Senin, 26 November 2007

Ruptur Membran Pre Persalinan

Persalinan atau premature rupture membrane (PROM) terjadi sebelum waktu persalinan. Interval antara rupture membrane dan persalinan biasanya selama 1 jam. Jika hal tersebut terjadi sebelum umur kehamilan 37 minggu disebut preterm PROM. Pada preterm PROM, prognosis bagi ibu dan anak adalah jelek. Sementara beberapa penelitian memusatkan perhatian pada pemecahan masalah mengenai prognosis yang mungkin dapat lebih baik, masih terdapat beberapa informasi yang kontroversial. Pilihan penatalaksanaan terbaru mencakup pemberian antibiotik, kortikosteroid, tokolitik.

Insidensi
PROM terjadi 2 -18% kehamilan, sedangkan preterm PROM umumnya jarang terjadi 0,7-4% kehamilan. Jumlah preterm sebanyak 20-40% kasus PROM.

Diagnosis
Kebanyakan kasus PROM dapat didiagnosis berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik harus dikerjakan secara hati-hati untuk meminimalisasai resiko infeksi, terutama sebelum term. Pemeriksaan pelvic manual meningkatkan resiko infeksi, yang masuk melalui pemeriksaan speculum sehingga harus dihindari, kecuali persalinan cepat dan kelahiran yang telah dipersiapkan.
Diagnosis diferensial meliputi kebocoran urin, discharge vagina yang berlebihan dengan dilatasi berat atau prolap membrane, servisitis, perdarahan, semen dan cairan vagina.
Pemeriksaan menggunakan speculum servik dapat memperkuat diagnosis dan memberikan ahli obstetric secara visual gambaran servisitis, tali pusat dan prolap janin. Dilatasi servik dan “effacement” dapat dinilai dan diperoleh kultur jika tepat. Diagnosis rupture membrane juga diperkuat dengan penilaian cairan amnion pada forniks posterior vagina atau cairan amnion yang melewati saluran serviks.
Tes laboratorium “bedside” dapat mempertegas cairan amnion. Tes laboratorium mencakup tes pH, tes “ fern”, Nile blue tes.
PH sekresi vagina umumnya 4,5 – 6,0 sedangkan cairan amnion pHnya 7,1 – 7,3. Tes dikatakan posistif bila kertas Nitrazin berubah biru (pH > 6,0 – 6,5). Positif palsu dapat terjadi dalam keadaan kontaminasi dengan darah atau semen, antiseptic alkaline atau vaginosis bakteri. Sedangkan negative palsu dapat terjadi ketika ada kebocoran cairan amnion yang diperlama dengan minimal residu.
Tes fern dilakukan dengan swab forniks posterior dan cairan vagina yang dibiarkan kering di atas slide mikroskop. Tes positif bila arborization (ferning) tampak di bawah mikroskop. Positif palsu dapat terjadi bila mucus serviks terjadi ferning.
Tes Nile blue dilakukan dengan penembahan 1 tetes cairan vagina pada 1 tetes 0,1% Nile blue sulfat di atas slide mikroskop. Tes posistif bila sel lemak janin (sel non-nukleasi) berwarna merah. Negatif palsu dapat terjadi pada umur kehamilan dibawah 36 minggu dan perpanjangan rupture membrane.
Keakuratan tes pH, tes fern dan tes Nile blue diperlihatkan pada table 1. Tidak ada satupun yang benar-benar akurat. Kita menganjurkan teknik menyatupadukan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium yang telah disebutkan di atas untuk diagnosis. Kombinasi ini mempunyai nilai keakuratan 93,1%.
Jika riwayat, pemeriksaan fisik atau tes laboratorium tidak jelas, pemeriksaan USG mungkin berguna untuk mengetahui oligohidramnion. Terdapatnya oligohidramnion dan anomali saluran kencing janin atau pertumbuhan yang terganggu mendukung PROM. Jika ruptuir membrane tidak dapat didiagnosis oleh riwayat, pemeriksaan fisik, tes laboratorium dan USG, secara USG dengan bantuan pemberian zat warna indigocarmine secara transabdominal ( 1 ml dalam 9 ml salin normal steril) yang diikuti pengamatan terhadap aliran cairan biru dari vagina dalam 30 menit amniosentesis.



Preterm PROM
Etiologi
Banyak faktor yang telah diperlihatkan sampai meningkatkan preterm PROM, :
Infeksi intrauterine
Infeksi saluran reproduksi lain (Vaginosis bacterial, Trichomoniasis, Gonorre, Clamydia, Urealytikum ureaplasma, Gardnella vaginalis, Bacteroides, Staphylococcus aureus), kolonisasi servik (Streptococcus grup B), sebelum kelahiran preterm (khususnya yang berkaitan dengan PROM), perdarahan vagina, cervical cerclage, cervical inkompeten, distensi uterin (kehamilan multiple, hydramnion), membrane janin oleh flora vagina, asap rokok, status pemaparan nutrisi dan status sosial ekonomi rendah. Mekanisme kegagalan diperlihatkan pada gambar 1.

Riwayat Alami
Riwayat alami preterm PROM adalah persalinan ; 49-93% wanita dengan preterm PROM yang mengalami persalinan dalam 48 jam (tabel 2) dan 5,3-51% mengikuti kehamilan selama 7 hari. Pasien tersebut yang mencapai periode laten lebih dari 48 jam, penundaan kelahiran selama seminggu atau lebih dapat diharapkan. Keuntungan nyata terhadap janin telah diperlihatkan pada wanita yang mengalami perpanjangan periode laten. Periode laten minimal 7 hari menghasilkan penurunan morbiditas dan mortalitas neonatal dibandingkan dengan kelahiran dalam 48 jam. Preterm PROM dapat mempercepat proses maturasi. Terdapat penurunan kematian neonatal berkisar dari 8% dalam kelompok yang melahirkan segera sampai 0% dalam kelompok janin yang dilahirkan 48 jam atau lebih setelah preterm PROM.
Rata-rata periode laten setelah midtrimester preterm PROM (umur kehamilan sebelum 26 minggu) adalah 6,6 hari.Bagaimanapun median periode laten ini tidak berbeda dengan yang terjadi setelah preterm prom (2,2-3,6 hari). Dalam midtrimester preterm PROM, 57% wanita melahirkan dalam 1 minggu, 73,4% dalam 2 minggu dan 78% dalam 1 bulan.
Berdasarkan keuntungan dan perpanjangan periode laten ini, tindakan yang lebih aktif telah dilakukan dalam rangka usaha untuk meningkatkan presentasi pasien yang menunda kelahiran 48 jam. Penatalaksanaan tersebut sudah termasuk penggunaan tokolitik dan antibiotik.

Akibat Maternal
“Expectant Managemen” preterm PROM mengakibatkan resiko maternal : korioamnionitis, metritis, abrupsi plasenta (tabel 3). Resiko infeksi meningkat tergantung umur kehamilan.
Beberapa penelitian telah dilaporkan peningkatan kejadian korioamnionitis pada PROM berkisar 10 - 40%. Korioamnionitis terjadi lebih sering pada wanita dengan preterm PROM dibandingkan term PROM (26% preterm berbanding 6,7% term). Sampai 30% kasus juga terjadi infeksi postpartum.
Komplikasi infeksi mencakup lamanya tinggal di rumah sakit, sepsis dan yang jarang kematian maternal. Pada wanita yang didiagnosis korioamnionitis yang menjalani Seksio Cesaria (SC) resiko mengalami peningkatan untuk komplikasi operasi sangat potensial, contoh post operasi abses pelvis dan infeksi luka.
Wanita dengan PROM juga lebih sering membutuhkan persalinan dengan SC. Alasannya mencakup peningkatan kejadian malposisi pada janin dan variasi perlambatan berulang pada denyut jantung janin.
Faktor resiko lain adalah abruptio plasenta yang membesar. Resiko meningkat sebanyak 4 - 8 kali lipat dibandingkan rata-rata semula kurang dari 1%. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan, hipovolemi dan koagulapathi. Pengurangan tekanan uterus diakibatkan penurunan area permukaan intrauterin maka dari itu terjadi gangguan perlengketan plasenta.

Akibat Pada Janin
Penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas pada kejadian PROM adalah prematuritas dan sepsis. Mayoritas perempuan dengan PROM akan melahirkan prematur. PROM yang terjadi sebelum umur kehamilan 34 minggu terjadi hanya 1,7% dari semua kehamilan, tetapi mencapai sejumlah 20% dari mortalitas perinatal. Komplikasi yang paling umum pada semua umur kehamilan sebelum mencapai aterm adalah respiratory distress syndrome (RDS). Komplikasi serius lainnya necrotizing entero colitis (NEC) dan intraventricular haemorrhage (IVH).
Sepsis terjadi rata-rata 10% pada semua persalinan preterm dan tergantung pada umur kehamilan. Pada umur kehamilan kurang dari 29 minggu, kejadian sepsis neonatal adalah 35 - 45%; setelah 29 minggu kurang dari 10%. Resiko sepsis neonatal meningkat 6 kali lipat pada kejadian dari korioamnionitis.
Pada bayi preterm, angka kelangsungan hidup berbanding terbalik dengan umur kehamilan. Angka mortalitas berkisar antara 90% pada umur kehamilan 24 minggu, kurang dari 1% pada umur kehamilan 35 minggu, yang mempunyai kemampuan hidup lebih dari 90% pada umur kehamilan 30 minggu (tabel 4).
Morbiditas yang berat lebih banyak terjadi pada neonatus yang lahir pada umur awal kehamilan. Angka kejadian RDS menurun 100% pada umur kehamilan 25 minggu mendekati 0% pada umur kehamilan 37 minggu. Angka kejadian IVH, patent ductus arteriosus (PDA), NEC, dan sepsis secara pasti menurun setelah umur kehamilan 32 minggu dan mencapai 5% setelah 34 minggu. Bayi yang bertahan hidup pada semua komplikasi ini kebanyakan mempunyai masalah jangka panjang yang meliputi penyakit paru kronik, kelainan neurologi seperti serebral palsy, kebutaan, short bowel syndrome dan gangguan perkembangan.
Komplikasi neonatal yang lain pada PROM adalah komplikasi tulang belakang seperti prolaps dan kompresi, terbukti adanya denyut jantung janin abnormal. Jika PROM dan oligohidramnion lama (terjadi sebelum umur kehamilan 24 minggu) janin memiliki penampakan wajah abnormal, deformitas ekstremitas, gangguan pertumbuhan dan hipoplasi pulmoner.

Penatalaksanaan
Penilaian awal harus meliputi evaluasi persalinan dan janin yang mencurigakan dan infeksi intrauterin. Jika terdapat korioamnionitis kehamilan harus diterminasi tanpa memperdulikan umur kehamilan. Tidak adanya korioamnionitis penatalaksanaan tergantung pada lamanya umur kehamilan.
Presentasi janin harus ditentukan setelah swab servik dikultur, pengawasan jangka panjang harus dilakukan sampai identifikasi kompresi tali umbilikus yang jelas awal kelahiran. Pemeriksaan ultrasound dapat menilai umur kehamilan, identifikasi anomali janin, gangguan pertumbuhan janin yang jelas, dan dapat mengetahui volume cairan amnion. Jika tidak ada kecurigaan pada janin dan tidak ada infeksi intrauterin,penatalaksanaan harus dapat dilaksanakan. Pasien harus dinilai secara periodik untuk kejadian infeksi atau persalinan. Jika janin mempunyai paru-paru matur mengikuti PROM pada umur kehamilan 32 - 36 minggu, induksi persalinan dapat dipertimbangkan. Kematangan paru janin dapat ditentukan oleh perbandingan lesitin / spingomielin (L/S) atau pospatidilgliserol dari cairan amnion. Data klinik mengenai “expectant management” dibandingkan dengan induksi segera pada 30 - 34 dan 32 - 36 minggu umur kehamilan memperlihatkan peningkatan resiko korioamnionitis dan pemanjangan masa rawat inap dengan “expectat management”, tetapi resiko yang sama pada RDS, IVH, NEC dan kematian neonatal. Ketika persalinan terjadi secara induksi atau spontan, antibiotik profilaksis untuk infeksi streptococcus grup B harus diberikan intra partum.

Expectant Management
Expectant Management harus meliputi sebagai berikut :
Modifikasi bed rest untuk mempertinggi reakumulasi cairan amnion dan istirahat total pelvis untuk mencegah infeksi.
Penilaian periodik untuk kejadian infeksi atau persalinan. Peningkatan hitung sel darah putih (WBC) maternal adalah gold standar klinis untuk diagnosis pasti infeksi sistemik, meskipun tes ini tidak spesifik. Hitung darah komplit harus diulang tiap minggu untuk mengawasi kejadian infeksi. Tetapi pengawasan untuk kejadian persalinan harus dikerjakan tiap hari secara manual atau elektronik.
Kondisi janin harus diawasi secara rutin. Non stress test (NST) merupakan alat yang adekuat untuk mengetahui infeksi intrauterin dan biaya yang terjangkau. NST harus dikerjakan tiap hari pada semua pasien preterm PROM. Biophysical prifile (BPP) harus disediakan pada NST yang tidak reaktif atau tidak memuaskan. Variasi yang paling dapat ditentukan dengan BPP untuk infeksi adalah pernafasan janin. Jika NST tidak reaktif dan pernafasan abnormal janin bersamaan dengan tidak ada gerakan janin, persalinan harus dimulai.
Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan preterm PROM. Antibiotik secara pasti memperpanjang kehamilan dan menurunkan morbiditas maternal dan neonatal. Sediaan antibiotik yang optimal tidak ada aturan pasti, tetapi penelitian terbaik yang terbaru menggunakan jenis spektrum yang luas secara intravena ( ampicillin + eritromisin ) selam 48 jam diikuti terapi oral jangka pendek dikombinasi jenis spektrum luas ( amoxillin + eritromisin ). Dari penelitian evidence based, antibiotik harus secara rutin diberikan pada preterm PROM ( 24 – 34 minggu ) karena keuntungannya lebih besar.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm PROM telah dilaporkan secara pasti manurunkan kejadian RDS, IVH dan NEC. Konsensus panel National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm PROM sebelum umur kehamilan 30 – 32 minggu yang tidak ada infeksi intra amnion. Sediaan terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.
Tokolitik profilaksis setelah preterm PROM memperpanjang fase laten selama 1-2 hari, meskipun terapi tokolitik ( yang dilakukan setelah mulai kontraksi ) tidak terjadi. Nilai tokolitik profilaksis selama 1-2 hari dan kortikosteroid pada preterm PROM untuk meningkatkan maturitas paru janin tidak adekuat bila dievaluasi. Penatalaksanaan tersebut dapat meningkatkan resiko korioamnionitis dan endometritis.

TERM PROM
Etiologi
Banyak faktor yang meningkatkan resiko term PROM sama seperti preterm PROM: infeksi intrauterin, infeksi saluran reproduktif lain (vaginosis bakteri, trichomoniasis, ganore, clamidia, ureaplasma urealitikum, gardnerrella vaginalis, bacteriodeas, Sthaphyllococcus aureus), cervikal colonization (streptococcus grup B),sebelum persalinan preterm (khususnya yang berhubungan dengan PROM), perdarahan vagina, cervikal cerclage, inkompetensi servik distensi uteri (kehamilan multipel, hidramnion), pemaparan membran janin oleh flora vagina, asap rokok, status nutrisi dan status sosial ekonomi yang rendah. Faktor lainnya sel apoptotik banyak terjadi pada area berdekatan dengan sisi yang ruptur pada term PROM.

Riwayat Alamiah
Ketika PROM terjadi pada term penuh, 50% wanita akan melahirkan dalam waktu 5 jam dan 95% dalam waktu 28 jam dari pecahnya membran.

Akibat Maternal
Expectant Management dari term PROM mempunyai resiko maternal yang sama dengan preterm PROM seperti korioamnionitis, metritis, plasenta abrupsi tetapi resiko lebih rendah daripada preterm PROM.

Akibat pada Janin
Penyebab umum dari morbiditas dan mortalitas neonatal pada term PROM adalah sepsis. Resiko sepsis neonatal meningkat 6 kali pada korioamnionitis.
Komlikasi neonatal lainnya pada term PROM adalah kompilkasi cord seperti prolap cord dan kompresi cord, terbukti dengan DJJ yang abnormal.

Penatalaksanaan
Jika korioamnionitis terjadi, kehamilan harus diterminasi setelah kultur swab servik dan penilaian adanya infeksi janin harus dinilai dengan monitoring DJJ. Sertvik kemudian dinilai untuk menentukan apakah induksi persalinan tepat.
Jika kondisi servik tidak baik, pematangan servik diikuti dengan induksi persalinan harus dipertimbangkan, karena hasilnya tidak berbeda pada persalinan induksi atau “expectant management”. Induksi dapat dilakukan segera atau ditunda 24-72 jam. Jika waktu masuk sampai persalinan dipercep[et oleh induksi, persalinan akan lebih panjang dan kebutuhan alat persalinan vagina akan lebih besar. Meskipun resiko infeksi maternal dapat meningkat dengan “expectant management” tidak berbeda dengan SC dan komplikasi infeksi neonatal telah diobservasi dibandingkan dengan persalinan induksi.
Jika kondisi servik bagus, sedikit yang diuntungkan persalinan yang ditunda, persalinan harus diinduksi dengan oksitosin atau prostaglandin. Pemeriksaan vagina harus dihindari selama masa laten persalinan dan diminimalisasi selama fase aktif. Jika durasi total dari pecahnya membrane diperkirakan melebihi 18 jam atau faktor resiko lain berupa infeksi streptokokus grup B. Antibiotik profilaksis harus diberikan intrapartu.

Ringkasan
PROM adalah komplikasi penting yang terjadi pada 2 - 18% dari kehamilan. Diagnosis berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan fisik. Tes laboratorium juga menentukan diagnosis. Morbiditas maternal dan neonatal meningkat terutama pada preterm PROM. Penatalaksanaan PROM akan dipengaruhi oleh ada tidaknya korioamnionitis dan oleh umur kehamilan. Pemeriksaan digital harus dicegah kecuali mendekati persalinan. Tidak adanya infeksi intrauterine dan resiko janin membahayakan atau umur kehamilan kurang dari 30 – 32 minggu, penatalaksanaan harus ekspektan. Kortekosteroid antenatal harus diberikan untuk meningkatkan maturitas paru janin. Antibiotik harus diresepkan tetapi manfaat tokolitik belum pasti.




Presentasi Bokong

Angka kematian ibu bersalin dan angka kematian perinatal merupakan indikator yang paling peka untuk menilai keberhasilan program kesehatan ibu dan anak.1 Malpresentasi dapat mengakibatkan timbulnya penyebab kematian perinatal termasuk diantaranya adalah kelainan presentasi bokong, kejadian hipoksia dan trauma lahir pada perinatal sering ditemui pada kasus persalinan dengan malpresentasi yaitu pada presentasi bokong.2

Kematian perinatal langsung yang disebabkan karena persalinan presentasi bokong sebesar 4-5 kali dibanding presentasi kepala. Sebab kematian perinatal pada persalinan presentasi bokong yang terpenting adalah prematuritas dan penanganan persalinan yang kurang sempurna, dengan akibat hipoksia atau perdarahan di dalam tengkorak. Trauma lahir pada presentasi bokong banyak dihubungkan dengan usaha untuk mempercepat persalinan dengan tindakan-tindakan untuk mengatasi macetnya persalinan.3
Kehamilan dengan presentasi bokong merupakan kehamilan yang memiliki risiko. Hal ini dikaitkan dengan abnormalitas janin dan ibu. Frekuensi dari letak sungsang ditemukan kira-kira 4,4 % di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan dan 4,6 % di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.4,5
Banyak faktor yang dapat menyebabkan kelainan letak presentasi bokong, diantaranya paritas ibu dan bentuk panggul ibu. Angka kejadian presentasi bokong jika dihubungkan dengan paritas ibu maka kejadian terbanyak adalah pada ibu dengan multigravida dibanding pada primigravida, sedangkan jika dihubungkan dengan panggul ibu maka angka kejadian presentasi bokong terbanyak adalah pada panggul sempit, dikarenakan fiksasi kepala janin yang tidak baik pada Pintu Atas Panggul.5
A. DEFINISI
Presentasi Bokong merupakan letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah sehingga kepala berada di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri.2,4,5

B. ETIOLOGI
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap ruangan di dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala, presentasi bokong atau letak lintang.4
Karena berbagai sebab yang belum diketahui begitu jelas, menjelang kehamilan aterm, kavum uteri telah mempersiapkan janin pada posisi longitudinal dengan presentasi belakang kepala. Presentasi bokong umumnya terjadi pada akhir trimester kedua kehamilan atau mendekati aterm.5
Faktor predisposisi untuk presentasi bokong selain usia kehamilan adalah relaksasi uterus yang dapat disebabkan oleh multiparitas, bayi multipel, hidramnion, oligohidramnion, hidrosefalus, anensefalus, presentasi bokong sebelumnya, anomali uterus dan berbagai tumor dalam panggul juga pada plasenta yang terletak didaerah kornu fundus uteri.4,5

C. KLASIFIKASI 5
1.Presentasi bokong murni (Frank Breech)
Yaitu fleksi ekstremitas bawah pada sendi paha dan ekstensi lutut sehingga kaki terletak berdekatan dengan kepala.
2.Presentasi bokong lengkap (Complete Breech)
Yaitu satu atau kedua lutut lebih banyak dalam keadaan fleksi dari pada ekstensi.
3.Presentasi bokong tidak lengkap (Incomplete Breech)
Yaitu satu atau kedua sendi paha tidak dalam keadaan fleksi dan satu atau kedua kaki atau lutut terletak dibawah bokong, sehingga kaki atau lutut bayi terletak paling bawah pada jalan lahir,terdiri dari :
Letak kaki :
Kedua kaki terletak dibawah = letak kaki sempurna
Hanya satu kaki terletak dibawah = letak kaki tak sempurna
Letak lutut :
Kedua lutut terletak paling rendah (letak lutut sempurna)
Hanya satu lutut terletak paling rendah (letak lutut tak sempurna)

D. DIAGNOSIS
1.Pemeriksaan Abdomen 5
Palpasi
Dengan perasat Leopold didapatkan;
Leopold I : Kepala janin yang keras dan bulat dengan balotemen menempati bagian fundus uteri
Leopold II : Teraba punggung berada satu sisi dengan abdomen dan bagian-bagian kecil berada pada sisi yang lain.
Leopold III : Bokong janin teraba di atas pintu atas panggul selama engagement belum terjadi.
Auskultasi
Denyut jantung janin biasanya terdengar paling keras pada daerah sedikit diatas umbilikus, sedangkan bila ada engagement kepala janin, denyut jantung janin terdengar dibawah umbilikus.
2.Pemeriksaan dalam
Untuk mengetahui bokong dengan pasti, kita harus meraba os sacrum, tuber ossis ischii, anus. 4
3.Pemeriksaan Penunjang.
Apabila masih ada keraguan harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografik atau M.R.I. (Magnetic Resonance Imaging). 4


E. PENANGANAN
Penanganan dalam persalinan6
Jenis pimpinan persalinan pada presentasi bokong, antara lain;
1.Persalinan pervaginam
Berdasarkan tenaga yang dipakai dalam melahirkan janin pervaginam, persalinan pervaginam dibagi menjadi 3 yaitu;
a.Persalinan spontan (spontaneous breech)
Janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga ibu sendiri. Cara yang lazim dipakai disebut cara BRACHT.
1)Tahap pertama : fase lambat, Lahirnya bokong sampai dengan umbilikus, spontan
2)Tahap kedua : fase cepat, lahirnya umbilikus sampai mulut
3)Tahap ketiga : fase lambat, lahirnya mulut sampai kepala.
Tehnik : Hiperlordosis badan bayi

b.Ekstraksi Parsial / EP (Manual aid / partial breech extraction)
Janin dilahirkan sebagian dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga penolong.
Indikasi;
1)Bila pertolongan cara bracht gagal
2)Elektif, karena sejak semula direncanakan pertolongan dengan manual aid.
Tahapan dalam manual aid;
1)Tahap pertama : lahirnya bokong sampai umbilikus, spontan
2)Tahap kedua : lahirnya bahu dan lengan dengan tenaga penolong baik secara klasik (Deventer), Mueller atau Lovset.
3)Tahap ketiga : Lahirnya kepala dengan cara Mauriceau (Veit-smellie), Najouk, Wigand Martin-Winckel, Prague terbalik atau dengan cunam piper.

c.Ekstraksi Total / ET (Total breech extraction)
Janin dilahirkan seluruhnya dengan memakai tenaga penolong. Cara ini dilakukan hanya bila terjadi fetal distress atau ada indikasi untuk menolong persalinan dengan ekstraksi total.

2.Persalinan perabdominam (Sectio Cesaria / SC).
Persalianan presentasi bokong dengan Sectio Cesaria merupakan cara yang terbaik ditinjau dari janin. Banyak ahli melaporkan bahwa persalinan presentasi bokong secara pervaginam, memberi trauma yang sangat berarti bagi janin, yang gejala-gejalanya akan tampak pada waktu persalinan maupun dikemudian hari.6
Namun hal ini tidak berarti bahwa semua presentasi bokong harus harus dilahirkan secara perabdominam. Beberapa kriteria yang dapat dipakai pegangan bawa presentasi bokong harus dilahirkan secara perabdominam, antara lain;
1)Primigravida tua,
2)Nilai sosial janin tinggi,
3)Riwayat persalinan yang buruk,
4)Taksiran berat janin besar ³ 3500 kg,
5)Dicurigai terdapat kesempitan panggul
6)Prematuritas. 6
Sebelum melakukan pertolongan persalinan sebaiknya dilakukan penilaian persalinan sungsang. Metode penilaian yang lazim dipakai adalah dari Zatuchni-Andros.

DAFTAR PUSTAKA

1.Yuliawati, S., Analisis Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terjadinya Kematian Perinatal di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali tahun 1998-2000, Tesis FK UGM, Yogyakarta, 2001

2.Collea,J.V., Malpresentation and Cord Accident, in; Pernoll,M.L., Benson,R.C., Current Obstetric and Gynecologic Diagnostic and treatment, Appleton and longer, LA,1987

3.Benson,R.C., Current Obstetric and Gynecologic Diagnostic and treatment, 3rd ed, Lange Medical Publication, Maruzen Asia, Singapore,1980

4.Martohoesodo,S., Hariadi,R., Distokia karena kelainan letak serta bentuk janin, dalam Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002, hal;595-636

5.Cunningham, F.G., Mac.Donald, P.C., Gant, N.F., Distosia karena kelainan pada presentasi, posisi atau perkembangan janin , Obstetri Williams (18th ed), Suyono, J., Hartono, A., ( Alih Bahasa ), Jakarta : EGC, 1995

6.Angsar,M.D., Setjalilakusuma,L., Persalinan sungsang, dalam Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2000, hal;104-122

Klimakterium

Sekitar separuh dari semua wanita berhenti menstruasi antara usia 45 dan 50, sekitar seperempat berhenti sebelum umur 45 tahun, dan seperempat lainnya terus menstruasi sampai melewati umur 50 tahun. Istilah klimakterium berasal dari kata Yunani yang berarti “anak tangga” dan mengandung hubungan yang sama dengan menopause seperti istilah pubertas dengan menarke. Klimakterium merujuk pada waktu dalam kehidupan seorang wanita yang dikenal kaum awam sebagai “perubahan hidup”.

II.1. Definisi
Klimakterium adalah masa yang bermula dari tahap reproduksi sampai berakhir pada awal senium, yaitu pada wanita berumur 40 – 65 tahun. (1)
Masa klimakterium ditandai dengan berbagai macam keluhan endokrinologi dan vegetatif.
Keluhan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi ovarium. Gejala dari menurunnya fungsi ovarium ini ditandai dengan hentinya menstruasi pada seorang wanita yang disebut menopause. (1, 2)
Waktu 4 – 5 tahun sebelum menopause disebut masa premenopause, sedangkan 3 – 5 tahun setelah menopause disebut masa pasca menopause. (1)

II.2. Etiologi
Sebelum seorang wanita tersebut menopause, maka akan terjadi beberapa perubahan pada ovariumnya seperti sklerosis pembuluh darah, berkurangnya jumlah folikel dan menurunnya sintesis steroid seks.
Penurunan fungsi dari ovarium tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan ovarium untuk menjawab rangsangan Gonadotropin, keadaan ini menyebabkan terganggunya interaksi hipotalasmus-hipofisis. Pertama-tama terjadi kegagalan fungsi korpus luteum, kemudian produksi steroid ovarium menurun sehingga reaksi umpan balik negatif terhadap hipotalasmus berkurang, keadaan ini dapat meningkatkan produksi FSH dan LH. (2)

II.3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari defisiensi estrogen dapat berupa gangguan Neurovegetatif, gangguan psikis, gangguan somatik dan gangguan siklus haid.
Gangguan neurovegetatif yang disebut juga gangguan vasomotorik dapat muncul sebagai gejolak panas, keringat banyak, rasa kedinginan, sakit kepala, berdebar-debar, jari atrofi dan gangguan usus.
Gangguan psikis muncul dalam bentuk mudah tersinggung, depresi, kelelahan dan sulit tidur.
Gangguan somatik, selain amenorhea atau gangguan haid, inkontinensia urine, disuria, osteoporosis, artritis dan aterosklerosis. (3)

II.4. Diagnosis
Diagnosis sindroma klimakterium ditegakkan berdasarkan umur dan keluhan yang timbul.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan kadar FSH serum.
FSH biasanya meningkat 10 – 20 kali lebih banyak, sedangkan LH meningkat 5 – 6 kali lebih banyak.
Secara endokrinologia, masa klimakterium ditandai oleh menurunnya kadar estrogen dan meningkatnya pengeluaran Gonadotropin. (1, 2)

II.5. Penatalaksanaan
Pengobatan dasar dari sindroma klimakterium ini meliputi :
Psikoterapi
Sedativa – psikofarmaka
Balneoterapi (pengaturan diet)
Substitusi hormonal.
Atas dasar bahwa sindroma klimakterium terutama disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pilihan utama untuk pengobatannya adalah pemberian substitusi estrogen dengan syarat wanita tersebut tidak menderita tumor yang bergantung pada estrogen (estrogen dependent) misalnya : adanya mioma uteri. (1, 2)



II.6. Cara pemberian estrogen
Pemberian substitusi estrogen bergantung pada keadaan estrogen penderita, untuk itu maka dibedakan dua kelompok (jenis) penderita klimakterium, yaitu :
a.Penderita yang masih haid, tetapi keluhan sudah ada atau penderita sudah tidak haid lagi dengan uterus utuh tetapi tidak responsif (pada setiap pemberian estrogen atau progesteron akan terjadi haid lagi).
b.Penderita yang sudah lama tidak haid lagi (menopause dan pasca menopause) dengan uterus utuh tetapi tidak responsif (diberi estrogen atau progesteron tetap tidak terjadi perdarahan) termasuk jika penderita dengan uterus yang telah diangkat. (1, 2, 3)
Pengobatan kelompok 1
Estrogen hari ke-5 – 25 siklus haid, progesteron hari ke- 26 – 30 siklus haid.
Pil Kb yang mengandung estrogen dan progesteron setelah beberpa bulan pengobatan, keluhan hilang dan haid kembali normal, pengobatan dihentikan, tetapi jika keadaan tersebut muncul kembali, maka pengobatan diteruskan lagi. (1, 2, 3)
Pengobatan kelompok 2
Cukup dengan pemberian estrogen dosis rendah selama 21 hari berturut-turut diikuti istirahat 7 hari. Selama istirahat tersebut diperhatikan keluhan hilang atau menetap, jika hilang pengobatan stop, tetapi jika masih pengobatan diteruskan. (4)
Mengingat estrogen juga mempengaruhi payudara (bila menjadi keganasan) maka dianjurkan pengobatannya dengan progesteron, Caranya :
Pemberian estrogen beberapa tahun ternyata menurunkan kejadian patah tulang (± 50 – 60 %) dan mencegah jantung koroner (40 – 50 %) atas dasar ini pemberian estrogen sejak awitan masa perimenopause, estrogen dapat diberikan 8 – 10 tahun, bahkan jangka pemberian bisa sampai 30 – 40 tahun. (1)


II.7. Kontra indikasi pemberian estrogen
Tromboemboli, pada penyakit hari, kolelitiasis
Gangguan sekresi bilirubin (Sind. Dubi Johson)
R. ikterus dalam kehamilan
Carcinoma endometrium, ca. camma, anemia berat
Varises berat
Penyakit ginjal. (1)
Syarat pemberian estrogen
Tekanan darah normal
Uji sitologi normal
Besar uterus normal
Tak ada varises extremitas bawah
Tidak terlalu gemuk
Kelenjar tiroid normal
Hb, kolesterol total, kalsium, fungsi hati normal. (1)
Pemberian estrogen harus dimulai dengan estrogen lemah, (estriol) dan dimulai dengan dosis rendah, sehingga untuk terapi jangka panjang tidak perlu digabung dengan endomentrium rendah, lain halnya dengan etinil estradiol atau estrogen terkonjugasi, pemberian perlu digabung dengan progesteron. (3)

DAFTAR PUSTAKA


1.Wiknjosastro, H, 1997, Wanita dalam Berbagai Masa Kehidupan, edisi ke-3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

2.Baziad, A, 1993, Endokrinologi Ginekologi, Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia, Jakarta.

3.Wiknjosastro, H, 1997, Endokrinologi Reproduksi Pada Wanita, edisi ke-3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Ketuban Pecah Dini

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif (1,2).

Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup. (2,3,7)
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru. (4)
Protokol pengelolaan yang optimal harus memprtimbangkan 2 hal tersebut di atas dan faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun pada ibu.
II.1. Definisi
Ada bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan (1-10,15), ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu, misalnya 1 jam (9,11,12) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan servik pada primigravida 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. (10)

II.2. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan.(6) Hal yang menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 % (3), sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kekahiran prematur. (1)
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS. (4)

II.3. Etiologi
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. (2,8,13) Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:
Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. (4-6,8,11,14)
Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). (5,8,12,14)
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.(4,5,14)
Kelainan letak,(12) misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
Keadaan sosial ekonomi (4,15)
Faktor lain
a.Faktor golonngan darah
Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban. (13)
b.Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. (12)
c.Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. (4,12,13,14.15)
d.Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). (8,14)


II.4. Diagnosa
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1.Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok.(1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2.Inspeksi (15)
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
3.Pemeriksaan dengan spekulum.
pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior. (1,3,8,9,13,16)
4.Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
5.Pemeriksaan Penunjang
5.1. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi birumenunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.(1,7,8,913)
51.b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. (1,8,9)
5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.(10,12)
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.
II.5. Komplikasi
infeksi intrauterin
Tali pusat menumbung
Prematuritas
Distosia (partus kering)

II.6. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.(4)
Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.(1,2)
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diuketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.(2,3,4,7)
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
II.6.1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubunngan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya. (13)
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % krhamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah,(16,17) bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan,(1) dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.(1,2)
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.(10)
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. (7,9)

II.6.2. penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi (2, 13
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,(15) ditidurkan dalam posisi trendelenberg,(13, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. (1,15,12)
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru,(5,7,8,9,15) jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlansung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulakan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-kompliksai yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.(1,3,4)
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll. (11,17)
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.(3,9.10,11,17)
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.(3,8)
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS.(8) The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.(11)

DAFTAR PUSTAKA
1.Smith Joseph.F., Premature Rupture of Membranes, http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2001.
2.Bruce Elizabeth, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.compleatmother.com/prom.htm, 2002
3.Yancey Michael.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 1999
4.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.medem.com/medlb/article_detaillb_for_printer.cfm?article_ID=zzzcoCHLUJC&sub_cat=2005, 2002.
5.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.mcevoy.demon.co.uk/medicine/ObsGyn/Obstetric/labour/PROM.html, 2002
6. Parry Samuel, Strauss Jerome.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March, 1998
7.Syaifuddin Abdul Bari, Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD – POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal : 218 – 220.
8.Hacker Neville.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 – 306
9.Ketuban Pecah Dini dalamBuku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo Bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI, Jakarta, 2002, hal : M-112 – M-115.
10.Komite Medik RSUP DR.Sardjito, Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan medis RSUP DR. Sardjito, Buku I, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999, hal : 32 – 33.
11.Phupong Vorapong, Prelabour Rupture of Memnranes in Journal of Pediatric, Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec, 2003, Hal : 25 – 31
12.Manuaba Ida Bagus Gde, Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 – 225.
13.Mokhtar Ristam, Ketuban Pecah Dini dalam Sinopsis Obsteri, Obstetri Fisologi Obstetri Patologi I, EGC, Jakarta, 1994, hal : 285 – 287.
14.Anonim, Premature Rupture of the Membrane,
, 2003

15.Anonim, High-Risk PregnencyPremature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Prematurure Rupture of Membrane,
http://www.musckid.com/health_library/hipregnant/prm.htm, 2001
16.Anonim, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.womens-health.co.uk/prom.htm, 2002.
17.Anonim, Premature Rupture of the Membranes, http://www.netnurse.com/pregnency/edudocs/c_conn0200.cfm, 2002



Sabtu, 24 November 2007

Sarkoma Ewing

Pada tahun 1921, James Ewing menggambarkan suatu tumor tulang hemoragis-vaskuler yang tersusun dari sel bulat, kecil tanpa disertai pembentukan osteoid yang biasanya terjadi di bagian tengah tulang panjang atau tulang pipih. Tumor ini mulanya diperkirakan timbul dari sel endotelial, namun bukti yang diperoleh baru-baru ini menunjukan bahwa kemungkinan tumor ini berasal dari jaringan saraf primitif.(1)

Tumor ganas tulang yang tidak berasal dari system hematopoetik adalah osteosarkoma, kondrosarkoma, fibrosarkoma dan sarcoma Ewing. Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas terbanyak kedua setelah osteosarkoma. Tumor ini tersusun atas sel bulat, lunak yang terjadi seringkali pada tiga dekade pertama dari kehidupan. Kebanyakan terletak pada tulang panjang, meskipun berbagai tulang lain dapat pula terlibat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, prosedur pemeriksaan penunjang baik invasif maupun non invasif.(2)
Sarkoma Ewing ini sangatlah ganas dengan rendahnya tingkat kesembuhan walaupun dengan pembedahan ablatif baik disertai radiasi ataupun tidak. Namun demikian terapi radiasi pada daerah primer dan daerah metastase yang dikombinasi dengan kemoterapi menggunakan doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine dan dactynomycin dilaporkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup penderita sekalipun dengan metastase. Memang terapi multimodalitas diyakini akan meningkatkan proporsi long-term disease-free survival dari kurang 15 % menjadi lebih dari 50 % pada 2 – 3 dekade belakangan ini.(2)
2.1. Definisi
Sarkoma Ewing merupakan tumor maligna yang tersusun atas sel bulat, kecil yang paling banyak terjadi pada tiga dekade pertama kehidupan.(2) Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas primer yang paling sering mengenai tulang panjang, kebanyakan pada diafisis. tulang yang paling sering terkena adalah pelvis dan tulang iga.(3)
Sarcoma Ewing adalah neoplasma ganas yang tumbuh cepat dan berasal dari sel-sel primitive sumsum tulang pada dewasa muda.(4)

2.2. Insidensi
Tumor ini paling sering terlihat pada anak-anak dalam usia belasan dan paling sering adalah tulang-tulang panjang.(5)
Pada anak-anak, sarcoma Ewing merupakan tumor tulang primer yang paling umum setelah osteosarkoma. Setiap tahun tidak kurang dari 0,2 kasus per 100.000 anak-anak di diagnosis sebagai sarcoma ewing, dan diperkirakan terdapat 160 kasus baru yang terjadi pada tahun 1993. Di seluruh dunia, insidensinya bervariasi dari daerah dengan insidensi tinggi, misalnya Amerika Serikat dan Eropa ke daerah dengan insidensi rendah, misalnya Afrika dan Cina. Sarkoma Ewing sering juga terjadi pada dekade kedua kehidupan. Jarang terjadi pada umur 5 tahun dan sesudah 30 tahun. Insidensinya sama antara pria dan wanita. Biasanya sarcoma Ewing tidak berhubungan dengan sindroma congenital, tetapi banyak berhubungan dengan anomaly skeletal, misalnya : enchondroma, aneurisma kista tulang dan anomali urogenital, misal : hipospadia.(1)
Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi insidensi sarcoma Ewing, yaitu :
1). Faktor usia. Insidensi sarkoma Ewing meningkat dengan cepat dari mendekati 0 pada umur 5 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 10 -18 tahun. Sesudah umur 20 tahun insidensinya menurun kembali dan mendekati 0 pada umur 30 tahun.
2). Faktor jenis kelamin. Resiko pria sedikit lebih tinggi dibandingkan wanita, tetapi setelah umur 13 tahun insidensinya antara pria dan wanita hampir sama.
3). Faktor ras. Penyakit ini jarang didapatkan pada orang kulit hitam.
4). Faktor genetik, yang dikenal meliputi :
a). Riwayat keluarga. Faktor resiko pada garis keturunan pertama tidak meningkat. Tidak ada sindroma familia yang berhubungan dengan sarcoma Ewing.
b). Anomali genetik, terdapatnya anomali pada kromosom 22, translokasi atau hilangnya kromosom ini terdeteksi pada 85 % penderita sarcoma Ewing.
c). Riwayat penyakit tulang, anomali congenital tertentu dari skeletal, yaitu aneurisma kista tulang dan enchondroma meningkatkan resiko sarcoma Ewing, juga anomali genitourinary seperti hipospadia dan duplikasinya juga berhubungan dengan sarcoma Ewing.(1)

2.3. Patofisiologi dan Histologi
A. Patofisiologi
Menurut Ackerman’s (11) : tipe dari system gradasi yang biasa dipergunakan tampaknya kurang begitu penting dari pada protocol peta regional dan evaluasi histologis. Dengan mikroskop cahaya, sarcoma Ewing tampak sebagai massa difuse dari sel tumor yang homogen. Seringkali terdapat populasi bifasik dengan sel yang besar, terang dan kecil, gelap. Tanda vaskularisasi dan nekrosis koagulasi yang luas merupakan gambaran yang khas. Tumor akan menginfiltrasi tulang dan membuat destruksi kecil. Tepi tumor biasanya infiltratif dengan pola fili dan prosesus seperti jari yang kompak disertai adanya sel basofil yang biasanya berhubungan erat dengan survival penderita yang buruk.(12)
Gambar 1 : Gambaran mikroskop elektron, sarcoma Ewing, sel tumor tidak berdiferensiasi dengan fokus kecil multiple dari glikogen sitoplasma, dihubungkan oleh 2 sel rudimenter.










Sumber : Ackerman’s, : 1989, Surgical Pathology, Eighth Edition.(13)

Menurut WHO (14) : sarcoma Ewing merupakan tumor maligna dengan gambaran histologis agak uniform terdiri atas sel kecil padat, kaya akan glikogen dengan nukleus bulat tanpa nukleoli yang prominen atau outline sitoplasma yang jelas. Jaringan tumor secara tipikal terbagi atas pita – pita ireguler atau lobulus oleh septum fibrosa, tapi tanpa hubungan interseluler serabut retikulin yang merupakan gambaran limfoma maligna. Mitosis jarang didapatkan, namun perdarahan dan area nekrosi sering terjadi.
Gambar 2 : sarcoma Ewing pada tulang femur bagian atas pada pria usia 5 tahun.














Sumber : WHO, 1993, Histological Typing of Bone Tumours.(14)

B. Histologi
Diagnosis adalah satu dari perkecualian neoplasma sel bulat kecil yang lain (small cell osteosarcoma, rhabdomyosarcoma, neuroblastoma dan limfoma) harus disingkirkan. Vaskularitas yang terhambat, nekrosis dan populasi bifasik dari sel besar dan sel kecil gelap sangat khas pada sarcoma Ewing ini.(1)

2.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sarkoma Ewing dapat berupama manifestasi local maupun sistemik. Manifestasi lokal meliputi : nyeri dan bengkak pada daerah femur atau pelvis, meskipun tulang lain dapat juga terlibat. Masa tulang dan jaringan lunak didaerah sekitar tumor sering dan bisa teraba fluktuasi dan terlihat eritema yang berasal dari perdarahan dalam tumor. Manifestasi sistemik biasanya meliputi : lesu, lemah serta berat badan menurun dan demam kadang terjadi serta dapat ditemukan adanya masa paru yang merupakan metastase. Durasi dari munculnya gejala bisa diukur dalam minggu atau bulan dan seringkali memanjang pada pasien yang mempunyai lesi primer pada aksis tulang.(1)
Tanda dan gejala yang khas adalah : nyeri,benjolan nyeri tekan,demam (38-40 oC), dan leukositosis (20.000 sampai 40.000 leukosit/mm3).(5)

2.5. Diagnosis
Riwayat panyakit dan pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai sebagai sarcoma Ewing. Perhatian khusus harus ditempatkan pada hal-hal berikut ini :(7) Keadaan umum dan status gizi penderita. Pemeriksaan Nodus limfatikus, meliputi : jumlah, konsistensi, nyeri tekan dan distribusinya baik pada daerah servikal, supraklavikula, axilla serta inguinal harus dicatat.Pada pemeriksaan dada, mungkin didapatkan bukti adanya efusi pleura dan metastase paru, misal penurunan atau hilangnya suara napas, adanya bising gesek pleura pada pemeriksaan paru-paru. Pemeriksaan perut, adanya hepato-splenomegali, asites dan semua massa abdomen harus digambarkan dengan jelas. Pemeriksaan daerah pelvis, bisa dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya massa, atau daerah yang nyeri bila ditekan. Pemeriksaan ekstremitas, meliputi pemeriksaan skeletal termasuk test ruang gerak sangat diperlukan. Pemeriksaan system saraf menyeluruh harus dicatat dengan baik.
Diagnosis yang dipermasalahkan : klinisnya hal tersebut sangat penting secepatnya untuk mengeluarkan tulang yang terinfeksi. Pada biopsy tingkat esensialnya untuk mengenal keganasan sekitar sel tumor, kejelasan dari osteosarcoma. Sekitar sel tumor yang lain bias menyerupai Ewings yaitu sel reticulum sarcoma dan neuroblastoma metastatik.(6)

2.7. Pemeriksaan Penunjang
Test dan prosedur diagnostik berikut ini harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai sarcoma Ewing :
1). Pemeriksaan darah : a). Pemeriksaan darah rutin. b). Transaminase hati. c). Laktat dehidrogenase. Kenaikan kadar enzim ini berhubungan dengan adanya atau berkembangnya metastase.
2). Pemeriksaan radiologis : a). Foto rontgen. b). CT scan : Pada daerah yang dicurigai neoplasma (misal : pelvis, ekstremitas, kepala) dan penting untuk mencatat besar dan lokasi massa dan hubunganya dengan struktur sekitarnya dan adanya metastase pulmoner. Bila ada gejala neorologis, CT scan kepala juga sebaiknya dilakukan.
3). Pemeriksaan invasif : a). Biopsi dan aspirasi sumsum tulang. Aspirasi dan biopsi sample sumsum tulang pada jarak tertentu dari tumor dilakukan untuk menyingkirkan adanya metastase. b). Biopsi. Biopsi insisi atau dengan jarum pada massa tumor sangat penting untuk mendiagnosis Ewing’s Sarkoma. Jika terdapat komponen jaringan lunak, biopsi pada daerah ini biasanya lebih dimungkinkan.(3)

2.7. Radiologi Diagnostik
Gambaran radiologist sarcoma Ewing : tampak lesi destruktif yang bersifat infiltratif yang berawal di medulla ; pada foto terlihat sebagai daerah - daerah radiolusen. Tumor cepat merusak korteks dan tampak reaksi periosteal. Kadang – kadang reaksi periostealnya tampak sebagai garis – garis yang berlapis – lapis menyerupai kulit bawang dan dikenal sebagai onion peel appearance. Gambaran ini pernah dianggap patognomonis untuk tuimor ini, tetapi biasa dijumpai pada lesi tulang lain.(3)

Gambar 3 : Sarkoma Ewing pada bagian distal femur, yang menunjukan gambaran onion peel appearance.













Sumber : Dahlin, 1985 Ewing’s Tumor, Rontgen Signs in
Diagnostic Imaging, second edition.(3)




2.8. Stadium Tumor
Hingga sekarang ini belum didapatkan keseragaman dalam penerapan system staging untuk sarcoma Ewing. Sistem yang berdasar pada konsep TNM dianggap lebih sesuai untuk penyakit dari pada system yang berdasar pada perluasan penyakit sesudah prosedur pembedahan, oleh karena itu maka pendekatan kkontrol local pada tumor ini jarang dengan pembedahan. Pengalaman menunjukan bahwa besar lesi sarcoma Ewing mempunyai prognosis yang cukup penting. Delapan puluh tujuh persen pasien dengan tumor (T) pada tulang tetap hidup dalam lima tahun dibandingkan dengan 20 % pada pasien dengan komponen ekstraossea. Nodus limfatikus (N) jarang terlibat. Adanya penyakit metastase (M) akan menurunkan survival secara nyata. Keterlibatan tulang atau sumsum tulang lebih sering didapat dari pada hanya metastase tumor ke paru – paru.(1)
Sarkoma Ewing adalah suatu sel tumor bulat tak terdiferensiasi yang tidak memiliki pertanda morfologis. Sarkoma Ewing ini didiagnosis setelah mengeksklusi tumor sel bulat, kecil dan biru yang lain yang meliputi sarcoma tulang primer, sarcoma tulang primitive, rabdomiosarkoma, limfoma, neuroblastoma dan neuroepitelioma perifer.(1)
Lokasi tempat paling umum dari sarcoma Ewing adalah pelvis (21%), femur (21%), fibula (12%), tibia (11%), humerus (11%), costa (7%), vertebra (5%), scapula (4%), tulang kepala (3%) dan tempat lain (<2%).(10)

2.9. Penyebaran metastase
Cara penyebarannya dapat secara :
­ Langsung. Sarkoma Ewing dapat secara langsung menyebar ke struktur dan jaringan lunak sekitar.
­ Metastase limfatik. Kadang – kadang, sarcoma Ewing bisa metastase ke limfonodi regional.
­ Metastase hematogen. Sarkoma Ewing khas menyebar melalui saluran vaskuler pada tempat yang lebih luas pada 50 % pasien.
Atas dasar inilah maka sarkoma Ewing dapat disebut sebagai penyakit sistemik.(15)

Tempat penyebaran
Tempat yang umum terlibat dengan sarcoma Ewing meliputi paru – paru, tulang (termasuk sumsum tulang) dan system saraf pusat (1 – 5 %). Mulligan (16) : pernah melapokan adanya metastase sarcoma Ewing pada pankreas.

2.10. Penatalaksanaan
Semua pasien dengan sarcoma Ewing, meskipun sudah mengalami metastase harus diobati dengan sebaik – baiknya. Untuk kebehsilan pengobatan diperlukan kerja sama yang erat diantara ahli bedah, kemoterapist dan radiotherapist untuk memastikan pendekatan yang efektif guna mengendalikan lesi primer dan penyebaran tumor. Protokol pengobatan sarcoma Ewing sekarang ini sering kali dimulai dengan 3 hingga 5 siklus kemoterapi sebelum radiasi. Pemberian radioterapi awal dipertimbangkan pada pasien dengan kompresi vertebra dan obtruksi jalan napas yang disebabkan oleh tumor. Pemakaian doxorubicine (adriamycine) dan dactinomycine yang umumnya dipakai sebagai agen kemoterapi pada sarcoma Ewing, berinteraksi dengan radiasi, dan potensial menimbulkan toksisitas lokal dan memerlukan penghentian terapi, dengan konsekuensi negative untuk control lokal. Problem ini dapat dikurangi dengan melambatkan radiasi untuk beberapa hari sesudah pemberian obat dan direncanakan pengobatan radiasi secara hati – hati.(1)
Dengan terapi pembedahan saja, long-term survival rate pasien pada kebanyakan seri awal adalah kurang dari 10 %. Kegagalan umumnya disebabkan oleh adanya metastase jauh.(1)
A. Pada sarcoma Ewing primer.
Pembedahan dilakukan atas dasar :
(a). Indikasi.
Kemajuan terapi radiasi guna mengontrol sarcoma Ewing menurunkan peran terapi pembedahan dalam pengobatan sarcoma Ewing. Pada masa kini terapi reseksi bedah (biasanya dilakukan setelah kemoterapi adjuvant preoperatif) dianjurkan pada lesi pelvis dan tumor yang dapat menyebar ke jaringan tulang, misalnya : fibula, costa dan tulang tarsal. Selanjutnya amputasi diperlukan untuk fraktur patologis dan tumor infragenikulatum primer yang tidak dapat ditangani secara lokal dengan terapi radiasi.
(b). Pendekatan
Pendekatan bedah sangat bervariasi tergantung pada besar, lokasi dan penyebaran tumor.
(c). Prosedur
1). Biopsi
Teknik untuk menjalankan biopsi pada tumor tulang adalah identik dengan osteosarkoma.

2). Reseksi radikal
Jika terapi bedah diindikasikan, pengangkatan tumor dengan menyertai tepi jaringan normal harus dilakukan, kecuali jika terdapat defisit fungsional berlebihan. Sebagai contoh, amputasi primer dengan:
Terapi radasi adjuvant
a). Radioterapi preoperatif
Karena tingginya tingkat control local dengan radiasi (sendiri dan dengan kemoterapi), terapi ini tidak digunakan secara luas.
b). Terapi radiasi post operatif
Setelah reseksi bedah yang sesuai untuk Ewing’s sarcoma, penanganan dapat dilanjutkan dengan terapi radiasi, hanya jika tetap ada sisa mikroskopik yang besar dan bermakna.(2)
Penyebaran local dan metastase sarcoma Ewing. Terapi radiasi sering digunakan untuk pengobatan metastase, khususnya setelah kemoterapi sistemik. Radiasi paru bilateral profilaksis telah dicoba, tetapi kurang berhasil bila dibandingkan dengan kemoterapi sistemik dalam mencegah metastase pulmoner tumor.(18)
Morbiditas dan mortalitas
Komplikasi setelah terapi radiasi umumnya terjadi dan bervariasi dengan letak tumor primer. Jika dosis tidak lebih dari 5000 cGy, komplikasi defisit fungsional berat dan malignansi sekunder yang terjadi kurang dari 18 % pasien.(9)
Banyak jenis sitostatika yang amat efektif untuk sarcoma Ewing misalnya : vincristine, adriamycine, cyclophosphamide, isofosfamide, etoposid dan actinomycine D. Sebelum digunakannya kemoterapi adjuvant, long-term survival pasien sarcoma Ewing tidaklah banyak. Pada seri penelitian pre-kemoterapi, dari 374 pasien yang diterapi bedah dan radisi, hanya 36 (9,6 %) yang survive untuk waktu lima tahun.(1)
Sarkoma Ewing primer
Sekarang ini, kemoterapi diberikan 3 – 5 siklus sebelum pengobatan radiasi dan pembedahan pada tumor primer. Ini memberikan respon penilaian yang akurat pada kemoterapi.(2)
B. Kemoterapi adjuvant
Kemoterapi adjuvant terdiri dari :
1). Kemoterapi preoperatif
Kemoterapi inisial (3 – 5 siklus) sekarang merupakan standart pada pasien dengan indikasi pembedahan.
2). Kemoterapi postoperatif
Kemoterapi tambahan dapat dikombinasikan dengan terapi radiasi jika reseksi komplit tidak bisa dilakukan.(1)
Penyebaran lokal dan metastase sarkoma Ewing. Dengan agen tunggal, sejumlah agen kemoterapi berikut ini efektif untuk sarkoma Ewing dan menghasilkan tingkat respon yang menyeluruh: Cyclophosamide (50%), doxorubicine (40%), dan actinomycin-D, car Mustine, etoposide, Fluorouracil dan ifosfamide.(19)
Dipikirkan juga kemungkinan adanya immunoterapi pada sarkoma Ewing. Pemikiran ini didasarkan pada adanya laporan metastase sarkoma Ewing yang menghilang pada pasien yang kebetulan mengalami infeksi pada daerah metastase tadi. Diduga hal ini terjadi karena aktivitas anti tumor pada pasien sehubungan dengan infeksi bakterial.
Resiko rekurensi
Meskipun kebanyakan manisfestasi rekurensi adalah diantara 2-3 tahun, pasien bisa berlanjut relaps selama 15 tahun setelah pengobatan.(2)
Tiga tahun survival
Survival keseluruhan pada semua pasien tergantung pada ada tidaknya metastase dan tempat tumor primernya.(2)
Tempat Tumor
Keseluruhan, lebih dari dari 60% pasien bertahan untuk 3 tahun. Tumor yang terletak di tengkorak dan vertebra, terdapat lebih dari 95%, tibia dan fibula , 60-70%. Pasien berprognosis buruk apabila mempunyai tumor pada bagian atas dan posterior kosta serta daerah sekitarnya. Ukuran tumor, ada tidaknya efusi pleura, tipe pembedahan dan respon kemoterapi bukan merupakan faktor prognostik yang bermakna. Kebanyakn kasus yang terlokalisir dapat dikontrol dengan terapi kombinasi, tetapi kasus tumor pada daerah kosta ini tetap buruk .(9) Femur dan humerus, 50 %. Sarkoma Ewing pada femur mempunyai prognosis buruk, karena radiasi saja untuk terapi lokal menimbulkan komplikasi dan kekambukan lokal yang tinggi. Strategi pengobatan lokal sarkoma Ewing meliputi pembedahan dan radio terapi adjuvant.(21) Tumor yang terletak di pelvis, jumlahnya kurang dari 40 %. Namuan demikian pernah dilaporkan oleh Yang dan Eilber,(22) : Bahwa pembedahan, kemoterapi dan radioterapi sangatlah berguna untuk pasien dengan sarkoma Ewing pelvis selama tumor tersebut terbatas pada pelvis saja.
Tumor metastase
Keseluruhan kelangsungan hidup penderita tumor yang metastase kurang dari 40 %.(1)
2.11. Faktor prognostik buruk
Pada tidak adanya metastase di lain tempat gambaran patologis berikut ini biasanya akan mempunyai prognosis buruk :
1). Tumor yang terletak pada bagian proksimal dari tulang.
2). Tumor besar (> 8 cm) dan terletek pada ekstrimitas. Ini mengurangi survival bebas penyakit 5 tahun dari 72 % menjadi 22 % dan menaikkan rekurensi lokal dari 10 % menjadi 30 %. Lesi pelvis yang lebih besar dari pada 5 cm akan menurunkan tingkat kontrol lokal dari 92 % menjadi 83 %.
3). Ekstensi ekstraosea menurunkan survival dari 87 % menjadi 20 %.
4). Serum laktat dehidrogenase yang miningkat.
5). Tumor yang responnya buruk terhadap kemoterapi inisial.(2)
Prognosis pasien yang hanya mendapatkan radioterapi lebih buruk dari pada menjalani pembedahan dengan/tanpa radioterapi. Sedangkan adanya fraktur patologis tidak mempengaruhi prognosis sarkoma Ewing.(19)
Panduan umum
Pasien dengan sarkoma Ewing seharusnya diikuti setiap 3 bulan selama 3 tahun, kemudian setiap 6 bulan selama 2 tahun berikutnya, kemudian setiap tahun diperiksa adanya kemungkinan rekurensi.(1)
Panduan khusus yang bisa dipakai adalah evaluasi rutin(8) :
Setiap kunjungan klinik dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
1). Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Riwayat penyakit harus diperoleh. Pemeriksaan fisik menyeluruh haruslah dilakukan selama kunjungan pasien.
2). Pemeriksaan darah :
a). Pemeriksaan darah rutin.
b). Transminase serum hepar.
c). Alkali fosfatase.
d). Laktat dehidrogenase.
3). Foto rontgen.
BAB III
KESIMPULAN

Sarkoma Ewing merupakan tumor ganas tulang primer yang paling banyak kedua pada anak – anak dan dewasa muda. Pengobatan secara multidisipliner telah dibuat lebih dari 25 tahun belakangan ini. Kemopterapi agresif telah meningkatkan 5-years survival rates dari 10 % menjadi 70 %.
Peran pembedahan dan radioterapi guna kontrol lokal tumor juga makin bertambah penting. Sebenarnyalah walaupun sarkoma Ewing merupakan suatu bentuk penyakit kanker yang amat agresif tetapi masih dapat disembuhkan (curable) apabila diagnosis ditegakkan pada stadium awal dan ditangani dengan benar.




















DAFTAR PUSTAKA


1.DeVita, VT., Hellman S. Rosenberg, Rosenberg, SA. 1995.Cancer Principles and Practice of Oncology 3rd Ed, JB Lippincont Company, Philadelphia pp. 325-35.

2.Huvos AG, 1996, Bone Tumors, Diagnosis, Treatment and Prognosis, WB. Saunders Company, Philadelphia pp. 124 – 36.

3.Ekayuda, L, 1992, Tumor Tulang dan Lesi yang menyerupai Tumor Tulang, dalam : Sjahriar Rasad (ed), Radiologi Diagnostic, sub bagian radiodiagnostik. Bagian radiologi FK Universitas Indonesia RSCM Jakarta hal. 231 – 42.

4.R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1997, Tumor Ewing, dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah, Cetakan Pertama, EGC, Jakarta, hal. 1270-1271.

5.Anderson. S, Mc Carty Wilson, L., 1995, Tumor Sistem Muskoluskeletal, dalam : Patofisiologi (Proses-proses Penyakit), Edisi keempat, EGC, Jakarta, hal. 1214.

6.Apley Graham A., Solomon L., Mankin H.J., 1993, Ewing’s Sarcoma, dalam Apley’s System of Ortopaedics and fractures, seven edition, Butterworth Heinemann, British, London, pp. 182.

7.McIntosh, JK, and Cameron, RB., 1996, dalam Caneron RB., Practical Oncology, Prentice-Hall International Inc., Los Angeles pp. 32 – 41.

8.Dahlin, 1985, Ewing’s Tumor (Endothelioma), Rontgen Signs in Diagnostic Imaging, Isadore Meschan : 306 – 309.

9.Schlott, T., 1997, Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction for detecting Ewing’s Sarcoma in Archival Fine Needle Aspiration Biopsies, Acta – Cytol. : 41 (3) : 795 – 801.

10.Ozaki, T., Lindner, N, Hoffman, C., 1995, Ewing’s sarcoma of the ribs. A report from the cooperative Ewing’s sarcoma study, Eur-J-Cancer, Dec ; 31A (13-14) : 2284-8.

11.Ackerman’s. M., 1997, Tumor necrosis and prognosis in Erwing’s sarcoma Acm Orthop Scand-Suppl : 273:130-2

12.Krane, SM., AND Schiller. AL., 1996, Hyperostosis, neoplasme, and orther disorder of bone, Harrison’s Principles of Internal Medicine 13 Ed., McGraw-Hill, Inc., New York, pp. 1962-4.

13.Ackerman’s, 1989, Surgical Pathologty, Eight Edition, WB Saunders Company, Philadelphia, pp. 1962-4.

14.WHO, 1993, Histological Typing of Bone Tumours, second Edition, pp 22-23.

15.Christie, DR, 1997, Diagnosis Difficulties in Extraosseus Ewing’s sarcfoma : a proposal for diagnostic criteria, Austrlia-Radiol. ; 41 (1) 22-8.

16.Mulligan, ME, 1997, Pancreatic metastasis from Ewing’s sarcoma, Clin. Imaging, : 21 (1) : 23-6.

17.Lanzkowsky, P., 1989,Manual of Pediatric Hematology and Oncolog, Churchill Livingstone, New York, pp. 13-37.

18.Bonek, TW; Marcus, RB; Mendelhall, NP; Scarborough, MT, Graham-Pole, J; 1996, Local control and functional after twice-daily radioteraphy for Ewing’s sarcomaof the extremities, Int-J-Radiat-Oncol-Biol-Phys. 1996 Jul 1; 35(4)687-92.

19.Ozaki, T., 1997, Ewing’s sarcoma of femur, Acta-Orthop-Scand: 68(1)20-4.

20.Mori, Y., 1997, Dissappearance of Ewing’s sarcoma following bacterial infection : a case report, Anticancer-Res,: 17(2B)1391-7.

21.Terek, RM., Brien, EW., Marcove, RC., 1996, Treatment of Femoral Ewing’s Sarcoma, Cancer, Jul 1 : 78(1); 70-8.

22.Yang, RS., JJ., and Eilber, PR.,1995, Surgical indication for Ewing’s Sarcoma of the pelvis, Cancer, Oct 15 : 76 (8) ; 1388-97.


Autisme

Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi (Lumbantobing,2001). Dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak (autisme infantile) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah anaknya tuli. Autisme sendiri sesungguhnya suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan pervasive yang ditandai dengan hubungan hendaya timbal balik sosial, penyimpangan komunikasi, pola perilaku yang terbatas dan stereotipik. Fungsi abnormal ini sudah harus nampak pada umur 3 tahun. Lebih dari dua pertiga penderita gangguan autisme menderita retardasi mental, tetapi hal ini tidak mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis (Newson dkk,1998).

Dari beberapa kali penelitian yang telah dilakukan, ternyata diduga bahwa penyebab utama autisme adalah gangguan perkembangan pada bagian otak tertentu yaitu amigdala, hipokampus, serebelum dan lobus temporalis. Tingkat kerusakan otak akibat gangguan perkembangan tersebut akan memberikan efek pada individu sesuai dengan derajat kerusakan otak itu sendiri. Efek yang timbul akan sangat mempengaruhi sekali terhadap tingkah laku individu dan pembentukan tingkah laku itu (Hartono,1998).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Prevalensi autisme didapatkan sekitar 2-5/10.000 anak di bawah umur 12 tahun. Jika dimasukkan retardasi mental berat ditambah dengan gangguan autisme maka angkanya dapat mencapai 20/10.000 anak. Penelitian epidemiologi di Amerika utara, Asia dan Eropa memperkirakan prevalensi antara 2-13/10.000 anak (Rapin,2001; Lumbantobing,2001; Aeni dkk,2001)
Pada umumnya gangguan autisme mulai sebelum 36 bulan, tetapi mungkin tidak diperhatikan oleh orang tua, tergantung kewaspadaan orang tua dan beratnya gangguan. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki di banding anak perempuan, yaitu 3-5 kali lebih sering. Tetapi anak perempuan yang mengalami gangguan autisme cenderung lebih berat dan mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan kognitif di banding anak laki-laki. Penelitian permulaan menemukan gangguan ini lebih sering pada status sosio-ekonomi tinggi, namun hal ini mungkin dipengaruhi oleh bias, karena dalam 25 tahun terakhir terdapat peningkatan kasus pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Penemuan ini mungkin akibat bertambahnya kewaspadaan akan ganguan ini dan bertambahnya fasilitas kesehatan untuk anak-anak miskin (Aeni dkk,2001).
Terapi anak autisme membutuhkan identifikasi dini, intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang struktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan dan perilaku dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan autisme sebagai lembaga yang mampu secara professional menangani masalah autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Lumbantobing,2001).
Ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangakan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak , gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata (www.Smartschool.com)
II.1 Pengertian
Autisme adalah salah satu defisit perkembangan pervasif pada awal kehidupan anak yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan ciri pokok yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, stereotipik dan obsesif (Budiman,1997).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang (Aeni dkk,2001).
Autisme adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (IQ-EQ,2001).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek, yang biasanya muncul pada usia 1-3 tahun. Tanda-tanda autisme biasanya muncul pada tahun pertama dan selalu sebelum berusia 3 tahun. Autisme 2-4 kali lebih sering ditemukan pada anak laki-laki (www.medicastore.com).



II.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari autisme tidak diketahui, yang pasti hal ini bukan disebabkan oleh pola asuh yang salah. Penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan. Beberapa kasus mungkin berhubungan dengan infeksi virus (rubella congenital atau cytomegalic inclusion disease), fenilketonuria (suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan) dan sindroma X yang rapuh (kesalahan kromosom). (www.medicastore.com)
Sedangkan menurut www. smartschool.com, penyebab utama dari autisme belum diketahui dengan pasti autisme diduga disebabkan oleh gangguan neurobiologis pada susunan syaraf pusat meliputi faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat dan gangguan auto-imun.
Menurut Lumbantobing (2000), penyebab dari autisme dapat dipengaruhi oleh :
1.Faktor keluarga dan psikodinamik
Mulanya diperkirakan gangguan ini akibat kurangnya perhatian orang tua, tetapi penelitian terakhir tidak menemukan adanya perbedaan dalam membesarkan anak pada orang tua anak normal dari orang tua anak yang mengalami gangguan ini. Namun beberapa anak autisme berespon terhadap stressor psikososial seperti lahirnya saudara kandung atau pindah tempat tinggal berupa eksaserbasi gejala.

2.Kelainan organo-biologi-neurologi
Berhubungan dengan lesi neurologi, rubella kongenital, cytomegalovirus, ensefalitis, meningitis, fenilketonuria, tuberous sclerosis, epilepsi dan fragilee X syndrome.
Penelitian neuroanatomi menunjukkan bahwa autisme akibat berhentinya perkembangan dari cerebellum, cerebrum dan sistem limbik. Pada MRI ditemukan hipoplasi vermis cerebellum lobus VI dan VII (Courchesne,1991). Pada sekitar 10-30% anak dengan autisme dapat diidentifikasi faktor penyebabnya (Lumbantobing,2001).
3.Faktor genetik
Pada survey gangguan autisme ditemukan 2-4% saudara kandung juga menderita gangguan autisme. Pada kembar monozygot angka tersebut mencapai 90% sedang akan kembar dizigot 0% (Lumbantobing,2001)
4.Faktor imunologi
Terdapat beberapa bukti mengenai inkompatibilitas antara ibu dan fetus, dimana limfosit fetus bereaksi terhadap antibodi ibu, sehingga kemungkinan menyebabkan kerusakan jaringan syaraf embrional selama masa gestasi.
5.Faktor perinatal
Tingginya penggunaan obat pada selama kehamilan, respiratory disstres syndrome, anemia neonatus

6.Penemuan biokimia
Pada sepertiga dari penderita autisme ditemukan peninggian serotonin plasma. Selain itu terdapat peninggian asam homovanilik pada cairan liquor cerebrospinal.

II.3 Gejala-gejala pada Anak Autisme
Gejala pada anak autisme sudah tampak sebelum anak berusia 3 tahun, yaitu antara lain dengan tidak adanya kontak mata, dan tidak menunjukkan responsif terhadap lingkungan. Jika kemudian tidak diadakan upaya terapi, maka setelah usia 3 tahun perkembangan anak terhenti atau mundur, seperti tidak mengenal suara orang tuanya dan tidak mengenali namanya. (www.peduliautisme.com)
Sedang menurut www.medicastore.com, penderita autisme klasik memiliki 3 gejala yaitu
Gangguan interaksi sosial
Hambatan dalam komunikasi verbal dan non verbal
Kegiatan dan minat yang aneh atau sangat terbatas.
Sifat-sifat lainnya yang biasa ditemukan pada anak autisme adalah
Sulit bergabung dengan anak-anak yang lain
Tertawa atau cekikikantidak pada tempatnya
Menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata
Menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri
Lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan
Tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka
Jarang memainkan permainan khayalan
Memutar benda, terpaku pada benda tertentu
Sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, secara fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif
Tidak memberikan respon terhadap cara pengajaran yang normal,
Tertarik pada hal-hal yang serupa, tidak mau menerima atau mengalami perubahan
Tidak takut akan bahaya
Terpaku pada permainan yang ganjil
Ekolalia (mengulang kata-kata atau suku kata)
Tidak mau dipeluk
Tidak memberikan respon terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah tuli
Mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui kata-kata, lebih senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk
Jengkel atau kesal membabi buta
Melakukan gerakan atau ritual tertentu secara berulang-ulang
Anak autis mengalami keterlambatan bicara, mungkin menggunakan bahasa dengan cara yang aneh atau tidak mampu bahkan tidak mau berbicara sama jika seseorang berbicara dengannya, dia akan sulit memahami apa yang dikatakan kepadanya. Anak autis tidak mau menggunakan kata ganti yang normal (terutama menyebut dirinya sebagai kamu, bukan sebagai saya)
Pada beberapa kasus mungkin ditemukan perilaku agresif atau melukai diri sendiri
Kemampuan motorik kasar/halusnya ganjil (tidak ingin menendang bola tetapi dapat menyusun balok)
Gejala-gejala tersebut bervariasi, bisa ringan maupun berat, selain itu perilaku autisme biasanya berlawanan dengan berbagai keadaan yang terjadi dan tidak sesuai dengan usianya.

II.4 Kriteria diagnostik
Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autisme atau tidak, digunakan standar international tentang autisme. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia. Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2) dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
1.Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik
Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju, apabila dipanggil tidak menengok
Perilaku anak autistik sering menunjukkan emosi yang tidak sesuai. Beberapa anak menjerit atau tertawa dengan sedikit atau tanpa provokasi, tetapi dapat pula terlihat gejala perilaku lain seperti hiperkinesis yang sering berganti-ganti dengan hiperaktifitas, agresifitas dan temperamen perilaku melukai diri sendiri seperti mencakar, menggigit dan menarik rambut (Kaplan & Sadock dkk,1994).
Penderita austistik hampir tidak menunjukkan perilaku emosional, yang terlihat hanya duduk dan memandang ke ruang kosong (Sutadi,1997; Newson, 1998). Mereka tidak menunjukkan rasa kecewa atau tidak senang bila berpisah dengan orang tuanya atau tidak gembira bila orang tua mereka datang kembali kedekatnya, hal ini dikarenakan terdapatnya gangguan kedekatan (attachment).
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, senang menyendiri
Yang dimaksud adalah kegagalan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sesuai menurut tingkat perkembangannya (Kaplan & Sadock dkk,1994). Secara fisik mereka akan menjaga jarak dengan teman lain, tidak pernah memulai dan hanya sedikit berespon terhadap interaksi sosial. Fungsi luhur penyandang akustik dewasa muda cenderung memperlihatkan kurang kooperatif di dalam kelompoknya bermain (Newson,1998)
c. Kurangnya hubungan timbal balik sosial dan emosional
Yang dimaksud dengan istilah hubungan sosial yang timbal balik adalah kapasitas yang dinamis untuk mempertahankan interaksi yang cocok. Hubungan sosial yang timbal balik bukanlah ketrampilan tunggal tetapi lebih pada hasil dari gabungan ketrampilan, hanya beberapa yang sudah diketahui. Interaksi verbal merupakan hal yang dimaksud dengan hubungan emosional yang timbal balik yaitu kondisi yang menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain, pada penderita austistik gagal menjalani hubungan ini. Kegagalan dalam membuat persahabatan, kejanggalan dan ketidaksesuaian sosial terutama kegagalan untuk mengembangkan empati. Pada masa remaja akhir, orang austik tersebut yang paling berkembang seringkali memiliki keinginan untuk bersahabat, tetapi kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan utuk berespon terhadap minat, emosi dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama dalam mengembangkan persahabatn. Kesulitan ini dideskripsikan sebagai kegagalan dalam hubungan timbal balik dan memberikan disorganisasi yang sifat dan perkembangan yang tidak seimbang dari ketrampilan sosial.
d. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
Yang dimaksud adalah tidak adanya keinginan spontan untuk berbagi rasa, kesenangan minat atau pencapaian dengan orang lain, misalnya tidak memamerkan, membawa atau menunjukkan benda yang menarik minat. penderita austistik juga mengalami kegagalan mengenali perasan orang lain. Anak austik tidak dapat menggunakan ketrampilannya dengan efektif karena tidak mampu menunjukkan dan memperlihatkan sesuatu hal yang dimaksud. Anak austistik seringkali menggunakan isyarat, meraba dan mengambil barang bukan dengan jarinya tapi menganggap orang lain sebagai benda misalnya dengan memegang tangan orang itu dan menempatkan pada suatu barang yang diinginkan. Setelah tujuan tercapai, anak austistik kurang mampu untuk melanjutkan pada aktifitas lain, tetapi biasanya mengulang kembali aktifitas yang semula.
e. Kurangnya kemampuan untuk bisa membagi kegembiraan dan kesenangan pada orang lain.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Minimal harus ada1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.
b.Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda (IQ-EQ,2001)
4. Adanya gangguan emosi
a. Tertawa, menangis, marah-marah tanpa sebab
b.Emosi tidak terkendali
c. Rasa takut yang tidak wajar
5. Adanya gangguan persepsi sensorik
a. Menjilat-jilat dan mencium-cuim benda
b. Menutup telinga bila mendengar suara keras dengan nada tertentu
c. Tidak suka memakai baju dengan bahan yang kasar
d. Sangat tahan terhadap sakit
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh gangguan disintegrasi masa kanak, namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini iasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktifitas. Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan , tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. (www.smartschool.com).


II.5 Diagnosis autisme pada anak
Autisme tidak dapat langsung diketahui pada saat anak lahir atau pada skrining prenatal (tes penyaringan yang dilakukan ketika anak masih berada dalam kandungan). Tidak ada tes medis untuk mendiagnosis autisme. Suatu diagnosis yang akurat harus berdasarkan kepada hasil pengamatan terhadap kemampuan berkomunikasi, perilaku dan tingkat perkembangan anak. Karakteristik dari kelainan ini beragam, maka sebaiknya anak dievaluasi oleh tim multidisipliner yang terdiri dari ahli syaraf, psikolog anak-anak, ahli perkembangan anak-anak, terapis bahasa dan ahli lainnya yang berpengalaman di bidang autisme. Pengamatan singkat dalam satu kali pertemuan tidak dapat menampilkan gambaran kemampuan dan perilaku anak. Masukan dari orang tua dan riwayat perkembangan anak merupakan komponen yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis yang akurat (www.medicastore.com)

II.6 Penatalaksanaan autisme pada anak
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak. Seperti anak-anak yang lainnya, anak autis terutama belajar melalui permainan, bergabunglah dengan anak ketika dia sedang bermain, tariklah anak dari ritualnya yang sering diulang-ulang, dan tuntunlah mereka menuju kegiatan yang lebih beragam. Misalnya orang tua mengajak anak mengitari kamarnya kemudian tuntun mereka ke ruang yang lain. Orang tua perlu memasuki dunia mereka untuk membantu mereka masuk ke dunia luar.
Kata-kata pujian karena telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, kadang tidak berarti apa-apa bagi anak autis. Temukan cara lain untuk mendorong perilaku baik dan untuk mengangkat harga dirinya. Misalnya berikan waktu lebih untuk bermain dengan mainan kesukaannya jika anak telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Anak autis belajar lebih baik jika informasi disampaikan secara visual (melalui gambar) dan verbal (melalui kata-kata). Masukkan komunikasi augmentative dalam kegiatan rutin sehari-hari dengan menggabungkan kata-kata dan foto-foto, lambang atau isyarat tangan untuk membantu anak mengutarakan kebutuhan, perasaan dan gagasannya.
Tujuan dari pengobatan adalah membuat anak autis berbicara tetapi sebagian anak autis tidak dapat bermain dengan baik, padahal anak-anak mempelajari kata baru dalam permainan, sebaiknya orang tua tetap berbicara kepada anak autis sambil menggunakan semua alat komunikasi dengan mereka, apakah berupa isyarat tangan, gambar, foto, tangan, bahasa tubuh manusia maupun tehnologi. Jadwal kegiatan sehari-hari, makanan dan aktifitas favorit serta temen dan anggota keluarga lainnya bisa menjadi bagian dari system gambar dan membantu anak untuk berkomunikasi dengan dunia di sekitarnya. (www.medicastore.com).
1.Intensitas penatalaksanaan
Intensitas penatalaksanaan harus dipertimbangkan pada beberapa level, termasuk durasi (yaitu beberapa jam per minggu, atau beberapa bulan per tahun) dan rasio pegawai yang tersedia. Berkenaan dengan durasi program, ada beberapa penelitian untuk mendukung fakta bahwa hasil yang diperoleh anak-anak penderita autis cenderung berhubungan secara positif dengan jumlah jam dari terapi yang mereka terima setiap minggu.Anak-anak dengan autisme memerlukan metode pengajaran yang intensif, yaitu diberikan secara baik ketika siswa mempunyai seorang guru yang perhatiannya tidak terbagi. Seperti kemajuan siswa, sering perhatian terbaik merekaada suatu rasio yang sebanding dengan yang diberikan dalam lingkungan pendidikan selanjutnya. (Giangreco dkk,1997).
2.Penatalaksanaan menyeluruh
2.1Terapi Psikofarmaka
Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresifitas, baik terhadap diri sendiri maupun pada orang-orang disekitarnya, serta hiperaktifitas dan stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat yang mempengaruhi berfungsinya sel-sel otak. Obat-obat yang digunakan antara lain :
a.Haloperidol
Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yangmenampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis 0,20 mg (Campbell dkk,1983)

b.Fenfluramin
Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme (Levanthal dkk,1993).
c.Naltrexone
Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktifitas (Lensing dkk,1995).
d.Clompramin
Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual dan agresifitas, biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg (Campbell dkk,1996)
e.Lithium
Merupakan obat yang dapat digunakan untukmengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri (Lumbantobing,2001)
f.Ritalin
Untuk menekan hiperaktifitas (Lumbantobing,2001)
g.Risperidon
Dengan dosis 2 x 0,1 mg telah dapat mengendalikan perilaku dan konvulsi.
Oleh karena efektifitas obat berbeda-beda antara anak satu dengan lainnya, maka pemakaian obat harus diawasi oleh dokter. Pemeriksaan yang lengkap perlu dilakukan setiap 6 bulan. Pemberian obat hanya sebagai penunjang dari keseluruhan penatalaksanaan autisme.
2.2Terapi Perilaku
Dalam tatalaksana gangguan autisme, terapi perilaku merupakan tatalaksana yang paling penting. Metode yang digunakan adalah metode Lovass. Metode Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai Behavioral Intervension atau Behavioral Modification. Dasar pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan system reward dan punishment. Pemberian reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan (Nakita,2002)
a.Prinsip dasar ABA (Applied Behavioral Analysis)
Dasar metode ABA adalah semua tingkah laku dipelajari. Baik yang sederhana, seperti kontak mata atau duduk, sampai yang kompleks, misalnya interaksi sosial dan kemampuan memahami sudut pandang orang lain. Tingkah laku kompleks ini dapat dipelajari dengan memecah menjadi komponen-komponen atau kemampuan-kemampuan persyarat yang lebih sederhana, yang kemudian diajarkan ke anak. Untuk membantu anak belajar, harus diketahui hal apa saja yang dapat meningkatkan kemungkinan anak untuk menunjukkan respon seperti yang diinginkan yang dikenal dengan sebutan reinforcer (penguat). Reinforce positif akan meningkatkan kemungkinan munculnya tingkah laku yang diinginkan (desirable behavioral). Sebaliknya, reinforcer negative meningkatkan kemungkinan tidak munculnya tingkah laku yang tidak diinginkan (undesirable behavioral). Reinforcer positif berupa akses ke barang atau hal-hal yang disukai anak, sedangakan reinforcer negative adalah penghilangan hal-hal yang menyenangkan dari didi anak (Lovass dkk,1987; Nakita,2001).
b.Tujuan ABA (Applied Behavioral Analysis)
Membuat kegiatan belajar menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi anak
Mengajarkan kepada anak agar mampu membedakan atau mendiskriminasikan stimulus-stimulus yang berbeda. Tanpa kemampuan ini, anak tidak sanggup merespon secara tepat.
c.Metode pengajaran ABA
Metode pengajaran yang digunakan adalah DDT (Discrete Trial Training) yaitu metode yang berstruktur menuruti pola tertentu dan bisa ditentukan awal dan akhirnya. DDT terdiri dari instruktur, prompt, respon, konsekuensi dan interval waktu antara instruksi yang satu dengan instruksi yang lain.
Instruksi : Harus diberikan setelah anak memberi perhatian. Latihan dasar adalah latihan kontak mata. Instruksi pada awalnya harus diberikan tepat sama, baik kata-kata maupun intonasi, agar anak mudah mengerti. Instruksi yang baik adalah yang jelas pengucapannya, sedikit kata dan dalam nada netral atau datar.
Prompt : Dimaksudkan agar anak dapat mengetahui respon yang diharapkan darinya.
Konsekuen : Yang dimaksud konsekuen adalah apa yang diterima anak setelah berespon. Kalau respon anak tepat, maka anak akan mendapat reinforcer yang akan meningkatkan kemungkinan bagi anak untuk berespon yang sama di kemudian hari.
Interval : Setelah anak berespon dan mendapat konsekuensi, interval diberikan sekitar 3-5 menit antara konsekuensi dan instruksi selanjutnya. Gunanya sebagai pemberitahuan pada anak bahwa instruksi yang terdahulu telah selesai dan menyiapkan anak untuk instruksi berikutnya. Bila tidak ada interval waktu, anak bisa saja mencampuradukkan instruksi berikut dengan instruksi sebelumnya.
d.Enam kemampuan dasar
Berbagai kemampuan yang diajarkan melalui program ABA dapat dibedakan menjadi enam kemampuan dasar, yaitu :
Kemampuan memperhatikan (Attending Skill)
Pada program ini terdapat dua prosedur. Pertama melatih anak untuk bisa memfokuskan pandangan mata pada orang yang ada di depannya atau disebut dengan kontak mata. Yang kedua melatih anak untuk memperhatikan keadaan atau objek yang ada di sekelilingnya. (Lovass dkk,1996).
Kemampuan menirukan (Imitation Skill)
Pada kemampuan imitasi anak diajarkan untuk meniru gerakan motorik kasar dan halus. Selanjutnya, urutan gerakan, meniru gambar sederhana atau meniru tindakan yang disertai bunyi-bunyian (Lovass dkk,1996; Hardiono & Nakita,2002).
Bahasa reseptif
Melatih anak agar mempunyai kemampuan mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata (Hardiono,2002).


Bahasa ekspresif
Melatih kemampuan anak untuk mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat bicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Hardiono,2002)
Kemampuan praakademis
Melatih anak untuk dapat bermain dengan benar, memberikan permainan yang mengajarkan anak tentang emosi, hubungan ketidakteraturan (irregularities), dan stimulus-stimulus di lingkungannya seperti bunyi-bunyian serta melatih anak untuk mengembangkan imajinasinya lewat media seni seperti menggambar benda-benda yangada di sekitarnya (Lovass dkk,1996).
Kemampuan mengurus diri sendiri (Self Help Skill)
Program ini bertujuan untuk melatih anak agar bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pertama anak dilatih untuk bisa makan sendiri, umumnya pada anak yang normal dia dapat mempelajarinya dengan mudah. Tetapi untuk penderita autisme ini membutuhkan waktu yang lama dan bertahap. Yang kedua anak dilatih untuk bisa buang air kecil atau yang disebut toilet training. Kemudian tahapan selanjutnya adalah dressing, brushing or combing hair and tooth brushing. Pelatihan ini dilakkan secara pelan-pelan dan bertahap (Azrin & Fox, 1971)
e.Tehnik Pengajaran
Untuk dapat mengajarkan ketrampilan yang komplek pada anak autistik dapat digunakan tehnik shaping dan prompting. Tehnik ini biasanya digunakan karena respon yang mau diajarkan belum dapat dimunculkan oleh si anak atau tidak cukup sering muncul, sehingga bisa digunakan reinforcer saja.
Tehnik shapping
Tehnik ini digunakan bila kemampuan yang seharusnya dimiliki anak belum ada, sebelum anak dapat memunculkan respon yang tepat. Pada tehnik ini, terapis akan memberi reinforcer pada respon-respon yang dimiliki oleh anak, yang mirip dengan respon yang tepat. Reinforcer akan diberikan pada respon yang semakin lama semakin mirip dengan respon target. Sampai akhirnya anak mampu memunculkan respon yang merupakan target awal.
Tehnik prompting
Pada tehnik ini anak akan diberikan bantuan ekstra karena belum mampu memberikan respon yang belum tepat. Prompt bisa berupa verbal prompt (terapis menyebutkan kata-kata yang tepat), modelling prompt (terapis mendemontrasikan kepada anak respon yang tepat) dan physical prompt (terapis membimbing anak secara fisik agar mampu menunjukkan respon yang tepat). Yang harus dihindari dari tehnik ini adalah ketergantungan anak pada prompt, dimana anak tidak bisa memunculkan respon yang tepat bila tidak diberikan prompt (Nakita,2002).
f.Tehnik Jembatan (Shadowing)
Bila anak kesulitan di sekolah umum, biasanya akan dilakukan tehnik inklusi atau integrasi dan tehnik shadowing. Tehnik tersebut umumnya dilakukan di masa-masa awal anak mengikuti kegiatan di sekolah umum. Caranya, terapis (shadow) yang selama ini membantu anak di rumah, ikut hadir di kelas bersama anak. Ia berfungsi untuk menjembatani atau membantu anak mengerti instruksi-instruksi atau stimulus-stimulus dari lingkungan. Kalau perlu, shadow akan melakukan prompt terhadap anak. Namun penggunaan prompt oleh shadow memang dibatasi supaya anak belajar mandiri (Nakita,2002).
2.3Terapi Bicara
Gangguan bicara dan berbahasa di derita oleh hampir semua anak autisme. Tatalaksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan oeh ahlinya karena merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara sekata demi sekata, cara ucapan harus diperhatikan, kemudian diajarkan berdialog setelah mampu berbicara. Anak dipaksa untuk memandang terapis, seperti diketahui anak austistik tidak mau adu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak mata diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir terapis (Soemarno,1992).
2.4Terapi okupasional
Melatih anak untk menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakuakan ketrampilan lainnya.
2.5Pendidikan Khusus
Anak autistik mudah sekali teralih perhatiannya, karena itu pada pendidikan khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambar-gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak normal (Soemarno,1992)
2.6Terapi Alternatif
Yang digolongkan terapi alternatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut dengan penelitian.
Terapi detoksifikasi
Terapi ini menggunakan tentang nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang mempengaruhi sistem kerja otak.
Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan dan shower, diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal 2 liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh (Edelson,1997)
The Option Method
Tujuan utama metode ini adalah meningkatkan kebahagiaan penyandang autisme dengan membantu mereka menemukan sistem kepercayaan diri masing-masing, Dasar pemikirannya adalah pandangan bahwa anak autis cenderung menutup diri terhadap dunia luar atau hidup dalam dunianya sendiri. Dengan adanya sikap menutup diri, kemampuan interaksi sosial anak tidak berkembang. Sehingga ketika anak berinteraksi dengan orang lain, ia menilainya sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan justru membuat anak semakin menarik diri.
Proses terapi ini menekankan penerimaan orang tua terhadap perilaku anaknya sebagai sesuatu yang tidak menyimpang, melainkan cara anak untuk mengerti dan mengontrol dunianya. Orang tua harus terlibat kuat pada kegiatan obsesif anaknya (Suzi & Kaufman,1998)
Sensory Integration Therapy
Kemampuan integrasi sensoris adalah kemampuan untuk memproses impuls yang diterima dari berbagai indera secara stimulan. Banyak anak autis yang diketahui mengalami kesulitan dalam memproses stimulus sensoris yang kompleks. Anak autis yang masuk dalam golongan ini umumnya menunjukkan ketidakpekaan sensoris tertentu. Terapi ini bertujuan meningkatkan kesadaran sensoris dan kemampuan berespon terhadap stimulus sensoris tersebut. Untuk itu dalam terapi ini digunakan stimulus yang bervariasi dan ba

II.7 Prognosis
Pada gangguan autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik,. Kira-kira dua pertiga orang dewasa autisme bergantung sepenuhnya atau setengah bergantung pada keluarga atau di rumah sakit jiwa. Hanya 1-2% dapat hidup normal dan berstatus independent, dan 5-20% mendapat status normal borderline (Hagberg,1981)

DAFTAR PUSTAKA

Aeni, dkk., 2001., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Azrin & Fox., 1971., Teaching Develompentally Disable Children., Pro-ed., Austin Texas
Budiman, M., 1997., Tatalaksana Terpadu Pada Autisme, dalam : Simposium Tatalaksana Autisme., Gangguan Perkembangan anak., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Campbell, M., shay dkk., 1983., Pervassif Development Disorder., Comprehensive Text Book of Psychiatry., 2277-2293
Courchesne., 1991., Gangguan Perkembangan Pervasif : Ilustrasi 1 kasus, jurnal Medika Nusantara., Vol : 22(2) : 347-54
Edelson, S., 1997., Menangani Anak Autisme., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002., Vol : 30
Giangreco,M., Edelma,S., Luiselli,T., and MacFarland,S., 1997., Helping or hovering ? Effects of instructional assistant proximaty on student with disabilities., Exceptional Children., 64., No.I., 7-18
Hartono., Infantil Autism., Majalah Medical Indonesia., Edisi V., 1998., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Kaplan, H.S., Saddock,B.J., Greb,J.A., 1994., Synopsis of Psychiatry Behavioral Scienses., Clinical Psychiatry Refford DC (Ed). Williams & Wilkins., Baltimore
Lensing, dkk., 1995., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara., vol:22(2):347-54
Leventhal,dkk., 1993., Gangguan Perkembangan Pervassif., Ilustrasi 1 Kasus, Jurnal Medika Nusantara, Vol:22(2):347-54
Lovass,O.I, dkk., 1996., Teaching Developmentally Disable Children., Pro-ed Austin., Texas
Lumbantobing,S.M., 2001., Anak Dengan Mental Terbelakang., Balai Penerbit Fakultas kedokteran Indonesia
Newson,dkk., 1998., Long-term Otcome For Children With Autisme Who Received Early Intensive Behavioral Treatment., University of California., Los Angeles
Rapin, I., Autistic Spectrum Disorder Across The Life Span., AAN., 2001
Soemarno., 1992.,Gangguan Autisme., Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran., Universitas Gadjah Mada
Sutadi, R., 1997., Tatalaksana Perilaku Pada Penyandang Autisme., Yayasan Autisme Indonesia., Jakarta
Suzi., & Kaufman., 1998., Menangani Anak Autis., Panduan Tumbuh Kembang Balita., Nakita., 2002 Vol :30
Anonim., Mengenal Autisme., http://www.smartschool.com
Anonim., Autisme., http://www.medicastore.com
Anonim., Autisme bisa disembuhkan, kenyataan dan harapan., http://www.peduliautisme.com