Sabtu, 24 Mei 2008

such a short age (2)

Ibu mana yang tak sedih kehilangan anak satu-satunya? Putra semata wayangnya baru saja meninggal dunia karena HIV. Ya, HIV/AIDS. Kerusakan jaringan paru yang luas akibat pneumonia yang diduga akibat infeksi Pneumocytis carinii atau tuberkulosis membuat si bocah berumur dua tahun ini mengalami gagal napas. Ruang ICU penuh. Ia hanyalah satu dari sekian ribu warga Jakarta yang menggunakan fasilitas GAKIN. Mau pindah ke ICU RS mana lagi? Setelah tiga jam berjuang menghadapi sakaratul maut di ruang bangsal dengan fasilitas seadanya, seluruh otot pernapasannya kelelahan. Berhenti napas. Anak kecil dengan hasil pemeriksaan penyaring ELISA yang hasilnya reaktif itu meninggal tadi.

Sang Ibu sendiri baru tahu anaknya HIV positif setelah membuka amplop hasil pemeriksaan. Ia sama sekali tidak tahu, penyebab demam dan diare kronik pada putranya adalah infeksi virus nista itu. Artinya dia sendiri juga seharusnya HIV positif. Dari mana si balita mendapatkan HIV kalau bukan dari ibunya? Berarti suaminya yang meninggal dua tahun silam dengan mulut penuh bercak putih itu akibat HIV/AIDS juga? Suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Si istri baru tahu kebiasaan biadab suaminya itu setelah menikah. Tapi ia sama sekali tidak tahu kalau si suami akan meninggalkan warisan anak dengan HIV di tubuhnya. Juga HIV di tubuhnya sendiri, mungkin.

Kini ia telah menjadi janda. Seorang janda dengan kemungkinan besar HIV di tubuhnya. Ia baru saja kehilangan harta terbesarnya di dunia, putra yang amat dikasihinya selama ini. Apa yang harus dilakukannya setelah ini? Di usia yang masih sangat muda, yang masih butuh seseorang yang mengasihi dan dikasihi.

Kisah semacam ini menimpa banyak anak dan wanita di seluruh dunia. Transmisi virus HIV yang ditularkan dari ibu pada anaknya. Di sisi lain sudah kulihat sendiri anak-anak kecil dengan jumlah limfosit T (CD4) yang sangat rendah akibat supresi HIV, yang sudah ditinggal mati orangtuanya yang mantan AIDS, dan kini mereka dibesarkan kakek-neneknya. Bocah-bocah lucu yang harus minum anti retroviral seumur hidupnya, dan keluar-masuk rumah sakit dengan berbagai penyakit infeksi dan masalah gizi.

Lalu apa yang masih dimiliki si ibu tadi? Aku yakin, ia masih memiliki iman. Alloh akan memberikannya kehidupan yang lebih baik setelah ini. Insya Alloh.

Jadi pengen nulis tentang HIV/AIDS pada anak kalo pas lagi senggang nanti…

such a short age (1)

Setelah menjalani hampir 6 bulan mendalami dasar-dasar metodologi penelitian, komputer statistik, dan semacamnya—yang sepertinya sudah 80% hilang dari kepala, tiga bulan pertama rotasi modul saya adalah di bangsal non infeksi. Hampir 90% kasusnya adalah keganasan pada anak. Angka kematian cukup tinggi, melihat prognosis kanker secara umum yang tidak begitu baik, meski dengan pengobatan kemoterapi dini. Kematian menjadi suatu hal yang biasa bagi kami di sini. Saya ingat pertama kali memberi kabar kepada pasangan suami-istri yang baru memiliki satu anak, bahwa anak mereka satu-satunya memiliki leukemia mieloblastik akut. Tentu saja mereka langsung menangis. Diagnosis ditegakkan setelah saya melakukan aspirasi sumsum tulang saya yang pertama. Tindakan ini cukup menyakitkan untuk di anak. Saya harus menembus tulang rawannya di tonjolan krista iliaka posterior superior menggunakan besi berujung tajam seukuran pena besar. Singkat cerita si anak menjalani seri kemoterapi untuk AML M1-nya. Belum selesai satu seri, ia mengalami aplasia. Sel darah putihnya jatuh ke angka di bawah 1000, setelah di awal penyakit angkanya mencapai hampir 100.000. ia masuk ke ruang isolasi. Aplasia adalah keadaan yang bisa diramalkan dalam kemoterapi untuk AML M1. Keuntungannya adalah prognosis kelak akan lebih baik. Meskipun di sisi lain sistem pertahanan tubuhnya menjadi amat tertekan, sehingga mudah terkena infeksi. Kemoterapi memang ibarat pedang bermata dua. Total perawatannya hampir satu bulan, namun seri kemoterapi belum bisa dilengkapi. Si anak mengalami melena. Orangtuanya menyerah, dan minta pulang paksa. Supervisor kami sudah menjelaskan langsung kepada pasangan suami-istri ini alangkah berisikonya membawa pulang anak mereka saat itu. Mereka tetap bersikeras.

Satu bulan kemudian, si anak masuk instalasi gawat darurat dengan keadaan yang cukup menyedihkan. Wajahnya bengkak dan lebam di sana-sini akibat perdarahan bawah kulit. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidungnya. Trombositnya turun di bawah angka 50.000, seperti dugaan semula. Kelenjar getah beningnya membesar di hampir seluruh daerah yang dapat diraba. Hati dan limpanya juga teraba membesar. Padahal “bom” kemoterapi beberapa minggu silam telah mengecilkan semua pembesaran organ itu. Tak sampai dua minggu di bangsal perawatan, sehabis sholat subuh, telepon saya berbunyi. Si anak meninggal. Ayahnya menangis mengikhlaskan kepergian anak satu-satunya. Persis seperti saat mendengar bahwa anaknya menderita leukemia.

Kematian menjadi hal yang biasa bagi kami. Amat biasa bahkan. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, anak-anak dengan berbagai jenis keganasan yang mereka miliki datang dari berbagai penjuru negeri. Masih sedikit memang rumah sakit yang mampu memberikan fasilitas kemoterapi. Sebelum bekerja sebagai residen di RS ini, saya sudah cukup sering menghadapi kematian. Kalau sudah letih, saya bisa tidur beberapa meter di bekas bed pasien yang meninggal. Tanpa ada perasaan apa-apa. Tapi ketika mulai lagi bekerja di RS yang pernah mendidik saya selama beberapa tahun, saya hampir saja menangis ketika menghadapi kematian pasien yang pertama, setelah sekian lama. Salah satu kesedihan saya waktu itu adalah diagnosis belum tegak benar, karena masih menunggu hasil pemeriksaan apusan sediaan sumsum tulang di bawah mikroskop, dan pasien sempat mengalami kegagalan sirkulasi (syok hipovolemik) sebelum meninggal. Saya merasa bertanggung jawab sehingga bocah perempuan berusia 3 tahun itu—yang lagi-lagi merupakan anak satu-satunya dari orangtuanya—mengalami tahapan menuju syok.

Saya ingat betul percakapan saya dengan orangtua pasien pertama saya di bangsal non infeksi, ketika menunjukkan kasir pembayaran pemeriksaan bone marrow aspiration.

“Nama saya Arifianto, hampir sama dengan nama anak Bapak.” Saya memperkenalkan diri.

“Mudah-mudahan si A nanti bisa jadi dokter seperti dokter Arif.” Balas si Bapak.

Dalam hati saya berkata, andaikan saja Alloh mengijinkan si anak memiliki cukup umur di dunia ini.

Ternyata Alloh menakdirkannya di dunia dalam waktu yang cukup singkat.

Semoga Alloh mengampuni dosa seluruh orangtua yang bersabar menghadapi ujian anak-anaknya yang menderita kanker.