Senin, 26 Desember 2005

Be Critical with Your O B G Y N

(I have changed the previous title--"Don't be fooled by you OBGYN") Sebelumnya—bagi yang belum paham—OBGYN dibaca o bi ji wai en, seperti membaca abjad dalam bahasa Inggris, adalah kepanjangan dari obstetri ginekologi (kebidanan dan kandungan). Singkatan ini menunjuk pada dokter spesialis obsgin (SpOG), dokter spesialis kebidanan dan kandungan. (Cara penyebutan o bi ji wai en yang mengarah pada SpOG pertama kali kudengar dari episode pertama film seri pemenang Emmy Award 2005, LOST)

So, have we been fooled by them, then? Sekali lagi, supaya tidak dianggap sebagai anti teman sejawat dari obsgin, saya mulai dengan sebuah ilustrasi.

Awalnya bermula dari pertanyaan seorang yang sudah kuanggap sebagai Tante sendiri. Hamil 10 minggu, dilakukan pemeriksaan serologi TORCH, didapatkan positif pada imunoglobulin G (IgG) Rubella dan Toksoplasma dengan nilai tertentu (tidak kuingat). Ia mendatangi dua dokter obsgin pada waktu yang berlainan. Dokter pertama menyarankan minum antibiotika golongan aminoglikosida setelah lewat trimester pertama (14 minggu), dengan indikasi yang menurutku sama sekali tidak jelas. Dokter kedua yang dikunjungi empat minggu sesudahnya menyarankan hal yang sama, ditambah—obat yang sudah kita prediksi—isoprinosine.

Singkatnya, menanggapi hal ini, kulampirkan potongan e-mail-ku untuknya.

TORCH kepanjangan dari Toxoplasma Other infection Rubella Cytomegalovirus and Herpesvirus. Ialah beberapa mikroorganisme yang bila menginfeksi manusia dapat menimbulkan penyakit. Prinsip uji TORCH adalah reaksi ANTIGEN-ANTIBODI. Jadi bila hasil uji positif terhadap salah satu mikroorganisme tadi, artinya PERNAH terjadi infeksi. Misalnya kalau Rubella positif, artinya ANTIGEN Rubella pernah masuk ke tubuh, dan tubuh kita berespon dengan membentuk ANTIBODI terhadap Rubella ini. Maka Rubella-nya positif. Prinsipnya sama dengan IMUNISASI menggunakan kuman yang dilemahkan, polio misalnya. Kuman polio yang dilemahkan masuk ke tubuh kita, maka tubuh akan membentuk antibodi, sehingga bila tubuh terinfeksi polio di masa datang, kita sudah punya antibodi untuk melawannya.

Nah.. dari hasil uji ini, yang dibedakan adalah jenis ANTIBODINYA, apakah IgG atau IgM. IgG menunjukkan pernah terjadi infeksi lama, dan tubuh kita membuat antibodinya. Sedangkan IgM menunjukkan infeksi baru. IgG yang positif dari hasil darah ibu tidak perlu dikhawatirkan. Sedangkan IgM yang positif, dilihat kadarnya seberapa tinggi. Ini pun bisa jadi sesuatu yang tidak membahayakan pula.

Masalahnya, sering terjadi MISINTERPRETASI yang besar mengenai hasil tes ini. Banyak masyarakat, khususnya ibu hamil yang berpandangan, jika uji TORCH mereka ada yang POSITIF, maka janin yang mereka kandung terancam cacat bawaan. Padahal kalau kita paham prinsip antigen-antibodi, tentunya ini adalah pemikiran yang salah ya. Kecuali si Ibu, misalnya benar-benar kena Rubella saat hamil trimester pertama (ada kelainan kulit seperti cacar air). Nah.. kesalahpahaman dan ketakutan ini bisa menjurus pada peresepan obat-obatan macam IMUNOMODULATOR (untuk meningkatkan imunitas/daya tahan tubuh) atau ANTIVIRUS (padahal virusnya udah nggak ada). Salah satu imunomodulator tersering adalah ISOPRINOSIN yang harganya lumayan muahal. Padahal obat jenis ini tidak terbukti khasiatnya dari penelitian. Negara maju sudah tidak menggunakan obat ini. Saya saja sampai susah mencari sumbernya di Google dengan mengetikkan keyword ini.

Saya lampirkan beberapa tulisan yang cukup menjelaskan. Kalau ada yang ingin didiskusikan, please feel free to contact me.

TORCH tests
Certain infections called TORCH ( which stands for TOxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus and Herpes) , may be a cause for a single miscarriage, but are NOT a cause for repeated miscarriages. While a number of specialists will do these tests, and even start treatment based on the results, these tests are not worthwhile for most patients. A positive TORCH test simply means the patient has positive antibody levels against that particular infection. Thus, a positive Toxo IgG test means that the patient has anti-toxoplasmosis antibodies which protect her against a repeat toxoplasmosis infection. This means a positive test is actually a good sign and suggests that the patient is protected against that infection because she has been exposed to that infection in the past. Unfortunately, many doctors do not know how to interpret these results and scare the patient into thinking that the positive test result means she has an active infection which can cause her to miscarry again. In fact, some doctors will even attempt to "treat" the "infection" ! This wastes time and causes needless distress. If your doctor asks you do a TORCH test after a miscarriage, you should refuse and find a better doctor!

Kelanjutan isi e-mail disampaikan di bagian tulisan paling bawah.


Mengapa mengangkat kasus ini? Karena dalam sebuah milis, aku jadi tahu bahwa tidak sedikit ibu hamil yang mengalami salah paham akan uji TORCH ini, dan banyak pula yang mengkonsumsi isoprinosine dalam kehamilannya. Bahkan Prof. Iwan menyebut isoprinosine sebagai obat bohong. Tidak ada kegunaannya sama sekali. Termasuk anjuran yang diberikan bagi ‘Tante’-ku ini. Lalu dengan antibiotika golongan aminoglikosidanya? Apa indikasinya? Memangnya ada infeksi bakteri dalam tubuhnya? Mungkin nilai hitung leukosit-nya tinggi. Tapi ini tidak bisa jadi patokan sama sekali jika klinis baik. Hitung leukosit dan laju endap darah meningkat pada kehamilan normal. Ini dibuktikan sendiri pada rekan kerjaku yang melahirkan bayinya sama sekali tanpa masalah.

Dalam sebuah panduan yang cukup baik, dijelaskan bahwa bagi seorang wanita yang belum pernah hamil sebelumnya, cukup mengadakan kunjungan sebanyak sepuluh kali ke dokter obsginnya, dan wanita yang pernah melahirkan dengan cukup tujuh kunjungan, semuanya pada kasus biasa (bukan kasus khusus), lengkap dengan rincian pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan dokter.

Tentu saja ini akan sangat cost effective, dan edukatif bagi si konsumen kesehatan. Pasien tidak sekedar merasa menjadi objek dokternya saja, tetapi juga menjadi subjek kesehatan, mitra kesehatan sang dokter, karena merasa cukup jelas dengan perlakuan dokter terhadap dirinya. Tidak asal nrimo saja.

But.. ehem, not all doctors, especially here in Indonesia where most of the health services are one-way-pattern (doctor-to-patient-only), like this ‘style’. Bisa mengurangi penghasilan. Huehehe.

Ini ga nyambung, hanya teringat dengan pengalaman waktu stase obsgin di IGD RSCM lantai 3 pas tingkat IV dan VI. Anggap aja ending story.

Wanita itu terbaring pasrah di meja pemeriksaan. Baru saja ia tiba di IGD Kebidanan dengan keluhan ‘air-air’-nya keluar beberapa jam sebelumnya, berwarna hijau tua. Ketubannya pecah. The water broke. Hamil anak pertama, posisi lintang, denyut jantung bayi mulai melambat. Gawat janin! Indikasi sectio caesaria cito. Harus segera dioperasi untuk mengeluarkan bayinya.

Persiapkan masuk kamar operasi yang steril. Lepas semua pakaiannya! Ya, lepaskan pakaiannya, ganti dengan pakaian kamar operasi. Harus dilakukan segera, sambil memasang selang infus, kateter, oksigen. Tapi harus dilepas di sini?! Di tengah kerumunan tiga orang residen obsgin, dua orang ko ass tingkat VI, dua orang ko ass tingkat IV, dan satu bidan. Separohnya pun laki-laki. Namanya orang mau melahirkan, tentu hanya bisa pasrah saja diperlakukan apapun. Yang penting nyawa si ibu dan bayinya selamat. Walaupun perasaan risih diperlakukan seperti itu pastinya ada. Tidak etis, batinku dalam hati. Selalu ada cara lain yang lebih baik. Misalnya menyerahkannya pada seorang perawat perempuan untuk mengurus hal seperti ini; menyediakannya ruang khusus untuk berganti pakaian. Aku pun bersumpah, jangan sampai istri, adik, kerabat dekat, atau akhwat-akhwat muslimah yang terhormat itu harus melahirkan di tempat seperti ini…

Tapi jangan digeneralisir juga ya… Hanya ingin mengeluarkan sedikit isi kepala yang terpendam.

Lanjutan potongan isi e-mail:

Kurniati, 15 Dec 2004 07:54:11 WIB

Dokter Yth, Sekarang saya sedang hamil 4 bulan. Pada bulan ke2 kehamilan saya melakukan tes TORCH dgn hasil sbb: CMV IgG +850 CMV IgM -0.1 RUbella IgG +350 Rubella IgM -0.35 Toxo IgG & IgM - Bagaimana dgn hasil tes saya tersebut ? Apakah hasil IgG CMV dan Rubella terlalu tinggi ? Apakah yang harus saya lakukan ? Apakah perlu meminum Isoprinosine dan Valtrex ? Apakah obat tersebut tidak berbahaya bagi janin ? Maaf bila pertanyaannya banyak. Mohon saran dan penjelasannya.Terima kasih. Kurniati

Ibu Kurniati Yth, Terima kasih atas konsultasinya, dari data yang diberikan oleh ibu saya berpendapat bahwa saat ini sedang tidak terjadi infeksi pada tubuh ibu, IgG(+) dan IgM (-), ini menandakan bahwa ibu sebelum pernah terkena infeksi TORCH ini, sekarang tubuh ibu sudah memiliki antibodinya, jadi tidak usah khawatir. Mungkin yang belum ada antibodinya adalah toxoplasma, ini juga tidak menjadi masalah karena IgM (-) berarti ibu tidak sedang terkena infeksi Toksoplasma. Mengenai obat Isoprinosin dan Valtrex sebetulnya tidak perlu sekali harus diminum tapi silakan saja diteruskan, karena obat tersebut tidak akan mengganggu kehamilannya selama dosis yang diminum sesuai instruksi dokter. Demikian, terima kasih. (dr xxxxx SpOG, RSxx xxxxxxx, Jkt)

KOMENTAR: mengenai tanggapan dokternya ISOPRINOSINE dan VALTREX ga usah dipegang

The Test

How is it used?

Blood may be tested from either the mother or the newborn infant to determine if the illness observed in the newborn is caused by infection with one of the pathogens included in the panel. A blood test can determine if the person has had a recent infection, a past infection, or has never been exposed to the virus. Patients with recent infection with one of the TORCH agents will have IgM antibody to the specific agent, and those with a past infection will have an IgG antibody, which is life-long. If neither immunoglobulin is detectable, there has been no infection with these microorganisms.

When is it ordered?

The test is ordered if a pregnant woman is suspected of having any of the TORCH infections. Rubella infection during the first 16 weeks of pregnancy presents major risks for the unborn baby. If a pregnant woman has a rash and other symptoms of rubella, laboratory tests are required to make the diagnosis. A physician cannot tell if a person has rubella by their clinical appearance since other infections may look the same. Women infected with toxoplasma or CMV may have flu-like symptoms that are not easily differentiated from other illnesses. Antibody testing will help the physician diagnose an infection that may be harmful to the unborn baby.

The test may be ordered on the newborn if the infant shows any signs suggestive of these infections, such as exceptionally small size relative to the gestational age, deafness, mental retardation, seizures, heart defects, cataracts, enlarged liver or spleen, low platelet level, or jaundice.

What does the test result mean?

Results are usually given as positive or negative, indicating the presence or absence of IgG and IgM antibodies for each of the infectious agents. Presence of IgM antibodies in the newborn indicates high likelihood of infection with that organism. IgM antibodies produced in the mother cannot cross the placenta so presence of this type of antibody strongly suggests an active infection in the infant. Presence of IgG and absence of IgM antibody in the infant may reflect passive transfer of maternal antibody to the baby and does not indicate active infection in the baby.

Likewise, the presence of IgM antibody in the pregnant woman suggests a new infection with the virus or parasite. Further testing must be done to confirm these results since IgM antibody may be present for other reasons. IgG antibody in the pregnant woman may be a sign of past infection with one of these infectious agents. By testing a second blood sample drawn two weeks later, the level of antibody can be compared. If the second blood draw shows an increase in IgG antibody, it may indicate a recent infection with the infectious agent.

Is there anything else I should know?

Use of the TORCH panel to diagnose these infections is becoming less common since more specific and sensitive tests to detect infection are available. Relying on the presence of antibodies may delay the diagnosis since it takes days to weeks for the antibodies to be produced. Detection of the antigen or growing the microorganism in culture can be done earlier in the infectious process and are more specific.

Minggu, 25 Desember 2005

Salah Makan

Laki-laki bertubuh gempal dan berkumis hitam itu menyapaku saat masuk ke ruang praktik. Pria yang biasa kulihat dan saling bertegur sapa ketika melintas masuk ke tempat kerja ini minta dibuatkan surat rujukan untuk istrinya yang berobat ke RS kemarin. Rujukan ini berguna untuk mendapatkan penggantian uang dari perusahaan.

"Istrinya sakit apa, Pak?" tanyaku
"Keracunan makanan, Dok," jawabnya.
"Memangnya makan apa?" tanyaku lagi.
"Kemarin dia salah makan. Dia minum baygon."

Ada-ada saja. Keracunan baygon. Intoksikasi organofosfat. Upaya bunuh diri tentunya. Suicidal intention. Masalah rumah tangga, mungkin? Aku tak ingin mengeksplorasi lebih jauh. Ini urusan pribadinya. Lagipula ada karyawan lain yang juga berobat di ruangan ini. Aku tak ingin cerita ini menyebar ke seantero kantor.

Jadi teringat masa-masa ko ass dulu. Ironis sekali melihat orang yang berupaya bunuh diri dengan minum racun insektisida golongan organofosfat ini. Mungkin hampir setiap minggu selalu ada kasus ini di Instalasi Gawat Darurat RS manapun. Biasanya ceritanya hampir sama. Si pelaku membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum obat nyamuk cair. Saat masuk beberapa tenggak ke dalam dalam kerongkongannya, ia merasakan panas dan rasa terbakar luar biasa, sehingga mengerang kesakitan, dan tidak menghabiskan isi minumannya. Segeralah ia dibawa kerabatnya ke IGD RS. Dipasanglah selang menuju lambung lewat lubang hidung untuk membilas isi lambungnya, memastikan racun dibersihkan. Dalam pemasangan nasogastric tube ini, tentu rasanya sangat tidak nyaman. Belum lagi berpuluh-puluh ampul sulfas atropin yang dimasukkan lewat selang infus. Berapa pula rupiah yang harus habis?

Sudah susah-susah pengen mati, eh malah nggak kesampaian. Jadi sakit pula. Masuk rumah sakit pula. Keluar uang pula. Malah tambah susah, kan?

Memangnya mati itu gampang? Akhirnya bisa disimpulkan kematian itu mahal harganya, bukan? Kenapa nggak pilih cara mati yang lebih cepat saja, misalnya memasukkan moncong pistol ke dalam mulut atau mengarahkannya tepat ke otak, dan.. DOR!

Tapi harga pistol kan mahal. Mendapatkannya juga susah dari segi hukum.

Makanya.. jangan bunuh diri

--biasa, ini sesi ga nyambung:
kasus aneh yg didapat dlm 2 minggu ini:
- Buerger Disease: kelainan vaskuler yg dirujuk ke Bedah Vaskuler. Untung pasiennya ngasih tahu gw diagnosisnya apa? kalo enggak.. waa mana gw tau. ujung2nya musti browsing di Google
- bayi makrosomia dari ibu DM tipe 1 yang humerus dekstranya 'terpaksa' harus mengalami fraktur akibat distosia bahu dan ditilong pas persalinan. udah gitu sempet didiagnosis Erb Palsy pula. bodohnya...

Senin, 19 Desember 2005





Drain adalah selang kecil yang dihubungkan dari tempat/lokasi operasi ke (biasanya) botol infus.

Botol infus biasanya dilakukan di RS-RS tertentu yang masih 'terbatas' (pengalaman waktu di RS daerah beberapa tahun yl). Tapi sekarang biasanya dipakai alat drain yang betul-betul ke'vakum-annya terjaga' jadi fungsi untuk menarik cairan/ menyedot cairan dapat dicapai dengan baik. Alat yang dimaksud adalah barovac. Alatnya seperti yang terlihat digambar.


Jadi guna drain adalah untuk "menarik" darah kotor atau cairan-cairan yang tidak seharusnya di simpan dalam tubuh, jadi lewat selang kecil tadi, cairan-cairan tadi akan keluar mengalir ke luar (ke tabung barovac) . Biasanya drain diletakkan di leher (misalnya setelah operasi leher) atau di perut (setelah operasi perut, operasi batu kandung kencing, operasi prostat dll). Untuk operasi di perut biasanya kita tetap memakai botol dari botol infus atau 'bag' yang biasanya untuk menampung urin ('urin bag'). Tidak usah cemas dengan drain, aktifitas seperti biasa saja ... kalau mau duduk atau berdiri tinggal buka ikatan kassa yang menghubungkan botol penampung dengan pinggir tempat tidur (biasanya di letakkan disana). Ikatannya dibuka saja dan drain di jinjing atau di biarkan lepas kebawah ..... Biasanya jahitan yang dibuat drain ke kulit cukup kuat sehingga drain tidak akan lepas sendiri. Pada waktunya nanti jika drain isinya sedikit/tidak bertambah-tambah, biasanya dokter akan mencabut drain tadi ....

Sabtu, 17 Desember 2005



Dokter Bedah yang Ideal itu seperti apa ya ???

Dari kemarin kan udah nulis yang rada-rada ilmiah meskipun tetep pake plesetan juga, sekarang agak nyantai bahasannya ... Dokter Bedah yang ideal itu kayak apa ya ? Mungkin bukan ideal tapi yang "disukai" , apakah yang seriusan pake kacamata tebel yang kadang kacamatanya sampai melorot ke hidung .. atau yang jas putihnya mentereng, licin, rambutnya klimis agak botak dikit di tengah dan tatapannya serius ? Atau yang ngomongnya cuma dikit .. kebanyakan ngangguknya dan senyumnya jadi pake bahasa tubuh ... Atau yang rada slengean, celana panjang kadang satu digulung satu ga ... trus sebelum operasi kudu ngerokok dulu 2-3 batang ? Atau ada satu lagi nih ... yang suka cuci muka kalo abis operasi ... mangkanya harusnya sabun hibiscrub yang suka di ruang OK /operasi itu harus mengandung cukup moisturizer dan vit E sehingga buat cuci tangan atau cuci muka kagak bikin muka / tangan iritasi :). Ini kalau bicara soal penampilan. Untuk tingkah lakunya - apakah dokter yang disukai yang rajin ngobrol di tempat prakteknya dengan para pasiennya. Bahkan dia sampai tahu persis tanggal lahir pasiennya , alamatnya dan sampai bisa menjadi tempat curhat pasiennya untuk kasus yang bukan bedah. Apakah mereka yang bicaranya dikit, visit jarang tapi hasil operasi oke ? Yang kurang informatif tapi tegas ? Yang banyak nego, bisa di"tawar" maksudnya kadangkala diagnosa harus di operasi jadi ga jadi di operasi bgitu sebaliknya.

Dokter bedah seharusnya rajin mengikuti kegiatan ilmiah buat nambah pengetahuan .. tapi yang udah-udah sih kalau ikut kongres kayak MABI, PIT atau PABI isinya cuma kayak reunian ... temu kangen hehehe untuk urusan ilmiahnya nomor sekian (ssssttt ... ga semua ding ..) ; lagian sekalian buat refreshing, plesiran ... maen-maen ke tempat yang belum di datengin atau sekedar menginap di hotel berbintang yang bantalnya empes-empes karena terbuat dari bulu angsa :) . Dokter Bedah juga jangan melulu 'kerja' terus, kudu ada waktu untuk istirahat ... mangkanya bagus juga sekarang ada peraturan praktek harus 3 RS. Jadi ga kayak dulu, "ngejar setoran". Dokter Bedah juga harus memperhatikan penampilan supaya tidak terlalu bosan untuk dilihat :) .... Dokter Bedah harus benar dan tepat dalam membuat diagnosa dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mungkin bisa mengakibatkan hal yang kurang baik pada pasiennya jika harus menjalani operasi. Golongan ber-resiko tinggi seperti pasien anak-anak, pasien usia lanjut, pasien yang disertai dengan penyakit lain, misalnya .

Jadi untuk menjadi ideal hmm maksudnya disukai, apa lagi yang musti dilakukan ?












VARIKOKEL

Varikokel atau varicocele adalah pelebaran pembuluh darah balik (pleksus pampiniformis) dalam skrotum. Diagnosis varikokel pada pria biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada waktu melamar untuk menjadi polisi/tentara atau setelah bertahun-tahun menikah belum mempunyai anak juga. Varikokel akan menyebabkan daerah skrotum menjadi "panas" / beda lingkungan sehingga mengakibatkan terganggunya proses spermatogenesis (pembentukan sperma). Oleh sebab itu orang yang mendapat varikokel sering diikuti dengan gangguan fertilitas karena kualitas sperma yang dihasilkan tidak sebagus orang normal ; akibat adanya perubahan "suhu" dalam skrotum tadi.
Operasi varikokel dilakukan agar keadaan patologis diatas dapat dihilangkan sehingga diharapkan spermatogenesis dapat berjalan normal dan gangguan fertilitas dapat dihilangkan.
Sebelum operasi biasanya harus dilakukan analisa /uji sperma, kemudian 8 bulan setelah operasi dinilai kembali analisa / uji sperma untuk mengevaluasi apakah proses spermatogenesia sudah kembali normal atau belum.
Varikokel pada stadium yang sudah lanjut, pada perabaan skrotum akan terasa adanya kumpulan seperti cacing akibat adanya pelebaran pembuluh darah vena . Sedangkan pada stadium yang ringan biasanya penderita hanya merasakan 'kemeng' di daerah skrotum / kantong kemaluan.
Jika tidak ada penyulit, operasi varikokel tidak lama, dan penderita dapat pulang keesokan harinya.

Jumat, 16 Desember 2005

Hipospadia


Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaanya harus dilakukan oleh mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah merekonstruksi penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan dapat melakukan koitus dengan normal, prosedur operasi satu tahap pada usia yang dini dengan komplikasi yang minimal.
Penyempurnaan tehnik operasi dan perawatan paska operasi menjadi prioritas utama.
Pada hipospadia muara orifisium uretra eksterna (lubang tempat air seni keluar) berada diproksimal dari normalnya yaitu pada ujung distal glans penis, sepanjang ventral batang penis sampai perineum. Jadi lubang tempat keluar kencing letaknya bukan pada tempat yang semestinya dan terletak di sebelah bawah penis bahkan ada yang terletak di kantong kemaluan.
Seperti tampak dalam gambar. Tampak variasi dari letak orifisium uretra eksterna (dapat bervariasi mulai dari anterior, middle dan posterior)
Tindakan operasi harus dilakukan sebelum anak memasuki usia sekolah. Diharapkan anak tidak malu dengan keadaannya setelah tahu bahwa anak laki lain kalau BAK berdiri sedangkan anak pengidap hipospadia harus jongkok seperti anak perempuan (karena lubang keluar kencingnya berada di sebelahi bagi bawah penis). Selain itu jika hipospadia ini tidak dioperasi, maka setelah dewasa dia akan sulit untuk melakukan penetrasi / coitus. Selain penis tidak dapat tegak dan lurus (pada hipospadia penis bengkok akibat adanya chordae), lubang keluar sperma terletak dibagian bawah.
Operasi hipospadia satu tahap (ONE STAGE URETHROPLASTY) adalah tehnik operasi sederhana yang sering dapat digunakan, terutama untuk hipospadia tipe distal. Sambil dilihat di gambar, tipe distal ini yang meatusnya letak anterior atau yang middle.. Meskipun sering hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe hipospadia proksimal yang disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat, maka one stage urethroplasty nyaris tidak dapat dilakukan. Tipe hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan kelainan-kelainan yang berat seperti korda yang berat, globuler glans yang bengkok kearah ventral (bawah) dengan dorsal skin hood dan propenil bifid scrotum (saya agak kesulitan mencari istilah awam untuk istilah medis diatas). Intinya tipe hipospadia yang letak lubang air seninya lebih kearah proksimal (jauh dari tempat semestinya) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di skrotum atau sisa kulit yang sulit di”tarik” pada saat dilakukan operasi pembuatan uretra (saluran kencing). Kelainan yang seperti ini biasanya harus dilakukan 2 tahap.
Operasi Hipospadia dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk meluruskan penis supaya posisi meatus (lubang tempat keluar kencing) nantinya letaknya lebih proksimal (lebih mendekati letak yang normal), memobilisasi kulit dan preputium untuk menutup bagian ventral / bawah penis. Tahap selanjutnya (tahap kedua) dilakukan uretroplasti (pembuatan saluran kencing / uretra) sesudah 6 bulan.
Dokter akan menentukan tehnik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap dapat dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami oleh pasien.
Hipospadia sering disertai kelainan bawaan yang lain, misalnya pada skrotum dapat berupa undescensus testis, monorchidism, disgenesis testis dan hidrokele. Pada penis berupa propenil skrotum, mikrophallus dan torsi penile, sedang kelainan ginjal dan ureter berupa fused kidney, malrotasi renal, duplex dan refluk ureter.
Secara umum tekniknya terbagi menjadi operasi satu tahap dan multi tahap. Operasi perbaikan komplikasi fistula dilakukan 6 bulan paska operasi yang pertama.
Setelah menjalani operasi, perawatan paska operasi adalah tindakan yang amat sangat penting. Orang tua harus dengan seksama memperhatikan instruksi dari dokter bedah yang mengoperasi. Biasanya pada lubang kencing baru (post uretroplasty) masih dilindungi dengan kateter sampai luka betul-betul menyembuh dan dapat dialiri oleh air kencing. Di bagian supra pubik (bawah perut) dipasang juga kateter yang langsung menuju kandung kemih untuk mengalirkan air kencing.
Tahapan penyembuhan biasanya kateter diatas di non fungsikan terlebih dulu sampai seorang dokter yakin betul bahwa hasil uretroplasty nya dapat berfungsi dengan baik. Baru setelah itu kateter dilepas.
Komplikasi paska operasi yang terjadi :
1. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga terbentuknya hematom/ kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.
2. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang tersering dan ini digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur operasi satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10% .
3. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari anastomosis.
4. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.
5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang.
6. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
Untuk menilai hasil operasi hipospadia yang baik, selain komplikasi fistula uretrokutaneus perlu diteliti kosmetik dan ‘stream’ (pancaran kencing) untuk melihat adanya stenosis, striktur dan divertikel.
Sebelum anak di operasi, dokter akan memeriksa dulu kondisi si anak. Untuk operasi anak-anak, selain prosedur-prosedur yang biasa dilakukan sebelum operasi, maka ronsen toraks (paru jantung) juga dikerjakan. Ditanyakan juga apakah ada riwayat terkena asma, batuk pilek, TBC. Kalau si anak dinilai masih kurang sehat tentu saja keadaan umum nya harus diperbaiki dahulu.

Senin, 12 Desember 2005

Stapling hemorrhoidectomy

Tehnik operasi terbaru untuk hemoroid / wasir. Tindakan operasi ini adalah tindakan yang amat minimal invasif. Dan dari penelitian yang dilakukan, setelah operasi memakai tehnik ini rasa nyeri nya amat sangat sedikit serta masa rawat inap nya lebih pendek dibandingkan tehnik operasi yang konvensional. Meskipun banyak faktor juga yang mempengaruhi tapi secara garis besar tehnik operasi ini lebih baik dibandingkan tehnik operasi terdahulu dengan catatan hanya untuk kasus yang betul-betul direkomendasikan untuk memakai tehnik ini. Sisa jaringan yang di eksisi akan tetap berada se anatomis mungkin, artinya tidak banyak jaringan sehat yang ikut rusak.

Image hosted by Photobucket.com Alat stapler itu bentuknya seperti dalam gambar ini.

Jadi alat tersebut dimasukkan kedalam anus yang sebelumnya dimasukkan alat dilator anus . Kemudian dilakukan penjahitan pada tempat hemoroid dan stapler dimasukkan sambil jahitan tadi diikat kencang. Stapler di tarik untuk memberi tempat ikatan betul-betul kencang. Setelah itu stapler dimasukkan maksimal, kemudian dilakukan stapling /pemotongan. Setelah stapling selesai, evaluasi pada daerah stapler line, jika masih ada perdarahan lakukan penjahitan. Tapi jika dilihat perdarahan tidak ada, operasi dinyatakan selesai. Operasi ini relatif cepat dan memberikan kenyamanan pada pasien karena rasa nyeri yang minimal tadi. Hanya ada kelemahannya, tidak semua jenis hemoroid bisa dilakukan dengan metode stapler dan metode ini butuh operator yang betul-betul biasa melakukan tehnik ini. Apapun tehnik operasi yang dilakukan, dokter pasti akan memberi tahu prosedur yang akan dilakukan.





Rabu, 07 Desember 2005

the antibiotics thing

Good Doctor, Bad Doctor.

Bagaimanakah dokter yang baik menurut Anda? Ia menebar senyum sejak Anda membuka pintu ruang praktiknya, serentak berdiri sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman, meluangkan waktu yang cukup untuk mendengarkan segala keluhan, seraya melakukan pemeriksaan fisik yang teliti, dan berujung pada menulis di atas kertas resep, dan menyerahkannya pada Anda. Keluhannya sih mungkin ringan, hanya batuk-pilek dengan sedikit demam sudah tiga hari tak kunjung mereda. Dokter yang ramah dan baik hati ini menuliskan dua macam antibiotika dalam resepnya: amoksisilin 500 mg dan kotrimoxazol 480 mg dalam sediaan paten. “Ingat ya, harus dihabiskan antibiotikanya,” pesannya sebelum si pasien meninggalkan ruangan.

Common colds diberikan antibiotika? Sampai dua macam pula. Merek-nya paten pula. Tapi dokternya baik sih.. Jarang lho dapat dokter ramah dan baik hari seperti itu. Apapun obatnya, akan kubeli. Hey, belum tentu si dokter bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk mengeruk komisi obat paten lho! (well, meskipun tetap ada kemungkinan sih) Bisa saja memang si dokter ramah ini kurang updated ilmunya. Jadi memberikan obat dengan ilmu sepuluh tahun lalu, padahal dunia kedokteran terus berkembang…

Lalu dengan dokter satu ini: sejak Anda masuk ke dalam ruangannya, wajahnya datar-datar saja. Ia tidak banyak bicara, hanya mendengarkan keluhan Anda, memeriksa seperlunya, bertanya seperlunya, dan menuliskan resep sambil memberitahukan cara penggunaannya. Yang jelas si dokter satu ini paham betul dengan penggunaan obat secara rasional. Termasuk antibiotika, ia tidak akan meresepkannya jika dinilai tidak perlu. Kadang-kadang si pasien sampai merengek minta diberikan antibiotika padahal hanya luka tergores saja di lututnya. Ia paham betul dengan ‘parahnya’ penggunaan antibiotika di Indonesia. Ia tidak ingin memperkeruh kondisi ini.

Kedua contoh di atas bukanlah contoh yang ideal, bukan? Kita mengharapkan dokter ramah dan baik hati terhadap pasiennya, namun juga rasional dalam memberikan obat, plus updated ilmunya. Itu dokter yang bagus. Pasiennya banyak, sampai mengantrinya pun berjam-jam. Obatnya cocok! Minimal ada satu antibiotika pada kunjungan pertama. Alhamdulillah sih seringnya langsung sembuh. Kalau ke dokter lain belum tentu obatnya cocok.

Beberapa hari lalu, sambil menyetir sendirian malam-malam pulang dari tempat kerja (one thing I really enjoyed, driving alone at night, but I think having ‘someone’ right beside me while driving must be much more enjoyable, there’s someone to talk with… but the time hasn’t come yet—sorry nih OOT) dan mendengarkan sebuah radio swasta ibukota, si penyiar dalam obrolannya di sela-sela lagu menceritakan, “Gue mau cerita nih tentang dokter gue. Gue memang terkenal bandel kalau disuruh minum obat. Disuruh minum antibiotika sampai habis, begitu badan gue merasa enakan, gue stop obatnya. Akibatnya saudara-saudara? Sekarang gue disuruh minum sampai tiga macam antibiotika kalau sakit, karena gue udah kebal sama antibiotika. Makanya gue harus minum tiga macam untuk membunuh semua virus sampai tuntas.”

Dengan nada bangga si penyiar menceritakan pengalamannya. Dokternya yang dibanggakannya ini memberikan kombinasi antibiotika menyadari resistensi obat yang ada (memangnya sudah dibuktikan dengan uji kultur darah?). Ia pun salah menyebutkan kata ‘virus’. Antibiotika untuk memubuh bakteri, Mas, bukan virus! Ini si penyiar memang tidak begitu mau tahu ilmunya, atau si dokter telah (maaf) ‘membodohi’ pasiennya, dengan entengnya mengkombinasi antibiotika, tanpa memberikan edukasi yang baik. Jadi instead of keep giving multiple antibiotics, yang lebih penting adalah mendiagnosis dengan tepat penyakitnya, dan memberikan edukasi agar mampu menjaga kesehatan agar tidak mudah sakit.

Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membeberkan teori antibiotika dan resistensinya, juga data-data kuantitatif antibiotics abuse di Indonesia. Singkatnya, Indonesia adalah negara dengan pola konsumsi antibiotika tidak rasional. Dokter mudah merasa khawatir dengan penyakit pasiennya, maka mudahnya, berikan saja antibiotika sebagai ‘obat dewa’, mampu ‘menyembuhkan semua penyakit’. Ditambah mahalnya ongkos pemeriksaan penunjang, maka dokter di Indonesia cenderung terjebak pada pola terapetik farmasi. Sekali datang, langsung obati, mudah-mudahan ‘cespleng’! Penekanan pada aspek kuratif (pengobatan), bukan preventif (pencegahan). Konsumen kesehatan menambah parahnya kondisi ini dengan mereka yang meminta antibiotika ke dokter, padahal dokter belum tentu ingin meresepkan. Khawatir ‘tidak laku’, maka dokter memenuhi permintaan pasien.

Ironic, isn’t it?

Inilah yang akhirnya menyebabkan SUPERBUGS: bakteri resisten terhadap golongan antibiotika spektrum luas. Kalau kumannya sudah begini, mau diobati dengan apa lagi? Saya ingat dengan kisah sedih kawan SMU saya, anaknya yang berumur 1 minggu dirawat di sebuah RS pemerintah dengan mendapat tiga macam antibiotika spektrum luas!! Saya khawatir kuman penyebabnya tidak berasal dari lingkungan alamiah si anak, melainkan didapat dari RS selama perawatan. Namanya infeksi nosokomial. Semacam oleh-oleh dari RS jika dirawat. Seseorang dirawat, keadaannya bukannya membaik, melainkan mendapat infeksi bakteri baru dari RS yang resisten dengan berbagai macam antibiotika.

Udahan dulu deh…

Ini lagi ga nyambung: laporan jaga semalam di LKC:

- satu pasien dengan penurunan kesadaran suspek CVD stroke hemoragik GCS 3, diobservasi aja, alhamdulillah paginya bisa respon suara, jadinya GCS 15! (kayanya gue yang salah nilai GCS pas masuk deh) Cuma ada parese nervus VII aja sih, ga ada hemiparesis.

- Dua pasien kebidanan: satu wanita 35 tahun dengan G2P1A0 lahir spontan jam 23-an, dan satu wanita 31 tahun dengan G9P7A1 (grande multipara boo) partus spontan abis sholat subuh. Sempat bikin panik karena ada hysterical reaction (‘Dokter Apin harap turun ke ruang Bidan CITO’) dibilangnya pingsan. Untuk ga ada apa-apa. Semua bayi AS-nya bagus dan BL normal.

- Bolak-bolak nelepon perawat rujukan di RSCM gara-gara ga dapat kamar untuk satu bayi BBLR preterm 32 minggu dengan hiperbilirubinemia, dan satu lagi member baru anak 2,5 tahun dengan KEP suspek meningitis khawatir ada dekomp juga. Cari ruangan di Harkit ga dapet, cari ke Fatmawati ga dapet juga. Ya beginilah kondisi RS kita, seringkali pasien ditolak, ga tau memang penih ruangannya di RS rujukan, atau memang nolak pasien GAKIN (mudah-mudahan yang terakhir ini engga. Kalau ketahuan Bu Menteri bisa jadi kasus lagi. Hehehe)

Siap-siap berangkat lagi tiga jam dari sekarang. Ngantuk euy

Selasa, 06 Desember 2005

Sumbing, Kapan harus di Operasi ?

Bibir sumbing (cleft lip atau labioschizis) adalah suatu kelainan bawaan yang ditandai dengan adanya celah pada bibir, gusi dan langit-langit yang dapat timbul sendiri atau bersamaan.
Ada tiga tahap penanganan bibir sumbing yaitu tahap sebelum operasi, tahap sewaktu operasi dan tahap setelah operasi. Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maksila) akibat dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba. Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah.. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi.
Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat

Boobies!!

Okay, from the beginning, I have to tell you that I’m not going to write pornography or related. It’s just a title… hopefully an ‘eye-catching’ one, that’s going to attract you all to read my post. In the end, you’ll find some additional new knowledge about breast cancer. For those who haven’t had the information, of course.

Judul ini persis sama dengan tulisan yang saya temukan siang tadi dari penelusuran terhadap beberapa blogspot kedokteran. Tepatnya di Grahamazon dot com, yang memandu Ronde Besar Medscape pekan lalu (semua dokter dan mahasiswa kedokteran tingkat klinik pastinya familiar dengan istilah Ronde Besar). Coba simak kalimat-kalimat berikut.

“It’s not everyday that you’re told by a woman to look at her chest. In fact, unless you’re learning how to do a female breast exam, it’s generally not kosher. And so it was, that last Monday I palpated my first breasts. (This post is totally gonna nail me by porn-blocking software.)”

Mengingat jarangnya saya menulis blog, karena seringkali tidak ada ide, membaca blog milik Mr. Graham Walker yang mengisahkan hari-harinya menjadi mahasiswa kedokteran di Stanford University ini (ia masih mahasiswa tahun ketiga), memberikan ide bagi saya untuk sedikit bercerita masa-masa kuliah di FKUI dulu.

Pertama kali kami mempelajari teknik pemeriksaan payudara, yakni metode SADARI (perikSA payuDAra sendiRI) atau Breast Self Examination (BSE) ini adalah dalam sebuah mata kuliah Patologi Anatomi tingkat tiga (saya merasa kagum juga masih mengingatnya, berarti ini kebetulan saya masuk kuliah, karena masa-masa tingkat dua dan tiga adalah saat-saat saya sering cabut kuliah). Hanya melalui ilustrasi dari tayangan proyektor LCD saja. Saya juga ingat sang dosen memelesetkan menjadi ‘Periksa Payudara oleh Suami’. Tidak masalah, bukan?

“My friend Heather decides to go first, and before I have time to blink, *woah*, there’s two big breasts staring right back at me. Heather started out saying “Fantastic!” after the instructor raised her arms in response to Heather’s request, but the instructor reminded us that “breasts are not fantastic. They are healthy or normal.”

Kemudian di tingkat IV, saat berada di Bagian Bedah, untuk pertama kali kami melakukannya langsung terhadap pasien di IRNA A RSCM. Kelompok kecil kami terdiri dari empat orang pria ganteng (hueek, hueekk): aku, Aria, Ardath, dan Onny. Berhubung F-4 sedang menjadi idola saat itu, kami menjuluki diri kami F-Se (hueekk, pret, dut, cuih, hehehe… beneran lho, kelompok lain nggak ada yang satu kelompok cowok semua). Dr. Sastiono Spesialis Bedah Anak membimbing kami melakukannya pada seorang ibu yang bersedia menjadi volunteer. Eitss.. ga boleh mikir ngeres.

“I’m being overly cautious at this point, trying not to say qualifying words like “fantastic” or “excellent,” so I end up just saying “okay,” and “healthy,” about 50 times. She finds it amusing; I let out a nervous laugh, and try to continue, still in hypersensitivity mode.”

Yang terakhir saat berada di Bagian Bedah tingkat VI, kami benar-benar bisa ‘puas’ melatih kemahiran melakukan breast exam ini di Poliklinik Bedah RSU Tangerang. Inspeksi dan palpasi, inspeksi dan palpasi. Hampir setiap harinya selalu ada lebih dari satu orang pasien baru dengan keluhan benjolan di payudara. Sebagai ko-ass, sebelum diperiksa langsung oleh spesialis bedah, semua pasien baru harus melewati kami.

Sangat alamiah dan manusiawi, semua perempuan yang harus ‘merelakan’ dilihat auratnya yang vital ini oleh dokter laki-laki akan merasa risih dan tidak nyaman. Begitulah yang kualami saat memeriksa mereka (secara teori, bahkan pasien harus diperiksa dalam beberapa posisi berbaring dan duduk, betapa tidak nyamannya!). Belum lagi wajah ‘dokter muda’ yang masih culun-culun dan membuat orang berpikir “Are you really a doctor here?” Maka dari itu, saya menyarankan semua wanita yang merasa memiliki benjolan tidak wajar di payudaranya untuk tidak datang ke dokter laki-laki (detilnya bisa dibaca di akhir tulisan).

Semua benjolan pada payudara atau breast lumps, adalah suatu keadaan yang mengharuskan setiap wanita yang mengalaminya datang ke dokter, karena bisa merupakan suatu keadaan dini dari keganasan (kanker). Meskipun beberapa kemungkinan (diagnosis banding) yang ada antara lain: fibroadenoma mammae (FAM—pada wanita muda, bukan kanker), kista, mastitis (biasanya pada ibu menyusui), dan papiloma.

Dalam kenyataan sehari-hari, tidak semua wanita Indonesia menyadari hal ini. Dari pengalaman klinikku selama setahun terakhir, ada yang menyadari benjolan yang terus membesar dan dibiarkan saja, dengan alasan ekonomi khawatir harus dioperasi (dari pemeriksaan fisik dan usia sepertinya sih giant FAM, tapi tetap saja harus dioperasi, kebetulan juga si ibu ini dari sosioekonomi-pendidikan menengah ke bawah); ada juga yang menyadarinya sangat dini dan langsung minta diperiksa (memang FAM dan sudah dioperasi dengan biaya dua jutaan setahun lalu); ada yang sekedar galactocele pada ibu yang memberikan ASI; ada juga yang memang terbukti Ca (kanker) dan menjalani seri radioterapi di RSCM; dan ada juga yang menyadarinya dari pemeriksaan suami (lucu juga ya, yang bersangkutan tidak pernah merasakannya, malahan si suami. Inilah maksud pelesetan kepanjangan SADARI. Jangan berpikir vulgar lho!).

Mengapa mendeteksi kanker payudara sedini mungkin menjadi amat penting? Data menunjukkan kematian akibat kanker payudara ini menduduki tempat kedua dalam kasus keganasan di Indonesia, persentasenya sebesar 11,22%. Survei terakhir di dunia menunjukkan tiap tiga menit ditemukan penderita kanker payudara, dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara.

Bagaimana cara mendeteksi dini penyakit ini? Teknik SADARI atau BSE bisa menjadi sebuah jawabannya. Meskipun dalam sebuah publikasi, Journal of The National Cancer Institute terbitan awal Oktober 2002, dan penelitian dari Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle dalam penelitiannya yang melibatkan 266.064 pekerja pabrik di Shanghai dan membagi atas kelompok BSE dan kontrol, menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian kematian akibat kanker payudara antara dua kelompok ini. Namun di tengah pro-kontra pentingnya metode SADARI ini, tetap dianjurkan untuk melakukan SADARI, sebaiknya ditambah dengan pemeriksaan oleh dokter dan melalui pemeriksaan mamografi (rontgen terhadap payudara). Setidaknya untuk negara miskin macam kita yang pastinya sulit untuk melakukan mamografi rutin (belum lagi ditambah rasa risih melakukannya, misalnya saja operator mesin radiologinya laki-laki?).

Mulai usia berapa sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan payudara ini? American Cancer Society merekomendasikan mulai umur 20 tahun, setiap tiga tahun sekali, sampai usia 40 tahun, dan sesudahnya sekali dalam setahun. Meskipun sebelum umur 20 tahun masih bisa dijumpai benjolan pada payudara, namun potensi keganasannya amat minim. Sebuah situs yang menjelaskan lengkap masalah breast cancer ini adalah Mayo Clinic.

Beberapa ilustrasi mengenai teknik SADARI atau BSE dapat dilihat di sini, sini, situ, dan masih banyak lagi.

Ada beberapa tips dari saya mengenai pemeriksaan ini di layanan kesehatan terdekat.

Pertama, periksakanlah ke dokter wanita, sebisa mungkin! Syari’ah menjelaskan bahwa aurat wanita hanya boleh dilihat laki-laki dalam tingkat kedaruratan tinggi, yakni menyangkut nyawa, dan tidak ada dokter wanita. Kondisi darurat ini pun sifatnya sementara. So… jika Anda mencurigai adanya benjolan di payudara, dan ingin memeriksakannya ke dokter (tidak mesti ke dokter spesialis bedah, dokter (umum) pun bisa), berusahalah untuk mencari dokter wanita. Tentunya tidak nyaman juga kan kalau yang memeriksa dokter laki-laki. Ya… ini juga dari pengalaman saya memeriksa pasien wanita.

Kedua, pelajari terlebih dahulu teknik-teknik pemeriksaan payudara ini, seperti telah banyak saya lampirkan link-link di atas, mulai dari SADARI, sampai prosedur mamografi, USG payudara, biopsi, dan lainnya. Apalagi jika sampai mendapatkan vonis dari dokter bedah untuk dilakukan pembedahan, meskipun untuk kasus-kasus benjolan jinak, dokter bedah yang paling ahli sekalipun harusnya tetap melakukan pemeriksaan penunjang seperti mamografi ini. Harus dipahami dulu rasa tidak nyaman ketika payudara digencet oleh alat mamografi.

Sangat disarankan untuk membuka semua link yang ada, untuk mendapatkan informasi lebih utuh.

Ini ga nyambung: Apin-lagi-seneng-banget-hari-ini-dapat-kabar-seorang-kliennya-dengan-infertilitas-primer-selama-bertahun-tahun-plus-kista-ovarium-juga-tiba-tiba-beberapa-minggu-setelah-mengadopsi-anak-langsung-ketahuan-positif-hamil. Memang-ga-nyambung-sih-antara-‘mancing’-punya-anak-dengan-akhirnyabisahamiljuga. Tapi-ini-benar-benar-terjadi-pada-beberapa-orang. Keturunan-memang-rahasia-Alloh.