Saya diberikan provera selama 4 bln. Bulan pertama - kedua, haid keluar dgn baik. Tetapi, haid ke 3-4, tdk sebanyak & selancar sebelumnya. Ketika haid ke-4, saya diminta datang, & diberikan profertil sbyk 5 buah diminum setiap hari, dimulai hr kedua haid. Tetapi, yg lucunya mulai hari kedua, haid saya jd berhenti, & hanya keluar bercak-bercak. Saya jd bingung. Hal ini normal atau tdk. Menurut dokter, analisa sperma suami saya adalah bagus, hanya agak lambat. Hsil tsb sbg berikut: Konsentrasi: 145 ; Motilitas: Good+Exellent: 55, Exellent: 39 ; Spermatozoa btk normal: 68 ; Viabilitas: 61* ; Lekosit: 0; Aglutinasi: (+) Kepala dgn kepala ; Kesimpulan spermatologi : Normozoospermia. Suami sayapun diberikan obat (saya lupa namanya) Dokter, kami rindu sekali memiliki anak. Tolong berikan jawaban secepatnya utk pergumulan saya ini. Terima kasih.
Jawab:
Ibu Nita Yth, Terima kasih atas konsultasinya. Saya sangat memahami kebingungan yang ibu alami saat ini. Tanggapan saya terhadap pengobatan yang dilakukan oleh 2 dokter spesialis kandungan tsb adalah tidak salah, hanya saja tahapan2nya kurang tepat. Ada pemeriksaan yang nampaknya masih kurang dan ada hal2 yang perlu ibu mengerti tapi tidak sampai kepada ibu. Suatu usaha pengobatan untuk hamil tidak sebentar, memerlukan waktu yang relatif lama dan diperlukan juga kesabaran dalam menjalankan program ini. Jangan sampai putus ditengah jalan. Bisanya prosedur yang dinamana HSG (Histerosalpingografi) mutlak diperlukan guna memastikan fungsi saluran tuba apakah ada penyumbatan atau tidak. Bila ada penyumbatan maka diperlukan tindakan untuk memperbaikinya. Kemudian diperlukan juga pemeriksaan hormon pd ibu, untuk mengetahui kadar hormon yang mengatur siklus haid dan kesuburan. Selanjutnya bila semuanya normal maka dapat dilanjutkan dengan pemrograman yang dikenal dengan induksi ovulasi dengan obat profertil seperti yang diberikan kepada ibu. Dengan induksi ovulasi ini maka diharapkan akan tumbuh sel2 telur yang matang yang siap untuk dibuahi oleh sperma. Bila melihat hasil sperma ternyata baik/normal (Normozoospermia). Sehingga tinggal menunggu saat ovulasi yang biasanya dipantau setiap hari sejak hari ke 12 dari menstruasi sampai sel telur ada yang matang dan dipecahkan dengan menggunakan obat hormonal juga dan setelah ibu disarankan untuk berhubungan dengan suami. Singkat ceritanya demikian, bila ternyata dokter yang memegang ibu saat ini memiliki strategi lain dalam menangani ibu, ya silakan saja ikuti dulu petunjuknya. Semoga berhasil, demikian, terima kasih. (dr Ferry SpOG,RSIA EVASARI,Jkt)
Kasus Infertilitas (Kemandulan)
GnRH Analog sebagai Terapi Pelengkap
Dr. dr. W. Adiyono SpOG(K) mendapat kesempatan untuk pergi ke Athena Yunani sebagai Invited Speaker pada acara World Congress GnRH Analog in Cancer & Human Reproduction, 25 Februari 2005. Ini merupakan oleh- oleh medis untuk pembaca Suara Merdeka (Red).
Athens telah berubah dan menikmati kembali taburan lampu-lampu spotlight, tata kota yang tetap kuno namun cantik dengan kereta api listrik modern. Semuanya tetap menunjukkan sebagai suatu simbol Yunani yang tetap dengan format kota kuno namun modern.
Melalui pengamatan konstruksi dari bangunan-bangunan megah yang tak terhitung jumlahnya mulai dari kota Athens sampai kota Delfi, semuanya merupakan paduan suatu arsitektur, seni dan filosofi yang sulit dilukiskan namun dapat dirasakan keindahannya. Seperti bangunan bersejarah Parthenoon, Acropolis, Caryatids, The Odeon of Herode Atticos. Termasuk pula membaca buku dari sejarawan Yunani kuno seperti Salom, Peisistratos, Byran, Elgia dan lainnya.
Melihat kehidupan Athens-Greece kuno yang pernah runtuh dan kemudian secara dramatis bangkit kembali menjadi modern, memberikan pacuan bahwa kita harus selalu dinamis dan optimis menapaki kehidupan ini.
Kemandulan
Infertilitas atau kemandulan diartikan sebagai pasangan suami isteri yang telah mencoba hamil namun tidak berhasil setelah satu tahun perkawinan. Delapan dari 10 pasangan sehat secara normal akan hamil pada tahun pertama sesudah menikah. Perlu dilakukan beberapa pemeriksaan medis untuk mengetahui penyebab kemandulan apabila dalam waktu tersebut pasangan suami isteri belum dikaruniai kehamilan.
Mengacu laporan WHO, kasus infertilitas terjadi terhadap satu diantara 10 pasangan suami isteri yang tersebar di seluruh negara-negara di dunia. Penelitian yang dilakukan di Inggris menyebutkan penyebab infertilitas adalah multifaktorial dengan penyebab kombinasi. Beberapa penyebabnya: Unexplain infertility 28%, problematik faktor sperma 21%, kegagalan ovulasi sel telor 18%, kerusakan faktor saluran tuba fallopii 14%, penyakit endometriosis 6%, problematik faktor hubungan seksual 5%, pengaruh cairan mukus di servik 3% dan 2% karena problematik dari pihak suami.
Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dilaporkan, penyebab kasus ini ternyata didominasi oleh faktor suami yang mencapai sampai 40% dari penyebab infertilitas. Sedangkan dari faktor wanita adalah penutupan saluran tuba fallopii (saluran sel telor) yang disebabkan penyakit infeksi panggul.
Di negara-negara maju ditemukan kasus ''infertilitas yang disengaja'', yakni pasangan suami istri ini memang menunda kehamilannya karena karier pekerjaan dan ini pun dari pengamatan penulis telah terjadi pula di Semarang. Ada sisi kebaikan namun ada sisi kerugian karena salah satu penyebab peninggian infertilitas berhubungan erat dengan faktor umur. Semakin bertambah umur semakin berkurang kesuburannya. Kenaikan faktor umur akan meningkatkan terjadinya siklus anovulasi (tidak terjadinya sel telor yang masak) dan penurunan frekuensi aktivitas hubungan seksual pasangan suami istri.
Pemeriksaan Medis
Pemeriksaan pasangan suami isteri dengan infertilitas dianjurkan datang ke seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebagai pelengkap dapat dikonsulkan ke seorang dokter andrologi, dokter urologi yang akan bekerja sama mengadakan pemeriksaan dan mengikuti jalur pemeriksaan medis untuk infertilitas. Cara ini amat penting sehingga pasangan suami isteri yang mengalami infertilitas tidak menjadi berlarut-larut dalam menentukan program pengobatannya.
Diperlukan suatu kerja sama yang erat antara dokter dan pasangan suami istri. Dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab infeksi seperti misalnya rubella atau yang lain. Istri dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung folic acid, berhenti merokok dan menekan kenaikan berat badan yang berlebihan. Pihak suami dianjurkan untuk berhenti merokok, menghilangkan alkohol dan melakukan aktivitas hubungan seksual 3x dalam seminggu untuk meningkatkan terjadinya konsepsi.
Pemeriksaan medis di rumah sakit meliputi: 1. tes fungsi ovulasi, 2. analisa sperma suami, 3. tes faktor tuba.(lihat bagan)
Induksi Ovulasi. Pada kasus anovulasi, dokter akan melakukan terapi induksi ovulasi. Untuk kasus dengan hasil analisa sperma yang kurang atau abnormal dapat dilakukan teknik swim up yang dilanjutkan dengan inseminasi dari sperma suami sendiri.
Laparoskopi. Faktor tuba dapat dilakukan tes dengan histerosalpingografi (HSG) atau pun pemeriksaan laparoskopi. Tindakaan laparoskopi dapat sebagai suatu diagnostik atau pun operatif. Laparoskopi diagnostik yang dilanjutkan dengan laproskopi operatif mampu melakukan suatu operasi untuk menghilangkan kemungkinan adanya endometriosis. Maupun pelepasan perlekatan-perlekatan di dalam tuba fallopii (peritubal adhesion) yang disebabkan oleh infeksi.
Laparoskopi sekaligus mempunyai kemampuan untuk menilai fungsi tuba fallopii melalui test metylen blue dengan menggunakan alat intra uterine manipulator, pemeriksaan kultur untuk mengidentifikasi kuman bakteri yang terdapat di dalam rongga panggul, dan melakukan pemeriksaan imunologis untuk menilai immunological environment di dalam cairan peritoneum (peritoneal fluid).
Peran GnRH
GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) merupakan suatu protein dekapeptide yang mempunyai susunan struktur 10 asam amino. GnRH diproduksi dari hipotalamus yang dikeluarkan ke bagian depan pitutaria di dalam otak kita. (lihat gambar). GnRH mempunyai tugas mengatur keseimbangan hormon dalam masa reproduksi khususnya dalam kesuburan seorang wanita yang berkaitan dengan pengeluaran hormon Gonadotropin Lutein Hormone (GnLH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).
GnRH Analog
Kemajuan dari hasil penelitian kedokteran melaporkan GnRH mempunyai fungsi penting dalam modulasi fungsi reproduksi wanita. GnRH analog kemudian mulai digunakan untuk kepentingan medis antara lain seperti Leuproreline Acetate (Tapros) yang mempunyai sifat sebagai suatu antiestrogenik, antiproliferatif dan antineoplastik. Sehingga GnRH analog dapat digunakan di dunia kedokteran seperti bidang obstetri, ginekologi dan bedah. GnRH analog dikemas dengan mengganti struktur kimia dari 10 asam amino dari GnRH di posisi asam amino 6 dan 10.
Peran GnRH analog terhadap penanganan Infertilitas. GnRH analog yang dikembangkan untuk kasus infertilitas sampai penanganan bayi tabung, mempunyai fungsi penting dalam menekan terjadinya lonjakaan awal dari hormon LH (premature LH rise) saat masa awal fase folikularis. GnRH analog digunakan pula dalam kasus Polycystic Ovarian Syndrome (PCO), endometriosis, inseminasi intrauterine dan bayi tabung.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolibianakis dkk (2003) melaporkan terjadinya penurunan yang signifikan kadar hormon LH dan estradiol pada fase folikuler pada pasien-pasien infertilitas. Dengan pemberian GnRHa diduga kuat akan mengembalikan kembali fungsi sel theca ovarium, dalam pengaturan hormon androgen menjadi hormon estradiol memasuki sel granulosa ovarium. Aktivitas GnRH analoog ini akan meningkatkan terjadinya steridogenosis, pematangan folikel telor, dan pengembalian sistem aromatase menjadi normal.
GnRH analog mempunyai fungsi penting pula di endometrium kandungan (uterus). Melalui sifat down regulated sebagai suatu sifat hipogonadotropik khususnya untuk faktor endometrium yang sangat penting untuk persiapan bayi tabung (embryo transfer).
Kesimpulan
GnRH analog merupakan suatu hormon protein yang mulai digunakan pada bidang kebidanan dan penyakit kandungan termasuk pada kasus infertilitas. Melalui sifat down regulated GnRH analog diduga kuat mampu mengatur kembali fungsi normal dari sel ovarium dan endometrium.
Peran GnRH analog dll direncanakan akan didiskusikan lebih lanjut dalam acara Workshop Laparoskopi di RS.Dr.Kariadi/ FK.UNDIP tanggal 12 dan 13 Mei 2005. (35)