Kamis, 23 Maret 2006

Bagaimana Dokter 'Membodohi' Pasien


Tulisan ini sebenarnya menceritakan tentang penyakit tuberkulosis paru (TB paru) atau TBC paru.

"Bu, anaknya kena flek paru ya. Ini saya obati. Minum obatnya harus sampai enam bulan, tidak boleh putus," kata seorang DSA (dokter spesialis anak).

"Kata dokter anaknya sakit apa?" tanyaku.
"Flek paru," jawab si ibu.
"Oo.. TBC," timpalku lagi, dengan nada santai.
"Haa, TBC? Masa' sih, Dok?" si ibu kaget. Mukanya agak memerah.
"Iya, flek paru itu ya TBC," jawabku, lagi-lagi dengan nada santai.

Di bawah aku ambil persis dari situsnya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia):

Banyak sekali anak-anak yang divonis sebagai ΄flek paru΄ dan harus menjalani ΄hukuman΄ minum obat jangka lama, paling tidak hingga 6 bulan. Jika ditanyakan kepada orangtuanya apa yang dimaksud flek paru? Biasanya orangtua pasien tidak tahu, Bila ditanya lebih lanjut apakah anaknya mendapat obat yang membuat air seninya berwarna merah? Jika jawabnya "Ya" kemungkinan besar yang dimaksudkan sebagal ΄flek paru΄ adalah tuberkulosis/TB paru atau saat ini disebut TB saja.
Mengapa dokter tidak menyatakan sebagai TB?
Sebagian kalangan di masyarakat beranggapan bahwa TB bukan penyakit yang ΄bergengsi΄, Beda misalnya dengan penyakit jantung yang dianggap lebih ΄terhormat΄, Sebagian pasien tidak berkenan jika dinyatakan sakit TB. Khawatir pasien tidak dapat menerima, dokter berusaha menyamarkan penyakitnya dengan istilah flek paru. Saat ini umumnya pasien sudah berpikiran terbuka dan dapat menerima jika dinyatakan sakit TB. Sebaiknya dokter berterus terang menyatakan sakit TB tanpa menyamarkan dengan istilah flek paru yang justru tidak mendidik pasien.

Itulah sekilas tulisan dr. Darmawan Budi S, SpA(K) yang berjudul "
΄Flek Paru΄ Istilah yang Rancu: Informasi Singkat Tentang Tuberkulosis (TB) Anak". Tulisan ini kemudian mendorongku untuk tidak 'membodohi' pasien dengan istilah 'flek paru'. Kalau memang TB ya katakan saja TB. Jaman telah berubah. Pasien cukup kritis untuk mengetahui diagnosis pasti penyakitnya. Bahkan tidak jarang, penjelasan yang tidak utuh menciptakan terapi tidak adekuat. Istilah 'flek' yang kurang menakutkan, membuat pasien tidak patuh meminum obatnya. Ah, toh cuma 'flek' ini. Padahal TB harus diobati minimal enam bulan, tanpa adanya putus obat yang berisiko menciptakan resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Penderita TB yang sudah resisten (kebal) terhadap obat jauh lebih membahayakan, baik bagi dirinya sendiri (risiko perberatan dan komplikasi penyakit) maupun orang lain (jika menularkan).

Hal lain adalah: cukup sukar mendiagnosis TB pada Anak, dibandingkan dengan pada dewasa. Dengan ilmu kedokteran yang terus berkembang, dokter dan dokter spesialis anak yang tidak memperbaharui ilmunya, seringkali menggunakan perangkat yang tidak tepat dalam mendiagnosis TB pada Anak. Berlandaskan pada keluhan tidak spesifik (batuk lama, padahal seringkali batuk akibat alergi, bukan infeksi, berat badan sukar naik, dan demam hilang-timbul), ditambah gambaran Rontgen penuh 'flek' (sukar membedakan gambarannya dengan batuk-pilek biasa), langsung saja dokter mendiagnosis TB dan mengobatinya. Padahal obat TB Anak yang terdiri atas tiga kombinasi obat berbeda mempunyai efek samping, dan harus dimetabolisme di hati dan ginjal. Jika penggunaannya tidak tepat, bisa menimbulkan efek samping yang lebih buruk dibandingkan keuntungannya minum obat.

Setidaknya dokter di Indonesia bisa menggunakan panduan berikut yang mudah diakses di situs GERDUNAS TBC (Gerakan Terpadu Penanggulangan TBC Nasional) mengenai alur deteksi dini dan rujukan TB pada Anak.

Hal-hal yang mencurigakan TBC :

1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan penderita TBC yang BTA positif

2. Terdapat reaksi kemerahan lebih cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan BCG.

3. Berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

4. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas.

5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu.

6. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik.

7. Skrofuloderma.

8. Konjungtivitis fliktenularis.

9. Tes tuberkulin yang positif (>10 mm).

10. Gambaran foto rontgen sugestif TBC.

Dengan setidaknya tiga dari gejala di atas, seorang anak boleh memulai terapi obatnya.

Tidak semua dokter dan dokter spesialis anak mengetahui dan mau menggunakan panduan ini. Masih banyak yang lebih mengandalkan pada pembacaan Rontgen satu posisi saja misalnya, tanpa melakukan tes tuberkulin (uji Mantoux). Padahal panduan ini disusun mengadaptasi WHO yang merancangnya khusus untuk dapat digunakan di negara berkembang, melalui berbagai penelitian dan pengujian lapangan.

Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah: obat TB GRATIS di semua Puskesmas. Ya, gratis boo, gretong, free. Tidak harus berobat ke dokter spesialis yang meresepkan obat paten dengan harga di atas seratus ribu rupiah sekali datang. Padahal penyakit ini terutama ditemukan pada sosioekonomi menengah ke bawah, yang sangat pikir-pikir kalau mau berobat. Ketiadaan biaya malah membuat sesorang tidak berobat, karena tidak mengetahui program pemerintah yang menggratiskan obat TB di seluruh Puskesmas di Indonesia, dan menimbulkan komplikasi berat seperti meningitis, TB tulang, TB milier, dan lainnya yang dapat mengancam nyawa.

Selengkapnya mengenai TB dapat dibaca di situs WHO dan TB Indonesia.

Menyambut hari TB sedunia 24 Maret ini.

Kamis, 16 Maret 2006

Nanah Post Operasi
Setelah menjalani operasi, luka operasi terlihat baik. Luka tidak basah, tidak nyeri, tidak kemerahan dan tidak mengeluarkan pus /nanah. Pasien diperbolehkan untuk pulang.
Beberapa hari setelah pulang, pasien kembali dengan luka operasi yang memerah, nyeri dan agak membengkak.
Kemudian oleh dokter jahitan operasi dibuka sedikit, tampak pus / nanah keluar melalui lubang tempat jahitan yang dibuka tadi.
Selain dengan perawatan pemakaian tampon kassa betadine dan kassa betadine selama beberapa hari banyak diantara pasien yang juga mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
Ada yang pernah mengalami kejadian seperti ini ?
Ingin berbagi cerita / pengalaman ?
Ada kisah tidak menyenangkan atau yang menyenangkan yang dirasakan bersama dokter yang merawat ?

Selasa, 14 Maret 2006

HERNIA
Obrolan ini lanjutan dari acara Talk Show radio Sonora Jakarta 92.0 FM topik HERNIA pada hari Selasa 21/3/06 pk 08.00 WIB.
Hernia dikenal sebagai turun berok atau burut atau kondor
Gangguan ini sering terjadi di daerah perut - jadi hernia adalah penonjolan isi rongga perut melalui jaringan ikat tipis yang lemah (defek) pada dinding perut. Dinding yang lemah tersebut membentuk suatu kantong dengan pintu berupa cincin. Penonjolan ini sering terlihat sebagai suatu BENJOLAN.

Benjolan tersering terjadi di lipat paha bahkan bisa turun sampai skrotum (kantung kemaluan).
Benjolan keluar kalau berdiri, dan menghilang jika berbaring/tidur.

Kondisi menjadi lebih parah bila ada dorongan akibat peningkatan tekanan di dalam rongga perut. Misalnya, akibat mengejan ketika buang air besar (pada penderita ambein/wasir), mengejan ketika buang air kecil (pada penderita hipertrofi/pembesaran prostate) batuk-batuk, atau pekerjaan sering mengangkat beban berat. Selain itu dengan adanya benjolan akan memberikan rasa tidak nyaman dan ukuran benjolan jika tidak di terapi besarnya tidak terbatas, bahkan ada yang mencapai 1/3 bawah paha (seperti terlihat pada gambar), namanya hernia permagna.


Hernia tidak hanya terjadi pada usia lanjut tapi dapat juga terjadi pada anak-anak. - semua kalangan, semua umur dan semua jenis kelamin.

Lebih sering dialami laki-laki dibandingkan perempuan. Ini terjadi karena adanya perbedaan proses perkembangan alat reproduksi pria dan wanita semasa janin. Pada janin laki-laki, testis (buah pelir) turun dari rongga perut menuju skrotum (kantung kemaluan) pada bulan ketujuh hingga kedelapan usia kehamilan. Lubang yang berupa saluran itu akan menutup menjelang kelahiran atau sebelum anak mencapai usia satu tahun. Ketika dewasa, daerah itu dapat menjadi titik lemah yang potensial mengalami hernia.
Lokasi yang paling sering adalah daerah lipat paha (groin), skrotum dan femoral. Lebih sering terjadi pada sebelah kanan.

Lokasi lain terjadinya hernia adalah hernia ventral, umbilical, epigastrik, insisional, spigelian, stoma hernia.
Hernia insisional terjadi akibat luka pembedahan pada daerah perut (biasanya irisan tengah) yang tidak menyembuh komplit sehingga tempat irisan tersebut menjadi daerah terlemah / defek yang menyebabkan isi rongga perut menonjol.
Keadaan yang membahayakan dari hernia adalah bila usus yang keluar tidak dapat kembali masuk ke rongga perut kemudian terjepit dan membusuk.
Tindakan operasi harus segera dilakukan, selain menutup lubang dan memperkuat jaringan, pemotongan dan penyambungan usus yang mengalami jepitan tadi juga harus dilakukan jika usus sudah dalam keadaan membusuk / gangrenous

PENYEBAB HERNIA

Pada orang dewasa, hernia terjadi karena faktor kelemahan dinding perut.

Otot dinding rongga perut yang melemah, bisa dikarenakan usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Pada wanita, kegemukan juga dapat memungkinkan timbulnya daerah yang lemah. Keadaan-tersebut dapat mengakibatkan usus terdorong ke dalam "daerah perbatasan" yang lemah tadi dan menonjol ke luar.

Pendapat lain menyatakan, kebiasaan merokok, penyakit yang mengenai jaringan ikat, dan penyakit gula (diabetes melitus) juga dapat mempengaruhi timbulnya hernia. Hal tersebut berkaitan dengan gangguan metabolisme pada jaringan ikat.
Selain faktor usia, dorongan pada rongga perut yang sering akibat penyakit / pekerjaan tertentu yang mengakibatkan timbulnya kelemahan dinding perut.
Daerah terlemah pada dinding perut adalah kanal inguinal dan anal femoral juga daerah umbilical / pusar.

TERAPI

Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan. Karena penyebab hernia adalah kelainan anatomi akibat dinding perut yang melemah, pembedahan memang menjadi satu-satunya terapi.
Terapi nonbedah berupa pemakaian penopang (truss) hanya bersifat menunjang, sama sekali tidak memperbaiki hernia itu, apalagi menyembuhkan. Cara ini diperuntukkan bagi penderita yang menolak operasi atau, karena keadaan yang tidak memungkinkan, tidak dapat dioperasi. Namun, untuk penderita yang menolak operasi, perlu dijelaskan bahwa keadaan penyakitnya dapat berlanjut dan akhirnya tetap diperlukan operasi
Pada orang dewasa, pembedahan dilakukan untuk menutup lubang dan memperkuat bagian yang lemah. Otot perut dirapatkan menutupi lubang yang ada. Pada zaman dulu, operasi dilakukan dengan menempatkan penderita dalam "posisi Trendelenburg" (kepala di bawah) agar isi hernia masuk kembali ke rongga perut oleh gaya gravitasi Bumi.

Pembedahan dapat dilakukan terencana, tidak harus segera.

Khusus untuk hernia inkarserata dan strangulate (hernia dengan usus yang terjepit / usus-benjolan yang tidak dapat masuk kembali kedalam rongga perut), tindakan operasi harus segera dilakukan.
Bila tidak, bagian isi hernia yang terjepit lalu membusuk dan bisa menjadi sumber infeksi ke seluruh dinding usus (peritonitis). Akibat yang lebih buruk adalah kematian bagi penderitanya.

Setelah operasi, semuanya jadi beres? Belum tentu. Penderita biasanya masih mengeluh soal lain. Setelah operasi ia merasakan bagian yang dioperasi seperti tertarik dan nyeri. Rasa nyeri ini lama-lama akan berangsur pulih.

Pada anak-anak, sebelum anak mencapai usia satu tahun, biasanya belum dilakukan tindakan. Diharapkan, lubang akan menutup sendiri mengikuti pertumbuhannya. Namun, jika setelah berusia satu tahun, lubang masih terbuka, dokter akan menganjurkan operasi. Kalau dibiarkan, lubang dapat bertambah besar. Ketika anak mulai berjalan dan beraktivitas, lubang tadi dapat terus membesar akibat dorongan terus-menerus. Akibatnya, tidak hanya cairan yang keluar, usus pun dapat keluar, sehingga berlanjut menjadi hernia." Pada anak-anak, tindakan hanya ditujukan untuk menutup lubang.

CEGAH REKURENSI / KEKAMBUHAN

Penderita hernia pascaoperasi bisa mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi dalam beberapa bulan atau setahun, hal ini mungkin merupakan akibat dari pembedahan yang dilakukan. Namun, bila kekambuhan terjadi setelah dua tahun atau lebih, tampaknya terjadi kelemahan fasia / dinding perut yang progresif. Hati-hati bila kekambuhan terjadi berulang. Kemungkinan hernia berkembang menjadi hernia inkarserata dan strangulata menjadi lebih besar.

Untuk mencegah kekambuhan, penderita harus menghindari hal-hal yang dapat meninggikan tekanan di dalam rongga perut, misalnya batuk dan bersin yang kuat, konstipasi (sembelit), mengejan, serta mengangkat barang berat. Misalnya, untuk menghindari batuk-batuk yang persisten, kalau ia perokok sebaiknya berhenti merokok. Jangan sampai ia harus mengejan, kalau ada kesulitan buang air kecil atau besar, sebaiknya segera berobat dan diatasi dulu. Kalau pekerjaan penderita sering menuntut dirinya mengangkat beban berat, sebaiknya ia minta dipindahtugaskan. Pada wanita yang kegemukan, dianjurkan untuk mengurangi bobot badan.

Instruksi Post Operasi

Dokter memperbolehkan pulang jika sudah dapat berjalan tanpa rasa pusing, sudah dapat makan dan minum tanpa muntah dan mual, dapat BAK tanpa kesulitan dan tidak ada penyulit lain yang membuat pasien harus tetap dirawat di RS.
Dokter akan memberikan resep obat dan harus di minum sesuai dengan aturan yang diberikan
Luka operasi jangan terkena air selama 7 hari setelah operasi
Kontrol ke RS pada hari yang telah ditentukan.
Minggu pertama setelah operasi, istirahat dan melakukan kegiatan di dalam rumah. Jangan masuk kantor dulu (jika bekerja)
Minggu ke dua bisa melakukan kegiatan di luar rumah yang ringan.
Jika ada demam, segera kunjungi RS
Kembali bekerja setelah 2 – 2 ½ minggu setelah operasi
Menyetir mobil dapat dilakukan 1 minggu setelah operasi
Kadang-kadang merasakan nyeri pada puncak skrotum / kantong kemaluan dan berkurangnya sensitifitas pada testis selama beberapa hari.
Konsultasi untuk menyembuhkan faktor resiko seperti batuk kronis, keluhan BAB dan BAK yang sering mengejan, kegemukan, penyakit degeneratif yang cenderung melemahkan otot/fascia dinding perut.

Keadaan lain-lain

Hernia terjadi bersamaan pada kedua sisi, sehingga dilakukan operasi dua-duanya
Dapat terjadi dua macam hernia pada satu sisi, hernia lateralis (sampai ke kantong kemaluan) dan hernia medialis (hanya sebatas pada lipat paha)
Kantong hernia dapat dibentuk oleh usus besar dan organ lain yang terletak di bagian bawah perut.
Hernia dapat disertai dengan tumor kelenjar lemak pada kantong hernia, pada proses yang lama pertumbuhan tumor kelenjar lemak ini dapat terus bertambah besar dan menggantikan jaringan serta fascia pada dinding perut disebelah atas funikulus spermatikus. Pada post operasi, cegah penekanan/trauma langsung pada daerah luka operasi.
Dapat disertai dengan hidrokel, menumpuknya cairan peritoneum dalam kantong kemaluan – biasanya dilakukan operasi secara bersamaan.
Hernia dengan riwayat dilakukan pemijatan, biasanya akan mengakibatkan terjadinya perlengketan hernia dengan struktur jaringan sekitarnya sehingga akan menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya dan merupakan suatu penyulit operasi.
Dapat disertai dengan tumor testis. Tindakan operasi disertai terapi lain untuk tumor testisnya.
Pembesaran benjolan hernia tidak terbatas. Terapi tunggal dengan melakukan operasi. Operasi dengan memotong kantong hernia (herniotomi) dilanjutkan dengan hernioplasty (memperkuat dinding posterior abdomen dan cincin hernia) agar tempat terlemah tadi bisa menjadi lebih 'kuat'.
Pada anak-anak hanya dilakukan herniotomi saja tanpa hernioplasty.
Ada yang hendak berbagi soal Hernia .... ?
Pernah melakukan operasi Hernia ? Kambuh mengalami hernia setelah dilakukan operasi ?

Senin, 13 Maret 2006

Mengakhiri Kemiskinan


We Can End Poverty by 2025… and CHANGE THE WORLD FOREVER

Hehehe, kaya judul lagunya Eric Clapton ya? Itulah yang tertulis dalam sampul belakang buku yang akan kuresensi berikut. Masuk ke dalam angkot, cari tempat duduk di pojok belakang, langsung buka bukunya, dan mataku menyusuri rangkaian ratusan kata di tiap halaman. Inilah buku yang ingin kubaca selama ini, setelah membaca resensi singkatnya dalam sajian utama Majalah TIME beberapa bulan silam. Salah satu kesempatanku membaca buku adalah saat berada di dalam angkot. Jika di rumah, waktuku habis untuk online di depan komputer, atau di luar rumah saat menyetir mobil tentu tidak mungkin. Kadang bisa juga ketika tidak ada pasien pas dinas shift malam. Siapa sangka menemukan buku ini di atas meja teman sejawatku, dr. Jumpa. Tidak kusia-siakan untuk segera meminjamnya.

Buku ini mencerahkan! Itu komentar singkatku. Mulai dari sampul depannya yang cukup sederhana, namun mengena: penonjolan pada kata-kata judul “THE END OF POVERTY, HOW WE CAN MAKE IT HAPPEN IN OUR LIFETIME, JEFFREY SACHS, FOREWORD BY BONO” yang dicetak dalam warna hitam dan merah saja, pembaca langsung mendapatkan salah satu daya tarik buku ini adalah pengantar yang ditulis oleh vokalis legendaris U2.

Paragraf pertama dalam “Introduction” pun cukup jelas: “This book is about ending poverty in our time. It is not a forecast. I am not predicting what will happen, only explaining what can happen… Our generation can choose to end that extreme poverty by the year 2025.” Cukup mengena, bukan?

Buku ini disusun berdasarkan pengalaman sang penulis, Jeffrey D. Sachs, konsultan Bank Dunia (World Bank) dan konsultan khusus bagi Sekjen PBB Kofi Annan, serta seorang profesor ekonomi, yang telah memberikan ‘pengobatan’ bagi banyak ‘pasiennya’ di seluruh dunia. Lihatlah judul-judul babnya. Pengalaman apa yang ia dapatkan dari Bolivia, Polandia, Russia, Cina, India, dan kemiskinan sistemik di benua Afrika.

Jujur saja, aku belum selesai membaca buku ini. Tapi ada beberapa bagian yang menurutku sangat menarik, dan menjelaskan ke dalam ‘golongan’ manakah si penulis? Sama saja dengan pakar ekonomi asing—terutama AS—yang selalu memiliki kepentingan terselubung di semua negara berkembang? Atau seorang yang memang benar-benar idealis, tulus sepenuh hati ingin menolong orang lain.

Bab pertama bertajuk “A Global Family Portrait” (lagi-lagi jadi ingat lagunya Pink). Diawali dengan kisah kemelaratan luar biasa di Malawi, Afrika. Jeffrey D. Sachs memotret satu desa yang hampir musnah akibat AIDS. Ia menemui seorang nenek yang menampung belasan yatim-piatu. Orangtua mereka telah mati akibat penyakit AIDS. Belum lagi penyakit lainnya: malaria. Seorang wanita menggendong cucunya yang dijangkiti penyakit gigitan nyamuk ini, berjalan kaki 10 kilometer menuju RS setempat. Setibanya di sini, tidak ada obat anti malaria yang tersedia. Dengan cucunya mengalami demam tinggi, mereka berdua berjalan kembali pulang. Berikutnya Sachs menuturkan gamblang epidemi AIDS di sini, serta solusi mudah yang bisa dilakukan. Berlanjut ke Bangladesh, dengan kisah sedih kemiskinannya.

Cerita menggembirakan segera dapat kita baca melalui kisah India: “Center of an Export Services Revolution”. Melalui ilustrasi seorang pegawai wanita muda berusia 25 tahun yang bekerja di perusahaan IT, dengan penghasilan 250 – 500 dolar sebulan (sama dengan pendapatan dokter baru lulus di Jakarta, FYI). Dalam bab terpisah: “India’s Market Reforms: The Triumph of Hope over Fear”, pembaca mengetahui jelas rahasia kebangkitan ekonomi negara Bollywood ini mulai tahun 1994. Padahal di tahun 1978, penulis masih mendapati India sebagai satu negara miskin “berat”. Perdana menteri India, Dr. Manmohan Singh, ahli ekonomi yang pernah mendapat pendidikan di Cambridge dan Oxford, dengan kebijakan ekonominya, serta India Institue of Technology (IIT) memegang peran penting ini (kalau ITB/UI masih ga, ya? Hehehe). Begitu dengan kisah Cina dengan keberhasilannya.

Satu pemikiran menarik penulis dalam bab ini adalah: “Progress is hard enough to achieve in the world without being perceived as a danger. One of the ironies of the recent success of India and China is the fear that engulfed the United States that success in these two countries comes at the expense of the United States. These fears are fundamentally wrong and, even worse, dangerous. They are wrong because the world is not a zero-sum-struggle in which one country’s gain is another’s loss, but is rather a positive-sum opportunity in which improving technologies and skills can raise living standards around the world.”

Kalimat ini membuatku yakin penulis termasuk golongan Amerika yang ‘hanif’. Berbeda dengan ketakutan Amerika selama ini yang menganggap India dan Cina adalah ancaman besar mereka.

Tidak cukup di sini. Dalam bab empat: “Clinical Economics”, Mr. Sachs menyebutkan IMF sama dengan penilaian kita selama ini: Dalam seperempat abad terakhir, negara miskin mendatangkan “dokter uang dunia”, IMF, untuk meminta bantuan. “The main IMF prescription has been budgetary belt tightening for patients much too poor to own belts. IMF-led austerity has frequently led to riots, coups, and the collapse of public service”!. Hahaha, kena kau, IMF. Penulis tampa takut-takut menerangkan gamblang banyak kesalahan IMF dan AS dalam buku ini. Sesuatu yang kita semua setujui.

Bagiku sebagai seorang dokter, bab ini juga menerangkan sesuatu yang sangat menarik. Jeffrey Sachs telah mengembangkan model ekonomi pembangunan baru: clinical economics, melihat kesamaan antara praktik ekonomi pembangunan (development economics) dengan praktik kedokteran (clinical medicine). Ia belajar banyak dari istrinya seorang dokter spesialis anak. Ini pulalah, yang memberi ciri khas bagi bukunya. Untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi—khususnya kemiskinan—suatu negara, harus melihat semua aspek yang mungkin terlibat. Layaknya seorang dokter dalam menangani pasien-pasiennya.

Inilah “some lessons of clinical medicine”:

· The human body is a complex system. Paduan antara sistem saraf, sirkulasi, pernapasan, pencernaan, endokrin, imun, reproduksi, de el el. Seringkali penasehat ekonomi melupakan semua faktor yang mungkin berperan dalam kemiskinan dan masalah ekonomi negaranya. Bagaimanakah sistem transportasinya, model pemerintahannya, jaringan komunikasinya, penegakan hukunya, pertahanan nasionalnya, sistem perpajakannya, dsb.

· Complexity requires a differential diagnosis. Seorang anak dengan demam tinggi, penyebabnya bisa dari infeksi, trauma, autoimun, kanker, keracunan, dll. Namun selalu ada prioritas kemungkinannya, tidak semuanya dianggap sama. Begitu juga dengan negara. IMF memfokuskan pada isu-isu yang sempit seperti korupsi, membatasi usaha swasta, defisit anggaran, dan kepemilikan sumber-sumber negara. Dan menyamakan semua negara, dengan melakukan saran untuk memotong pajak, meliberalisasi perdagangan, dan memprivatisasi milik negara (salah satu hal menyedihkan untukku di Indonesia adalah privatisasi RS pemerintah. Hiks, kemana orang miskin bisa berobat?) IMF tidak melihat bidang agronomi, iklim, penyakit, isu gender, dan lainnya.

· All medicine is family medicine (sesuatu yang dokter Indonesia juga sering melupakannya). Tidak cukup mengobati penyakit seorang anak, dengan melupakan kemiskinan yang diderita orangtuanya, cukupkah asupan makanan bergizinya, apakah orangtuanya bermasalah secara sosial, dll. Bagaimana mungkin negara seperti Ghana akan lepas dari lilitan kemiskinan jika masih menghadapi sanksi perdagangan internasional (begitu juga dengan Irak. Sachs juga mengkritisi pemerintahan Bush yang memerangi “terorisme”, tapi melupakan perang terhadap kemiskinan yang bisa menjadi benih-benih terorisme).

· Monitoring and evaluation are essential to successful treatment. IMF atau World Bank seringkali mendikte suatu negara untuk mengikuti programnya, tanpa mengevaluasi kemudian apakah programnya tersebut cocok untuk negara bersangkutan.

· Medicine is a profession, and as a profession requires strong norms, ethics, and codes of conduct.

Bagaimana dengan Indonesia? Penulis tidak menyinggung sama sekali negara ini. (Meskipun sudah kucari dalam indeks. Mungkin Mr. Sachs belum pernah menangani Indonesia sebagai salah satu “pasien”-nya, atau tidak ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari negara ini!) Padahal dalam edisi TIME yang membahas khusus buku ini, beberapa foto diambil dari Indonesia. Seingatku gambar dua anak jalanan yang tertidur pulas di lantai stasiun Senen, dan seorang pemulung di atas gunung sampah.

Dalam rubrik Ragam Majalah SAKSI edisi 9 Maret 2006, wartawan jurnalisme investigatif Rizky Ridyasmara—veteran SABILI—menulis dengan gamblang, hal-hal yang menurutku penyebab bangkrutnya Indonesia, dan curamnya jurang pemisah dan kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin. Bagian dari rentetan perampokan kekayaan negara oleh konspirasi jahat pejabat dan pengusaha negeri ini. Berawal sejak Soeharto berkuasa, dimulailah proses pembangkrutan negara kaya raya ini, hingga menjadi salah satu negara miskin dunia saat ini.

Pada November 1967, beberapa bulan setelah Soeharto berkuasa, presiden mengutus tim ekonomi kepresidenan—populer disebut Mafia Berkeley—ke Jenewa untuk menemui sejumlah konglomerat Yahudi seperti Rockefeller, dan menggadaikan kekayaan alam Indonesia kepada jaringan korporasi Yahudi dunia. Di sinilah untuk pertama kalinya, emas, perak, timah, nikel, minyak dan gas bumi, semen, dan sebagainya jatuh ke tangan asing. Tahun 1970, oil boom dan industrialisasi besar-besaran mengejar pertumbuhan ekonomi dan melupakan pemerataan, digerakkan oleh utang luar negeri, menumbuhkan satu kelompok masyarakat Indonesia yang sangat kaya, dan memelaratkan rakyat banyak. Berpusat di Cendana, kelompok yang terdiri dari kolusi birokrat dan teknokrat korup, dengan pengusaha Cina yang dimanjakan rezim berkuasa, memunculkan istilah Kelompok “Ali-Baba”. Petinggi TNI/Polri digunakan sebagai penjaga stabilitas dan keamanan rezim, untuk menindas setiap suara kritis dari rakyat. Pada tahun 1980-an, tercatat 300 grup bisnis konglomerat, dengan 224 grup dimiliki pengusaha non pribumi, dan sisanya 76 grup oleh pribumi. Di mana-mana terlihat pembangunan, dengan landasan tidak kokoh karena berasal dari utang!

Kejadian ini berlanjut terus sampai terjadi krisis ekonomi tahun 1997, yang disinyalir kuat akibat ulah konglomerat Yahudi George Soros, yang tiba-tiba memborong mata uang dolar AS dari seluruh pasar uang Asia. Di tahun 1998, Soeharto yang tidak mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis, menyerahkan penyelesaiannya pada IMF. Lembaga sokongan Yahudi ini menemukan bahwa pemerintah punya utang luar negeri sebesar 60 miliar dolar, sedangkan di luar negeri, para konglomerat berutang lebih besar: 75 miliar dolar!

Seorang teman menceritakan data GAIKINDO tahun lalu menyebutkan penjualan mobil di Indonesia adalah yang tertinggi di Indonesia. Apa artinya? Masih banyak orang kaya di negeri ini. Namun lebih banyak lagi golongan ekonomi sengsaranya. Teringat pula siaran di TV pagi ini, Pilkada di Papua kemarin terhambat di Timika, karena banyak warga setempat yang mencari tumpahan emas di sekitar Freeport. Negara mana selain Indonesia yang penduduk lokalnya bergelimpangan di bawah garis kemiskinan, di tengah-tengah lautan emas milik mereka, yang dibawa pergi ribuan kilometer ke negara asing, akibat ulah segelintir pejabat masa Soeharto!

Buku ini sangat perlu untuk dibaca oleh seluruh ahli ekonomi negara kita tercinta. Meskipun aplikasinya pastinya akan sangat sukar, you know, tahu lah negeri seperti apa kita ini. But let’s not being always pessimistic. Tak sabar menunggu keluarnya edisi terjemahan buku ini (atau sudah ada yang tahu?). Meskipun bahasa Inggrisnya cukup mudah, tapi tetap saja bagiku, menyelesaikan membaca buku ini butuh waku yang sangat lama. Hehehe.

Sachs marries storytelling with acute analysis to explain why, over the past 200 years, wealth and poverty have diverged and evolved across the planet, and why the poorest nations have been so markedly unable to escape the trap of poverty.

The End of Poverty is a Roadmap to a More Prosperous and SECURE WORLD…

Jumat, 10 Maret 2006

Dokter Siprofloksasin

Maafkan aku wahai sejawat-sejawatku

Karena tidak sependapat dengan kalian

Mudah memberikan Ciprofloxacin

Untuk infeksi bakteri yang masih sensitif terhadap antibiotika lini pertama

Atau untuk infeksi yang sebenarnya mayoritas akibat virus

Bahkan untuk keadaan yang sebenarnya mungkin tidak membutuhkan antibiotika sama sekali

Ngeri aku membayangkan kemungkinan resistensi yang bisa terjadi

Belum lagi efek sampingnya...

... dan kontra indikasinya

Ngeri deh


mengenang kecenderungan beberapa jenis dokter yang mudah memberikan antibiotika (AB) bukan lini pertama tanpa indikasi. Padahal kontra indikasinya cukup mengerikan: tidak boleh diberikan pada anak/remaja pada masa pertumbuhan, serta pada ibu hamil dan menyusui! Karena menghambat pembentukan lempeng epifisis tulang panjang. Teringat pada ibu yang diberikan AB jenis ini tanpa indikasi (cuma common colds saja, akibat virus), dan ternyata kemudian diketahui ia sedang hamil trimester pertama!

Juga sebagian mantri/bidan yang berpraktik layaknya dokter (ilegal), memberikan antibiotika jenis ini pada balita, tanpa pernah belajar farmakologinya.

Tadinya mau kasih judul: "Dokter Antibiotika". Tapi ga jadi deh. Penunjukan Sipro hanya sekedar untuk simbolisasi saja. Bukannya saya anti Sipro.

Indonesia, Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku.

Selasa, 07 Maret 2006

Curhat tentang Teman Sejawat dan RS

Sudah lama ingin menumpahkan kekesalan ini dalam tulisan.

Awalnya seorang teman dekat yang sudah kukenal sejak SD kelas 4 (tetangga seberang blok, teman main Street Fighter 2 di Nintendo, partner lomba cerdas tangkas P4 pas SMP, dan kakak kelas beda setahun di SMU) dinyatakan mengalami Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Pada umur yang sangat muda (belum genap 27 tahun), akibat obesitas yang diidapnya (berat badan lebih dari 100 kg dengan tinggi badan tidak mencapai 170 cm). Ia harus masuk RS dengan keluhan badan sangat melas. Sebuah RS swasta kecil di bilangan... ah, jangan disebut, nanti langsung ketahuan, dan saya bisa kena damprat.

Di suatu bakda subuh di masjid komplek rumahku, mertua temanku ini (yang kebetulan tetangga depan rumah. Artinya: pasangan suami-istri ini awalnya adalah tetangga seberang blok!) menghampiriku dan menanyakan beberapa hal tentang penyakit menantunya. Aku memutuskan untuk pergi menjenguknya.

Seperti biasa, jika menjenguk seseorang di RS, aku akan segera menghampiri ruang perawat dan meminta untuk melihat status pasien (rekam medik), untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, diagnosis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan perkembangannya sampai saat ini. Dan tentu saja ini selalu berhasil, kadang tanpa harus menyebutkan identitasku sebagai seorang dokter.

Tapiiii... di RS ini, sebuah RS swasta kecil dengan tabung oksigen di kamar temanku yang sudah kehilangan bola indikatornya, pasiennya kebanyakan golongan menengah ke bawah (dengan biaya perawatan yang tentu saja bukan level kelas mereka, namanya juga RS swasta), dan perawat yang tidak selalu siap sedia di ruangannya, AKU TIDAK DIIJINKAN MELIHAT STATUS PASIEN!!! Alasannya: kebijakan rumah sakit.

Setahuku (sayangnya aku belum mengeceknya lagi di buku pasal-pasal) status catatan rekam medik pasien adalah hak pasien dan keluarganya, untuk dapat diakses. Artinya keluarga boleh membaca rekam mediknya. Karena berkeras melihat status pasien dengan memperkenalkan diri sebagai keluarganya (iya, keluarga satu bangsa), perawat menawarkan aku bertemu dengan dokter jaga. Tentu saja aku menerimanya. Yang penting aku dapat penjelasan mengenai si pasien.

Dipanggillah si dokter jaga. Seorang dokter perempuan berjilbab yang kutaksir umurnya tidak jauh berbeda denganku, dan tidak kukenal. Pastinya beda almamater denganku. Dia bertanya dengan detil:

"Bapak siapa?"
"Saya keluarganya."
"Keluarga apanya ya?"
"Yaa.. sebenarnya temannya. Saya tetangga Pak Widi. Boleh saya melihat status pasien?"
"Di sini kita tidak mengizinkan untuk melihat status pasien."
"Saya dokter."
"Kalau begitu seharusnya mengerti, dong."

Walaahh.. RS macam apa ini? Peraturan macam apa? Ketika menjenguk saudara iparku di sebuah RS swasta kelas menengah di bilangan Jakarta Selatan, aku diizinkan melihat status pasien, meski akhirnya tetap harus bertemu juga dengan dokter jaga. Tapi tetap saja aku boleh melihat status pasien, dan bisa berdiskusi dengannya.

Saat menengok Tanteku yang terbaring sakit di RSUD besar di Kota Bogor, hanya bermodal senyum dan kalimat, "Maaf Pak, boleh saya melihat statusnya Bu Elok?", si perawat langsung menyodorkan status pasien untuk kulihat. Tanpa bertanya-tanya apa aku dokter atau bukan, apa keperluanku dsb.

Justru inilah yang mengundang curiga: sebuah RS yang tidak mengijinkan status pasiennya dilihat, sekalipun oleh pasien atau keluarganya. Jangan-jangan si Direktur khawatir ada tindakan dokternya yang menyalahi SOP medis, dan diketahui keluarga, sehingga memudahkan untuk dituntut. Kalau memang tidak ada kejanggalan atau kesalahan, untuk apa ditutup-tutupi? Toh tujuan melihat status semata-mata untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari si pasien.

Karena tidak diijinkan melihat status, akhirnya aku bertanya-tanya saja langsung pada si dokter jaga.

"Diagnosis masuknya apa?" Kutanyakan supaya aku yakin bahwa ini adalah DM dengan komplikasi, sehingga masuk indikasi rawat inap.
"Curiga Ketoasidosis."
"Saya lihat pas jenguk tadi, Pak Widi tampak mengantuk terus. Diberi obat tidur minor tranquilizer ya?" setelah kutanyakan mengenai perkembangan gula darah hariannya, dan kebetulan aku sangat kenal dengan sang SpPD dan kecenderungannya yang sangat mungkin untuk memberikan obat jenis ini.
"Ya, dapat alprazolam." Sebenarnya yang disebutkan si dokter jaga adalah merek dagangnya. Yang jelas aku kurang setuju dengan pemberian sedatif ini, karena menyamarkan keadaan umum pasien (masking), sehingga sulit dinilai apakah ini akibat DM-nya, atau bukan. Hal ini juga bisa membuat pasien lebih lama dirawat, padahal mungkin seharusnya sudah keluar dari indikasi rawat inap.

Di akhir pembicaraan, aku meminta nomor HP si dokter jaga.
"Boleh saya meminta nomor HP-nya, Dok?"
"Untuk apa ya?"
"Kebetulan saya kerja di perusahaan tidak jauh dari sini. Banyak karyawan saya ketika jatuh sakit langsung datang dan dirawat di sini. Saya tidak punya kontak dengan dokter di sini. Seandainya saya punya, tentunya lebih enak, ketika ada karyawan saya yang dirawat."
"Maaf, langsung saja telepon ke RS kalau begitu." Tampak sekali resistensi darinya. Aku minta pendekatan personal antar satu dokter umum ke dokter umum lainnya, tapi ia tampak sangat berhati-hati. Emangnya gw mau ngapain sih? Ngajuin kasus malpraktik teman sejawat sendiri?
Okay, aku tidak berhasil menjalin persahabatan dengannya.
"O iya, minggu lalu ada anak dari karyawan saya yang dirawat di sini, kok boleh ya saya melihat statusnya?" Kebetulan sekali aku pernah berhasil melihat status pasien, ketika aku menjenguk seseorang yang dirawat di kelas 3.
"O.. itu seharusnya tidak boleh."


Well, itu sekelumit tentang RS yang membuatku amat kesal dengan pelayanannya yang tidak memuaskan. Istri temanku yang juga temanku sejak SMP dan tetangga depan rumah ini juga mengeluhkan sikap kritisnya bertanya-tanya pada perawat dan dokter spesialisnya, dan mendapat tanggapan kurang simpatik. Mungkin mereka terbiasa dengan pasien sosioekonomi menengah ke bawah yang nrimo saja. Padahal suami-istri ini adalah alumni ITB-IPB yang merasa hal biasa ketika ingin mengetahui keadaan persis kesehatannya.

Berikutnya menyangkut dokter yang merawatnya, kebetulan orang yang sudah aku, adikku, dan ayah-ibuku kenal baik, karena pernah berobat dengannya, dan pernah mendapat tutorial mahasiswa.

Untuk ini aku beristighar, astaghfirullooh a' adziim. Niatku semata-mata agar semua dokter di Indonesia memberikan layanan terbaiknya untuk kepentingan konsumen. Mampu memberikan penjelasan ketika pasien bertanya. Minimal memberitahu apa diagnosisnya, dan apa obat yang diberikan, apa tujuannya, dan bagaimana perkembangan hariannya.

Mungkin memang sudah menjadi karakter si dokter ini untuk sedikit bicara. Orangtua pasien pernah bercerita denganku, ketika ia bertanya bagaimana keadaan anaknya.
"Pokoknya tenang aja ya, Bu, kan sedang diobati."
Singkat, tanpa kejelasan.

Sampai aku berhasil membuka statusnya dan mengetahui anak perempuan berusia 13 tahun itu menderita hipertensi dan dugaan glomerulonefritis akut.

Itulah pertama kalinya aku melakukan suatu tindakan yang menurutku--jarang dilakukan dokter di Indonesia--akibat budaya feodal dan senioritas antara dokter spesialis-dokter umum, dosen-mahasiswa.

Aku mengirimi di dokter spesialis secarik surat.

Bingung dan harus berpikir agak lama ketika aku akan menggerakkan ujung pulpenku, di sebuah kertas berkop nama perusahaan tempatku berpraktik. Pasien adalah keluarga karyawan. Aku khawatir sekali kata-kataku akan terdengar kurang sopan, terhadap orang yang pernah menjadi salah seorang pengajarku. Yang jelas ia pastinya tidak ingat denganku, satu dari sekian ribu orang yang pernah menjadi mahasiswa FKUI.

Akhirnya kesimpulan isi surat itu hanyalah: agar dokter bisa menjelaskan pada keluarga pasien bagaimana perkembangan si anak saat dokter visite. Cukup sopan, bukan? Dan tujuan tercapai.

Alhamdulillah, memang ada hasilnya. Beberapa hari kemudian muncul angka-angka seluruh hasil lab yang diperlihatkan untukku, dan permintaannya untuk bertemu denganku. Namun sulit karena jadwalnya bentrok. Ia praktik, aku juga praktik. Namun bisa juga: aku pengecut! Tidak berani, atau segan bertemu dengannya. Beraninya hanya lewat surat antar teman sejawat. Kalau ketemuan langsung... gimana gitu lho junior dengan senior. Meskipun aku sama sekali tidak tertarik dengan bidang spesialisasinya, dan tidak perlu khawatir ketika mendaftar jadi residen nanti untuk harus bertemu dengannya.

Kebiasaan mengirim surat ini aku lanjutkan setelah menjenguk temanku yang mengalami DM. Kebetulan dokter yang merawatnya sama. Aku menulis pandanganku bahwa alprazolam bisa menimbulkan masking effect, dan bertanya kapan temanku ini boleh pulang. Biasa lah, diskusi ilmiah antar dokter. Sama seperti yang diajarkan pada semua mahasiswa kedokteran saat presentasi kasus. Ketika kita semua telah menjadi dokter, tentu kebiasaan ini tidak boleh berhenti, bukan? Sekalipun terhadap senior.

Memang kemudian keluarga temanku memutuskan untuk tidak memberikan suratku ini pada si dokter.

Beberapa hari kemudian terdengarlah kabar mengejutkan (sekaligus sangaat menggelikan). Bapak si pasien anak, salah seorang karyawan perusahaan tempatku bekerja, melapor padaku. Dalam konsultasi lanjutan pasca pulang dari rawat inap, karyawanku ini ditanya dokter.

"Bapak, kenapa waktu itu dokter perusahaan Bapak sampai datang kemari?" sambil menunjukkan suratku yang masih disimpannya setelah berminggu-minggu. Ia kurang suka sampai ada dokter luar datang 'mengintervensi' pasiennya. Hal yang aku tidak sepakat. Hal ini justru membuka peluang adanya second opinion dari teman sejawat lain, sesuatu yang positif. Diskusi bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan kita, jika memang ada, bukan? Tidak ada dokter yang sempurna. Tidak ada manusia sempurna. Dokter adalah profesi yang diciptakan untuk bekerja dalam tim.
"Itu dokter perusahaan saya, Pak. Dia hanya ingin tahu kondisi anak saya."

Diskusi pun berlanjut seru. Aku tidak bisa menceritakannya dalam bentuk dialog. Intinya si karyawan yang kebetulan salah seorang pimpinan dari sekian ratus pekerja ini dengan tegas menegur si dokter.
"Saya hanya ingin tahu. Sudah empat hari dirawat, kok anak saya belum ada perubahan. Harusnya Dokter introspeksi, dong."
Ia bercerita dengan semangat, bahwa so dokter sampai berkeringat mendapat teguran keras dengannya. Perawat hanya berdiri di ruangan sekian lama, menatapi perbincangan seru itu.

Mudah-mudahan saja si dokter mengintrospeksi dirinya, setelah mendapat teguran keras dari seorang pasien yang berani. Agar di lain waktu ia lebih ramah dan berempati pada pasien, mau menjelaskan apa diagnosisnya, dan semua tindakan yang dilakukan, serta perkembangan harian pasien. Bukankah dokter seperti ini akan dicintai pasien, dan pasiennya akan bertambah banyak?

Sekian dulu. Yang terpenting adalah mengintrospeksi diriku sendiri.

Semoga di masa depan komunikasi dokter-pasien jauh lebih baik. Konsumen kesehatan adalah mitra terbaik pemberi layanan jasa. Tanpa pasien, apalah artinya dokter?

Senin, 06 Maret 2006

Appendisitis / Radang Usus Buntu.
Operasi appendiks / usus buntu ; dilakukan pada usus buntu yang meradang /appendisitis.
Pada umumnya operasi dengan menggunakan bius umum spinal, obat bius dimasukkan lewat belakang, posisi pasien sedikit membungkuk. Setelah operasi pasien dapat segera makan dan minum. Bed rest sampai 12 jam setelah post operasi, setelah itu dapat mobilisasi bertahap.
Pasien dapat pulang setelah 3 hari dirawat. Tentunya hal ini berlaku untuk kasus apendisitis akut tanpa komplikasi.
Jika dilakukan dengan LAPAROSKOPI biasanya proses pemulihan bisa lebih cepat 2 hari pasien dapat pulang.
Pada kasus apendisitis dengan perlekatan apalagi jika apendiks nya sudah pecah / perforasi, masa perawatan di RS jauh lebih lama.
Komplikasi setelah operasi yang sering terjadi adalah perdarahan, infeksi bisa infeksi di luka operasi atau berupa nanah yang mengantong dikemudian hari. Usus yang mengalami paralitik juga dapat terjadi maksudnya usus masih "malas" bekerja sehingga pasien harus puasa dulu beberapa hari. Jika terjadi "usus malas" maka nutrisi di berikan lewat cairan infus, pasien dipasang maag slang / NGT untuk mengalirkan cairan usus untuk cegah kembung. Keadaan "malas usus" / paralitik ini biasanya bervariasi lamanya ada yang sampai 1 minggu, setelah usus bekerja kembali maka pasien dapat makan/minum seperti biasa.
Pada kasus usus buntu yang sudah pecah / mengalami perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa disamping / kanan bawah perut atau di bagian tengah perut - tegak lurus) dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain / selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan / mengalirkan sisa bekuan darah / nanah yang berasal dari rongga perut.
Setiap dokter bedah selalu akan memberikan penjelasan tentang kondisi usus buntu yang dialami oleh pasien dan kemungkinan2 yang terjadi setelah operasi.
Gejala apendisitis lebih banyak ditentukan lewat pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh seorang Dokter.
Pemeriksaan laboratorium hanya membantu dan sebagai persiapan untuk pre operatif. Tidak selalu apendisitis disertai dengan nilai laboratorium darah leukosit yang meningkat, tapi pada kasus perforasi pasti disertai dengan leukosit yang meningkat.
Pemeriksaan apendikogram dapat dilakukan pada kasus yang meragukan biasanya pada apendisitis yang sifatnya kronik.
Ingin berbagi soal apendisitis ? pernah mengalami operasi apendiks ?
MASTALGIA
Nyeri pada payudara ....
Cek apakah ada hubungannya dengan siklus menstruasi ?
Apakah ada benjolan ? teraba benjolan ? abses ?
Jika tidak teraba benjolan, mamografi atau USG bisa dipakai untuk menentukan tindakan lebih lanjut ...
Pemberian analgetik dengan pola tertentu dapat membantu menghilangkan mastalgia ..
Ada juga yang berkurang dengan pemberian obat anti estrogen .. tentunya pemberian obat hormonal ini harus mendapat pengawasan yang lebih serius. Klik
http://lakshminawasasi.blogspot.com/2006/01/mamografi-adalah-suatu-pemeriksaan.html

Pernah selama sebulan praktek di sebuah RS swasta di Bekasi, pasien yang datang hampir semua ibu-ibu dengan keluhan mastalgia ....
Ingin berbagi soal mastalgia ? pengalaman ?